64
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA (CAP) DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT “X” JAKARTA
EVALUATION OF THE USE ANTIBIOTICS
IN COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA (CAP) PATIENTS IN HOSPITALIZED INSTALLATION OF HOSPITAL “X” JAKARTA
Ridha Elvina, Nur Rahmi, Sandra Ayu Oktavira
Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka Jl. Delima II/IV, Klender Jakarta Timur 13460
Email: ridha.elvina@gmail.com (Ridha Elvina)
ABSTRAK
Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan pneumonia yang berkembang pada
pasien yang tidak ada kontak dengan fasilitas medis. Pengobatan CAP dapat diberikan antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik di RS “X” Jakarta dengan parameter tepat obat, dosis, dan lama pemberian berdasarkan standar acuan berupa Drug Information Handbook 2009, AHFS Drug
Information 2011, Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach 2014,
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition 2015, John Hopkins Medicine 2015, Current Medical Diagnosis and Treatment 2016, Koda-Kimble 2013, dan PDPI 2014. Data
penelitian menggunakan rekam medik pasien pneumonia rawat inap secara retrospektif dengan metode purposive random sampling. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 96 sampel dihasilkan tepat dalam pemilihan jenis antibiotik sebesar 86,46%, tepat dosis 91,67%, dan tepat lama pemberian antibiotik 73,68%.
Kata kunci: kerasionalan, antibiotik, pasien CAP. ABSTRACT
Community Acquired Pneumonia (CAP) is pneumonia developing in patients with no contact to a medical facility. CAP treatment can be use antibiotics. The purpose of this study was to evaluate appropriate use of antibiotics at hospital “X” Jakarta with the parameters of appropriate drug, appropriate dose, and appropriate duration based on standard base line of Drug Information Handbook 2009, AHFS Drug Information 2011, Pharmacotherapy a
Phatophysiologic Approach 2014, Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition 2015, John Hopkins Medicine 2015, Current Medical Diagnosis and Treatment 2016, Koda-Kimble 2013, and PDPI 2014. The research using medical records of hospitalized pneumonia patients retrospective by purposive random sampling method. Based on these result it
PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X
65
can be concluded that of the 96 samples to the appropriate drug is 86.46%, appropriate dose is 91.67%, and appropriate duration antibiotic is 73.68%.
66 Pendahuluan
Pneumonia sering ditemukan pada anak-anak, pada orang dewasa dan pada kelompok usia lanjut. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian jika tidak segera diobati (Dipiro dkk., 2015). Pada orang dewasa, pneumonia bisa menjadi infeksi serius yang dapat berkembang menjadi sepsis dan berpotensi mengancam jiwa. Pneumonia juga sebagai salah satu penyakit infeksi pada usia lanjut, dan masih merupakan problem kesehatan masyarakat karena tingginya angka kematian disebabkan penyakit tersebut di berbagai negara termasuk di Indonesia (Misnadiarly, 2008).
Pneumonia menjadi salah satu penyakit menular sebagai faktor penyebab kematian pada anak. Pneumonia menjadi target dalam
Millenium Development Goals (MDGs),
sebagai upaya untuk mengurangi angka kematian anak. Berdasarkan data WHO pada tahun 2013 terdapat 6,3 juta kematian anak di dunia, dan sebesar 935.000 (15%) kematian anak disebabkan oleh pneumonia. Sedangkan, di Indonesia kasus pneumonia mencapai 22.000 jiwa menduduki peringkat ke delapan sedunia (WHO, 2014). Ada lima
provinsi dengan pneumonia tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur (4,6% & 10,3%), Papua (2,8% & 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% & 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% & 6,1%) dan Sulawesi Selatan (2,4% & 4,8%) (Riskesdas, 2013).
Menurut Pahriyani dkk. (2015) tentang Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Community-Acquired Pneumonia (CAP) di RSUD Budi Asih
Jakarta, didapatkan hasil dari insidensi kasus Community-Acquired Pneumonia (CAP) sebesar 2% pada pasien rawat jalan, 5-20% pada pasien rawat inap dan lebih dari 50% pada pasien di ruang intensif. Pneumonia masuk ke dalam 10 besar penyakit untuk kasus penyakit rawat inap di rumah sakit di Indonesia. Data kasus CAP pada pasien rawat inap tahun 2012 di RSUP Persahabatan sebanyak 117 kasus dengan angka kematian sebesar 20,5%.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widjojo dan Khairuddin (2009) mengenai kajian rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus pneumonia yang dirawat pada bangsal penyakit dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008 didapatkan hasil ketepatan jenis antibiotik sebesar 100% rasional dan ketepatan dosis
PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X
67 sebesar 98,93% (Widjojo dan Khairuddin 2009). Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Nugroho dkk. (2011) mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pada penyakit pneumonia di RSUD Purbalingga tahun 2009 didapatkan hasil untuk jenis kelamin laki-laki (53,03%) lebih banyak dibandingkan pasien perempuan (46,97%), tepat obat pada pasien dewasa yang berdasarkan SPM IDI sebesar 87,5% dan lama pemberian antibiotik sebesar 40,48%. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Adien tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSUD Sukoharjo tahun 2014 didapatkan hasil terhadap ketepatan obat sebesar 100% dan ketepatan dosis sebesar 78,571% (Adien, 2015). Kuluri dkk. (2015) mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien lansia dengan pneumonia di instalasi rawat inap RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juni 2013-Juli 2014, didapatkan hasil terhadap tepat obat sebesar 94,11%, tepat dosis 94,11%, dan tepat lama pemberian 92,15%.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien
Community-Acquired Pneumonia (CAP)
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I. R. Said Sukanto, Jakarta. Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I. R. Said Sukanto Jakarta dipilih sebagai tempat penelitian dikarenakan rumah sakit ini adalah rumah sakit pendidikan kelas A. Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis (contohnya gastroenterologi-hepatologi, bedah onkologi, bedah saraf) yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat milik kepolisian Republik Indonesia (Rumkit Polri Sukanto, 2016).
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan pengambilan datanya secara retrospektif. Data yang diambil merupakan data sekunder yaitu rekam medik pasien CAP rawat inap periode Januari-Oktober 2016 yang didapat dari RS “X” Jakarta.
Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Pasien CAP di RS “X" Jakarta. 2. Sampel
Pasien CAP rawat inap yang menerima terapi antibiotik di Ruang
68 Parkit I dan II Rumah Sakit “X” Jakarta periode bulan Januari sampai dengan Oktober 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi yang digunakan adalah Pasien CAP dengan umur >19 tahun rawat inap non ICU periode bulan Januari-Oktober 2016 yang menggunakan terapi antibiotik. Kriteria eksklusi yang digunakan adalah Pasien CAP dengan umur <19 tahun (anak-anak) rawat inap ICU yang disertai dengan penyakit infeksi lain, memiliki penyakit keganasan dan datanya tidak lengkap atau tidak jelas terbaca pada periode bulan Januari-Oktober 2016.
Analisis Data
Data yang diambil berupa demografi pasien seperti usia dan jenis kelamin, serta antibiotik yang digunakan mencakup jenis antibiotik yang digunakan, dosis, dan lama pemberian antibiotik. Dari data yang dikumpulkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif berupa persentase baik data demografi maupun evaluasi ketepatan penggunaan antibiotiknya (ketepatan pemilihan jenis obat, dosis, dan lama pemberian antibiotik) berdasarkan Drug Information
Handbook 2009, AHFS Drug Information
2011, Pharmacotherapy a
Phatophyysiologic Approach 2014,
Pharmacotherapy Handbook Ninth
Edition 2015, John Hopkins Medicine
2015, Current Medical Diagnosis and
Treatment 2016, Koda-Kimble 2013, dan
PDPI 2014.
Hasil dan Pembahasan
Distribusi Berdasarkan Demografi Pasien
1. Distribusi pasien CAP rawat inap non ICU berdasarkan jenis kelamin
Faktor pencetus pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan salah satunya adalah merokok dan alkoholisme (Tabel 1). Merokok dapat mempengaruhi transpor mukosiliar, pertahanan humoral dan seluler, dan fungsi sel epitel, serta meningkatkan perlekatan
Streptococcus pneumoniae dan
Haemophylus influenzae. Sedangkan
alkoholisme dapat mempengaruhi sistem pertahanan saluran pernapasan sehingga menyebabkan kolonisasi bakteri gram negatif pada orofaring, dapat menganggu refleks batuk, merubah gerak menelan dan transpor mukosiliar, serta alkohol juga mengganggu fungsi limfosit, monosit, dan makrofag alveolar (Dipiro dkk., 2014).
69
Tabel 1. Distribusi pasien CAP berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Pasien Presentase
Laki-laki 50 52,08
Perempuan 46 47,92
Total 96 100
2. Distribusi pasien CAP rawat inap non ICU berdasarkan jenis usia
Usia memiliki peran penting pada resiko terjadinya CAP dan merupakan salah satu faktor risiko meningkatnya angka kematian pada pasien CAP (Tabel 2). Menurut PDPI, pada usia ≥ 65 tahun resiko kematian akan meningkat (PDPI, 2014).
Pada pasien lansia, risiko terjadinya CAP meningkat karena adanya faktor komorbiditas seperti penyakit kronis saluran pernapasan (PPOK), gagal jantung kongestif, diabetes mellitus dan gagal ginjal, selain itu penurunan imunitas juga dapat meningkatkan risiko infeksi CAP (Dipiro dkk., 2015).
Tabel 2. Distribusi pasien CAP berdasarkan usia
Kategori Usia (Tahun) Jumlah Pasien Presentase
Remaja Akhir (17-25) 2 2,08 Dewasa Awal (26-35) Dewasa Akhir (36-45) Lansia Awal(46-55) Lansia Akhir (56-65) Manula (>65 tahun) 10 11 21 28 24 10,41 11,46 21,88 29,17 25,00 Total 96 100
Sumber: Depkes RI, 2009.
Ketepatan Penggunaan Antibiotik pada Pasien CAP Rawat Inap Non ICU
1. Ketepatan pemilihan jenis antibiotik pada pasien CAP rawat inap non ICU
Didapatkan jumlah penggunaan antibiotik sebanyak 183 antibiotik, hal tersebut dikarenakan 81 pasien menggunakan satu jenis antibiotik, 15
pasien menggunakan dua jenis antibiotik yang berbeda baik dalam bentuk kombinasi ataupun obat lanjutan. Antibiotik yang paling banyak digunakan di RS ”X”, Jakarta tahun 2016 yaitu sefiksim sebesar 34,97%, seftriakson sebesar 25,13%, dan sefotaksim sebesar 21,31%.
70 Sedangkan yang paling sedikit digunakan yaitu seftazidim dan gentamisin yaitu masing-masing sebesar 0,55%. Didapatkan hasil penggunaan golongan fluorokuinolon tunggal sebesar 7,29%, golongan β-laktam tunggal sebesar 76,04%,
kombinasi golongan β-laktam dengan fluorokuinolon sebesar 11,46%, β-laktam dengan makrolida sebesar 3,13%, dan β-laktam dengan β-laktam sebesar 1,04%, serta aminoglikosida dengan fluorokuinolon sebesar 1,04%.
Tabel 3. Ketepatan pemilihan antibiotik pada pasien CAP non ICU Penilaian Ketepatan
Pemilihan Jenis Antibiotik Jumlah Pasien Persentase
Tepat 83 86,46
Tidak Tepat 13 13,54
Total 96 100
Analisis ketepatan pemilihan jenis antibiotik dilihat dari toolkit yang
digunakan. Menurut
Pharmacotherapy a Phatophyysiologic
Approach 9th Edition 2014,
Pharmacotherapy Principles &
Practice Handbook Ninth Edition 2015, John Hopkins Medicine 2015, Current Medical Diagnosis and Treatment
2016, Koda Kimble & Young 2013, AHFS 2011, dan PDPI 2014 penatalaksanaan pasien CAP rawat inap nonICU yaitu pemberian antibiotik golongan fluorokuinolon dilakukan secara tunggal atau kombinasi antibiotik antara golongan β-laktam dengan makrolida. Untuk
golongan β-laktam yang direkomendasikan meliputi sefotaksim, seftriakson, ertapenem, ampisilin-sulbaktam (Dipiro dkk., 2015), sedangkan untuk golongan makrolida meliputi azitromisin, eritromisin, klaritromisin, telitromisin, doksisiklin (Dipiro dkk., 2015), dan untuk golongan fluorokuinolon meliputi moksifloksasin 400 mg sehari, levofloksasin 750 mg sehari, dan siprofloksasin 400 mg setiap 8-12 jam (Chesnutt dan Prendergast, 2016). 2. Ketepatan dosis antibiotic pada pasien
CAP rawat inap nonICU
Berdasarkan analisis ketepatan dosis antibiotik yang diberikan kepada
PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X
71 pasien CAP rawat inap, didapatkan 88 pasien (91,67%) (Tabel 4) yang dikategorikan tepat dosis. Ketepatan dosis pada pasien CAP ini disebabkan dosis yang diberikan masuk ke dalam
rentang dosis terapi berdasarkan
toolkit. Hanya saja, terdapat 8 pasien
yang perlu penyesuaian dosis dikarenakan dipengaruhi adanya gangguan fungsi ginjal.
Tabel 4. Ketepatan dosis antibiotik pada pasien CAP rawat inap non ICU
Penilaian Ketepatan Dosis Antibiotik Jumlah Pasien Persentase (%)
Tepat 88 91,67 Tidak Tepat a. Dosis Rendah b. Dosis Lebih 0 8 0 8,33 Total 96 100
Terdapat 1 pasien memerlukan penyesuaian dosis levofloksasin, dinyatakan tidak tepat dosis karena pemberian dosis levofloksasin yang berlebih pada hari berikutnya. Menurut toolkit yang ada, untuk nilai kreatinin klirens 20-49 ml/min perlu penyesuaian dosis sebesar 500 mg/hari kemudian 250 mg/hari tiap 24 jam, sehingga pemberian dosis levofloksasin tidak masuk ke dalam dosis lazimnya.
Terdapat 1 pasien yang memerlukan penyesuaian dosis sefotaksim. Menurut toolkit yang ada, untuk nilai kreatinin klirens <20 ml/min perlu penyesuaian dosis sebesar 50% dari dosis terapi dimana pasien mendapatkan terapi
sefotaksim sebanyak 3x1 g sehari selama rawat inap berlangsung. Seharusnya cukup diberikan 2x1 g sehari. Maka dari itu, pemberian dosis sefotaksim tersebut tidak masuk ke dalam dosis lazimnya.
Terdapat 6 pasien yang memerlukan penyesuaian dosis sefiksim sebagai obat pulangnya. 4 pasien di antaranya memiliki nilai kreatinin klirens <20 ml/min sehingga diberikan sefiksim sebesar 50% dari dosis terapi. Dosis yang diberikan oleh dokter yaitu 2x100 mg/hari, seharusnya cukup diberikan 1x100 mg/hari atau 2x50 mg/hari untuk kondisi pasien yang mengalami gangguan ginjal. Kemudian, 2 pasien di antaranya memiliki kreatinin klirens
72 21-60 ml/min maka dapat diberikan sefiksim sebesar 75% dari dosis terapi. Dosis yang diberikan oleh dokter yaitu 2x100 mg/hari, seharusnya cukup diberikan sefiksim 1x50 mg dan 1x100 mg/hari. Maka dari itu, pada kasus ini 6 pasien dinyatakan tidak tepat dosis karena pemberian sefiksim yang berlebih sehingga tidak masuk ke dalam dosis lazimnya. Pemberian antibiotika dengan dosis yang tidak tepat selain mengurangi efikasi sebagai antimikroba, meningkatkan toksisitas obat, juga menimbulkan masalah resistensi.
3. Ketepatan lama pemberian antibiotik pada pasien CAP rawat inap nonICU
Ketidaktepatan dalam lama pemberian adalah karena tidak ada kesesuaian dengan toolkit. Terdapat 25 pasien (Tabel 5) dimana 8 pasien yang mendapatkan lama pemberian singkat dan 17 pasien yang mendapatkan lama pemberian berlebih. Menurut PDPI tahun 2014 lama pemberian untuk CAP 5-10 hari, tetapi menurut Pharmacotherapy principle & practice tahun 2015 durasi
terapi untuk pengobatan CAP 7-10 hari.
Tabel 5. Ketepatan lama pemberian antibiotik pada pasien CAP rawat inap nonICU Penilaian Ketepatan
Lama Pemberian Antibiotik Jumlah Pasien Persentase (%)
Tepat 71 73,96
Tidak Tepat
a. Lama Pemberian Singkat b. Lama Pemberian Berlebih
8 17
8,33 17,71
Total 96 100
Lama pengobatan antibiotik pada pasien CAP rawat inap sama seperti pasien rawat jalan. Durasi pengobatan yang direkomendasikan untuk pasien CAP harus berdasarkan tingkat keparahan penyakit, etiologi patogennya, respons pasien terhadap terapi, masalah medis lainnya maupun
komplikasi. Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi antibiotik minimal 5 hari dan berlanjut selama 48-72 jam sampai pasien tidak mengalami demam (Chesnutt dan Prendergast, 2016).
Lama pemberian terapi untuk CAP harus dijaga sependek mungkin
PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X
73 dan tergantung dari beberapa faktor yaitu jenis pneumonia, status rawat inap atau rawat jalan, komorbiditas pasien, bakteremia atau sepsis, dan pemilihan antibiotik. Jika lama pemerian obat terlalu panjang, maka dapat mempengaruhi flora normal di saluran pernapasan dan gastrointestinal, saluran vagina pada wanita, dan flora normal pada kulit. Akibatnya, terjadi kolonisasi bakteri patogen yang resisten, Clostridium
difficile colitis, atau pertumbuhan
jamur yang berlebihan. Disamping itu, semakin lama antibiotik diberikan, maka semakin besar kesempatan terjadinya toksisitas dan biaya pun meningkat (Dipiro dkk., 2015).
Evaluasi outcome untuk CAP termasuk mencegah rawat inap, memperpendek durasi perawatan di rumah sakit dan mengurangi angka kematian. Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, jika antibiotik telah diberikan dalam waktu 4 jam pertama setelah terdiagnosa CAP, maka lamanya rawat inap akan menurun dibandingkan pemberian antibiotik lewat dari 4 jam. Perbaikan gejala akan terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah dimulainya terapi untuk sebagian besar pasien CAP. Respon
terapi yang lambat dapat terjadi pada pasien paru yang memiliki penyakit paru seperti asma sedang hingga berat, PPOK, atau emfisema. Apabila pasien tidak memiliki penyakit paru, tetapi responnya tetap lambat, maka pertimbangkan adanya infeksi atau penyebab non infeksi lainnya (Dipiro dkk., 2015).
Kesimpulan
Evaluasi pengunaan antibiotik pada pasien Community-Acquired Pneumonia (CAP) rawat inap di RS “X”,
Jakarta tahun 2016 berdasarkan toolkit yang digunakan dari 96 sampel dihasilkan tepat dalam pemilihan jenis antibiotik sebesar 86,46%, tepat dosis sebesar 91,67%, dan tepat lama pemberian antibiotik sebesar 73,96%.
Ucapan Terimakasih
Tim dokter paru, Bina Fungsi, Instalasi Ruang Parkit, Rekam Medik dan Instalasi Farmasi RS “X” Jakarta.
Daftar Pustaka
Adien. 2015. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSUD Sukoharjo tahun 2014. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
74 America Hospital Formulary Services.
2011. AHFS Drug Information
Essential. United States:
American Society of Health-System Pharmacists Inc.
Pahriyani, A., Khotimah, N., dan Bakar, L. 2015. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien community acquired pneumonia (CAP) di RSUD Budhi Asih Jakarta Timur. Farmasains, 2(6):259-263.
Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Wells, B.G. 2014. A Pathophysiologic
Approach. Ninth Edition. United
States: McGraw-Hill Education.
Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Wells, B.G. 2015. Pharmacotherapy
Handbook. Edisi 9. United States:
McGraw-Hill Education.
Johns Hopkins. 2015. Antibiotic
Guidelines 2015-2016,
Treatment Recommendations
For Adult Inpatients. United
States: Johns Hopkins.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L. 2009. Drug
Information Handbook. 17th
Edition. United States: Lexi-Comp Inc.
Kuluri, L.C.N., Fatimawali, dan Bodhi, W. 2015. Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien lansia dengan pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2013-Juni 2014.
Pharmacon, 4(3):164-175.
Chesnutt, M.S. Prendergast, T.J. 2016. Pulmonary disorders. In Current
Medical Diagnosis & Treatment 2016, eds Papadakis, M.A.,
McPhee, S.J., Rabow, M.W. USA: McGraw-Hill Education.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi
Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Edisi 1. Jakarta: Pustaka
Obor Populer.
Nugroho, F., Utami, I.P., Yuniastuti, I. 2011. Evaluasi penggunaan antibiotik pada penyakit pneumonia di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga.
Pharmacy, 08(01):141-153.
PDPI. 2014. Pneumonia Komuniti:
Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPI.
WHO. 2014. Pneumonia.
http://www.who.int/mediacentr e/factsheets/fs331/en. Diakses pada tanggal 5 Mei 2016.
Widjojo, P. dan Khairuddin. 2009. Kajian rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus pneumonia yang dirawat pada bangsal penyakit dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008.
Skripsi. Universitas Diponegoro.
www.rumkitpolrisukanto.com. Diakses pada tanggal 5 Mei 2016.