• Tidak ada hasil yang ditemukan

PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-issn ; e-issn X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-issn ; e-issn X"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

64

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA (CAP) DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT “X” JAKARTA

EVALUATION OF THE USE ANTIBIOTICS

IN COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA (CAP) PATIENTS IN HOSPITALIZED INSTALLATION OF HOSPITAL “X” JAKARTA

Ridha Elvina, Nur Rahmi, Sandra Ayu Oktavira

Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka Jl. Delima II/IV, Klender Jakarta Timur 13460

Email: ridha.elvina@gmail.com (Ridha Elvina)

ABSTRAK

Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan pneumonia yang berkembang pada

pasien yang tidak ada kontak dengan fasilitas medis. Pengobatan CAP dapat diberikan antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik di RS “X” Jakarta dengan parameter tepat obat, dosis, dan lama pemberian berdasarkan standar acuan berupa Drug Information Handbook 2009, AHFS Drug

Information 2011, Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach 2014,

Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition 2015, John Hopkins Medicine 2015, Current Medical Diagnosis and Treatment 2016, Koda-Kimble 2013, dan PDPI 2014. Data

penelitian menggunakan rekam medik pasien pneumonia rawat inap secara retrospektif dengan metode purposive random sampling. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 96 sampel dihasilkan tepat dalam pemilihan jenis antibiotik sebesar 86,46%, tepat dosis 91,67%, dan tepat lama pemberian antibiotik 73,68%.

Kata kunci: kerasionalan, antibiotik, pasien CAP. ABSTRACT

Community Acquired Pneumonia (CAP) is pneumonia developing in patients with no contact to a medical facility. CAP treatment can be use antibiotics. The purpose of this study was to evaluate appropriate use of antibiotics at hospital “X” Jakarta with the parameters of appropriate drug, appropriate dose, and appropriate duration based on standard base line of Drug Information Handbook 2009, AHFS Drug Information 2011, Pharmacotherapy a

Phatophysiologic Approach 2014, Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition 2015, John Hopkins Medicine 2015, Current Medical Diagnosis and Treatment 2016, Koda-Kimble 2013, and PDPI 2014. The research using medical records of hospitalized pneumonia patients retrospective by purposive random sampling method. Based on these result it

(2)

PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X

65

can be concluded that of the 96 samples to the appropriate drug is 86.46%, appropriate dose is 91.67%, and appropriate duration antibiotic is 73.68%.

(3)

66 Pendahuluan

Pneumonia sering ditemukan pada anak-anak, pada orang dewasa dan pada kelompok usia lanjut. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian jika tidak segera diobati (Dipiro dkk., 2015). Pada orang dewasa, pneumonia bisa menjadi infeksi serius yang dapat berkembang menjadi sepsis dan berpotensi mengancam jiwa. Pneumonia juga sebagai salah satu penyakit infeksi pada usia lanjut, dan masih merupakan problem kesehatan masyarakat karena tingginya angka kematian disebabkan penyakit tersebut di berbagai negara termasuk di Indonesia (Misnadiarly, 2008).

Pneumonia menjadi salah satu penyakit menular sebagai faktor penyebab kematian pada anak. Pneumonia menjadi target dalam

Millenium Development Goals (MDGs),

sebagai upaya untuk mengurangi angka kematian anak. Berdasarkan data WHO pada tahun 2013 terdapat 6,3 juta kematian anak di dunia, dan sebesar 935.000 (15%) kematian anak disebabkan oleh pneumonia. Sedangkan, di Indonesia kasus pneumonia mencapai 22.000 jiwa menduduki peringkat ke delapan sedunia (WHO, 2014). Ada lima

provinsi dengan pneumonia tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur (4,6% & 10,3%), Papua (2,8% & 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% & 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% & 6,1%) dan Sulawesi Selatan (2,4% & 4,8%) (Riskesdas, 2013).

Menurut Pahriyani dkk. (2015) tentang Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Community-Acquired Pneumonia (CAP) di RSUD Budi Asih

Jakarta, didapatkan hasil dari insidensi kasus Community-Acquired Pneumonia (CAP) sebesar 2% pada pasien rawat jalan, 5-20% pada pasien rawat inap dan lebih dari 50% pada pasien di ruang intensif. Pneumonia masuk ke dalam 10 besar penyakit untuk kasus penyakit rawat inap di rumah sakit di Indonesia. Data kasus CAP pada pasien rawat inap tahun 2012 di RSUP Persahabatan sebanyak 117 kasus dengan angka kematian sebesar 20,5%.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widjojo dan Khairuddin (2009) mengenai kajian rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus pneumonia yang dirawat pada bangsal penyakit dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008 didapatkan hasil ketepatan jenis antibiotik sebesar 100% rasional dan ketepatan dosis

(4)

PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X

67 sebesar 98,93% (Widjojo dan Khairuddin 2009). Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Nugroho dkk. (2011) mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pada penyakit pneumonia di RSUD Purbalingga tahun 2009 didapatkan hasil untuk jenis kelamin laki-laki (53,03%) lebih banyak dibandingkan pasien perempuan (46,97%), tepat obat pada pasien dewasa yang berdasarkan SPM IDI sebesar 87,5% dan lama pemberian antibiotik sebesar 40,48%. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Adien tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSUD Sukoharjo tahun 2014 didapatkan hasil terhadap ketepatan obat sebesar 100% dan ketepatan dosis sebesar 78,571% (Adien, 2015). Kuluri dkk. (2015) mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien lansia dengan pneumonia di instalasi rawat inap RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juni 2013-Juli 2014, didapatkan hasil terhadap tepat obat sebesar 94,11%, tepat dosis 94,11%, dan tepat lama pemberian 92,15%.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien

Community-Acquired Pneumonia (CAP)

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I. R. Said Sukanto, Jakarta. Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I. R. Said Sukanto Jakarta dipilih sebagai tempat penelitian dikarenakan rumah sakit ini adalah rumah sakit pendidikan kelas A. Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis (contohnya gastroenterologi-hepatologi, bedah onkologi, bedah saraf) yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat milik kepolisian Republik Indonesia (Rumkit Polri Sukanto, 2016).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan pengambilan datanya secara retrospektif. Data yang diambil merupakan data sekunder yaitu rekam medik pasien CAP rawat inap periode Januari-Oktober 2016 yang didapat dari RS “X” Jakarta.

Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Pasien CAP di RS “X" Jakarta. 2. Sampel

Pasien CAP rawat inap yang menerima terapi antibiotik di Ruang

(5)

68 Parkit I dan II Rumah Sakit “X” Jakarta periode bulan Januari sampai dengan Oktober 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi yang digunakan adalah Pasien CAP dengan umur >19 tahun rawat inap non ICU periode bulan Januari-Oktober 2016 yang menggunakan terapi antibiotik. Kriteria eksklusi yang digunakan adalah Pasien CAP dengan umur <19 tahun (anak-anak) rawat inap ICU yang disertai dengan penyakit infeksi lain, memiliki penyakit keganasan dan datanya tidak lengkap atau tidak jelas terbaca pada periode bulan Januari-Oktober 2016.

Analisis Data

Data yang diambil berupa demografi pasien seperti usia dan jenis kelamin, serta antibiotik yang digunakan mencakup jenis antibiotik yang digunakan, dosis, dan lama pemberian antibiotik. Dari data yang dikumpulkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif berupa persentase baik data demografi maupun evaluasi ketepatan penggunaan antibiotiknya (ketepatan pemilihan jenis obat, dosis, dan lama pemberian antibiotik) berdasarkan Drug Information

Handbook 2009, AHFS Drug Information

2011, Pharmacotherapy a

Phatophyysiologic Approach 2014,

Pharmacotherapy Handbook Ninth

Edition 2015, John Hopkins Medicine

2015, Current Medical Diagnosis and

Treatment 2016, Koda-Kimble 2013, dan

PDPI 2014.

Hasil dan Pembahasan

Distribusi Berdasarkan Demografi Pasien

1. Distribusi pasien CAP rawat inap non ICU berdasarkan jenis kelamin

Faktor pencetus pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan salah satunya adalah merokok dan alkoholisme (Tabel 1). Merokok dapat mempengaruhi transpor mukosiliar, pertahanan humoral dan seluler, dan fungsi sel epitel, serta meningkatkan perlekatan

Streptococcus pneumoniae dan

Haemophylus influenzae. Sedangkan

alkoholisme dapat mempengaruhi sistem pertahanan saluran pernapasan sehingga menyebabkan kolonisasi bakteri gram negatif pada orofaring, dapat menganggu refleks batuk, merubah gerak menelan dan transpor mukosiliar, serta alkohol juga mengganggu fungsi limfosit, monosit, dan makrofag alveolar (Dipiro dkk., 2014).

(6)

69

Tabel 1. Distribusi pasien CAP berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Pasien Presentase

Laki-laki 50 52,08

Perempuan 46 47,92

Total 96 100

2. Distribusi pasien CAP rawat inap non ICU berdasarkan jenis usia

Usia memiliki peran penting pada resiko terjadinya CAP dan merupakan salah satu faktor risiko meningkatnya angka kematian pada pasien CAP (Tabel 2). Menurut PDPI, pada usia ≥ 65 tahun resiko kematian akan meningkat (PDPI, 2014).

Pada pasien lansia, risiko terjadinya CAP meningkat karena adanya faktor komorbiditas seperti penyakit kronis saluran pernapasan (PPOK), gagal jantung kongestif, diabetes mellitus dan gagal ginjal, selain itu penurunan imunitas juga dapat meningkatkan risiko infeksi CAP (Dipiro dkk., 2015).

Tabel 2. Distribusi pasien CAP berdasarkan usia

Kategori Usia (Tahun) Jumlah Pasien Presentase

Remaja Akhir (17-25) 2 2,08 Dewasa Awal (26-35) Dewasa Akhir (36-45) Lansia Awal(46-55) Lansia Akhir (56-65) Manula (>65 tahun) 10 11 21 28 24 10,41 11,46 21,88 29,17 25,00 Total 96 100

Sumber: Depkes RI, 2009.

Ketepatan Penggunaan Antibiotik pada Pasien CAP Rawat Inap Non ICU

1. Ketepatan pemilihan jenis antibiotik pada pasien CAP rawat inap non ICU

Didapatkan jumlah penggunaan antibiotik sebanyak 183 antibiotik, hal tersebut dikarenakan 81 pasien menggunakan satu jenis antibiotik, 15

pasien menggunakan dua jenis antibiotik yang berbeda baik dalam bentuk kombinasi ataupun obat lanjutan. Antibiotik yang paling banyak digunakan di RS ”X”, Jakarta tahun 2016 yaitu sefiksim sebesar 34,97%, seftriakson sebesar 25,13%, dan sefotaksim sebesar 21,31%.

(7)

70 Sedangkan yang paling sedikit digunakan yaitu seftazidim dan gentamisin yaitu masing-masing sebesar 0,55%. Didapatkan hasil penggunaan golongan fluorokuinolon tunggal sebesar 7,29%, golongan β-laktam tunggal sebesar 76,04%,

kombinasi golongan β-laktam dengan fluorokuinolon sebesar 11,46%, β-laktam dengan makrolida sebesar 3,13%, dan β-laktam dengan β-laktam sebesar 1,04%, serta aminoglikosida dengan fluorokuinolon sebesar 1,04%.

Tabel 3. Ketepatan pemilihan antibiotik pada pasien CAP non ICU Penilaian Ketepatan

Pemilihan Jenis Antibiotik Jumlah Pasien Persentase

Tepat 83 86,46

Tidak Tepat 13 13,54

Total 96 100

Analisis ketepatan pemilihan jenis antibiotik dilihat dari toolkit yang

digunakan. Menurut

Pharmacotherapy a Phatophyysiologic

Approach 9th Edition 2014,

Pharmacotherapy Principles &

Practice Handbook Ninth Edition 2015, John Hopkins Medicine 2015, Current Medical Diagnosis and Treatment

2016, Koda Kimble & Young 2013, AHFS 2011, dan PDPI 2014 penatalaksanaan pasien CAP rawat inap nonICU yaitu pemberian antibiotik golongan fluorokuinolon dilakukan secara tunggal atau kombinasi antibiotik antara golongan β-laktam dengan makrolida. Untuk

golongan β-laktam yang direkomendasikan meliputi sefotaksim, seftriakson, ertapenem, ampisilin-sulbaktam (Dipiro dkk., 2015), sedangkan untuk golongan makrolida meliputi azitromisin, eritromisin, klaritromisin, telitromisin, doksisiklin (Dipiro dkk., 2015), dan untuk golongan fluorokuinolon meliputi moksifloksasin 400 mg sehari, levofloksasin 750 mg sehari, dan siprofloksasin 400 mg setiap 8-12 jam (Chesnutt dan Prendergast, 2016). 2. Ketepatan dosis antibiotic pada pasien

CAP rawat inap nonICU

Berdasarkan analisis ketepatan dosis antibiotik yang diberikan kepada

(8)

PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X

71 pasien CAP rawat inap, didapatkan 88 pasien (91,67%) (Tabel 4) yang dikategorikan tepat dosis. Ketepatan dosis pada pasien CAP ini disebabkan dosis yang diberikan masuk ke dalam

rentang dosis terapi berdasarkan

toolkit. Hanya saja, terdapat 8 pasien

yang perlu penyesuaian dosis dikarenakan dipengaruhi adanya gangguan fungsi ginjal.

Tabel 4. Ketepatan dosis antibiotik pada pasien CAP rawat inap non ICU

Penilaian Ketepatan Dosis Antibiotik Jumlah Pasien Persentase (%)

Tepat 88 91,67 Tidak Tepat a. Dosis Rendah b. Dosis Lebih 0 8 0 8,33 Total 96 100

Terdapat 1 pasien memerlukan penyesuaian dosis levofloksasin, dinyatakan tidak tepat dosis karena pemberian dosis levofloksasin yang berlebih pada hari berikutnya. Menurut toolkit yang ada, untuk nilai kreatinin klirens 20-49 ml/min perlu penyesuaian dosis sebesar 500 mg/hari kemudian 250 mg/hari tiap 24 jam, sehingga pemberian dosis levofloksasin tidak masuk ke dalam dosis lazimnya.

Terdapat 1 pasien yang memerlukan penyesuaian dosis sefotaksim. Menurut toolkit yang ada, untuk nilai kreatinin klirens <20 ml/min perlu penyesuaian dosis sebesar 50% dari dosis terapi dimana pasien mendapatkan terapi

sefotaksim sebanyak 3x1 g sehari selama rawat inap berlangsung. Seharusnya cukup diberikan 2x1 g sehari. Maka dari itu, pemberian dosis sefotaksim tersebut tidak masuk ke dalam dosis lazimnya.

Terdapat 6 pasien yang memerlukan penyesuaian dosis sefiksim sebagai obat pulangnya. 4 pasien di antaranya memiliki nilai kreatinin klirens <20 ml/min sehingga diberikan sefiksim sebesar 50% dari dosis terapi. Dosis yang diberikan oleh dokter yaitu 2x100 mg/hari, seharusnya cukup diberikan 1x100 mg/hari atau 2x50 mg/hari untuk kondisi pasien yang mengalami gangguan ginjal. Kemudian, 2 pasien di antaranya memiliki kreatinin klirens

(9)

72 21-60 ml/min maka dapat diberikan sefiksim sebesar 75% dari dosis terapi. Dosis yang diberikan oleh dokter yaitu 2x100 mg/hari, seharusnya cukup diberikan sefiksim 1x50 mg dan 1x100 mg/hari. Maka dari itu, pada kasus ini 6 pasien dinyatakan tidak tepat dosis karena pemberian sefiksim yang berlebih sehingga tidak masuk ke dalam dosis lazimnya. Pemberian antibiotika dengan dosis yang tidak tepat selain mengurangi efikasi sebagai antimikroba, meningkatkan toksisitas obat, juga menimbulkan masalah resistensi.

3. Ketepatan lama pemberian antibiotik pada pasien CAP rawat inap nonICU

Ketidaktepatan dalam lama pemberian adalah karena tidak ada kesesuaian dengan toolkit. Terdapat 25 pasien (Tabel 5) dimana 8 pasien yang mendapatkan lama pemberian singkat dan 17 pasien yang mendapatkan lama pemberian berlebih. Menurut PDPI tahun 2014 lama pemberian untuk CAP 5-10 hari, tetapi menurut Pharmacotherapy principle & practice tahun 2015 durasi

terapi untuk pengobatan CAP 7-10 hari.

Tabel 5. Ketepatan lama pemberian antibiotik pada pasien CAP rawat inap nonICU Penilaian Ketepatan

Lama Pemberian Antibiotik Jumlah Pasien Persentase (%)

Tepat 71 73,96

Tidak Tepat

a. Lama Pemberian Singkat b. Lama Pemberian Berlebih

8 17

8,33 17,71

Total 96 100

Lama pengobatan antibiotik pada pasien CAP rawat inap sama seperti pasien rawat jalan. Durasi pengobatan yang direkomendasikan untuk pasien CAP harus berdasarkan tingkat keparahan penyakit, etiologi patogennya, respons pasien terhadap terapi, masalah medis lainnya maupun

komplikasi. Para ahli

merekomendasikan pemberian terapi antibiotik minimal 5 hari dan berlanjut selama 48-72 jam sampai pasien tidak mengalami demam (Chesnutt dan Prendergast, 2016).

Lama pemberian terapi untuk CAP harus dijaga sependek mungkin

(10)

PHARMACY, Vol.14 No. 01 Juli 2017 p-ISSN 1693-3591; e-ISSN 2579-910X

73 dan tergantung dari beberapa faktor yaitu jenis pneumonia, status rawat inap atau rawat jalan, komorbiditas pasien, bakteremia atau sepsis, dan pemilihan antibiotik. Jika lama pemerian obat terlalu panjang, maka dapat mempengaruhi flora normal di saluran pernapasan dan gastrointestinal, saluran vagina pada wanita, dan flora normal pada kulit. Akibatnya, terjadi kolonisasi bakteri patogen yang resisten, Clostridium

difficile colitis, atau pertumbuhan

jamur yang berlebihan. Disamping itu, semakin lama antibiotik diberikan, maka semakin besar kesempatan terjadinya toksisitas dan biaya pun meningkat (Dipiro dkk., 2015).

Evaluasi outcome untuk CAP termasuk mencegah rawat inap, memperpendek durasi perawatan di rumah sakit dan mengurangi angka kematian. Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, jika antibiotik telah diberikan dalam waktu 4 jam pertama setelah terdiagnosa CAP, maka lamanya rawat inap akan menurun dibandingkan pemberian antibiotik lewat dari 4 jam. Perbaikan gejala akan terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah dimulainya terapi untuk sebagian besar pasien CAP. Respon

terapi yang lambat dapat terjadi pada pasien paru yang memiliki penyakit paru seperti asma sedang hingga berat, PPOK, atau emfisema. Apabila pasien tidak memiliki penyakit paru, tetapi responnya tetap lambat, maka pertimbangkan adanya infeksi atau penyebab non infeksi lainnya (Dipiro dkk., 2015).

Kesimpulan

Evaluasi pengunaan antibiotik pada pasien Community-Acquired Pneumonia (CAP) rawat inap di RS “X”,

Jakarta tahun 2016 berdasarkan toolkit yang digunakan dari 96 sampel dihasilkan tepat dalam pemilihan jenis antibiotik sebesar 86,46%, tepat dosis sebesar 91,67%, dan tepat lama pemberian antibiotik sebesar 73,96%.

Ucapan Terimakasih

Tim dokter paru, Bina Fungsi, Instalasi Ruang Parkit, Rekam Medik dan Instalasi Farmasi RS “X” Jakarta.

Daftar Pustaka

Adien. 2015. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSUD Sukoharjo tahun 2014. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

(11)

74 America Hospital Formulary Services.

2011. AHFS Drug Information

Essential. United States:

American Society of Health-System Pharmacists Inc.

Pahriyani, A., Khotimah, N., dan Bakar, L. 2015. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien community acquired pneumonia (CAP) di RSUD Budhi Asih Jakarta Timur. Farmasains, 2(6):259-263.

Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Wells, B.G. 2014. A Pathophysiologic

Approach. Ninth Edition. United

States: McGraw-Hill Education.

Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Wells, B.G. 2015. Pharmacotherapy

Handbook. Edisi 9. United States:

McGraw-Hill Education.

Johns Hopkins. 2015. Antibiotic

Guidelines 2015-2016,

Treatment Recommendations

For Adult Inpatients. United

States: Johns Hopkins.

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L. 2009. Drug

Information Handbook. 17th

Edition. United States: Lexi-Comp Inc.

Kuluri, L.C.N., Fatimawali, dan Bodhi, W. 2015. Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien lansia dengan pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2013-Juni 2014.

Pharmacon, 4(3):164-175.

Chesnutt, M.S. Prendergast, T.J. 2016. Pulmonary disorders. In Current

Medical Diagnosis & Treatment 2016, eds Papadakis, M.A.,

McPhee, S.J., Rabow, M.W. USA: McGraw-Hill Education.

Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi

Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Edisi 1. Jakarta: Pustaka

Obor Populer.

Nugroho, F., Utami, I.P., Yuniastuti, I. 2011. Evaluasi penggunaan antibiotik pada penyakit pneumonia di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga.

Pharmacy, 08(01):141-153.

PDPI. 2014. Pneumonia Komuniti:

Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: PDPI.

WHO. 2014. Pneumonia.

http://www.who.int/mediacentr e/factsheets/fs331/en. Diakses pada tanggal 5 Mei 2016.

Widjojo, P. dan Khairuddin. 2009. Kajian rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus pneumonia yang dirawat pada bangsal penyakit dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008.

Skripsi. Universitas Diponegoro.

www.rumkitpolrisukanto.com. Diakses pada tanggal 5 Mei 2016.

Gambar

Tabel 2. Distribusi pasien CAP berdasarkan usia
Tabel 3. Ketepatan pemilihan antibiotik pada pasien CAP non ICU  Penilaian Ketepatan
Tabel 4. Ketepatan dosis antibiotik pada pasien CAP rawat inap non ICU
Tabel 5. Ketepatan lama pemberian antibiotik pada pasien CAP rawat inap nonICU  Penilaian Ketepatan

Referensi

Dokumen terkait

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaktepatan hasil kadar air susu bubuk yang kami dapatkan yaitu salah satunya keadaan oven yang kurang baik (tidak stabil), hal ini

Metode yang digunakan dalam membangun sistem pendukung keputusan pemilihan makanan bayi 5 tahun adalah Multy Objective Optimitazion On The Basis Of Ratio Analysis

Untuk isolasi secara mekanik, ovarium dicuci dengan medium isolasi (PBS + 1% FCS + 50 µg/ml gentamycin) sebanyak 3 kali, kemudian dicuci kembali dalam medium isolasi sebanyak 3

Menghitung Kembali Mencatat KPF Bag 2 ke dalam DHPF KPF DHPF 4 Y N Prosedur Kompilasi 1 KPF Melakukan perhitungan fisik persediaan Mengisi KPF Bag 3 dan menyobek KPF bag 3

Dewan Komisaris telah menelaah Laporan Keuangan Perseroan untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2014 dan menyetujui laporan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik

Sanki düş görmediğim konusunda beni ikna etmek istercesine, yeniden huzursuz ve rahatsız bir uykuya dalmadan önce, uzun bir süre beklediğimi anımsıyorum,- o

Alat bantu ini sangat bermanfaaat dalam menilai kinerja perusahaan yang ditunjukkan dengan angka–angka, dimana fokus penilaian yang digunakan untuk mengukur laba ekonomi dalam

Downcomer di desain untuk menyediakan kapasitas penanganan cairan yang cukup untuk kolom distilasi dan pada waktu yang sama untuk memenuhi luas minimum dari area