• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan paradigma pengelolaan hutan di dunia,yang meliputi paradigma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perkembangan paradigma pengelolaan hutan di dunia,yang meliputi paradigma"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

 

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dinamika pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia sejalan dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan di dunia,yang meliputi paradigma penambangan kayu (timber extraction), pengelolaan hutan tanaman (timber management), dan kehutanan sosial (sosial forestry). Paradigma penambangan kayu (timber extraction) berlangsung selama 1.000 tahun untuk hutan alam jati di Jawa (tahun 750-1850) dan yang luar biasa cepatnya hanya dalam kurun waktu 20

tahun saja di luar pulau Jawa (yaitu efektifnya tahun 1972-1992).1

Pengelolaan hutan dengan menggunakan teknik ilmu kehutanan dan institusi modern (timber management) telah diimplementasikan sejak pertengahan abad ke-19, sejak bertugasnya Tim Mollier pada tahun 1849 yang berhasil dengan baik melaksanakan pembangunan hutan tanaman jati, disusul kemudian keberhasilan percobaan sistem tumpangsari pada tahun 1873-1883. Namun keberhasilan pembangunan hutan jati di Jawa berhenti pada tahun 1942,akibat menyerahnya pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang. meskipun Pemerintah Hindia Belanda telah membuat petunjuk pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman jati pada tahun 1938,namun kenyataan menunjukan pemerintah Indonesia pun tidak mampu mempertahankan warisan tersebut, dimana hutan jati di Jawa terus mengalami kemerosotan yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 yang diikuti dengan penjarahan hutan.

       1

Hasanu Simon,Perencanaan Pembangunan Sumber Daya HutanJilid I Timber Management Diktat Mata Kuliah Perencanaan Hutan Lanjut (Yogyakarta : 2007) 

(2)

Untuk ekploitasi hutan alam di luar Jawa nampaknya sejak awal pemerintah Hindia Belanda sangat berhati hati, karena menyadari bahwa hutan alam di luar Jawa memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan di Jawa baik jenis kayu, kondisi alam, aksesibilitas, maupun kondisi sosial budayanya. Untuk melakukan penebangan yang lebih besar dilakukan pengumpulan hukum adat tiap suku yang akan dijadikan bahan untuk mengatur hak ulayat agar tidak terjadi gejolak sosial bila penebangan hutan alam secara besar-besaran benar-benar akan dilaksanakan. Selain itu pemerintah Hindia Belanda juga membuat peta-peta

tentang batas kawasan hutan (register hutan).2

Sampai dengan tahun 1960-an penebangan kayu di luar pulau Jawa masih dilakukan secara tradisional, penebangan kayu secara tradisional di

Sumatera dikenal dengan istilah sistem panglong3 sedangkan di Kalimantan

disebut banjir cap4. Penebangan kayu di luar Jawakhususnya di hutan produksi

meningkat tajam setelah pemerintah orde baru membuka keran modal asing untuk terlibat dalam penebangan kayu di hutan alam di luar pulau Jawa, melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ditambah lagi adanya Undang Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.Hanya butuh persiapan 5 tahun (1967-1972) untuk memulai penebangan kayu di hutan alam di luar Jawa secara besar-besaran yang dilakukan oleh para pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH). Sementara itu jumlah penduduk di lokasi penebangan kayu juga mengalami peningkatan yang cukup tajam, akibat       

2

Hasanu Simon, Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan Jilid I Timber Management Diktat Mata Kuliah Perencanaan Hutan Lanjut (Yogyakarta : 2007)

3

Dikenal dengan sistem panglongkarena penebangan kayu pada umumnya dijual kepada perusahaan-perusahaan Cina yang memiliki perusahaan penggergajian kayu, penggergajian kayu milik cina inilah yang dinamakan panglong.

4

(3)

  masuknya penduduk dari luar yang mencari kerja dan tingkat kematian bayi yang menurun.

Tidak lama setelah pemegang HPH beroperasi,kerusakan hutan terjadi dengan cepat karena banyak areal bekas tebangan yang kemudian dijadikan ladang oleh penduduk lokal, dan terutama pendatang. Akibatnya pada tahun 1990 hutan alam yang luasnya tidak kurang dari 64 juta hektar tersebut dinyatakan

dalam keadaan rusak berat.5

Diluar pengurusan hutan oleh HPH, diera orde baru struktur pengurusan hutan di daerah selain terdapat Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di tiap propinsi juga terdapat Dinas Kehutanan Provinsi di tingkat Provinsi dan Cabang Dinas Kehutanan di tingkat Kabupaten yang juga berfungsi sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Struktur Cabang Dinas Kehutanan hampir sama dengan struktur di perhutani. Dibawah Cabang Dinas Kehutanan (KPH) dibentuk BKPH (Bagian KPH) dan dibawahnya lagi terdapat organisasi RPH (Resort Polisi Hutan). Meskipun CDK/KPH seperti ini merupakan organisasi pelaksana tingkat lapangan namun lebih banyak melaksanakan fungsi administratif, sehingga ketika terjadi penjarahan hutan secara besar-besaran tidak banyak yang dapat diperbuat untuk menyelamatkan hutan.

Corak pemerintahan orde baru yang sentralistik, telah menimbulkan kesenjangan sosial yang lebar antara HPH dengan masyarakat, antara pusat dan daerah.Pemegang HPH sebagian besar adalah pengusaha-pengusaha yang dekat dengan rezim orde baru, sedangkan pemerintah daerah tidak lain adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat (sentralisasi) sehingga masyarakat selalu       

5

Hasanu Simon, Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan Jilid I Timber Management (Yogyakarta : 2007)

(4)

menjadi pihak yang termarjinalkan dan seringkali pemecahan konflik dengan masyarakat ditingkattapak dilakukan dengan cara militeristik. Puncaknya pada tahun 1998 seiring dengan bergulirnya gerakan reformasi terjadi penjarahan hutan secara besar-besaran di Indonesia. Banyak HPH yang hengkang dari wilayah konsesinya sehingga masyarakat dengan mudah melakukan penebangan hutan dan memanfaatkan wilayah yang sudah ditinggalkan secara lebih intensif.

Reformasi 1998 telah mendorongperubahan paradigma pembangunan nasional dari sentralistisasi menjadi desentralisasi.Implementasi desentralisasi pemerintahan ditandai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.Di sektor Kehutanan pun semangat reformasi direspon dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 41tahun 1999 tentang Kehutanan dimana ruh dari Undang-Undang tersebut sudah mulai banyak di pengaruhi oleh paradigma kehutanan sosial. Implementasi kedua Undang-Undang tersebut khususnya di sektor kehutanan mengalami hambatan terutama akibat perbedaan interpretasi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam melihatdesentralisasi di sektor kehutanan.

Pengaruh penting desentralisasi lainnya dalam struktur pengurusan hutan di Indonesia adalah dihapusnya Kantor wilayah Departemen Kehutanan dan Cabang Dinas Kehutanan. Sebagai penggantinya ditiap provinsi didirikan Dinas Kehutanan Provinsi dan di tingkat kabupaten didirikan Dinas Kehutanan Kabupaten,dibanyak daerah dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten di gabung dengan dinas lain. Hubungan antar Dinas Kehutanan Kabupaten, Dinas Kehutanan Provinsi, dan Kementerian Kehutanan pun mengalami perubahan, diera otonomi daerah Dinas Kehutanan Provinsi maupun Dinas Kehutanan

(5)

  Kabupaten/Kotamerupakan pembantu kepala daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kehutanan.

Pada tahun 2004 pemerintah menetapkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian di jabarkan dengan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan PemerintahanAntara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, DanPemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.Berdasarkan PP 38 tahun 2007 ditetapkan bahwa urusan kehutanan merupakan urusan pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang secara nyataada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraanmasyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensiunggulan daerah yang bersangkutan. Urusan kehutanan merupakan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antartingkatan dan/atau susunan pemerintahan dengan mengacu pada Norma, Standar dan Kriteria yang disusun oleh Menteri

Kehutanan6.

Salah satu misi pembangunan kehutanan dalam Rencana Jangka Panjang

Kehutanan 2006-20257yaitu mewujudkan kelembagaan sektor kehutanan yang

mantap, untuk mendukung harmonisasi alokasi fungsi sosial, lingkungan dan ekonomi sumberdaya hutan secara seimbang dan berkelanjutan dalam kehidupan masa kini dan masa datang. Kelembagaan kehutanan pada tingkat lapangan dimulai dengan ditetapkannya kesatuan pengelolaan sumber daya alam hutan yang efisien dan ekonomis serta luasan yang dapat dikelola dengan baik.

Kewenangan pengelolaan harus terdesentralisir tetapi terintegrasi secara       

6

PP 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

7

Tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.27/Menhut-II/2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006-2025. 

(6)

nasional dengan tetap mengutamakan prinsip kelestarian sumber daya alam hutan. Sasaran misi tersebut diantaranya melembaganya peran, hak, tanggung jawab, tata hubungan antar institusi pengelola hutan dan pengurusan hutan serta masyarakat secara sinergis, yang didukung oleh peraturan perundangan yang kondusif dan menjamin harmonisasi kepentingan semua pihak yang berkepentingan dengan sumber daya alam hutan.

Implementasi misi tersebut diantaranya adalah pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagaimana yang tertuang dalam UU No 41 tahun 1999 yang dijabarkan pada PP Nomor 6 Tahun 2007 Jo. PP Nomor 3 Tahun 2008.Pembangunan KPH ditujukan untuk menjawab kebutuhan akan perlunya unit pengelolaan hutan di tingkat tapak dan organisasi pengelolanya untuk mencapai kelestarian.Dengan adanya KPH diharapkan mampu menjadi pengeloladitingkat tapak untuk mencapai terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari (Sustainable Forest Management)

Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai,sosial, budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Unit pengelolaan hutan tersebut terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Koservasi (KPHK) pada hutan konservasi, Kesatuan

(7)

  Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) pada hutan lindung dan Kesatuan

Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) pada hutan produksi8.

Pembangunan KPHP menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan kehutanan diIndonesia,sebab setelah adanya otonomi daerah kewenangan bidang kehutanan khususnya pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi berada di bawah Dinas Kehutanan daerah.Dengan adanya KPHPmaka ada perubahan struktur pengelolaan dan kewenangan terutama dalam tataran teknis. Diawal munculnya konsep KPHP yang merupakan ide pemerintah, memunculkan banyak perdebatan berbagai kalangan tentang bagaimana hubungannya dengan lembaga lain yang sudah ada. Sebagian pihak menuding bahwa KPHP merupakan upaya pemerintah untuk memperkuat pengaruhnya terhadap pengurusan hutan produksi diera otonomi daerah sekarang ini.

Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun organisai KPHP menemui landasannya dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah.Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa KPHL dan KPHP merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).Ketentuan tersebut tidak serta merta langsung diterima oleh daerah, karena menyadarikonsekuensi daristatus SKPDselain biaya yang harus ditanggung utuk biaya operasionanya tinggi, juga karena selama ini sudah ada SKPD yang menangani urusan kehutanan. Pada kenyatannya sebagian daerah masih menghendakiagar KPHL atau KPHPdalam bentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).Jika ditelaah lebih lanjut hal tersebutmerupakandampak dari       

8

PP No. 6 tahun 2007 Jo. PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

(8)

adanya desentralisasi yang belum mapan, adanya tarik menarik kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah.

Salah satu KPH yang sudah dibentuk adalah KPHP Lakitan, yang terletak di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.KPHP Lakitan ditetapkan sebagai KPHP model berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.790/ Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 seluas 76.776 ha. Pembangunan KPH model tidak dimaksudkan untuk mencari bentuk KPH ideal yang akan diimplementasikan secara masal, tetapi merupakan bentuk awal organisasi KPH sesuai dengan tipologi wilayah setempat, yang secara bertahap didorong untuk berkembang sesuai dengan siklus pertumbuhan organisasi.Dengan demikian KPH model sebagai strategi pembentukan kelembagaan KPH, ditempatkan sebagai bentuk (wujud) awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diindikasikan antara lain oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja (antara lain personel organisasi KPH), investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam system pengelolaan hutan secara lestari dan efisien.

Wilayah KPHP Lakitan terdiri atas 4 kawasan hutan yang terpisah yaitu hutanproduksi Lakitan UtaraI, hutan produksi Lakitan Utara II, hutan produksi Lakitan Selatan dan hutan produksi Kungku.Secara umum kondisi topografi wilayah KPHP Lakitan adalah datar, dikelilingi oleh pemukiman transmigrasi dan perusahaan perkebunan, terdapat banyak tanaman masyarakat didalam kawasan hutan berupa perkebunan yang dilakukan tidak secara intensif dengan jenis tanaman bervariasi/campuran.

(9)

  Bentuk kelembagaan organisasi pengelola KPHP Lakitan adalah Unit

Pelaksana Teknis Dinas (UPTD),9ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Musi

Rawas Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas. Struktur organisasi UPTD KPHP Lakitan terdiri dari Kepala KPH, Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan Kelompok Jabatan fungsional,Kepala KPHP Lakitan berada dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas Kehutanan. Sama halnya dengan daerah lain, perdebatan status KPHP Lakitan tetap sebagai UPTD atau ditingkatkan menjadi SKPD masih menjadi perdebatan di pemda Musi Rawas, dan masih menjadi bahan kajian pihak terkait.

Berdasarkan tugas dan fungsi KPHP Lakitan sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Bupati Musi Rawas No. 27 tahun 2010, dan kondisi wilayah KPHP yang sudah banyak dikuasai oleh masyarakat atau pemegang ijin menunjukan bahwa pembangunan KPHP Lakitan tidak dapat dilakukan secara sepihak,namun perlu melibatkan berbagaipihak (multistakeholder).Oleh karena itu perlu dibangun kesepemahaman antar stakeholder sehingga terwujud sinergisitas untuk mendukung pembangunan KPHP Lakitan.

Hubungan antara KPHP Lakitan dengan para stakeholderkhususnya lembaga seringkali terhambat oleh adanya ego instansi, sehinggakemampuan pengelola KPHP Lakitan dalam berinteraksi dengan para stakeholder menjadi salah satu faktor penting dalam mewujudkan hubungan yang sinergis.Oleh karenanya kajian tentang pembangunan KPHP tidak dapat dilepaskan dari kajian tentang stakeholder,membangun networking antar stakeholder yang dibingkai dalam tata kelola yang baik (good governance). Dengan tata kelola yang baik       

9

UPTD atau Unit Pelaksana Teknis Dinas adalah unsur pelaksana tugas teknis pada dinas dan badan (PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

(10)

maka sinergisitas antar stakeholder diharapkan dapat terjaga sehingga tujuan pembangunan KPHP merupakan suatu hal yang niscaya untuk diwujudkan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis melakukan kajian tentang sejauhmana implementasi pembangunan KPHP Lakitan dan hubungan antar stakeholderterutama lembaga dalam pembangunan KPHP Lakitan.Bagaimana strategi membangun hubungan yang sinergis antara KPHP Lakitan dengan lembaga lain, untuk mendukung terwujudnya tujuan pembangunan KPHP Lakitan.

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Menurut PP No. 6 tahun 2007 Jo. PP No. 3 Tahun 2008, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) didefinisikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. KPH berperan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan ditingkat tapak (lapangan) yang diharapkan dapat menjamin bahwa pengelolaan hutan dilakukan secara lestari sesuai dengan fungsinya.

Dalam satu wilayah KPH dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan dan penamaan KPH ditentukan oleh fungsi hutan yang luasnya dominan, yaitu KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi), KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) dan KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi). Seluruh kawasan hutan di Indonesia akan dibagi habis dalam wilayah KPH. Pengelolaan KPHK dilakukan oleh pemerintah sedangkan KPHP dan KPHL oleh pemerintah daerah.

Salah satu KPH model yang sedang dikembangkan saat ini adalah KPHP Lakitan yang terletak di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.

(11)

  KPHP Lakitan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No. SK.790/ Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 seluas 76.776 ha dan penetapan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) KPHP Lakitan melalui Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 27 tahun 2010 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2010 organisasi KPHL dan KPHP merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah.Proses transformasi UPTD menjadi SKPD sebagaimana yang dikehendaki oleh pemerintah berjalan dengan tidak mudah, pada kenyatannya pemerintah daerah Musi Rawas harus melakukan pertimbangan dan kajian panjang apakah akan mengakomodir peraturan tersebut atau sebaliknya. Meskipun KPHP Lakitan telah ditetapkan beberapa tahun yang lalu namun masih banyak kendala yang dihadapi, diantaranya belum sinerginya peran serta antar stakeholderkhususnya lembaga. Dalam hubungannya dengan lembaga pemerintahanbaik pemerintah maupunpemerintah daerah salah satu kendala yang dihadapi adalah masih kuatnya ego instansi masing-masing lembaga, demikian pula dalam hubungannya dengan lembaga non pemerintah baik swasta maupun masyarakatyang belum seutuhnya terbangun.

Berdasarkan uraiandiatas, penulis melakukan kajian tentang sejauhmana implementasi pembangunan KPHP Lakitan serta tata kelola hubungan antar stakeholder khususnya lembaga dalam pembangunan KPHP Lakitan.Rumusanmasalahpenelitian ini diajukan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

(12)

2. Siapa sajastakeholder dalam pembangunan KPHP Lakitan terutama lembaga, bagaimana wewenang, peran dan kepentingan tiap stakeholder serta bagaimana implementasi tata kelola hubungan antar stakeholderdalam pembangunan KPHP Lakitan?

3. Bagaimana alternatif desaintata kelola hubungan antar lembaga dalam pembangunan KPHP Lakitan?

4. Bagaimana strategi membangun hubungan yang sinergis antara KPHP Lakitan dengan lembaga lain.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan paparan perumusan masalah diatas tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui implementasi pembangunan KPHP Lakitan.

2. Mengetahui wewenang,peran dan kepentingann stakeholderkhususnya lembaga dalam pembangunan KPHP Lakitan serta mengetahui implementasi tata kelola hubungan antar stakeholderdalam pembangunan KPHP Lakitan.

3. Merumuskan alternatif desain tata kelola hubungan antar lembaga dalam pembangunan KPHP Lakitan.

4. Merumuskan strategi membangun hubungan yang sinergis antara KPHP Lakitan dengan lembaga lain

1.4Manfaat Penelitian

(13)

  1. Memberikan kontribusi terhadap khasanah ilmu pengetahuan, terutama dalam

pengelolaan kawasan hutan produksi dengan skema Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).

2. Bagi pengelola KPH dan stakeholder, dapat memberikan kontribusi dalam membangun hubungan antara pengelola KPH dengan stakeholder khususnya lembaga, sekaligus sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dengan tata kelola hubungan antar lembaga.

3. Bagi penulis penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan intelektualitas dalam penelitian dan penulisan ilmiah, meningkatkan pemahaman tentang konsep, teori dan praktek pembangunan KPHP sesuai dengan tugas penulis di instansi kerja saat ini.

Referensi

Dokumen terkait

Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi yang berbeda dengan kegiatan perekonomian lainnya, dimana tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan berapa banyak sumberdaya

Hasil dari proses likuifikasi yaitu berupa maltosa dan dekstrin akan dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim beta amilase pada proses sakarifikasi menghasilkan glukosa

Dari analisis regresi linear berganda diperoleh model regresi linear berganda Log Ó -21,194 + 4,672LogX1 + 0,284LogX 2 + 3,237LogX 3 yang telah diuji asumsi klasik

Dari pemaparan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan terhadap jaminan sosial yang telah diundangkan dalam Undang- undang BPJS tersebut dengan menuangkannya

Since the cost of setting up and running an Internet Business is so low, and you can automate their operations with software, hardware and ingenious business concepts, you can set

Berdasarkan Penetapan Pemenang Seleksi Sederhana Nomor: 100/149-JK/PNK-II/III/2014, kami Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pokja Non Konstruksi II Kabupaten Sukamara Tahun

Asli atau Legalisir Kartu Tanda Penduduk (KTP) Direksi/Penanggung Jawab/Pengurus Perusahaan; Dengan hormat, disampaikan kepada saudara agar dapat menghadiri acara Pembuktian

Pembangunan Sistem Pengurusan Makmal yang meliputi tempahan dan inventori ini adalah penting sebagai satu cara untuk menjadikan pengurusan makmal sains sekolah menjadi lebih