• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Problema Lingkungan dalam Kajian Grand Theory dan Strukturasi Giddens 1. Ahmad Tarmiji Alkhudri 2 Yudha Heryawan Asnawi 2.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diskursus Problema Lingkungan dalam Kajian Grand Theory dan Strukturasi Giddens 1. Ahmad Tarmiji Alkhudri 2 Yudha Heryawan Asnawi 2."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Diskursus Problema Lingkungan dalam Kajian Grand Theory dan

Strukturasi Giddens1

Ahmad Tarmiji Alkhudri2

Yudha Heryawan Asnawi2

Pendahuluan

Persoalan seperti krisis sumber air bersih, polusi, pembakaran hutan, tanah longsor, banjir, robb, global warming, dan sebagainya merupakan realitas krisis lingkungan kekinian. Terjadinya krisis ini, tentunya tidak terlepas dari bagaimana manusia berelasi dengan lingkungannya. Manusia dalam konteks ini ditengarai turut andil dalam mempercepat proses kiamat di planet bumi ini. Sederetan kasus lingkungan seperti dijelaskan di atas merupakan realitas terkini yang mau tidak mau, suka tidak suka harus kita hadapi.

Posisi diskursus problema lingkungan dalam analisa tulisan ini dijelaskan dalam pemosisian yang sama sejajar antara krisis ekologi dengan problem sosial. Apakah problem sosial dan perubahan sosial bisa diatasi dengan peran individu yang lebih dominan, atau justru struktur yang lebih dominan, dan atau bisa diselesaikan dengan paradigma ketiga, yakni mempertemukan keduanya dengan cara menemukan lingkage-nya masing-masing. Memposisikan problem krisis lingkungan sejajar dengan problem sosial, dengan demikian, nampaknya tidak begitu berlebihan. Di sinilah perdebatan paling awal mengenai bagaimana

governance lingkungan dipraktekkan dalam teori strukturasi Giddens (agency vs structure).

Hasil dan Pembahasan

Modernisme, Kapitalisme, dan Krisis Lingkungan

Modernisme dan kapitalisme adalah term sejenis dalam logika

developmentaslism, yang secara bersamaan merupakan pemilik saham terbesar

bagi munculnya krisis lingkungan. Ketika alam pemikiran modern dengan segala apa yang ditawarkannya menjadi pandangan dunia bagi kebanyakan manusia modern, ternyata memunculkan berbagai absurditas bagi kelangsungan hidup manusia dan memunculkan krisis lingkungan. Hal pertama yang pantas untuk dituduh adalah dominasi nalar antroposentrisme dalam poros pemikiran modern yang begitu mengagungkan eksistensi manusia karena rasionalitasnya dengan mengsubordinasikan eksistensi yang lain yang tidak rasional, termasuk alam dan ekosistemnya. Pengertian modern (modernitas) di sini tentu tidak hanya merujuk pada sebuah periode sejarah setelah abad pertengahan, ataupun sebuah pengalaman kultural tertentu, melainkan juga merujuk pada bangunan                                                                                                                          

1  Mahasiswa Program Doktoral PS Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.oleh PS S3

Sosiologi Pedesaan IPB dan Forum Ekologi, Kebudayaan, dan Pembangunan, Departemen SKPM FEMA IPB, Kampus IPB Dramaga. Tanggal 27 Januari 2014.  

(2)

epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter tertentu mengenai pengetahuan dan kebenaran.

Secara historis kesadaran akan modernitas ini berawal dari masa

Renaisance pada abad ke-16 dan memuncak pada Aufklarung pada abad ke-18.

Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!). Secara filosofis, tokoh besar yang merumuskan semangat modernitas adalah Rene Descartes. Ungkapannya yang teramat masyhur Cogito

ergo sum telah menandai kesadaran baru ini: pertama, manusia atau “aku” adalah

subjek yag menghadapi alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah, dan kedua, bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan adalah produk pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu.3

Dengan kata lain, alam pemikiran modern adalah masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio. Ini berarti keyakinan selama ini bahwa tradisi atau dogma agama sebagai sumber otoritas yang dianggap mampu menjawab segala pertanyaan tentang semesta dan problem-problem yang dihadapi umat manusia, mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, hanya manusia dengan kemampuan rasio yang mampu memahami kenyataan dengan benar dan mampu menjawab perkembangan zaman. Optimisme terhadap kemampuan rasio ini pada akhirnya melahirkan gagasan modern tentang

progress, yang merupakan kesadaran akan waktu yang khas dan dihayati sebagai

sebuah garis lurus menuju kemajuan (linieritas). Dalam kesadaran baru ini perjalanan waktu tidak melangkah secara repetitif dan imitatif melainkan bergerak linear secara pasti. Kesadaran baru ini meyakini bahwa kekinian adalah peningkatan kualitatif atas kelampauan dan berikutnya menjadi modal peningkatan masa mendatang.4

Keyakinan akan rasionalitas manusia dan kepastian akan kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains dan teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk menguasai alam dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Namun demikian, berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas yang lain. Sains dan teknologi telah membawa bencana yang maha dahsyat; dua perang dunia, konflik ideologi, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah memupuskan harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan, dihormatinya martabat kemanusiaan, dan keberlangsungan hidup ekologis. Dengan kata lain, modernisme telah melahirkan struktur pengetahuan yang dilandasi dengan semangat antrophosentrisme. Sebuah pandangan yang sama sekali hanya berpihak pada manusia, bukan lingkungan. Inilah yang di kemudian hari dituduh sebagai penyebab munculnya krisis lingkungan.

Hans Kung, adalah salah satu di antara sejumlah pemikir yang mengkritik modernitas. Dengan lugas ia menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada rasio tidak seluruhnya membawa kemajuan umat                                                                                                                          

3 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Kanisius, Yogyakarta, 2003), h. 95. 4 Ibid, h. 96.  

(3)

manusia, begitu juga rasionalitas sains dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya. Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan modern sendiri yang semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi. Hans Kung kemudian menawarkan gagasan tentang etika global pasca modernis, yang baginya mampu menjadi landasan etik bagi masyarakat global yang telah hancur oleh gempuran modernitas.5

Terdapat problem krusial sebagai kelanjutan dari modernisme. Dari rahim modernitas lahir “anak kandung” yang kita sebut sebagai “globalisasi”. Globalisasi, dengan tanpa bermaksud menafikan sumbangsihnya, telah mengakibatkan hilangnya identitas kultur nasional dan eksploitasi terhadap negara-negara berkembang menjadi kian tampak. Begitu dominannya motivasi ekonomi dalam relasi antar negara adalah salah satu bukti yang sulit terbantahkan, bagaimana eksploitasi dipraktikkan oleh kapitalisme global. Banyak konsep diciptakan negara maju baik di bidang ekonomi, politik, demokrasi, perlindungan HAM, pengelolaan lingkungan hidup sampai pada konsep good governance yang bertujuan menciptakan demokratisasi, kelestarian lingkungan, perlindungan HAM, maupun terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Tetapi pada kenyataannya, antara konsep dan implementasinya sering terjadi kesenjangan. Negara maju yang menguasai teknologi dan akumulasi kapital justru sering memberlakukan standar ganda, berlaku tidak fair dan menggunakan isu tersebut untuk menekan dan memperlemah daya saing negara berkembang. Tujuannya menguasai dan menciptakan ketergantungan. Konsep perdagangan bebas (free trade) misalnya, dengan jiwanya yang liberal, ibarat mempertemukan dalam suatu pertarungan antara gajah dengan kambing. Dari segi SDM, penguasaan teknologi, kecukupan modal, dan kualitas produk misalnya, negara berkembang tentu jauh tertinggal dengan negara maju. Dari sudut politik dagang, konsep pasar bebas sebenarnya adalah upaya negara maju untuk memperlemah daya saing negara berkembang.

Selain itu, konsep good governance yang sering dimaknai sebagai pengelolaan atau pengarahan yang baik dengan menciptakan penyelenggaraan negara yang solid, bertanggung jawab, efektif dan efisien, dan menjaga keserasian interaksi yang konstruktif di antara domain negara, sektor swasta dan masyarakat pada kenyataannya digunakan oleh negara maju tidak lebih sebagai alat ekonomi, yakni untuk memuluskan jalan investasi dan memperlemah daya saing negara berkembang. Diciptakannya standar penilaian tingkat daya saing produk suatu                                                                                                                          

5 Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad

Publishing Company, 1991. Dalam bagian awal bukunya, Kung secara deskriptif menelanjangi cacat dan tragedi kemanusiaan yang dihasilkan oleh patologis modernitas (hilangnya tradisi dan makna hidup, hilangnya kriteria etika tanpa syarat, dll). Tragedi ini meliputi: pembunuhan dan kematian jutaan manusia akibat perang, kemiskinan dan kelaparan, kerusakan dan pencemaran lingkungan oleh industri-industri besar, dan juga bencana pemanasan global. Selain itu, dunia yang terdiferensiasi dalam bentuk negara-negara bangsa dan berbagai macam ideologi telah melahirkan konflik dan perang. Sementara itu, sekularisasi telah menghasilkan moralitas baru yang semata-mata berdasarkan rasio atau yang dalam dunia kapitalisme didasarkan pada pertimbangan analisis pasar.

(4)

negara berkaitan penilaian terhadap kinerja good governance khususnya berkaitan dengan good corporate governance (good governance untuk sektor bisnis).

Jika good governance dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi manajemen dan sistem operasi prosedur. Kesamaannya adalah ketiganya sama sebagai strategi, cara atau metode berkenaan dengan pencapain tujuan bersama (bukan orang-seorang). Pada kenyatanya negara-negara maju mengusung konsep ini terutama di negara berkembang, dengan satu tujuan utama bukan untuk membuat mekanisme administrasi dan birokrasi negara menjadi “bersih” dan “demokratis”, akan tetapi lebih pada kepentingan utamanya yaitu menghilangkan hambatan dan memuluskan jalannya investasi kaum kapitalis.

Dengan demikian, kata kunci good governance itu tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari paradigma neo-liberalisme yang sedang dikampanyekan oleh IMF, Bank Dunia, dan Lembaga-Lembaga Donor lainnya, baik yang bersifat lembaga non-pemerintah, pemerintah atau kombinasi keduanya. Mereka banyak menyokong gerakan antikorupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan bertanggungjawab dengan kata kuncinya gerakan tersebut ingin mewujudkan good governance. Kita boleh mengacungi jempol tentang kepeduliannya untuk membantu suatu negara menciptakan good

governance. Yang harus diwaspadai adalah agenda-agenda terselubung dan

landasan pemikiran aktivitas lembaga donor tersebut, yakni agenda kaum kapitalis.

Secara tegas Jagjit Kaur Plahe dan Pieter van der Gaag, sebagaimana dikutip oleh Sonny Keraf, menuduh dan bahkan tidak mempercayai aktivitas negara-negara donor dalam mengusung konsep tersebut tidak diikuti oleh kepentingan ekonomi. Ia menengarai bukan kegiatan yang berdiri sendiri dan murni untuk membuat suatu negara lebih demokratis dalam pelaksanaan birokrasi administrasinya, akan tetapi kesemuanya itu tidak lebih sebagai manifestasi dari paradigma neo-liberalisme, yang dikampanyekan oleh Bank Dunia (World Bank) dan kedua “saudara kandungnya” yaitu International Monetary Found (IMF) dan Wold Trade Organitation (WTO).6 Dari sini, tampak jelas ke mana konsep good

governance sebetulnya diarahkan, yakni bukan untuk menyiapkan negara

berkembang dan negara tertinggal untuk menyongsong kepenglolaan pemerintahan yang baik dan menumbuhkan demokratisasi, akan tetapi sebagai instrumen ekonomi kapitalis.

Nyatanya, konsep good governance lahir dari rahim dunia usaha (korporat). Ia lahir karena ada desakan untuk menyusun sebuah konsep yang berfungsi menciptakan pengendalian (bukan sekedar pengawasan) yang melekat (built in) kepada korporasi dan manajer profesionalnya. Tujuannya adalah pengelolaan usaha harus benar-benar memberikan manfaat kepada pemiliknya. Rujukan paling jelas adalah ketika pada akhir tahun 1980-an terjadi proses pembelajaran dalam kegiatan sektor publik tentang bagaimana menciptakan pengendalian itu. Salah satu buku yang menjadi rujukan bagi setiap manajer sektor publik adalah karangan David Osborne dan Ted Gaebler dengan judul

Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Bersamaan dengan itu konsep good governance menjadi populer

                                                                                                                         

(5)

dan lembaga-lembaga dunia seperti PBB, bank Dunia dan IMF meletakkannya sebagai kriteria untuk memberikan penilaian sebagai negara “baik” dan “berhasil dalam pembangunan”, bahkan dijadikan “semacam” kriteria untuk memperoleh bantuan optimal.7 Globalisasi, karena motif ekonominya yang sangat dominan, dengan demikian, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan. Lingkungan tidak lain dan tidak bukan adalah sumber daya yang harus dieksploitasi sebesar-besarnya demi kepentingan ekonomi.8

Antara Governance dan Govermentality: Kajian Teori Strukturasi Giddens Pemilik saham terbesar munculnya krisis lingkungan adalah dua narasi besar, yakni alam pikiran modernis yang antroposentris dan globalisasi ekonomi yang juga antroposentris, lalu bagaimana kita menempatkan posisi secara strategis memainkan peran; apakah lebih mempercayakan kepada struktur, individu atau pertautan keduanya di dalam upaya mengatasi krisis lingkungan? Sebagai sebuah landasan berpikir, nampaknya perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai asumsi-asumsi dasar teori sosial. Dalam memahami teori-teori sosial, kita tidak bisa melupakan begitu saja tiga teori sosial paling hegemonik di dunia saat ini, yakni teori struktural fungsional, struktural konflik, dan konstruksionisme. Para penggemar ilmu-ilmu sosial sering menyebutnya sebagai sebuah narasi agung (the

grand narative). Teori sosial sebenarnya adalah sebuah teori yang mencoba

memahami “bagaimana proses dan tertib sosial berlangsung”. Beberapa asumsi yang kemudian menjadi titik pijak bagi munculnya teori-teori sosial adalah: 1). proses dan tertib sosial berlangsung karena bentukan atau produk dari masyarakat. 2). proses dan tertib sosial berlangsung karena bentukan atau produk dari individu. 3). proses dan tertib sosial berlangsung karena adanya tarik menarik antara individu dan masyarakat.

Alivin W Gouldner (1971) yang memulai mengutarakan pemikirannya, bahwa proses dan tertib sosial berlangsung tergantung pada asumsi yang mendasari cara seseorang memandang manusia dan masyarakat. Asumsi atas disposisi tentang keyakinan bahwa manusia adalah rasional atau irasional, masyarakat adalah berubah atau secara fundamental stabil, masalah dalam masyarakat akan baik dengan sendirinya tanpa intervensi yang direncanakan, perilaku tidak bisa diprediksi, dll. Paradigma ini masih memposisikan individu memiliki peran penting untuk mengkonstruksi tatanan dunia. Dengan demikian, menurut paradigma ini, krisis lingkungan bisa diatasi dengan memaksimalkan peran individu di dalam menciptakan tatanan dunia yang bebas dari krisis lingkungan. Paradigma ini telah melahirkan teori sosial yang beraliran fenomenologis dan juga konstruksionisme a la Max Weber.

Kenneth Thompson dan Jeremy Tunstall (1973) mengusulkan kebalikan dari paradigma yang disuguhkan oleh Alivin W Gouldner di atas. Bagi Thompson dan Tunstall, proses dan tertib sosial berlangsung tergantung pada bagaimana memahami makna “manusia dalam masyarakat”. Paradigma ini mengasumsikan pentingnya sistem sosial daripada individu. Pada asumsi ini masyarakat diasumsikan sebagai kendala yang menguasai individu atau sebaliknya juga sebagai penggerak perubahan. Oleh karenanya, masyarakat dan sistem sosialnya                                                                                                                          

7 http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=104 8 A. Sonny Keraf, Op. cit, hh. 216-248.

(6)

(struktur) merupakan pilar terpenting untuk membentuk tatanan dunia yang bebas dari krisis lingkungan. Paradigma ini telah menghasilkan dua teori sosial yang menekankan pada “dominasi struktur”, yakni teori struktural fungsional (Emile Durkheim dan Parsons), dan teori struktural konflik (Karl Marx, dan Neo Marxis). Sementara itu, Antony Giddens mencoba untuk tidak percaya lagi dengan para pendahulunya. Bagi Giddens, proses dan tertib sosial berlangsung bukan lagi bergantung pada individu (tatanan mikro) maupun masyarakat dengan sistem sosialnya (tatanan makro), melainkan karena adanya linkage antara mikro dan makro, subjek dan objek.

Sosiologi mikro Sosiologi makro Sosiologi meso Obyektif Kuatitatif Subyektif (Kualitatif) Induktif (pengalaman empirik) Deduktif (teori, preposisi) Sumber:

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, 2010.

Dengan gayanya yang khas ini, Giddens kemudian menawarkan teori strukturasi yang menoba menunjukan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran seseorang dengan munculnya sistem sosial yang stabil. Situasi semacam ini berada di luar konsekuensi dari cara seseorang menggambarkan tindakan yang mereka lakukan dalam rangka mewujudkan tujuan. Dengan kaca mata teori strukturasi, kita tidak lagi relevan berbicara siapa yang seharusnya berperan lebih di dalam mengatasi krisis lingkungan, apakah individu ataukan struktur. Karena, menurut paradigma strukturasi, keduanya saling berperan.9 Agar pembahasan ini semakin tidak kehilangan ruhnya, di sini terlebih dahulu dilihat bagaimana paradigma berbagai aliran teori sosialbegitu menghegemoni dunia hingga saat ini, dan bagaimana kita akan memakainya di dalam krisis lingkungan.

                                                                                                                         

9  Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik, (Surabaya, LPAM, 2003), hh.

(7)

Pertama; Teori Struktural.10 Teori struktural memiliki beberapa teori turunannya, yakni struktural fungsional (tokohnya: Auguste Comte dengan teori hukum tiga tahap, Herbert Spencer dengan teori Darwinisme sosial, dan Emile Durkheim dengan teori fakta sosial), struktural konflik (tokohnya: Karl Marx dengan teori konflik pertentangan kelas, dan Antonio Gramsci (neo-Marxis) dengan teori hegemoni), neo-fungsional (tokohnya: Jeffrey Alexander dan Colomy yang mencoba memperbaiki teori struktural fungsional yang terlalu deterministik), dan konflik alternatif (tokohnya: Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins yang mencoba memperbaiki teori struktural konflik yang dianggapnya terjebak pada analisis ekonomi). Tanpa bermaksud melakukan reduksi, penulis sengaja mengelompokkan beberapa teori tersebut di atas dalam satu frame teori struktural, karena memiliki persamaan paradigmatik, yakni struktur lebih berperan penting di dalam menentukan proses dan tertib sosial serta tatanan dunia. Meski cara pandang masing-masing terhadap struktur berbeda (terutama mengenai hakikat konflik) antara struktural fungsional, struktural konflik, neo-fungsional, neo-marxis, dan konflik alternatif. Secara umum teori struktural dan berbagai teori turunannya tersebut di atas cenderung sangat konservatif, karena menganggap bahwa proses dan tertib sosial serta tatanan dunia berlangsung karena bentukan struktur, individu sama sekali tidak memiliki peran apapun.

Jika kita lihat dari perspektif teori struktural fungsional, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan yang lebih berperan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll. Sementara individu tidak memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Jika mengikuti apa yang ditulis oleh Debra J. Davidson dan Scott Frickel (2004), maka paradigma yang dipakai dalam teori struktural fungsional adalah pluralisme, agency capture, ecological marxisme, dan social

construction.11

Paradigma tersebut percaya bahwa struktur merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis lingkungan. Paradigma pluralisme misalnya, yang lebih memfokuskan pada negara (bukan civil society) yang lebih berperan penting dengan pertimbangan efektifitas penyelesaian krisis lingkungan, yakni dengan regulasi dan birokrasi. Selanjutnya, paradigma Agency Capture memfokuskan pada peran negara. Negara dengan kekuatan birokrasinya, bagi paradigma agency capture, berfungsi melayani kepentingan publik. Dalam konteks ini, birokrasi merupakan satu-satunya otoritas yang menjalankan peran penyelesaian krisis lingkungan karena memiliki dua peran sekaligus, yakni menciptakan regulasi demi kepentingan publik, dan sekaligus mengelola atau mengeksploitasi alam demi kepentingan publik dengan berbagai regulasi perlindungan terhadap lingkungan. Sementara itu, paradigma Social

Constructuion yang menekankan pada peran regulasi negara. Bagi paradigma ini,

regulasi negara untuk lingkungan merupakan hasil konstruksi antara negara dan aktor-aktor sosial yang saling berhubungan. Jika kita lihat semua paradigma yang dipakai oleh mereka yang berada di garis strukturalisme, penekanannya diserahkan kepada struktur yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis                                                                                                                          

10 Ibid, hh. 39-213.

11 Debra J. Davidson and Scott Frickel, “Understanding Environmental Governance”, in

(8)

lingkungan dengan mekanisme perintah dan control (command and control

aproach), bukan secara volunter (voluntary aproach).

Kedua; Teori Konstruksionisme.12 Jika strukturalisme lebih percaya pada

struktur, maka konstruksionisme justru sebaliknya, ia percaya pada individu-individu yang otonom yang bisa melakukan perubahan sosial. Tradisi konstruksionisme kemudian melahirkan tradisi sosiologi yang berbeda. Di Amerika misalnya melahirkan Sosiologi Interaksionisme, pengagasnya adalah Simmel dan George Herbert Mead. Sementara di Eropa melahirkan sosiologi Fenomenologi, pengagasnya antara lain Max Weber, Alfred Schutz, Bergson, dan E. Husserl. Tokoh utamanya adalah Max Weber (1864-1922). Bagi Weber, tindakan individu merupakan bagain terpenting dalam gagasan sosiologisnya. Bagaimana ia melihat individu menjalin dan memberi makna terhadap hubungan sosial dimana individu menjadi bagian di dalamnya. Weber melihat bahwa individu merupakan kunci (yang mempengaruhi) tindakan sosial di dalam masyarakat, tetapi dengan catatan bahwa tindakan sosial individu ini berhubungan dengan rasionalitas, baik rasionalitas instrumental (orientasi pada tujuan tindakan dan alat yang digunakan) maupun rasionalitas yang berorientasi nilai. Individu, dalam bayangan Weber, merupakan pemilik macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya. Individu bergerak “bebas” dan mampu menentukan masyarakat dan strukturnya, meskipun harus ada “kesepakatan” dengan individu-individu yang lain.

Kita mungkin tidak bisa melupakan pandangan fenomenologi dan konstruksi sosial yang diusung oleh E. Husserl dan Alfred Schutz. Fenomenologi merupakan bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia. Dunia yang kita huni, dalam pandangan fenomenologi, merupakan ciptaan dari kesadaran-kesadaran yang ada di dalam kepala individu masing-masing. Proses bagaimana manusia membangun dunianya adalah melalui proses pemaknaan yang berawal dari arus pengalaman. Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna, dan dari proses pemaknaan oleh individu inilah yang kemudian menghasilkan tindakan yang didasari oleh pengalaman sehari-hari yang bersifat intensional. Individu kemudian memilih sesuatu yang “harus” dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, dan mempertimbangkan pula makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut.

Perspektif teori konstruksionisme dalam menyelesaikan krisis lingkungan berpandangan bahwa individulah yang paling berperan, bukan struktur seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll, sebagaimana diasumsikan oleh teori struktural. Justeru dalam perspektif konstruksionisme individu memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Jika mengikuti apa yang ditulis oleh Debra J. Davidson dan Scott Frickel, maka paradigma yang dipakai dalam teori konstruksionisme (interaksionisme dan fenomenologis) adalah ecological modernization dan global environmental.13

Paradigma tersebut di atas percaya bahwa individu merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis lingkungan. Paradigma ecological

modernization misalnya, lebih memfokuskan pada bagaimana individu di dalam

                                                                                                                          12 Zainuddin Maliki, Op.cit, hh. 219-223. 13  Debra J. Davidson dan Scott Frickel, Op,cit.

(9)

masyarakat harus memperhatikan kesinambungan lingkungan demi kemanfaatan masa depan di dalam pemanfaatan lingkungan. Begitu juga paradigma Global

Environmental. Paradigma ini juga percaya bahwa masyarakat global harus

melakukan langkah-langkah dan berperan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Biasanya peran ini dimainkan oleh organisasi-organisasi internasional dan NGO lingkungan. Jika kita lihat asumsi keduanya, maka civil society dipandang lebih berperan penting di dalam mengatasi krisis lingkungan. Penekanannya adalah diserahkan kepada masyarakat dan individu yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis lingkungan secara volunter (voluntary aproach).

Ketiga; Teori Strukturasi.14 Dalam perkembangan sosiologi kontemporer, tradisi strukturalisme dan konstruksionisme di atas kemudian mendorong munculnya teori Strukturasi yang diprakarsai oleh Antony Giddens. Teori strukturasi mencoba mencari linkage setelah terjadi perseteruan tajam antara struktural fungsional dan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas dengan pandangan yang dikemukakan oleh struktural fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalis mereduksi aktor dalam struktur, kemudian sejarah dipandang berlangsung secara mekanis, dan bukan suatu produk kontingensi dari aktifitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran (struktural fungsional dan konstruksionisme). Dari hasil kerja “mempertemukan” keduanya inilah Giddens merekonseptualisasikan tindakan, sekaligus menawarkan perspektif baru yang disebutnya teori strukturasi.

Menurut Giddens, perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul di dalam ruang dan waktu. Gidens kemudian menyusun formasi pemikirannya sebagai berikut: 1). Masyarakat bukan merupakan realitas objektif yang telah jadi, melainkan diciptakan oleh tindakan-tindakan anggota-anggotanya sebagai agen yang membutuhkan kemampuan dari agen, 2). Agen tidak bebas memilih bagaimana menciptakan masyarakat, tetapi dibatasi oleh kendala (constraint) lokasi sejarah di luar pilihan mereka sendiri. Struktur dalam hal ini memiliki kapasitas ganda: bisa menjadi kendala, tetapi juga bisa menjadi peluang (enabling) bagi manusia agensi. Setiap tindakan manusia atau struktur mengandung tiga aspek: makna, norma, dan kekuasaan. 3). Sosiolog tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami kehidupan sosial, bahkan hal ini harus dipegangi secara konsisten. Sosiolog harus melibatkan diri ke dalam situasi yang menjadi subjek analisisnya. 4). Konsep formasi mencakup double hermenutic. Sosiolog harus menjaga ketelitian dengan konsepnya sehingga sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tugas utama sosiologi adalah melakukan rediskripsi terhadap setting sosial dengan meta bahasa, dan selalu bisa dikonfirmasi terhadap prinsip bahwa masyarakat merupakan manusia agensi. Ungkapan di atas dapat kita pahami bahwa: untuk terjun dalam praktik sosial seorang aktor harus mengetahui cara berpartisipasi sesuai konteks (ruang dan waktu) dan cara mengikuti suatu peraturan. Secara sederhana, sebenarnya Giddens hendak menunjukkan bahwa                                                                                                                          

(10)

perubahan sosial akan mungkin bila ada agen dan sekaligus sebuah struktur sebagai mediumnya.

Di sini, teori strukturasi, pada dasarnya merupakan alternatif yang logis untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi krisis lingkungan, meskipun sebenarnya teori strukturasi pada akhirnya juga terjebak kepada struktur, karena usaha mempertemukan keduanya berakhir pada struktur. Dengan kata lain, ia tidak lebih dari sebuah usaha yang berbelok-belok yang berakhir pada struktur. Kendati demikian, apresiasi terhadap usahanya mempertemukan antara kedua teori yang berseberangan (strukturalisme dan konstruksionisme-fenomenologis) tampaknya perlu dikembangkan. Jika dalam teori struktural fungsional yang lebih berperan di dalam menyelesaikan krisis lingkungan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll sebagaimana diperagakan oleh pluralisme, agency capture, ecological marxisme, dan social

construction. Sementara itu, teori konstruksionisme

(interaksionisme-fenomenologis) lebih percaya pada peran individu (bukan struktur) di dalam mengatasi krisis lingkungan, sebagaimana diperagakan oleh ecological

modernization dan global environmental. Maka teori strukturasi mencoba

mempertemukan keduanya, ia justru memakai dan meletakkan prinsip governance dan govermentality secara sekaligus.

Dengan demikian perdebatan yang men-versuskan antara governance dan

govermentality menjadi tidak relevan. Karena pada prinsipnya governance

merupakan tata kelola kepemerintahan yang melibatkan berbagai stakeholder (state, civil society, dan private sector), karena governance menolak negara yang otoritatif.15 Jika governance percaya kepada peran civil society, maka ia justeru mensyaratkan govermentality (mastering the self), sebagai bagian dari proses penguatan masyarakat sipil (civil society). Dengan kata lain, govermentality merupakan prasyarat governance. Di sini, keduanya, bahkan ketiganya

(goverment) bisa dipertemukan dalam bingkai bersama-sama mengatasi krisis

lingkungan. Usaha mempertemukannya, kita bisa belajar dari usaha Antony Giddens mempertemukan dua aliran dalam teori sosial yang bersebrangan dengan menemukan pertautan atau lingkage-nya masing masing.

Penutup

Berdasarkan pokok pikiran mengenai bagaimana problem krisis lingkungan diposisikan dalam teori strukturasi. Teori ini begitu memberikan gambaran yang menolak ekstrimisme dua kubu yang berdiri berseberangan, yakni teori strukturalisme dan konstruksionisme-fenomenologis. Belajar dari bagaimana teori strukturasi mempertemukan kedua kubu yang berseteru itu, kita juga bisa “mempertemukan” perdebatan yang meng-versuskan antara governance dan

govermentality oleh sebagian orang. Usaha mempertemukan ini didasarkan pada

asumsi bahwa governance sebenarnya mensyaratkan govermentality. Tulisan ini tentu banyak kekurangan, setidaknya melalui kesadaran ini penulis berharap saran dan kritik yang konstruktif.

                                                                                                                         

15 Jon Pierre (ed), Debating Governance: Authority, Steering, and Democracy, Oxford University

(11)

Daftar Pustaka

Davidson, Debra J. dan Scott Frickel, “Understanding Environmental Governance”, in Organization and Environment, Vol. 17. No. 4, Desember 2004.

Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur

Sosial Masyarakat, terjemahan Maufur & Daryanto. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius.

http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=104,

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.

Kung, Hans. 1991. Global Responsibility in Search of a New World Ethic. New York: Crossroad Publishing Company.

Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: LPAM (Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat).

Pierre, Jon (ed). 2000. Debating Governance: Authority, Steering, and

Referensi

Dokumen terkait

TERHADAP GAYA HIDUP MASYARAKAT : FLEKSIBELITAS INTEPRETATIF INTEPRETATIF MASYARAKAT KEMBALI PADA GAYA HIDUP STABILISASI GAYA HIDUP AWAL DGN ARTEFAK TEKNOLOGI MASYARAKAT

Kinerja Algoritma C4.5 yang digunakan untuk meenyelesaian masalah yang dihadapi direktur utama dalam penentuan pegawai yang direkomendasikan untuk promosi

Pembuatan LKN (Laporan Kunjungan Nasabah) dan Persetujuan Pada tahap ini UH dan AOM akan menganalisis seluruh aspek usaha dan jaminan nasabah yang telah didapat

Langkah-langkah yang ditempuh peneliti dari siklus I dan siklus II sudah menunjukkan hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh peneliti dalam upaya

Hasley (2013:345) menyatakan bahwa semangat kerja itu adalah sikap kesediaan perasaan yang memungkinkan seorang karyawan untuk menghasilkan kerja yang lebih banyak dan

(3) Pihak lain dalam melakukan usaha pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bekerjasama dengan badan usaha milik masyarakat Hukum

sesuai butir 1) di atas akan dibayarkan dengan Obligasi Wajib Konversi/Mandatory Convertible Bond (MCB-A) Perusahaan yang berjangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak

acak untuk melakukan presentasi rancangan yang akan dibuat di depan kelas. Mahasiswa yang lain memberikan masukan atau saran terkait kepada temannya berkaitan