• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Religiusitas

II.A.1. Definisi religiusitas

Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, dan kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan atau membaca. Kemudian

religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a= tidak ; gam = pergi,

mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.

Nasution (1986) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.

Menurut Uyun (1998) agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas. Dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Hal ini perlu dibedakan dari agama, karena konotasi agama biasanya mengacu pada

(2)

kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman sedangkan religiusitas lebih pada aspek ‘lubuk hati’ dan personalisasi dari kelembagaan tersebut (Shadily, 1989).

Mangunwijaya (1982) juga membedakan istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban sedangkan religiusitas mengacu pada aspek religi yang dihayati oleh individu di dalam hati.

Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang.

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang mengarahkan perilaku seseorang sesuai dengan ajaran yang dianutnya.

II.A.2. Fungsi agama

Menurut Jalaluddin (2004) agama memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut :

a. Fungsi edukatif

Ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Dalam hal ini bersifat menyuruh dan melarang agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik.

(3)

b. Fungsi penyelamat

Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat.

c. Fungsi perdamaian

Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama.

d. Fungsi pengawasan sosial

Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok.

e. Fungsi pemupuk rasa solidaritas

Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam kesatuan ; iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.

f. Fungsi transformatif

Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluk kadangkala mampu merubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.

(4)

g. Fungsi kreatif

Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.

h. Fungsi sublimatif

Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi agama bagi manusia yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamat, fungsi perdamaian, fungsi pengawasan sosial, fungsi pemupuk solidaritas, fungsi transformatif, fungsi kreatif dan fungsi sublimatif.

II.A.3. Dimensi-dimensi religiusitas

Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan) yaitu :

a. Dimensi keyakinan / ideologik

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui

(5)

kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka.

b. Dimensi praktik agama / peribadatan

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, ketaan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu :

1. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.

2. Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.

c. Dimensi pengalaman

Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.

(6)

d. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

e. Dimensi Konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya.

Perspektif Islam tentang religiusitas dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah : (208), yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara

keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh nyata bagimu” (Albaqarah :208).

Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Isalam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus didasarkan pada Islam.

Esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang mengaskan Allah Yang Maha Esa, pencipta yang mutlak dan transeden, penguasa

segala yang ada. Searah dengan pandangan Islam, Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005) menilai bahwa kepercayaan keagamaan adalah

(7)

Suroso (2005) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu mempunyai kesesuaian dengan Islam. Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula.

Menurut Suroso (2005) dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan

akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi

pengamalan dengan akhlak, dimensi pengetahuan dengan Ilmu dan dimensi pengalaman dengan ihsan (penghayatan).

Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam keberislaman, isi dimensi ini menyangkut keyakinan tentang allah, para malaikat, Nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat,puasa, zakat, haji, membaca Alquran, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid pada bulan puasa dan sebagainya.

Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana

(8)

individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia lainnya. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahtrakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat,tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.

Dimensi pengetahuan atau Ilmu menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, terutama mengenai ajaran pokok dari agamanya sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini mneyangkut tentang pengetahuan tentang isi Alquran, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Iman dan rukun Islam), hukum-hukum Islam, Sejarah Islam dan sebagainya.

Dimensi pengalaman atau penghayatan menunjuk pada seberapa jauh tingkat Muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat dan doa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat alquran, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.

(9)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi religiusitas dalam Islam yaitu dimensi keyakinan atau akidah

Islam, dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah, dimensi pengamalan

atau akhlak, dimensi pengetahuan atau Ilmu dan dimensi pengalaman atau penghayatan.

II.B. Penyesuaian Perkawinan II.B.1. Defenisi perkawinan

Perkawinan meskipun seringkali dibedakan dengan kata pernikahan,

sebenarnya kedua kata ini memiliki makna yang sama (dalam ”pernikahan”). Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 menyatakan perkawinan

adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).

Perkawinan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat seksual dan menjadi lebih matang (Papalia & Olds, 1998).

Herning (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita yang kurang lebih permanen ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan, keterikatan ini bersifat persahabatan, ditandai oleh perasaan bersatu dan saling memiliki.

Menurut Duval dan Miller (dalam Munandar, 2001) perkawinan adalah suatu hubungan yang diakui secara sosial antar pria dan wanita, yang mensahkan

(10)

hubungan seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan. Pria dan wanita ini bertanggung jawab atas pengasuhan anak mereka dan pasangan ini juga selama menikah memantapkan pembagian kerja antar mereka.

Sedangkan menurut Azar (dalam Walgito, 1984) perkawinan atau nikah artinya melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah. Perkawinan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan untuk memenuhi kebutuhan afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan oleh pasangannya.

Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai sepasang suami dan istri untuk membentuk keluarga yang sah, bahagia dan kekal guna memenuhi kebutuhan biologis, afeksional dan adanya pembagian peran diantara keduanya.

II.B.2. Perkawinan dalam Islam

Islam adalah agama yang universal. Di dalam Islam juga membahas mengenai perkawinan. Dalam hal perkawinan, Islam memberikan perhatian yang cukup besar. Tidak sedikit Firman Allah yang membicarakan masalah perkawinan, begitu juga dalam hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW.

(11)

Selain itu para sahabat nabi, Imam-imam, tokoh-tokoh besar dalam Islam juga banyak membahas mengenai perkawinan (dalam ”nasihat perkawinan”).

Akbar (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa perkawinan disyaratkan oleh Islam agar manusia membentuk keluarga yang hidup dalam rumah tangga dan mendapatkan sakinah dalam hidupnya sampai akhir hayatnya yakni ketenangan dan kebahagiaan yang kekal. Keluarga yang sakinah mawaddah

wa rahmah atau keluarga yang tentram, penuh cinta kasih, dan mendapatkan

rahmat Allah adalah wujud keluarga yang memang diamanatkan oleh Allah tentunya menjadi dambaan setiap muslim ( Halim, 2005).

Perkawinan dalam Islam tidak semata-mata hanya untuk memuaskan hasrat biologis masing-masing atau juga hanya untuk mendapatkan keturunan semata-mata. Islam menginginkan agar pemeluknya melakukan perkawinan hingga mendapatkan keturunan yang sah serta sehat jasmani, rohani dan sosial sehingga hal itu akan mempererat serta membangun hari depan individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik (Abdullah, 2004).

Syuqoh (dalam Wahyuningsih, 2002) menyatakan dalam hukum Islam, ketika seseorang telah melakukan perkawinan maka akan terikat dengan tanggung jawab untuk menunaikan kewajibannya agar perkawinannya bahagia. Untuk menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut suami-istri perlu bekerja sama.

Hukum Islam menjelaskan bahwa jika akad nikah telah selesai diucapkan, maka akad tersebut akan menimbulkan kewajiban dan hak suami-istri (Sabiq dalam Wahyuningsih, 2002). Kewajiban merupakan konsekuensi logis dari berubahnya peran seseorang dari seorang bujangan menjadi seorang suami atau

(12)

seorang istri. Dengan dilaksanakannya kewajiban, maka hak pasangannya akan terpenuhi. Jika masing-masing telah mendapatkan haknya maka tercipta hubungan yang saling menguntungkan (Wahyuningsih, 2002). Dalam menjalankan peran sebagai suami dan istri tersebut haruslah sesuai dengan aturan dan syariat yang telah jelas ditetapkan oleh Allah SWT beserta Rasulnya, Muhammad SAW (Abdullah, 2004).

II.B. 3. Tahapan perkawinan

Dalam setiap perkawinan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah

hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers dalam Sigelman &Rider, 2003).

Secara umum, Anderson, Russel & Schumn (dalam Hoyer &Roodin, 2003) membagi tahapan perkawinan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak dan setelah keluarnya anak dari rumah. Sementara Cole (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahapan perkawinan menjadi awal perkawinan, kelahiran dan mengasuh anak dan emptynest sampai usia tua.

1. Tahap I : Married Couple

Berdasarkan Family Life Cycle, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari pasangan menikah dan berakhir ketika anak pertama lahir. Menurut Hurlock (1999) selama tahun pertama dan kedua perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian, antara lain :

(13)

a. Penyesuaian dengan pasangan

Merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan-kebiasaan. Dalam penyesuaian perkawinan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berrhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.

b. Penyesuaian seksual

Masalah ini merupakan saah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakan tidak dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami (Rubin, dalam Hurlock 1999).

c. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan perkawinannya. Suami dan istri harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi awal percekcokan antara suami dan istri.

(14)

d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Melalui perkawinan setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasngan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek/ kakek yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda bahkan sering sekali sangat berbeda, dari segi pendidikan, budaya dan latar belakang sosialnya. Suami istri harus mempelajari dan menyesuaiakan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka. 2. Tahap II : Mengasuh anak (Chilrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall dalam Lefrancois, 1993).

Seiring bertambahnya usia anak maka orang tua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagai mana dikatakan oleh Crnic &Booth (dalam Sigelman &Rider,2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stress orang tua (O’Brien dalam Sigelman &Rider ,2003).

3. Tahap III : Emptynest

Istilah Emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah. Tahap ini dimulai dengan

launching anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun

(15)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan perkawinan yaitu : tahap I disebut Married Couple, tahap II yaitu Mengasuh anak (Chilrearing) dan tahap III yaitu tahap Emptynest.

II.B.4. Definisi penyesuaian perkawinan

Menurut Schneider (1964) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan adalah suatu seni dalam hidup yang terbingkai dalam kerangka tanggung jawab dan harapan yang merupakan hal-hal yang mendasar dalam perkawinan.

Sedangkan Duval dan Miller (1985) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri. Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam hubungan suami istri.

Laswell dan Laswell (1987) mengatakan konsep dari penyesuaian perkawinan adalah dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan

kebutuhan, keinginan dan harapan. Laswell dan Laswell (dalam wahyuningsih, 2002) juga menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan

adalah sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah sehingga setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian perkawinan.

Sebagai sebuah proses, penyesuaian perkawinan dilihat oleh Burgess dan Cottrell sebagai suatu proses akomodasi dan asimilasi. Penyesuaian perkawinan merupakan proses akomodasi karena dalam penyesuaian perkawinan

(16)

masing-masing pasangan mengubah dirinya untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya sedangkan poses asimilasi berarti mengubah pasangannya agar sesuai dengan dirinya (Wahyuningsih, 2002).

Menurut Hoult (dalam Wahyuningsih, 2002) penyesuaian perkawinan merupakan perubahan sikap dan tingkah laku pada masing-masing pasangan suami istri yang menguntungkan untuk memenuhi harapan atau tujuan perkawinan.

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan proses membiasakan diri (beradaptasi) dengan situasi baru sebagai suami istri untuk memenuhi harapan atau tujuan perkawinan dan memecahkan konflik yang muncul dalam perkawinan.

II.B.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan

Schneiders (1964) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Penyesuaian sebelum menikah

Pada faktor ini individu yang akan menikah terlebih dahulu harus mencapai kematangan sosial, kematangan emosional dan kematangan seksual. Sehingga bila gagal mencapai kematangan tersebut penyesuaian perkawinan akan sulit dilakukan.

b. Sikap terhadap perkawinan

Jika sikap pasangan terhadap perkawinan adalah sebuah ikatan yang tidak dapat dipisahkan, maka mereka akan bertanggung jawab untuk menjaga

(17)

ikatan perkawinan dan melakukan penyesuaian perkawinan yang lebih baik.

c. Motivasi yang mendasari perkawinan

Banyak alasan seseorang itu menikah. Jika motivasi menikah hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis maka penyesuaian perkawinan tidak akan terjadi. Sebaliknya jika motivasi perkawinan karena perasaan cinta, keinginan memiliki keluarga dan anak maka penyesuaian perkawinan akan terjadi karena dilandasi adanya tanggung jawab.

d. Pemilihan pasangan

Dalam pemilihan pasangan, kita akan memilih seseorang yang memiliki perhatian kepada keluarganya, memiliki kematangan emosional dan melihat kesadarannya akan tanggung jawab dalam perkawinan.

e. Karakteristik demografi yang dimiliki suami atau istri

Karakteristik yang memiliki hubungan yang signifikan dengan penyesuaian perkawinan antara lain adalah pendapatan keluarga, pekerjaan, urutan kelahiran, jumlah saudara yang berlainan jenis kelamin, popularitas semasa remaja, perbedaan umur antara suami dan istri, usia perkawinan, agama dan tingkat pendidikan suami/ istri.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan yaitu penyesuaian sebelum menikah, sikap terhadap perkawinan, motivasi yang mendasari perkawinan, pemilihan pasangan dan Karakteristik demografi yang dimiliki suami atau istri.

(18)

II.B.6. Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan

Menurut Hurlock (1999) beberapa kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan, yaitu :

a. Kebahagiaan suami istri

Suami istri yang bahagia yang memperoleh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan mantap satu dengan lainnya. Mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua.

b. Hubungan yang baik antara anak dan orang tua

Hubungan yang baik antara anak dengan orang tuanya mencereminkan keberhasilan penyesuaian perkawinan terhadap masalah tersebut. Jika hubungan antara anak dengan orang tuanya buruk, maka suasana rumah tangga akan diwarnai oleh perselisihan yang menyebabkan penyesuaian perkawinan menjadi sulit.

c. Penyesuaian yang baik dari anak-anak

apabila anak dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dengan teman-temannya, maka ia akan sangat disenangi oleh teman sebayanya, ia kan berhasil dalam belajar dan merasa bahagia di sekolah. Itu semua merupakan bukti nyata keberhasilan proses penyesuaian kedua orang tuanya terhadap perkawinan dan perannya sebagai orang tua.

(19)

d. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu: adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masing-masing anggota keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang hanya kemungkinan ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian perkawinan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat juga mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang meningkat.

e. Kebersamaan

Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun perkawinan maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas usahanya sendiri.

f. Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan

Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar di samping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas

(20)

usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang istri yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak memadai. Bisa juga dia bekerja untuk membantu pendapatan suaminya demi pemenuhan kebutuhan keluarga.

g. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan

Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan adalah kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.

II.C. Dewasa Dini

II.C.1. Definisi dewasa dini

Menurut Hurlock (1999) dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat-saat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.

Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa dini (young adulthood) adalah mereka yang berusia 20-40 tahun.

(21)

Vaillant (dalam papalia dkk, 1998) membagi tiga masa dewasa dini yaitu masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi sekitar 40 tahun merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dewasa dini merupakan individu yang berusia antara 18-40 tahun yang telah siap menerima peran baru dalam masyarakat.

II.C.2. Tugas-tugas perkembangan masa dewasa dini

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa dini adalah :

1. Mulai bekerja 2. Memilih pasangan

3. Belajar hidup dengan tunangan 4. Mulai membina keluarga 5. Mengasuh anak

6. Mengelola rumah tangga

7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara 8. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

(22)

II. D. Hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim

Masa dewasa dini merupakan periode yang paling banyak mengalami perubahan. Pada masa dewasa dini gaya hidup baru yang paling menonjol adalah di bidang perkawinan dan peran orang tua (Hurlock, 1999). Perkawinan merupakan transisi kehidupan dewasa, yang melibatkan penerimaan peran baru (sebagai suami atau istri) dan penyesuaian sebagai pasangan (Sigelman, 2003). Pergantian peran ini memerlukan penyesuaian. Penyesuaian peran baru ini akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan rumah tangga baik aspek fisik yaitu peran sebagai pengurus rumah tangga, mengasuh anak dan peran tanggung jawab penuh terhadap ekonomi keluarga maupun aspek psikis yaitu kepentingan bagi masing-masing pasangan (Hurlock, 1999).

Dalam kehidupan Perkawinan, masing-masing individu perlu menyesuaikan diri pada pasangannya dan mengubah diri agar sesuai (Munandar, 2001). Hal ini disebut sebagai penyesuaian perkawinan.

Le Masters (dalam Wahyuningsih,2002) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan penyesuaian atau kemampuan beradaptasi dan kemampuan memecahkan problem yang muncul dalam perkawinan.

Penyesuaian perkawinan bukan merupakan hal yang mudah, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah faktor demografi yang dimiliki suami atau istri. Didalam faktor demografi tersebut salah satunya meliputi agama.

(23)

Agama merupakan sistem nilai yang akan mempengaruhi cara berfikir, bersikap, bereaksi serta berperilaku. Dengan demikian agama berperan penting dalam kehidupan manusia (Darajat dalam Jufri, 2004). Agama mengarahkan pada keyakinan akan Tuhan, sikap beramal dan rendah hati, keyakinan akan pengampunan dan doa-doa didalam kehidupan perkawinan dan keyakinan bahwa suami atau istri akan menyediakan dirinya bagi pasangannya serta mensejahterakan anak-anaknya, sehingga agama memiliki peranan dalam kebahagiaan perkawinan (Schneider, 1964).

Dasar dari perkawinan adalah ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tercermin dalam agama yang dianutnya, akan memberikan tuntunan atau bimbingan kepada orang yang memeluknya. Agama akan menuntun ke hal-hal yang baik, sehingga dengan demikian dapat dikemukan bahwa makin kuat seseorang menganut agamanya, maka akan mempunyai sikap yang mengarah ke hal-hal yang baik. Demikian pula

jika hal ini dikaitkan dengan perkawinan, maka agama yang dianut masing-masing akan memberikan tuntunan atau bimbingan bagaimana bertindak

secara baik (Walgito, 1984).

Islam merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Islam adalah agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Begitu juga mengenai perkawinan. Islam memberikan perhatian yang cukup besar mengenai perkawinan. Tidak sedikit Firman Allah yang membicarakan masalah perkawinan, begitu juga dengan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW.

(24)

juga menjadikan rasa kasih sayang di antara kamu. Sungguh dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar-Rum :21).

" Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

“Kawin adalah sunnahku, maka barang siapa yang tidak suka sunahku,

berarti bahwa ia kelak tidak suka padaku”. (Hadist Riwayat Abu Ya’la ). “Barang siapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah, kemudian

dia tidak menikah maka dia bukan termasuk umatku“ (Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi).

“Sejelek-jeleknya kalian adalah yang tidak menikah. Dan sehina-hina

mayat kalian adalah mayat orang yang tidak menikah” (Hadits Riwayat Bukhari).

Berdasarkan beberapa hadis di atas jelaslah bahwa perkawinan itu menjadi pokok pembahasan yang besar di dalam Islam. Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk melakukan perkawinan. Oleh karena itu, di dalam Alquran dan hadis, perkawinan itu sangat ditekankan.

Didalam perkawinan, ketika individu memasuki perkawinan maka akan disertai dengan adanya hak kewajiban dari suami ataupun istri sebagai konsekuensi dari peran baru mereka. Kewajiban merupakan konsekuensi logis dari berubahnya peran seseorang dari bujangan menjadi seorang suami atau seorang istri. Dengan dilaksanakannya kewajiban, maka hak pasangannya akan terpenuhi (Wahyuningsih, 2002).

Seorang suami mempunyai beberapa kewajiban terhadap istrinya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut : mengadakan walimah perkawinan, memberikan nafkah, bersabar hati, berhias, bergaul, bercanda, menghibur, memimpin, membimbing, bekerjasama, mentradisikan pergaulan, yang baik di rumah,

(25)

pertengkaran dan mendidik di waktu terjadinya penyelewengan, cemburu, persetubuhan, berbuat adil ketika terjadi poligami, kelahiran anak dan perceraian (Abdullah, 2004).

Sedangkan seorang istri wajib taat dan memenuhi hak-hak suaminya selama ketaatannya tersebut dalam hal yang bukan maksiat dan tidak menimbulkan bahaya serta yang terutama tidak dalam jalan untuk mendurhakai Allah SWT. Adapun hak-hak suami pada istrinya, yaitu : tidak menolak jika suami menginginkan ‘bersetubuh’, tidak memberikan sesuatu tanpa seijin suami, tidak melakukan Ibadah sunnah jika suami bersamanya, tidak keluar rumah tanpa ijin suaminya, tidak boleh membiarkan orang yang tidak disukai oleh suaminya untuk tidur di tempat mereka (Abdullah, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa agama telah mengatur mengenai kewajiban dan hak dari seorang suami dan istri. Ketika suami dan istri menjalankan kewajibannya masing-masing dan saling mendukung maka akan tercipta keluarga yang bahagia. Hal ini dikarenakan perkawinan yang sukses dan bahagia adalah suami istri yang saling memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan mendukung peran pasangannya (Shalih, 2005).

Agama memberikan pengaruh terhadap individu dalam bentuk sistem nilai, motivasi maupun pedoman hidup (Ahmad, 2007). Dalam agama berisi tentang aturan-aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia serta alam sekitarnya. Dan orang-orang yang religius akan menjalankan aturan-aturan agamanya dengan patuh

(26)

(Astuti, 1999). Hal ini dikarenakan religiusitas mengacu pada aspek religi (agama) yang dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982).

Ketika suami dan istri menjalankan perannya masing-masing sesuai dengan kewajibannya yang telah diatur dalam ajaran agamanya, maka akan menciptakan kebahagiaan antara suami dan istri dimana hal tersebut merupakan salah satu kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan.

Landis dan Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) juga mengemukakan bahwa religiusitas memiliki peranan dalam perkawinan, termasuk dalam penyesuaian perkawinan. Hal ini dikarenakan religiusitas dapat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Kehancuran moral dan kehilangan keyakinan beragama

dan praktiknya sering menjadi awal kekacauan dalam rumah tangga (Schneider, 1964).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika seorang muslim menginternalisasikan ajaran agama Islam dalam kehidupan perkawinannya, dimana hal ini tampak dari sikap dan perilaku masing-masing suami atau istri dalam melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan istri maka akan menciptakan kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya, dimana hal itu mengindikasikan adanya penyesuaian yang baik dalam kehidupan perkawinannya.

II.E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah : ” Ada hubungan positif antara religiusitas

(27)

dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim”. Semakin tinggi religiusitas pada seseorang maka semakin baik penyesuaian perkawinan seseorang atau sebaliknya semakin rendah religiusitas pada seseorang maka semakin buruk penyesuaian perkawinan seseorang.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan penjelasan tersebut maka sektor pertanian adalah salah satu sektor yang cukup penting untuk dikaji peranannya terhadap perekonomian wilayah karena nilai

Pada alat tang- kap jaring insang, berat hasil tangkapan ikan semakin berkurang dengan semakin ting- ginya tingkat trofik sehingga terjadi kecenderungan penurunan berat yang tajam

Alternatif teknologi pengelolaan limbah padat B3 yang dapat direkomendasikan anatara lain dengan pengadaaan bahan yang sesuai kebutuhan; melaksanakan house keeping yang lebih

Tes IQ dalam penentuan dan pertimbangan pemilihan jurusan pada sekolah biasanya dilakukan secara manual dan membutuhkan waktu yang cukup banyak untuk mengetahui hasil IQ

Titrasi ini digunakan apabila reaksi antara kation dengan EDTAlambat atau apabila indicator yang sesuai tidak ada. EDTA berlebih ditambahkan berlebih dan yang bersisa dititrasi

Langkah-langkah penelitian yang digunakan adalah: Pengumpulan data yang berkaitan dengan pengaruh pelayanan customer service dan data tersebut di dapat dari kuesioner

Oleh karena itu para pelaku pasar swalayan jangan hanya mementingkan persaingan harga dan tidak memperhatikan bahwa pelayanan merupakan sesuatu hal yang harus diperhatikan pada saat

Adinawan dan Sugijono, Matematika untuk SMP Kelas VIII, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm.. Beberapa penelitian relevan yang dijadikan dasar rujukan dalam penelitian ini