BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dislokasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran secara total dari permukaan sendi dan tidak lagi bersentuhan (Apley, 1995). Dislokasi menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi bisa mengenai komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya. Dislokasi yang sering terjadi adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul. Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi. Ini disebabkan karena banyaknya rentang gerakan sendi bahu,mangkuk sendi glenoid yang dangkal serta adanya kelonggaran ligament. Dislokasi bahu dapat terjadi pada bagian anterior (paling sering, ditemukan pada 95% kasus), posterior atau errecta. Dislokasi anterior terjadi biasanya pada posisi sendi bahu abduksi dan external rotasi. Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak (Apley,1995)
Tingkat kejadian dislokasi bahu adalah sekitar 24 per 100.000 orang per tahun di dunia. Dan sementara ini telah dilaporkan terdapat peningkatan angka kejadian lebih dari dua kali lipat dari tingkat sebelumnya untuk dislokasi bahu pada populasi umum di Amerika Serikat, dibandingkan dengan angka kejadian cedera muskuloskeletal yang lainnya yang umum didapati di ruang gawat darurat, seperti luka pada lutut, punggung bawah dan kaki. (Owens, 2010)
Dari sebuah studi pada penderita dislokasi yakni didapatkan dari 71,8 persen laki-laki yang mengalami dislokasi , 46.8 persen penderita berusia antara 15-29 tahun; 48,3 persen terjadi akibat kegiatan olahraga, dan 37 persen dari semua cedera olahraga yaitu pada olahraga sepakbola dan basket. Pada wanita, tingkat dislokasi yang lebih tinggi terlihat di antara penderita yang berusia > 60 tahun. Peningkatan ini terutama diakibatkan oleh kejadian terjatuh di rumah (Owens, 2010)
Tanda-tanda dislokasi sendi bahu yaitu, sendi bahu tidak dapat digerakakkan; penderita mengendong tangan yang sakit dengan tangan yang lainnya; penderita tidak bisa memegang bahu yang berlawanan; kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada
tempatnya; lengkung bahu hilang; tidak dapat digerak-gerakkan; lengan atas sedikit abduksi; lengan bawah sedikit supinasi (Ardi, 2011)
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1 Untuk mengetahui tentang dislokasi regio shoulder termasuk definisi, etiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.
2 Mendapatkan keterampilan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan menggunakan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis dislokasi regio shoulder.
3 Mengkaji ketepatan dan kesesuaian kasus yang dilaporkan dengan teori berdasarkan literatur.
BAB II LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN:
Nama: Kusnadi
Jenis Kelamin:Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir: Magelang, 20 Oktober 1972 Umur: 42 tahun
Alamat: Waled Agama: Islam Pekerjaan: Petani
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sulit menggerakkan bahu sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Bahu kanan sulit digerakkan sejak ± 1 bulan yang lalu. Ketika digerakkan, lengan atas dan bahu terasa nyeri sehingga gerakan terbatas. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya kelainan bentuk pada bahu sebelah kanan. Bahu kanan sulit digerakkan setelah jatuh dan terkena gagang pacul. Pasien mengaku tidak didapatkan luka terbuka akibat kejadian terserbut. Sesaat setelah kejadian, pasien mengeluhkan adanya nyeri. Sehari setelah kejadian pasien langsung membawa diri ke tukang urut. Namun, sampai sekarang tidak ada perubahan. Os meyangkal adanya bengkak pada sendi bahunya, demam(-), mual (- ) muntah (-).Pasien juga mengaku mengkonsumsi obat Amoxicillin dengan maksud supaya tidak terjadi infeksi. Setelah pasien merasakan adanya keterbatasan gerak pada bahu sebelah kanan, pasien membawa diri ke RSUD Waled.
Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat trauma (+)
Riwayat alergi obat, makanan,dan lain-lain disangkal Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat keluhan yang sama pada keluarga disangkal
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan stroke disangkal Riwayat Pengobatan:
Pasien belum pernah berobat ke dokter, hanya minum obat Amoxillin dengan tujuan agar tidak terkena infeksi
1. Status Generalis
Keadaan umum: sakit sedang Kesadaran: Compos Mentis GCS : E4V5M6=15 Vital sign : Tekanandarah: 110/70mmHg Nadi: 68x/menit Suhu: 36.3˚C Pernafasan: 22x/menit Kepala dan Leher :
Konjungtiva anemis : (-/-) Sklera ikterik : (-/-) Pupil isokor : (± 2mm/± 2mm) Sianosis : (-) Dyspneu : (-) Pembesaran KGB : (-) Jejas : (-) Thorax Paru :
I : simetris kanandan kiri, retraksi (-)
P : gerakan nafas hemithorax kanandan kiri simetris P : perkusi paru sonor kanan dan kiri
A : suara nafas dasar vesikuler, wheezing , rhonki -/- Jantung :
I: iktus kordis tidak terlihat
P: iktus kordis terabadan kuat angkat P: batas jantung dalam batas normal
A:bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen
I : soefl
A : bising usus (+) normal
P : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba P : timpani
Ekstremitas
Atas : Akral hangat +/+, oedem , jejas , memar , luka -/- Bawah : Akral hangat +/+. Oedem , jejas , memar , luka -/-2. Status lokalis : Regio Glenohumeral dekstra
Look
Tampak deformitas pada sendi bahu, bahu kanan terlihat lebih rendah dari bahu kiri
Feel
Tenderness (+), hangat (-), CRT <2”, pulsasi arteri radialis ++/++ Move
Terbatas akibat nyeri Kekuatan motorik :
- 33 55
55 55
- Range of Motion (ROM) : sendi glenohumeral
i. Abduksi : 20 ◦ menurun , normalnya : 180◦ ii. Adduksi : 60◦ menurun, normalnya : 75◦ iii. Fleksi : 20◦ menurun, normalnya : 160-180◦ iv. Ekstensi : 20◦ menurun, normalnya : 60◦
III. Hasil Pemeriksaan Radiologi
IV. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 13,7 g/dL 13,5-17,5 g/dL
Leukosit 5,500/uL 4,100-10900/uL
Hematokrit 42% 41-53 %
Eritrosit 4,50 4,5-5,5 juta/uL
Trombosit 350000/uL 140000-440000 /uL
MCV 85 80-100fL MCH 27 26-34pg MCHC 33 31-36 g/dL Hitung jenis: Basofil 1 0-2% Eosinofil 6 0-5% Batang 0 2-6% Segmen 46 47-80% Limfosit 29 13-40%
Monosit 8 2-11% LED 9 <10 Hemostasis APTT 42,2 27-42 PT 14,6 12-19 Kimia darah GDS 79 <140 Fungsi hati SGOT 13 10-35 U/L SGPT 6 9-43 U/L Albumin 4,05 4,0-5,2 Fungsi ginjal Kreatinin 0,7 0,5-1,5 Ureum 10 17-43 Elektrolit Na 134 135-147mmol/L K 3,3 3,5-5,0 mmol/L Cl 106 96-108 mmol/L V. RESUME
Bahu kanan sulit digerakkan sejak ± 1 bulan yang lalu. Ketika digerakkan, lengan atas dan bahu terasa nyeri sehingga gerakan terbatas. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya kelainan bentuk pada bahu sebelah kanan. Bahu kanan sulit digerakkan setelah jatuh dan terkena gagang pacul. Pasien mengaku tidak didapatkan luka terbuka akibat kejadian terserbut. Sesaat setelah kejadian, pasien mengeluhkan adanya nyeri. Sehari setelah kejadian pasien langsung membawa diri ke tukang urut. Namun, sampai sekarang tidak ada perubahan. Os meyangkal adanya bengkak pada sendi bahunya, demam(-), mual (- ) muntah (-).Pasien juga mengaku mengkonsumsi obat Amoxicillin dengan maksud supaya tidak terjadi infeksi. Setelah pasien merasakan adanya keterbatasan gerak pada bahu sebelah kanan, pasien membawa diri ke RSUD Waled.
Status lokalis :Regio Glenohumeral dekstra Look
Tampak deformitas pada sendi bahu, bahu kanan terlihat lebih rendah dari bahu kiri
Tenderness (+), hangat (-), CRT <2”, pulsasi arteri radialis ++/++ Move
Terbatas akibat nyeri Kekuatan motorik :
- 33 55
55 55
- Range of Motion (ROM) : sendi glenohumeral
vi. Abduksi : 20 ◦ menurun , normalnya : 180◦ vii. Adduksi : 60◦ menurun, normalnya : 75◦ viii. Fleksi : 20◦ menurun, normalnya : 160-180◦ ix. Ekstensi : 20◦ menurun, normalnya : 60◦
Rotasi lateral dan rotasi medial tidakdapat dilakukan karena nyeri.
VI. DIAGNOSIS KERJA
- Susp. Neglected Dislokasi Anterior Shoulder Joint Dekstra
VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
IVFD Ringer Laktat 20tpm/24 jam Hypobac 2x 200mg
Ketorolac (analgetik) 3x 1amp Ranitidin 2x1 amp
VIII. PROGNOSIS Ad vitam : Bonam
Ad Fungsionam :Dubia ad bonam Ad sanactionam :Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1) Shoulder Joint
Gerakan-gerakan yang terjadi di gelang bahu dimungkinkan oleh sejumlah sendi yang saling berhubungan erat, misalnya sendi kostovertebral atas, sendi akromioklavikular, sendi sternoklavikular, permukaan pergeseran skapulotorakal dan sendi glenohumeral atau sendi bahu. Gangguan gerakan didalam sendi bahu sering mempunyai konsekuensi untuk sendi-sendi yang lain di gelang bahu dan sebaliknya (Spalteholz, 2000)
Sendi bahu dibentuk oleh kepala tulang humerus dan mangkok sendi, disebut cavitas glenoidalis. Sendi ini menghasilkan gerakan fungsional sehari-hari seperti menyisir, menggaruk kepala, mengambil dompet dan sebagainya atas kerja sama yang harmonis dan simultan dengan sendi-sendi lainnya. Cavitas glenoidalis sebagai mangkok sendi bentuknya agak cekung tempat melekatnya kepala tulang humerus dengan diameter cavitas glenoidalis yang pendek kira-kira hanya mencakup sepertiga bagian dan kepala tulang sendinya yang agak besar, keadaan ini otomatis membuat sendi tersebut tidak stabil namun paling luas gerakannya.
Perbandingan antara permukaan mangkok sendinya dengan kepala sendinya tidak sebanding.
Kapsul sendinya relatif lemah.
Otot-otot pembungkus sendinya relatif lemah, seperti otot supraspinatus, infrapinatus, teres minor dan subscapularis.
Gerakannya paling luas.
Stabilitas sendinya relatif kurang stabil.
Dengan melihat keadaan sendi tersebut, maka sendi bahu lebih mudah mengalami gangguan fungsi dibandingkan dengan sendi lainnya.
2) Kapsul Sendi
Kapsul sendi terdiri atas 2 lapisan (Haagenars) a) Kapsul Sinovial
lapisan bagian dalam dengan karakteristik mempunyai jaringan fibrokolagen agak lunak dan tidak memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah.Fungsinya menghasilkan cairan sinovial sendi dan sebagai transformator makanan ke tulang rawan sendi. Bila ada gangguan pada sendi yang ringan saja, maka yang pertama kali mengalami gangguan fungsi adalah kapsul sinovial, tetapi karena kapsul tersebut tidak memiliki reseptor nyeri, maka kita tidak merasa nyeri apabila ada gangguan, misalnya pada artrosis sendi (Spalteholz, 2000) b) Kapsul Fibrosa
Karakteristiknya berupa jaringan fibrous keras dan memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan stabititas sendi, memelihara regenerasi kapsul sendi, Sehingga dapat merasakan posisi sendi dan merasakan nyeri bila rangsangan tersebut sudah sampai di kapsul fibrosa. (Spalteholz, 2000)
Kartilago atau ujung tulang rawan sendi berfungsi sebagai bantalan sendi, sehingga tidak nyeri sewaktu penderita berjalau. Namun demikian pada gerakan tertentu sendi dapat nyeri akibat gangguan yang dikenal dengan degenerasi kartilago. (Spalteholz, 2000)
3) Biomekanika sendi bahu
Gerakan dan luas gerak sendi bahu
Gerakan-gerakan dari bahu dibagi dua, yang didasarkan pada kelompok otot penggeraknya. Gerakan tersebut antara lain gerakan skapula dan gerakan dari humerus. Gerakan-gerakan tersebut antara lain : (Nordin, 1989)
1) Gerakan skapula a. Elevasi dan depresi
Elevasi yaitu gerakan skapula ke atas sejajar dengan vertebra, dapat dilakukan dengan mengangkat bahu ke atas. Sedangkan depresi adalah kembalinya bahu dari posisi elevasi. Gerakan vertikal disertai dengan tilting. Total luas geraknya adalah 10 – 12 cm.
b. Abduksi (protraksi) dan Aduksi (retraksi)
Protraksi adalah gerakan kelateral skapula menjauhi vertebra. Gerakan ini dapat terjadi ketika bahu melakukan gerakan mendorong ke depan. Retraksi yaitu gerakan skapula ke medial, dapat dilakukan dengan menarik bahu ke belakang. Total luas geraknya adalah kira-kira 15 cm.
c. Upward rotation dan downward rotation
Upward rotation yaitu gerakan rotasi dari scapula pada bidang frontal sehingga fossa glenoidalis bergerak ke atas. Sedangkan downward rotation yaitu gerakan kembali dari upward rotation. Total luas gerak 600 , displacement sudut bawah skapula 10 – 12 cm dan sudut superolateral 5 – 6 cm.
4. Upward tilt dan reduction of upward tilt.
Upward tilt yaitu gerakan skapula pada aksis frontal horisontal yang menyebabkan permukaan posterior skapula bergerak ke atas. Gerakan ini terjadi oleh karena rotasi dari klavikula, sehingga bagian superior skapula bergerak naik-turun dan bagian inferiornya bergerak maju-mundur. Hal ini hanya terjadi jika
bahu hiperekstensi. Reduction of upward tilt yaitu gerakan kembali dari upward tilt.
2) Gerakan humerus
Posisi awal berdiri tegak dengan lengan di samping tubuh. a. Fleksi dan ekstensi
Feksi adalah gerakan lengan atas dalam bidang sagital ke depan dari 00 ke 1800. Gerak yang berlawanan ke posisi awal (00) disebut gerak depresi lengan. Gerak ekstensi adalah gerak dari lengan dalam bidang sagital ke belakang dari 00 ke kirakira 600. Gerakan fleksi dibagi menjadi 3 fase. Fase 1, fleksi 00 sampai 500 -600. Otot yang terlibat yaitu deltoid anterior, korakobrakhialis, pektoralis mayor serabut klavikular. Gerakan fleksi bahu ini dibatasi oleh tegangan dari ligamen korakohumeralis dan tahanan yang dilakukan oleh teres minor, teres major dan infraspinatus. Fase II, Fleksi 600 - 1200.
Pada fase ini diikuti gerakan shoulder girdle, yaitu rotasi 600 dari skapula, sehingga glenoid cavity menghadap ke atas dan ke depan, dan aksial pada sendi sternoklavikular dan akromioklavikular, setiap sendi membantu 300. Gerakan ini melibatkan otot trapezius, serratus anterior. Fleksi pada sendi skapulothorakis dibatasi oleh tahanan lattisimus dorsi dan serabut kostosternal dari pektoralis mayor. Fase III, fleksi 1200 - 1800. Jika hanya satu lengan yang fleksi dari spinal kolumn. Bila kedua lengan fleksi maksimum akan terjadi gerakan lordosis dari lumbal melebihi normal.
b. Abduksi dan adduksi
Gerak abduksi adalah gerak dari lengan menjauhi tubuh dalam bidang frontal dari 00 ke 1800 Gerak adduksi adalah gerak kebalikan dari abduksi yaitu gerak lengan menuju garis tengah tubuh. Tigafase gerakan abduksi, fase I, abduksi 00 – 900 merupakangerakan start abduksi dari sendi bahu. Otot-otot yang terlibat yaitu deltoid middle dan supraspinatus. Pada akhir abduksi 900 , shoulder mengunci sebagai hasil greater tuberosity menyentuh superior margin dari glenoid. Fase II, abduksi 900 –1500 , ketika abduksi 900, disertai fleksi sehingga dapat aduksi sampai 1200 shoulder mengunci dan abduksi hanya dapat maju dengan disertai gerakan shoulder girdle. Gerakan ini adalah ayunan dari skapula
dengan rotasi tanpa mengunci, sehingga kavitas glenoidalis menghadap agak keatas dengan luas gerakan 600 Aksial rotasi pada sendi sternoklavikularis dan akromioklavikularis, setiap sendi membantu gerakan 300. otot- otot yang terlibat ialah trapezius atas dan bawah dan seratus anterior. Pada gerakan 1500 , yang dihasilkan oleh rotasi skapula diketahui dengan adanya tahanan peregangan dari otot-otot abduktor yaitu latissimus dorsi dan pektoralis mayor. Fase III, abduksi 1500 – 1800 dalam fase ini, abduksi mencapai posisi vertikal dan disertai gerakan spinal kolumn . Bila gerakan hanya satu tangan disertai pemelesetan kelateral dari spinal kolumn yang dihasilkan oleh otot spinal lawannya. Jika kedua lengan abduksi bersama-sama sampai 1800 akan terjadi lumbar lordosis yang dipimpin oleh otot spinal. (Nordin, 1989)
c. Fleksi dan Ekstensi lumbar
Gerak fleksi horisontal adalah gerak dari lengan dalam bidang horisontal mulai 00 – 1350. Gerak ekstensi horisontal ialah gerak lengan kebelakang dalam bidang horisontal dari 00 – 450.
d. Rotasi
Rotasi dengan lengan disamping tubuh, siku dalam fleksi, bila lengan bawah digerakkan menjauhi garis tengah tubuh disebut eksorotasi, bila lengan bawah digerakkan menuju garis tengah tubuh disebut endorotasi. Luas geraknya 900 .
Rotasi dengan lengan dalam abduksi 900 dan telapak tangan menghadap kebawah, bila lengan diputar kearah kranial disebut eksorotasi dan bila kearah kaudal disebut endorotasi. Luas geraknya 900 . ( Nordin, 1989)
Pada sendi bahu meliputi :
1) Pada gerakan endorotasi caput humeris roll searah dengan gerakan endorotasi dan slidenya ke posterior.
2) Pada gerakan abduksi caput humeris roll searah dengan gerakan abduksi dan slidenya ke caudal.
3) Pada gerakan eksorotasi caput humeris roll searah gerak eksorotasi dan slide ventral agak medial
3.2 Definisi dislokasi
Dislokasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran secara total dari permukaan sendi. Dislokasi ditandai dengan keluarnya bongkol sendi dari mangkok sendi atau keluarnya kepala sendi dari mangkoknya. Bila hanya sebagian yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya disebut dislokasi. Dikatakan Recurrent apabila terjadi suatu dislokasi berulang sedangkan Habitual apabila dislokasi dapat diprofokasikan sendiri oleh penderitanya, keadaan ini bersifat kongenital atau akibat injeksi berkali-kali (biasanya antibiotika) ke dalam otot (Apley, 1995).
Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi. Ini disebabkan karena beberapa faktor, dangkalnya mangkuk sendi glenoid; besarnya rentang gerakan; keadaan yang mendasari misalnya ligamentosa yang longgar atau displasia glenoid; dan mudahnya sendi itu terserang selama aktivitas yang penuh tekanan pada tungkai atas (Apley, 1995)
3.3 Etiologi dislokasi
Dari segi Etiologi, Dislokasi dapat disebabkan oleh:
Cedera olah raga. Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga seperti benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
Patologis : terjadinya ‘tear’ ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang.(Sufitmi, 2004)
Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan gerakan rotasi eksterna dan ekstensi sendi bahu. Kaput humerus didorong kedepan dan menimbulkan avulsi kapsul sendi dan kartilago beserta periosteum labrum glenoidalis bagian anterior. (crenshaw, 1992 ; Rasjad, 2007)
Pada dislokasi berulang labrum dan kapsul sering terlepas dari lingkar anterior glenoid. Tetapi pada beberapa kasus labrum tetap utuh dan kapsul serta ligamentum glenohumerus keduanya terlepas atau terentang kearah anterior dan inferior. Selain itu mungkin ada indentasi pada bagian posterolateral kaput humerus (lesi Hill-Sachs), yaitu suatu fraktur kompresi akibat kaput humerus menekan lingkar glenoid anterior setiap kali mengalami dislokasi. (Rasjad, 2007)
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada bagian lengan. Humerus terdorong kedepan , merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti jarang, prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ; lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi di bawah karakoid).
3.5 Klasifikasi dislokasi 1. Dislokasi anterior
Dislokasi anterior disebut juga sebagai dislokasi pregnoid, subkorakoid dan subklavikuler. Dislokasi bahu anterior merupakan kondisi dimana keluarnya caput humeri dari cavitas artikulare sendi bahu yang dangkal. Dislokasi sendi bahu anterior biasanya terjadi setelah cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi, berotasi eksterna dan ekstensi sendi bahu.
2. Dislokasi posterior
Dislokasi posterior lebih jarang ditemukan dan biasanya disebabkan karena trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna.
3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta
Kaput humerus mengalami jepitan di bawah glenoid dimana lengan mengarah ke atas sehingga terjadi dislokasi inferior.
Jenis ini biasanya adalah dislokasi tipe anterior disertai fraktur. Apabila reposisi pada dislokasi, biasanya fraktur akan tereposisi dan melekat kembali pada humerus.
3.6 Diagnosis
Diagnosis kasus dislokasi bahu anterior ditegakkan melalui anamnesis (autoanamnesis atau alloanamnesis), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat memberikan informasi riwayat trauma dan mekanisme terjadinya trauma tersebut, sehingga dapat lebih membantu menegakkan diagnosis dan mengetahui penyulit-penyulit yang mungkin telah ada dan yang dapat muncul kemudian. Selain itu juga diperlukan informasi mengenai riwayat penyakit pasien dan riwayat trauma sebelumnya, untuk mempertimbangkan penanganan yang akan diambil. (Crenshaw, 1992; Rasjad, 2007)
Dari pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda diantaranya adanya nyeri, terdapat tonjolan pada bagian depan bahu, posisi lengan abduksi – eksorotasi, tepi bahu tampak menyudut, nyeri tekan, dan adanya gangguan gerak sendi bahu. Ada 2 tanda khas pada kasus dislokasi sendi bahu anterior ini yaitu sumbu humerus yang tidak menunjuk ke bahu dan kontur bahu berubah karena daerah dibawah akromion kosong pada palpasi. Penderita merasakan sendinya keluar dan tidak mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelah lain dan ia tidak dapat menyetuh dadanya. Lengan yang cedera tampak lebih panjang daripada normal, bahu terfiksasi sehingga mengalami fleksi dan lengan bawah berotasi kearah interna. Posisi badan penderita miring kearah sisi yang sakit. Pemeriksa terkadang dapat membuat skapula bergerak pada dadanya namun tidak akan dapat menggerakkan humerus pada scapula. Jika pasien tidak terlalu banyak menggerakka bahunya , maka pada kasus ini kaput humerus yang tergeser dapat diraba dibawah prosesus korakoideus (Crenshaw, 1992).
Diagnosis klinik untuk kasus dislokasi sendi bahu anterior ini dapat menggunakan tanda cemas (apprehension sign). Pemeriksaan ini dilakukan dengan
cara mengangkat lengan kedalam abduksi, rotasi luar dan kemudian ekstensi secara hati-hati dalam posisi duduk atau berbaring. Pada saat kritis pasien akan merasa bahwa kaput humerus seperti akan telepas kebagian anterior dan tubuhnya menegang karena cemas. Uji ini harus diulangi dengan menekan bagian depan bahu, dimana dengan manuver ini pasien akan merasa lebih aman dan tanda cemasnya negatif (Rasjad, 2007)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah rontgen foto bahu anteroposterior (AP) dan lateral. Rontgen bagian AP akan memperlihatkan bayangan yang tumpang tindih antara kaput humerus dan fossa glenoid, kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap mangkuk sendi. Foto lateral yang diarahkan pada daun skapula akan memperlihatkan kaput humerus keluar mangkuk sendi (Apley, 2010). Selain itu juga dianjurkan melakukan pemeriksaan pandangan oblik agar dapat dipastikan tidak terdapat dislokasi posterior kasus.Diagnosis banding dari kasus dislokasi anterior ini juga dapat disingkirkan dengan pemeriksaan pandangan oblik.Pemeriksaan pandangan oblik memang lebih sulit dilakukan namun lebih mudah diintepretasi (Sufitmi, 2004)
3.7 Gambaran Klinis
Didapatkan nyeri yang hebat serta gangguan pergerakan sendi bahu. Kontur sendi bahu menjadi rata karena kaput humerus bergeser ke depan. Penderita mengendong tangan yang sakit dengan tangan yang lainnya; penderita tidak bisa memegang bahu yang berlawanan, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya; lengkung bahu hilang; bahu tidak dapat digerak-gerakkan; lengan atas sedikit abduksi; lengan bawah sedikit supinasi.
3.8 Penanganan Penanganan Umum
Penanganan umum untuk semua pasien trauma tetap berpegang pada prinsip ATLS (Advanced Trauma Life Support) yakni selalu menangani hal-hal yang mengancam nyawa terlebih dahulu meliputi airway, breathing dan circulation. Pada dislokasi akut jarang diperlukan tindakan terbuka, meskipun demikian tindakan yang dilakukan dengan
paksa harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih berat ataupun komplikasi fraktur. Yang perlu diingat adalah dapat terjadi interposisi jaringan lunak yang menghalangi usaha reposisi kita yang sering kali memaksa kita untuk melakukan tindakan terbuka ( Crenshaw, 1992)
Dislokasi akut semestinya dilakukan reposisi sesegera mungkin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, meskipun perlu disadari reposisi yang segera ini belum menjamin bahwa komplikasi lanjut (seperti fraktur-dislokasi, cedera saraf, cedera pembuluh darah, dll) tidak akan terjadi. Tindakan reposisi sering kali memerlukan bantuan anestesi agar tidak terasanya nyeri, meskipun demikian kadang dapat dilakukan tanpa pembiusan yaitu pada periode shock jaringan.
Closed reduction
Ekstremitas superior (Shoulder)
Penatalaksanaan kasus dislokasi anterior bahu dilakukan secara konservatif dan operatif. Terapi cedera ini secara konservatif sering memberikan hasil yang memuaskan bila tidak disertai cedera lain didaerah tersebut seperti fraktur pada caput humeri atau tuberculum majus dan cedera neuromuscular. Pilihan terapi konservatif berupa reposisi tertutup dengan manuver Kocher (siku posisi 90º dan dilakukan traksi sesuai garis humerus. Lakukan rotasi lateral, kemudian adduksi lalu lakukan rotasi medial abduksi), immobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama lebih kurang 3 minggu.
Reduksi dislokasi harus segera dilakukan untuk kasus dislokasi anterior bahu yang baru terjadi. Reduksi segera ini dapat dilakukan dengan 2 metode(Crenshaw, 1992 ; Rasjad, 2007) :
1. Metode Stimson
Metode ini mudah dilakukan dan tidak memerlukan anestesi .Penderita diminta tidur telungkup dengan lengan yang terkena dibiarkan menggantung ke bawah dengan memberikan beban tergantung dari kekuatan otot si penderita yang diikatkan pada pergelangan tangan. Pada saat otot bahu dalam keadaan relaksasi, diharapkan terjadi reposisi akibat berat lengan yang tergantung disamping tempat tidur tersebut. Metode ini dilakukan selama 10-15 menit (Wibowo, 1995)
Cara reposisi dislokasi bahu dengan metode Stimson 2. Metode Hippocrates
Metode ini dilakukan jika metode stimson tidak memberikan hasil dalam waktu 15 menit. Reposisi dilakukan dalam keadaan anestesi umum. Lengan pasien ditarik kearah distal punggung dengan sedikit abduksi, sementara kaki penolong berada diketiak pasien untuk mengungkit kaput humerus kearah lateral dan posterior. Setelah reposisi, bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada selama paling sedikit 3 minggu.
Untuk kedua metode ini, pasien diminta mengabduksikan lengannnya secara lembut kemudian lakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada saraf aksilaris atau muskulokutaneus yang cedera. Lakukan kembali pemeriksaan Rontgen untuk konfirmasi.
Open reduction (Crenshaw, 1992) Indikasi
Bila gagal dicapai reposisi anatomis yang dikehendaki
Bila hasil reposisi tidak stabil. Biasanya bila ada fragment tulang (fraktur dilokasi)
Terjadi cedera saraf setelah tindakan reposisi tertutup
Adanya cedera vascular sebelum reposisi dan masih tetap terjadi setelah reposisi Kasus lama (neglected case). Operasi dilakukan dengan metode Bristow. labium
glenoid dan kapsul yang robek dan metode Putti-Platt untuk memendekkan kapsul anterior dan subskapularis dengan perbaikan tumpang tindih. Metode operasi lain yang dilakukan adalah metode Bankart untuk memperbaiki.
3.9 Komplikasi (Rasjad, 2007)
Komplikasi yang dapat terjadi pada dislokasi anterior adalah timbulnya dislokasi kambuhan, lesi pleksus brakialis dan nervus aksilaris, serta interposisi tendo bisep kaput longum. Robekan arteri aksilaris jug dapat terjadi. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan sebelum dirujuk adalah dengan melakukan penekanan kuat pada aksila. Komplikasi lanjut dapat berupa kaku sendi dan dislokasi rekurens. Dislokasi rekuren anterior terjadi karena pengobatan awal (immobilisasi) yang tidak adekuat sehingga terjadi dislokasi. Dislokasi terjadi karena adanya titik lemah pada selaput sendi disebelah depan dan terjadi karena trauma yang ringan. Dislokasi rekuren dapat mudah terjadi apabila lengan dalam keadaan abduksi, ekstensi dan lateral rotasi (Appley, 1995)
3.10 Prognosa (Rasjad, 2007)
Tingkat kesembuhan pada kasus ini baik jika tidak timbul komplikasi.
BAB IV PEMBAHASAN
Dislokasi bahu anterior merupakan kondisi dimana keluarnya caput humeri dari cavitas artikulare sendi bahu yang dangkal. Dislokasi sendi bahu anterior biasanya terjadi setelah cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi, berotasi eksterna dan ekstensi sendi bahu.
Anamnesa
Kasus Teori
1. Pasien mengeluhkan nyeri dan keterbatasan pada bahu kanan.
Gejala klinis pada dislokasi bahu anterior yang biasanya didapatkan pada
2. Bahu kanan sulit digerakkan sejak ± 1 bulan yang lalu. Bahu kanan sulit digerakkan setelah jatuh dan terkena gagang pacul. Terdapat keterbatasan gerak pada lengan kanan atas dan pasien selalu memegangnya untuk menopang agar tidak terlalu nyeri .
anamnesa:
1. Pasien datang dengan suatu trauma atau terdapat riwayat trauma. 2. Didapatkan nyeri yang hebat serta
gangguan pergerakan sendi bahu. 3. Daerah yang mengalami dislokasi
akan ditopang dengan lengan lainnya untuk mengurangi
pergerakan dan nyeri yang muncul. Pemeriksaan Fisik
Kasus Teori
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: Regio Shoulder Dextra
Look :
Deformitas (+), edema (-), luka (-) Feel :
Nyeri Tekan (+), krepitasi (-), a. Radialis (+), capillary refill time < 2’
Move :
Sendi bahu : ekstensi (+) terbatas, fleksi (+) terbatas, internal rotasi (+) terbatas, eksternal rotasi (+) terbatas.
Sendi siku : ekstensi (+) normal, fleksi (+) normal, supinasi (+) normal, pronasi (+) normal.
Pada pemeriksaan fisik: Inspeksi:
Terdapat perubahan posisi anggota gerak, dimana terdapat tonjolan pada bagian depan bahu akibat humerus yang bergeser ke arah anterior Ekspresi wajah terlihat
kesakitan akibat menahan nyeri Tidak terdapat luka pada daerah
trauma
Didapatkan lengan dalam keadaan abduksi – eksorotasi, tepi bahu tampak menyudut, nyeri tekan, dan adanya gangguan gerak sendi bahu Palpasi:
Nyeri tekan (+) Krepitasi (-)
Pergerakan:
Setiap pergerakan akan
menyebabkan nyeri. Penderita tidak mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelah lain dan ia tidak dapat menyetuh dadanya.
Ada
keterbatasan/ketidakmampuan dalam melakukan suatu gerakan. Pemeriksaan Penunjang
Kasus Teori
Rontgen Shoulder Dextra AP (terdapat dislokasi anterior) Laboratorium Darah Leukosit : 11.800 K/µL Hemoglobin : 11,1 g/dl Hematokrit : 35,9 % Trombosit : 120.000 K/µL BT : 2’ CT : 8’ GDS : 101 mg/dl HBs Ag : negatif Ab HIV : negatif
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan:
Pemeriksaan Radiologis
(membantu dalam hal penegakkan jenis dan letak dislokasi) yang umumnya diambil pada dua sisi proyeksi yakni AP dan Lateral. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap
Penatalakasanaan
Kasus Teori
IVFD RL 20 tpm Drip tramadol 1 ampul Konsul PPDS OT, advice :
Penanganan pasien dengan trauma tetap memperhatikan prinsip ATLS yakni ABC
1. MRS
2. Pasang spalk dan perban elastis
3. Direncanakan reposisi lengan dengan general anestesi malam ini jam 22.00
Laporan Operasi :
a. Dilakukan
reposisi secara reduksi tertutup
(manuver Kocher) dengan
menggunakan general anestesi.
b. Dilakukan
balutan perban elastis secara “Velpeauw Bandage”.
Penatalaksanaan kasus dislokasi anterior bahu dapat dilakukan secara konservatif dan operatif
Pilihan terapi konservatif berupa reposisi tertutup dengan manuver Kocher dilanjutkan immobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama lebih kurang 3 minggu. Dilakukan reduksi secara terbuka
apabila reposisi secara tertutup gagal dilakukan ataupun karena sebab lain.
BAB V KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien pria Tn. K dengan usia 47 tahun dengan keluhan utama bahu kanan sulit digerakkan. Dari hasil pemeriksaan fisik pada regio shoulder dextra tampak deformitas, bahu kanan lebih rendah daripada bahu kiri, tidak tampak edema, adanya nyeri tekan, dan pergerakan ekstensi, fleksi, internal rotasi, serta eksternal rotasi terbatas. Kemudian dilakukan pemeriksaan radiologi yang didapatkan adanya dislokasi anterior regio shoulder dextra. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang ditegakkan diagnosa sebagai dislokasi shouder anterior sinistra dan dilakukan tindakan close reduction.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, A Graham & Solomon, Louis. 1995. Ortopedi dan Fraktur sistem Apley. Jakarta : Widya Medika.
2. Brett Owens, MD, study co-author. March, 2010. Studies show high rates of shoulder
dislocation in young men and elderly women an orthopedic surgeon at the Keller
Army Hospital at West Point, New York and Associate Professor at the Uniformed Services University of Health Sciences
3. Crenshaw. AH:Dislocation in Campbell’s Operative Orthopaedics,8th ed. Vol II 1992.Mosby Year Book, St.Louis Baltimore Boston Chicago London Philadelphia Sydney Toroto.
4. Eko Ardi P, M.Subhan Zuhdi, Tony Wahyu P, Satrio Yudi Er.2011. Dislokasi Pada Sendi Bahu. Digitasl Library USU.
5. Hardianto Wibowo, dr, Pencegahan dan penatalaksaan cedera olahraga, cetakan I, EGC, 1995.
6. Nordin, M and Frankel H victor : Basic Biomechanic of the Muskuloskeletal system. Lea and Febriger Philadelphia, London , tahun 1989 , halaman 225-234.
7. Rasjad, Chairuddin.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi V.2007. Yarsif Watampone : Jakarta.
8. Sufitni. Cedera pada Extremitas Superior. Anatomi Fakultas Kedokteran.2004.Universitas Sumatera Utara.
9. Werner Spalteholz, 2000. Hand atlas of human anatomy, seven edition in English. JB Lippincott Company