• Tidak ada hasil yang ditemukan

USM RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG- UNDANGAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USM RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG- UNDANGAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

USM

RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat guna menyelesaikan Program Studi S1 Hukum

MOHAMAD KHUSNUL MUBAROQ A.111.15.0003

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin, dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin, rahmat serta hidayahNya, penulisan skripsi yang berjudul “RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN PASCA AMANDEMEN 1945” dapat diselesaikan.

Penulis memahami karya ilmiah ini masih jauh dari standar ilmiah yang tinggi. Segala kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini baik dalam segi penyusunan laporan, data dan fakta, konsep-konsep serta kerangka pemikiran akan menjadi bahan refleksif bagi penulis untuk terus meningkatkan kualitas ilmiah dan intelektual sebagai rasa cinta penulis terhadap ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari, berhasilnya studi dan penelitian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan semangat dan doa kepada peulis dalam menghadapi setiap tantangan, sehingga sepatutnya pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Semarang Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M

2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H.,M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang;

3. Bapak Dr. Amri P. Sihotang, S.S.,S.H.,M.Hum,selaku Ketua Program studi S1 Ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Semarang

4. Ibu Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Semarang;

5. Bapak Dr. Muhammad Junaidi, S.Hi, M.H, selaku dosen Pembimbing I dan Bapak Heru Nuswanto, S.H, M.H selaku dosen pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya serta memberikan bimbingan dalam menyusun skripsi ini;

6. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Semarang atas bantuan informasi dan kerjasamanya;

7. Kedua Orang Tua tercinta yang telah membesarkan penulis sejak dalam buaian hingga saat ini dengan segala rasa cinta dan kasih sayang yang tidak

(6)

pernah surut dan juga yang telah mendidik, membina, memberikan dorongan dan doa kepada penulis;

8. Kawan seperjuangan saya yang satu idealisme dalam Forum Intelektual Muda (FIM) dan Literasi yang selalu menjadi teman dialektika.

9. Rekan-rekan dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat USM 10. Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2015 yang telah berjuang

bersama dalam melaksanakan bimbingan;

11. Kepada seluruh kaum intelektual dan filsuf yang selalu menjadi sumber pencerahan bagi penulis dalam menemukan hakekat kehidupan.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan sumbangsih pemikiran untuk perkembangan pengetahuan bagi penulis maupun bagi pihak yang berkepentingan.

Semarang, 23 Januari 2019 Penulis,

(7)

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah dan setiap waktu adalah

kebijaksanaan” PERSEMBAHAN

1. Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia serta Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman.

2. Ayah, Ibu, dan kakak tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik dan selalu menginspirasi saya untuk setiap langkah yang telah saya ambil.

3. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang yang telah tulus dan ikhlas memberikan ilmu yang dimiliki.

4. Bapak Dr.Muhammad Junaidi, S.Hi, M.H dan Bapak Heru Nuswanto, S.H, M.H yang telah berkenan membimbing saya dalam menempuh perjalanan intelektual.

5. Ibu Dr. Widayati, S.H, M.H yang telah berkenan untuk diwawacara dan diberikan buku disertasi sebagai data yang penting dalam penelitian ini.

6. Kawan seperjuangan di HMI Komisariat USM, Korkom Sultan Agung, serta BPL Cabang Semarang yang memberikan dorongan moral agar penelitian ini segera terselesaikan.

7. Kawan seperjuangan di FIM-Literasi.

8. Kepada seluruh intelektual dan filsuf yang selalu memberikan pencerahan kepada penulis.

(8)

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menghapus kedudukan TAP MPR dari hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur pada Pasal 7. Hal ini disebabkan kewenangan MPR yang tidak lagi merumuskan GBHN sehingga MPR tidak lagi mengeluarkan produk hukum yang mengatur ( regeling) tetapi menetapkan (beschiking) dan mengikat kedalam. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam Pasal 7, TAP MPR kembali dimasukan sebagai hierarki peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945 dan diatas Undang-Undang/Perppu. Kembalinya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan mengubah sistem perundang-undangan Indonesia. Penelitian ini fokus pada permasalahan (1) bagaimana kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945, (2) bagaimana kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kedudukan TAP MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 serta mengetahui relevansi TAP MPR dalam sistem perundangan-undangan pasca amandemen UUD 1945. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analitis, data yang digunakan adalah data sekunder. Metode analisis data yang digunakan kualitatif. Kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945 diatur dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966. Kewenangan MPR merumuskan GBHN berdampak pada muatan TAP MPR yang mengatur (regeling) dan sebagian menetapkan (beschiking). Setelah amandemen UUD 1945 kedudukan TAP MPR menjadi problematis karena menempatkan TAP MPR dibawah UUD 1945 dan diatas Undang-Undang/Perppu tidak relevan disebabkan perubahan kewenangan MPR yang tidak lagi merumuskan GBHN serta tidak ada lembaga yang berwenang melakukan judicial review terhadap TAP MPR yang masih berlaku.

(9)

ABSTRACT

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 concerning the Establishment of Legislation Regulations removes the position of the TAP MPR from the hierarchy of legislation regulated in Article 7. This is due to the authority of the MPR which no longer formulates the GBHN so that the MPR no longer issues regulating legal products (regeling ) but sets (beschiking) and binds into. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 concerning the Establishment of Legislation Regulations revokes Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. In Article 7, the TAP MPR is again included as a hierarchy of legislation under UUD 1945 and above Undang-Undang / Perppu. The return of the TAP MPR in the hierarchy of laws and regulations changed Indonesia's legal system. This study focuses on the problem (1) how the position of the TAP MPR before the UUD 1945 amendment, (2) how the position of the TAP MPR after the UUD 1945 amendment. legislation after the amendment to the UUD 1945. This type of research is normative juridical, analytical descriptive research specifications, data used are secondary data. Data analysis method used is qualitative. The position of the TAP MPR before the amendment to the UUD 1945 was regulated in Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966. The authority of the MPR to formulate the GBHN has an impact on the MPR TAP content that regulates (regeling) and partly stipulates (beschiking). After the amendments to the 1945 Constitution the position of the TAP MPR was problematic because placing the TAP MPR under UUD 1945 and above Undang-Undang / Perppu was irrelevant due to changes in MPR authority that no longer formulated the GBHN and no institution authorized to conduct judicial review of the TAP MPR.

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN ORISINALITIAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A .Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C .Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1. Tujuan Penelitian ... 10

2. Manfaat Penelitian ... 11

D. Keaslian Penelitian ... 11

E. Sistematika ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Tinjauan Umum Tentang Keputusan dan Ketetapan ... 14

B. Sistem Peraturan Perundang-undangan ... 18

C. Kedudukan TAP MPR ... 27

D. Keberlakuan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-undangan ... 30

E. Wewenang MPR Dalam Menjalankan TAP MPR ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Spesifikasi Penelitian ... 41

C. Metode Pengumpulan Data ... 42

D. Metode Analisis Data ... 42

BAB IV PEMBAHASAN ... 43

A. Kedudukan TAP MPR Sebelum Amandemen UUD 1945 ... 43

B. Kedudukan dan Relevansi TAP MPR Setelah Amandemen UUD 1945 ... 68

BAB V PENUTUP... 99

(11)

xi

B. Saran ... 101

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Reformasi tahun 1998 menjadi awal dari suatu masa transisi dan perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Perubahan tersebut mengubah tatanan kehidupan bernegara yang berbeda dari era sebelumnya. Tatanan sosial, politik, pemerintahan, budaya dan hukum mengalami transformasi yang cepat pasca reformasi yang mengalami momentum ketika Presiden Soeharto lengser setelah menjabat selama 32 tahun. Secara konseptual dan strategis, ada empat pilar reformasi yang semestinya menjadi acuan dalam pembaharuan yaitu politik, ekonomi, sosial dan lain-lain, termasuk pembaharuan bidang hukum.1

Pembaharuan dalam bidang hukum salah satunya adalah amandemen Undang- Undang Dasar 1945. Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945. Sejak keluarnya Dekrit 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945 belum pernah diubah untuk disempurnakan.2 UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia mengalami proses politisasi pada pemerintahan Orde Baru sehingga UUD 1945 mengalami sakralisasi. Pemerintahan Orde Baru mengambil kebijakan tafsir tunggal terhadap UUD 1945.3 Pemerintahan Orde Baru yang bersemboyan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen juga

1 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi ( Yogyakarta : UII

Press, 2007 ), hlm 43.

2 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia ( Bandung : Refika Aditama,

2011), hlm 45.

(13)

melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter terutama pelanggaran terhadap hak- hak sipil dan hak-hak politik rakyat sebagaimana diatur di dalam UUD 1945.4 Implikasi dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang cenderung otoritarianisme membuka peluang sistem pemerintahan dan ketatanageraan yang berjalan tanpa adanya pengawasan dan kontrol ( check and balances).

Lembaga negara di era pemerintahan Orde Baru tidak berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan kekuasaan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945. Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) yang diberi kewenangan legislatif dalam membuat peraturan perundang-undangan tidak menjalankan kewenangannya sesuai amanah konstitusi. Produk hukum yang diciptakan oleh DPR didasarkan atas inisiatif pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai representasi kedaulatan rakyat di era pemerintahan Orde Baru merupakan lembaga tertinggi negara. Supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara cenderung menjadi alat legitimasi kebijakan pemerintah. Penyelewangan atas UUD 1945 membawa akibat yang buruk bagi kondisi demokrasi, politik dan hukum di Indonesia. Amademen UUD 1945 menimbulkan perubahan signifikan dalam aspek hukum tata negara. Perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan checks and balances,

mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak

4 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, ( Jakarta : RajaGrafindo

(14)

asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.5

Pasca amandemen UUD 1945 yang keempat tahun 2002 kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaaran Indonesia yang menyebabkan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan sama kedudukannya dengan DPR, DPD, BPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai lembaga tinggi negara. Transformasi kewenangan MPR pasca Reformasi 1998 mempengaruhi kedudukan, fungsi dan tugas MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Fungsi dan tugas MPR termaktub dalam Pasal 3 Ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 yang menegaskan MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden dan/atau Wakil presiden, memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jababatannya menurut Undang-Undang Dasar.6

Sebelum amandemen UUD 1945, MPR menjadi lembaga penting dalam merumuskan GBHN yang secara formal dituangkan dalam bentuk produk hukum yang disebut Ketetapan MPR. Ketetapan MPR atau yang biasa disingkat dengan TAP MPR adalah ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh MPR yang secara substansi-materiil mengandung muatan yang bersifat mengatur (regeling) dengan daya ikat umum ( abstract). Setelah perubahan UUD, MPR tidak lagi memiliki

kewenangan menetapkan GBHN dan tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR

5 Titik Triwulan Tutik, “Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan“ (Jurnal Ius Quia Iustum, Nomor 1, Volume 2, Maret 2013 ),hlm 2.

(15)

(TAP MPR), kecuali berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Dengan demikian MPR tidak lagi mengeluarkan peraturan yang bersifat mengatur (regeling) seperti sebelum UUD 1945 diamandemen.

Pasca amandemen UUD 1945, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor/I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Konsideran menimbang huruf b dan c Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 menunjukan bahwa ketetapan ini lahir karena perubahan struktur kelembagaan negara dan perubahan kedudukan, fungsi, tugas dan lembaga negara. Masuknya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan untuk meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum.7 Peninjauan materi Ketetapan MPR diperlukan untuk melakuan evaluasi terhadap TAP MPR yang telah berlaku semenjak tahun 1960 sampai 2002. Beberapa ketentuan TAP MPR ada yang habis masa berlakunya, telah dicabut, berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu, atau pun berlaku sampai terbentunya undang-undang yang mengatur. MPR sendiri telah melakukan inventarisasi terhadap TAP MPR

sebagai implikasi perubahan fungsi dan kewenangan kelembagaan MPR.

7 Ery Wisita Wongku, “Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan

Di Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian “, Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana, 2013, hlm 3

(16)

Sebagai sebuah produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) dan bersifat umum, TAP MPR masuk kedalam hierarki peraturan perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan diatur pertama kali dalam Ketetapan MPRS No.XX /MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Ketetapan MPRS ini merupakan pengukuhan dari Memorandum DPR- GR tanggal 9 Juni 1966 yang merupakan hasil peninjauan kembali dan penyempurnaan dari Memorandum MPRS tanggal 12 Mei 1961 No. ll68/U/MPRS/61 mengenai Penentuan Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut Memorandum DPRGR yang telah dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut bentuk-bentuk peraturan perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah: (l) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945: (2) Ketetapan MPR; (3) Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Keputusan Presiden; (6) Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya. 8 Setelah amandemen UUD 1945 terjadi perdebatan mengenai kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perdebatan ini disebabkan oleh perubahan kedudukan fungsi dan kewenangan MPR sebagai realisasi agenda reformasi. Perubahan kedudukan TAP MPR menimbulkan pro dan kontra sehingga terjadi tarik-ulur tentang kedudukan TAP MPR. 9 Kemudian untuk menegaskan eksistensi TAP MPR maka pada tahun 2000 MPR mencabut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan

diganti dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

8 A. Rosyid Altok, “Ketetapan MPR Dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan”,(Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 25, Nomor 1, Februari, 2012 ), hlm 4

(17)

Perundang-undangan. Pada prinsipnya Tap MPR No.III/MPR/2000 secara materiil mengandung muatan yang sama dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai upaya menciptakan produk peraturan perundang- undangan yang sesuai dengan asas Pancasila dan memberikan landasan yuridis bagi hierarki peraturan perundang-undangan mengingat selama ini tata uratan hierarki peraturan perundang-undangan masih terbatas diatur oleh Tap MPR No.III/MPR/2000 yang status hukum maupun kedudukan TAP MPR masih menjadi perdebatan akademis dan politis. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pasal yang mengatur hierarki peraturan perundang-undangan.

TAP MPR yang sebelumnya berada dibawah UUD 1945 sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak dimasukan lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dapat dipahami mengingat MPR tidak berwenang lagi membentuk TAP MPR yang bersifat mengatur setelah hapusnya kewenangan menetapkan GBHN. Namun menurut TAP MPR No. I/MPR/2003 masih terdapat tiga ketetapan yang masih berlaku dengan enam ketentuan dan sebelas ketetapan yang masih berlaku sampai terbentuknya undang- undang.10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 setelah berlaku selama hampir tujuh tahun. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor

10 Tyan Adi Kurniawan dan Wilda Prihatiningtyas,” Problematika Kedudukan TAP MPR

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan”, ( Jurnal Yuridika, Volume 27 No.2, Mei-Agustus, 2012 ), hlm 125

(18)

11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kembali memasukan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar 1945 dan diatas Undang-Undang/ Perppu. Naskah akademik Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak menjelaskan rasio yuridis TAP MPR dimasukan kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Berlakunya kembali TAP MPR sebagai produk hukum yang eksis dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memunculkan berbagai problem hukum tersendiri mengingat MPR secara kelembagaan mengalami reduksi kewenangan pasca amandemen UUD 1945 dengan tidak diberikan lagi kekuasaan untuk membuat produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) dan mencakup umum ( abstract). Implikasi hukum dimasukkannnya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, jelas membawa konsekuensi-konsekuensi logis dalam penataaan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda. Pemberlakuan TAP MPR dengan segala implikasi hukumnya menjadi salah satu permasalah hukum yang menarik dari segi yuridis, filosofis maupun sosiologis.

(19)

TAP MPR yang telah dicabut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 20014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimasukan kembali dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk melakukan kajian terhadap inkonsistensi lembaga legislatif ( DPR) terhadap status hukum TAP MPR. Sehingga akan ditemukan jawaban apakah produk hukum TAP MPR/S masih relevan untuk dijadikan salah satu sumber hukum yang secara konkret dimasukan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Pemberlakukan kembali TAP MPR membawa implikasi hukum terhadap prosedur pengujian hukum ( judicial review) yaitu lembaga negara mana kah yang akan berwenang menguji materi TAP MPR apabila terdapat materi muatan yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 sesuai Pasal 24 C ayat (1), “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sementara Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang- undang sesuai Pasal 24 A ayat (1), “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Pemberlakuan kembali TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan akan menimbulkan potensi terjadinya kekosongan hukum

(20)

(rechtvacuum). Selain itu wacana yang mendukung revitalisasi kembali kewenangan MPR untuk merumuskan GBHN melalui produk hukum TAP MPR menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian hukum dengan judul “RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945’ untuk dikaji secara mendalam seberapa relevan TAP MPR dalam konteks pemberlakuannya di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang .

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka penelitian ini fokus pada :

1. Bagaimana kedudukan TAP MPR dalam Sistem Perundang-Undangan sebelum amandemen UUD 1945 ?

2. Bagaimana kedudukan dan relevansi TAP MPR dalam Sistem Perundang-Undangan setelah amandemen UUD 1945 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan TAP MPR dalam Sistem Perundang- Undangan sebelum amandemen UUD 1945.

2. Untuk mengetahui kedudukan dan relevansi TAP MPR dalam Sistem Perundang-Undangan setelah amandemen UUD 1945.

(21)

Tujuan khusus penelitian ini mencoba menjawab kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan dalam konteks masa lalu, masa kini sehingga akan diketahui seberapa relevan pemberlakuan TAP MPR di masa depan.

b. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini akan menambah khazanah akademik dalam bidang kajian hukum khususnya hukum tata negara. Harapannya penelitian ini akan membuka perspektif kelimuaan baru untuk menambah referensi ilmiah bagi mahasiswa hukum.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini memiliki manfaat praktis bagi anggota legislatif agar mempertimbangkan kembali TAP MPR/S sebagai salah satu produk hukum yang masih berlaku hingga hari ini. Bagi akademisi, penelitian ini akan membuka bagi penelitian-penelitian baru yang lebih komprehensif.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang “Relevansi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Pasca Amandemen UUD 1945” yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan karya ilmiah yang serupa tetapi tidak sama, yaitu :

(22)

1. Judul Skripsi

Analisis Hukum Kedudukan TAP MPR RI Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Identitas Penulis : Andi Fauziah Nurul Utami

Tahun Lulus : 2013 (Fakultas Hukum Universitas Hassanudin ) Permasalahan dari penelitian Andi Fauziah Nuruh Utami merumuskan tentang analisa secara yuridis tentang pemaknaan ranah kedudukan TAP MPR RI di dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan pasal 7 ayat 1 (a) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan dan menguraikan implikasi yuridis yang dapat timbul akibat dimasukkannya kembali TAP MPR RI dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

2. Judul Skripsi

Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian.

Identitas Penulis : Esy Riwista Wongku.

Tahun lulus : 2013 (Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana)

Dari kedua penelitian diatas, penelitian penulis lebih membahas kedudukan TAP MPR secara komprehensif pada aspek-aspek yang mempengaruhi kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan yakni muatan TAP MPR sebelum dan setelah amandemen, dinamika hirarki peraturan-perundangan, analisa teori norma hukum serta tranfromasi kewenangan MPR dari segi teori hukum tata negara

(23)

sehingga penulis mendapatkan kesimpulan kedudukan TAP MPR masih mengandung relavansi atau tidak untuk dijadikan peraturan-perundang-undangan.

E. Sistematika

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika BAB II : Merupakan bab tinjauan pustaka yang berisikan uraian kedudukan

TAP MPR, keberlakuan TAP MPR dalam sistem perundang- undangan dan wewenang MPR dalam menjalankan TAP MPR. BAB III : Merupakan bab metode yang berisikan uraian jenis/tipe Penelitian,

spesifikasi penelitian, metode pengumpulan dan dan metode analisis data

BAB IV: Merupakan bab yang menjawab permasalahan penelitian. Menjabarkan, menjelaskan serta menguraikan analisa hukum terhadap permasalahan dengan menggunakan sumber-sumber data yang akurat. Bab ini membahas dua permasalahan yakni : (a) kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945 ; (b) Kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945. Kedua permasalahan tersebut akan dianalisa secara yuridis dan filosofis menggunakan teori hukum khususnya teori norma hukum serta mendeskripsikan secara koheren dengan berpedoman pada bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.

(24)

BAB V : Merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dari penelitian dan saran dari penulis terhadap solusi atas permasalahan yang dibahas.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Ketetapan dan Keputusan

Pengertian antara ketetapan dan keputusan seringkali dipertukarkan antara satu sama lain sehingga terkadang timbul multi penafsiran. Menurut Jimmly Asshidiqie istilah keputusan dan ketetapan adalah sama. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschiking). Hasil kegiatan penetapan dan pengambilan keputusan administratif disebut sebagai keputusan atau ketetapan merujuk kepada hasil keputusan-keputusan di bidang yudisial.11 Secara konsepsional, antara ketetapan dan keputusan tidak ada perbedaannya.12 Ketetapan atau keputusan yang berarti

beshickking sebenarnya sangat terkait dengan tindakan hukum

penguasa/pemerintah yang mempunyai sifat bersegi satu. Ketetapan mengandung unsur individual dan konkret ( beshicking). Lawan dari sebuah produk hukum yang konkret adalah mengatur (regeling). Bentuk keputusan atau ketetapan menjadi pembeda dari bentuk aturan yang bersifat mengatur seperti undang-undang (regeling). Disini secara essensial maupun substantif ketetapan tidak sejenis dengan undang-undang atau produk hukum lain yang memiliki muatan mengatur (regeling) dan umum (abstract). Berdasarkan definisi-definisi yang diberikan beberapa sarjana, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., menyimpulkan beberapa unsur dari ketetapan, antara lain13:

11Ibid., hlm 8

12S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara

(Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm 74.

13Dian Agung Wicaksono, “Implikasi Re-Eksistensi Tap Mpr dalam Hierarki Peraturan

Perundang-Undangan terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia”, Jurnal

(26)

1. Merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan oleh dua belah pihak;

2. Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau kekuasaan istimewa; dan

3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum. Produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR secara nomenklatur disebut Ketetapan MPR atau disingkat TAP MPR. Dalam praktik ketatanegaraan di masa orde baru MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Bentuk Ketetapan MPR berkembang dalam praktik ketatanegaraan yang menjadi konvensi ketatanegaraan. 14 Pada praktiknya, MPR tetap eksis menngeluarkan TAP MPR sampai UUD 1945 diamandemen dan mengubah kewenangan MPR selanjutnya.

Dasar hukum pembentukan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 yang utama adalah Pasal I Aturan Tambahan, Pasal I dan Pasal II Aturan Peralihan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus 2002.

1) Pasal I Aturan Tambahan:

“Majelis Pemusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan

peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis

14 Widayati, “ Perbandingan Materi Muatan Ketetapan MPR Pada Masa Pemerintahan Orde

Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III No.1, 2016, hlm 127

(27)

Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”

2) Pasal I Aturan Peralihan:

“Segala peraturan perundang - undangan yang ada masih tetap

berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.

3) Pasal II Aturan Peralihan:

“Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi

sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang - Undang Dasar ini”.

4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2002.

5) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2003.

Ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang ada dapat ditemukan beberapa jenis materi yang termuat di dalamnya sebagai berikut:

(28)

1) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat mengatur sekaligus memberikan tugas kepada Presiden.

2) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat penetapan (beschikking).

3) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat mengatur kedalam (interneregelingen).

4) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat deklaratif.

5) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat rekomendasi.

6) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat perundang - undangan.

Untuk mengetahui apakah suatu norma hukum yang terdapat dalam aturan/keputusan merupakan Regeling atau Beschikking, yang menjadi tolok ukurannya adalah, apabila materi muatan dalam wujud aturan/keputusan itu sasarannya adalah berlaku dan mengikat keluar kepada warga masyarakat secara umum, tidak ditujukan kepada objek, peristiwa atau gejala konkret tertentu (umum- abstrak), maka Keputusan itu adalah Regeling),sebaliknya apabila suatu Keputusan

(29)

itu dengan ciri atau bersifat individual-konkret, artinya mengatur obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu, maka Keputusan itu adalah Beschikking, misal untuk mengetahui suatu Keputusan Administratif yang bersifat Peraturan PerUndang- Undangan (Regeling) harus memuat unsur-unsur sebagaimana yang dikemukakan oleh P.J.P.Tak15, yang dikutup dari Bagir Manan, yaitu:

1) Peraturan PerUndang-Undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perUndang- Undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis (geschrevenrecht, written law);

2) Peraturan PerUndang-Undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan,organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku atau mengikat umum; dan 3) Peraturan PerUndang-Undangan bersifat mengikat umum, tidak

selalu dimaksudkan selalu mengikat semua orang.

B. Sistem Peraturan Perundang-Undangan

Dalam beberapa literatur peraturan perundang-undangan disejajarkan dengan undang-undang. Menurut Bagir Manan, banyak kalangan yang menganggap hukum, peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah hal yang sama. Padahal, hal tersebut tidaklah sama. Undang-undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya

15 P.J.P Tak, Rechtsfoorming in Nederland, Samson H.D Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn

Karel Boungenaar, Sari Kuliah Hukum Tata Negara oleh Prof.Dr. Philipus M. Hadjon pada FH

(30)

undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum seperti hukum adat, kebiasaan, dan hukum yurisprudensi. 16 Perundang-undangan yang dalam bahasa Inggris adalah legislation atau dalam bahasa Belanda wetgeving atau

gesetzgebung dalam bahasa Jerman, mempunyai pengertian sebagai berikut:

1) perundang-undangan sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan

2) perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah17.

Sedangkan Satjipto Rahardjo, memberikan batasan mengenai perundang- undangan yang menghasilkan peraturan, dengan cirri-ciri sebagai berikut :

1) bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. 2) Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-

peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3) Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Dari pendapat Satjipto Rahardjo menimbulkan sebuah konsekuensi bahwa segala bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga negara akan masuk sebagai peraturan perundangan-undangan apabila memenuhi sifat mengatur (regeling) dan mencakup umum (abstract). Hal tersebut dibedakan dengan sifat yang melekat

16 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, ( Jakarta: Ind. Hill.Co, 1992)

Hlm. 2-3.

17 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi

(31)

dalam suatu keputusan (becshikking) yang bersifat konkret, individual dan berlaku sekali waktu (einmalig).

Regeling= Besluiten van Algemene Strekking merupakan “pengaturan yang

bersifat umum” , dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan dinyatakan” Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan” dalam Penjelasan Pasal 2 huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 (UU PERATUN) yang dimaksud dengan “pengaturan yang bersifat umum “ ialah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.

Sejalan dengan hal tersebut, Prof.Dr. Bagir Manan, SH, M.Cl berpendapat “Aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum itu dapat berisi ketentuan- ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Hal-hal yang diatur bersifat umum, maka Peraturan PerUndang-Undangan adalah abstrak-umum atau umum-abstrak. Ciri-ciri tersebut dimaksudkan untuk membedakan dengan Keputusan tertulis Pejabat atau lingkungan jabatan berwenang yang individual- konkret yang lazim disebut Beschikking. Umum berarti ditujukan untuk umum, abstrak(tidak konkret) berarti ditujukan untuk objek/ peristiwa yang tidak tertentu/

(32)

tidak dapat ditentukan.18 Dengan merujuk pada rumusan pengertian tersebut, terdapat korelasi hukum yang berkesinambungan diantaranya, dengan demikian “pengaturan yang bersifat mengikat secara umum (Besluiten van Algemene

Strekking)” adalah identik dengan “peraturan PerUndang-Undangan (Algemene verbindende voorschriften)”, sebagaimana dipertegas dalam Penjelasan Pasal 1 angka

2 UU PERATUN yang menyatakan ”yang dimaksud dengan Peraturan PerUndang-Undangan ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik ditingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang juga bersifat mengikat secara umum”.

Beschikking, dalam terminologi Hukum Administrasi (Negara) Beschikking

diartikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang pengertiannya dalam UU PERATUN dinyatakan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang berakibat hukum bagi seseorang/ Badan hukum perdata”. Dalam penjelasan UU PERATUN dinyatakan bahwa konkret itu berarti tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan sedangkan individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju, dan final adalah Keputusan tersebut bersifat definitif. Oleh karena itu suatu KTUN selalu dianggap

sah dan dapat langsung dilaksanakan, sepanjang tidak ada Putusan yang

18 Maria Farida Indrarti S., Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya (

(33)

menyatakan bahwa KTUN tersebut adalah tidak sah dan sudah sepatutnya dibatalkan (Azas Vermoeden van Rechtmatigheid).19

Sistem perundang-undangan merupakan suatu rangkaian unsur-unsur hukum tertulis yang saling terkait, pengaruh-mempengaruhi, dan terpadu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya yang terdiri atas : asas-asas, pembentuk dan pembentukannya, jenis, hierarki, fungsi, materi muatan, pengundangan, penyebarluasan, penegakan dan pengujian yang semuanya dilandasi oleh falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 194520. Berdasarkan definisi tersebut maka unsur-unsur sistem peraturan perundangan-undangan adalah :

1) asas-asas pembentukan;

2) pembentukan dan proses pembentukannya; 3) jenis dan hierarki;

4) fungsi;

5) materi muatan; 6) pengundangan; 7) penyebarluasan;

8) penegakan dan pengujian.

Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

19 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi (Yogyakarta : Gajah Mada Press,

1992), hlm 176

20 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, ( Jakarta : Konpress dan

(34)

1) Asas kejelasan tujuan dalam pembentukan perundang-undangan dimaknai bahwa harus ada kejelasan tujuan yang hendak dicapai melalui pembentukan UU yang bersangkutan;

2) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yaitu DPR bersama-sama dengan Pemerintah, dan dengan keterlibatan DPD untuk RUU tertentu. Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga pembentuk peraturan perundang- undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;

3) Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan yaitu bahwa untuk jenis UU harus berisi materi muatan yang memang seharusnya dituangkan dalam bentuk UU;

4) Asas dapat dilaksanakan, yaitu bahwa ketentuan yang diatur dalam UU itu harus dapat dilaksanakan sebagaiman mestinya dan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis;

5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

6) Asas kejelasan rumusan, yaitu bahwa pengaturan suatu materi ketentuan tertentu dalam UU yang bersangkutan memang

(35)

mempunyai tujuan yang jelas dan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;

7) Asas keterbukaan, yaitu bahwa dalam pembentukan perundang- undangan itu dilakukan secarab terbuka, mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasannya.

Sementara hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebuah tingkatan produk perundang-undangan dari tertinggi sampai terendah. Menurut TAP MPRS Nomor XX/ MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966), dimana dalam lampiran IIA tentang “Tata urutan perundangan di Indonesia menurut UUD 1945” dirumuskan bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,

2. TAP MPR,

3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang,

4. Peraturan Pemerintah,

5. Keputusan Presiden,

(36)

- Peraturan Menteri,

- Instruksi Menteri,

- dan lain-lainnya.

Setelah selama 34 (tiga puluh empat) tahun, maka pada sidang MPR tahun 2000 ditetapkanlah Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (TAP MPR No. III/MPR/2000), yang menggantikan TAP MPRS/TAP MPRS No. XX/MPRS /1966. Dimana dalam Pasal 2 TAP MPR tersebut masalah hierarki peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai berikut :

“Tata urutan peraturan perundangundangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU); 5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah.

DPR pada tahun 2004 memberlakukan Undang-Undang 10 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan untuk menegaskan hierarki

(37)

peraturan perundangan-undangan sebelumnya dengan mencabut TAP MPR/S dalam susunan hierarki. Pasal 7 Undang-Undang tersebut menjabarkan susunan hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang Dasar;

2. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah.

Materi susunan hierarki dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dimaksudkan untuk menggantkan dan mengadopsi materi Ketetapan No.III/MPR/2000.21 Dicabutnya TAP MPR/S dalam hierarki peraturan perundang- undangan menimbulkan kontroversi dikalangan akademisi dan politisi. Terdapat anggapan dicabutnya TAP MPR/S sebagai sesuatu yang tidak didasarkan pada pertimbangan yuridis karena masih ada beberapa TAP MPR/S yang masih berlaku. Sebagai respon atas kritik tersebut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 dalam Undang-Undang tersebut kembali memasukan TAP MPR/S dalam hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar Negaran Republik Indonesia Tahun 1945;

(38)

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang atau PERPU; 4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan daerah provinsi; 7. Peraturan Daerah Kab/Kota.

Diberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjadikan TAP MPR/S masih eksis sampai sekarang meskipun MPR sudah tidak lagi mengeluarkan TAP MPR/S.

C. Kedudukan TAP MPR

Pada tahun 1966 dengan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 pada Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan MPRS

3. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden;

6. Peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti: - Peraturan Menteri;

(39)

- Instruksi Menteri; - Dan lain-lainnya.

Pasca amandemen UUD 1945 terjadi transformasi kewenangan MPR yang sebelumnya menjalankan fungsi GBHN dihapuskan sehingga berdampak pada kedudukan TAP MPR. Menurut Ketetapan MPR RI No. III/MPR/ 2000 sebagai pengganti dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/I966, tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

1. Undang-UndangDasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)

5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diberlakukan sebagai penegasan terhadap Ketetapan MPR RI No. III/MPR/ 2000. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dijabarkan hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang - Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

(40)

3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah.

TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dihapuskan sebagai implikasi perubahan UUD 1945 yang salah satu agenda perubahan menghapuskan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN. Perubahan kewenangan TAP MPR menyebabkan kedudukan TAP MPR tidak lagi berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diberlakukan untuk mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Kedudukan TAP MPR kembali dimasukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti; 4. Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah; 6. Peraturan Presiden;

7. Peraturan Daerah Provinsi;

(41)

D. Keberlakuan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia sejak tahun 1960-an, keberadaan Tap MPR menunjukkan perkembangan dan perubahan materi muatan dari waktu ke waktu. Hal itu ditunjukkan dengan judul-judul dan materi muatan dari produk hukum MPR yang pernah ada sejak pertama kali dikeluarkan pada tahun 1960 sampai dengan terakhir kali dikeluarkan pada tahun 2002. Berkaitan dengan materi muatan Tap MPR, terdapat beberapa pakar yang mengelompokkan Tap MPR berdasarkan materi muatannya.

Menurut hasil penelitian Sri Soemantri, materi muatan Tap MPR sampai tahun 1985 dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) kelompok sebagai berikut22:

1. Tentang Dasar Negara.

2. Tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

3. Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. 4. Tentang Pemilihan Umum.

5. Tentang Lembaga-lembaga Negara (Umum).

6. Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat. 7. Tentang Presiden dan Wakil Presiden.

8. Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. 9. Tentang Hal-hal Lain.

Sementara itu, menurut Bagir Manan materi muatannya Tap MPR dapat dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu23:

22 Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara

(42)

a. Tap MPR yang memenuhi unsur-unsur sebagai peraturan perundang-undangan.

b. Tap MPR yang materi muatannya semacam materi muatan ketetapan atau penetapan administrasi negara (beschikking).

c. Tap MPR yang berupa perencanaan (het plan) yaitu tentang Garis- garis Besar Haluan Negara (GBHN).

d. Tap MPR yang bersifat pedoman, sehingga semacam peraturan kebijakan di bidang administrasi negara.

Dalam buku lain, Bagir Manan juga mengidentifikasi materi muatan Tap MPR ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu:

1. Yang bersifat mengatur.

2. Yang sifat materinya mengikat umum secara langsung. 3. Yang materinya merupakan penetapan (beschikking). 4. Yang materinya bersifat pernyataan (deklarasi).

Setelah UUD 1945 diamandemen yang menyebabkan transformasi kewenangan MPR. Perubahan kewenangan MPR membawa implikasi terhadap peninjauan status materi TAP MPR/S yang telah berlaku selama 34 tahun. Peninjauan tersebut dilakukan melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali TAP MPR/S. Sejak Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (TAP MPR No. I/MPR/2003) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus

2003. Berdasarkan TAP MPR tersebut, TAP MPR/S Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 diklasifikasikan ke dalam 6 (enam) kelompok, yaitu:

23 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (

(43)

1. Kelompok TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 ketetapan);

2. TAP MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu (3 ketetapan);

3. TAP MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan

hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 ketetapan);

4. TAP MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang- undang (11 ketetapan);

5. TAP MPR yang masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR-RI hasil pemilihan umum tahun 2004 (5 ketetapan);

6. TAP MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).

Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut ternyata masih terdapat beberapa Ketetapan MPRS dan MPR yangmasih harus berlaku, baik berlaku dengan ketentuan maupun berlaku sampai dengan dibentuknya UU yang mengatur materi muatannya. Hal ini berarti masih terdapat beberapa Ketetapan MPRS dan MPR yang secara substansial masih harus diberlakukan dan pemberlakuannya pun harus mempunyai dasar hukum. Sampai dewasa ini terdapat 13 TAP MPR yang masih berlaku dan dijadikan dasar dari Undang-Undang Tahun 2012 tahun 2011 menetapkan kedudukan TAP MPR menjadi salah satu jenis hierarki peraturan

(44)

perundang-undangan. Rincian dari 13 TAP MPR yang masih berlaku adalah sebagai berikut24:

1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor-Timor

4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. (dalam perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan)

5. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.

7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

24 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional ( Bandung : Armico, 1987), hlm. 31-34.

(45)

8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia.

9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.

13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.

E. Wewenang MPR Dalam Menjalankan TAP MPR

Pasal 3 UUD 1945 mengatur wewenang MPR :

1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang•-Undang Dasar;

2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;

3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang•Undang Dasar.

Wewenang dan tugas MPR diatur lebih spesifik dalam Pasal 4,5 dan 6 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah :

(46)

MPR berwenang:

Pasal 4

a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;

c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;

e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan

f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

MPR bertugas:

Pasal 5

a. memasyarakatkan ketetapan MPR;

b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 6

(1). Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program

(47)

dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2). Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.

(3). Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4). MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari penjabaran dalam Pasal 4,5 dan 6 UU MD3 dan Pasal 3 UUD 1945 MPR sudah tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN. Kewenangan MPR yang dihapus setelah UUD 1945 diamendemen adalah penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN) sebagai penjabaran dari UUD 1945.

“Menurut ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 37 UUD 1945 yang asli (sebelum perubahan), Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang (i) menetapkan undang-undang dasar, (ii) mengubah undang-undang dasar, (iii) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan (iv) menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Mengapa MPR diberi kewenangan menetapkan garis-garis besar haluan (daripada) negara? Selain untuk memberikan pedoman kerja bagi Presiden dalam melaksanakan tugasnya, garis-garis besar haluan (daripada) negara itu diperluan karena pedoman atau haluan- haluan kebijakan bernegara itu diperlukan karena pedoman atau haluan- nhaluan kebijakan bernegara yang ditentukan oleh UUD 1945 sangat atau bahkan terlalu ringkas dan sederhana. Oleh karena itu, di samping haluan- haluan yang telah ditentukan dalam UUD 1945, masih diperlukan haluan- haluan negara yang lebih jelas di luar UUD 1945.25

Implikasi dari perubahan kewenangan membawa dimensi baru bagi sistem kerja MPR yaitu tidak lagi membuat produk hukum TAP MPR sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang cukup signifikan seperti era sebelumnya. Perubahan ini diwujudkan sebagai salah satu tuntutan reformasi agar supremasi MPR dihapuskan. Hilangnya supremasi MPR berarti berhentinya MPR

25 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-

(48)

merumuskan GBHN dalam bentuk sebuah ketetapan yang secara nomenklatur disebut TAP MPR. Sementara MPR dahulu mempunyai kewenangan menjalankan GBHN yang diasumsikan artikulator dari UUD 1945 maka MPR sebelum amandemen UUD 1945 menetapkan TAP MPR sebagai wujud fungsi menjalankan GBHN. TAP MPR sendiri secara nomenklatur tidak diatur dalam UUD 1945. Eksistensi TAP MPR mulai mengalami penerimaan dalam hukum tata negara semenjak MPR rutin mengeluarkan TAP MPR sehingga keberadaan produk hukum TAP MPR diterima sebagai sebuah kebiasaan hukum. Dari perspektif filosofis hakekat TAP MPR bisa dianalisa menggunakan pendekatan teori piramida hukum yang digagas oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.

Hans Kelsen adalah salah satu pemikir hukum besar yang dikenal sebagai penganut mazhab positivisme hukum. Dari beberapa pemikiran Hans Kelsen yang terkenal adalah teori tentang piramida hukum atau Stufenbautheorie. Gagasan Hans Kelsen dengan Stufenbautheorie pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai di manapun, dalam perkembangan selanjutnya diuraikan Hans Nawiasky dengan theorie von stufenfbau

der rechtsordnung yang menggariskan bahwa selain susunan norma dalam negara

adalah berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah.

Berkaitan dengan hierarki norma, Hans Nawiasky mengelompokkannya ke dalam empat kelompok besar, yaitu:

(1). Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara); (2). Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok

(49)

(3). Kelompok III: Formell Gesetz (Undang- Undang "formal");

(4). Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & Aturan otonom ).

Pengelompokkan hierarki norma hukum ini lazim disebut dengan die Theorie

vom Stufenordnung der Rechtsnormen.

Ketetapan MPR dapat dikategorikan sebagai Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara) meskipun kedudukannya berada di bawah UUD 1945. Meskipun kedudukannya di bawah UUD 1945, Ketetapan MPR tidak dapat dikategorikan sebagai Formell Gesetz (Undang-Undang). Kedudukan Ketetapan MPR yang demikian ini memang unik, khas, dan tidak ditemui dalam norma-norma hukum pada umumnya di kebanyakan negara.

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis/Tipe Penelitian

Jenis atau tipe penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder.26 Hal yang akan diteliti penulis adalah bagaimana kedudukan TAP MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 sehingga akan menghasilkan kesimpulaan apakah produk hukum TAP MPR yang saat ini secara yuridis masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan- Perundang-Undangan masih relevan atau tidak sebagai produk hukum yang mengikat.

B. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka hasil penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala lain dalam masyrakat.27 Pendekatan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian akan menjelaskan bagaimana pemberlakuan TAP MPR sebelumd an sesudah amandemen UUD 1945 dan ketika TAP MPR tidak dimasukan dalam Pasal 7

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tetapi kemudian dimasukan kembali

26 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Ghalia, 1983), hlm 24 27 Zainal Asikin dan Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum ( Jakarta : Rajawali Pers,

(51)

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai hierarki peraturan perundangan-undangan. Selain itu, penelitian ini akan melakukan analisa secara yuridis dan filosofis terhadap TAP MPR sehingga akan menghasilkan kesimpulan apakah kedudukan TAP MPR memiliki relevansi atau tidak pasca amanden UUD 1945 terkait kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah cara pengadaan dan pengumpulan data untuk kepentingan penelitian. Proses ini sangat penting untuk mendukung dan memperjelas hasil penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi-konsepsi, teori-teori atau pendapat-pendapat atau landasan teoritis yang berhubungan erat dengan permasalahan. Data sekunder meliputi :

a) Bahan Hukum Primer :

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-

GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Peraturan Perundangan-undangan Republik Indonesia

3) TAP MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(52)

5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

b) Bahan Hukum Sekunder :

1) buku-buku literasi yang mendukung penelitian

2) karya ilmiah/karya tulis yang berkaitan dengan permasalan yang diteliti berupa skripsi, jurnal dan artikel ilmiah

3) Hasil-hasil penelitian kontemporer 4) Wawancara

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data yaitu bentuk analisis bagaimana dalam menafsirkan data yang diperoleh sesuai dengan apa yang direncanakan dalam penelitian.28 Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif yaitu analisis yang sifatnya non statistik dan non matematis. Metode penelitian kualitaif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Data yang diperolehkan di Analisa dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli, dan peraturan perundang-undangan yang ada kemudian dianalisis secara kualitatif yang akan memberikan gambaran menyeluruh tentang aspek hukum yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu relevansi kedudukan TAP MPR/S pasca amandemen UUD 1945.

28 Abdurahmandan Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan ( Jakarta :

Gambar

TABEL 1 : PENGATURAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-  UNDANGAN  Ketetapan MPRS  No.XX/MPRS/1996  Ketetapan MPR  No.III/MPR/2000  1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya perubahan status hukum dan kedudukan Ketetapan MPR/S yang awalnya tidak menjadi bagian dari jenis dan tata urutan peraturan perundang- undangan menjadi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDAULATAN DAN LEMBAGA PERWAKILAN ………. Teori Kedaulatan ………... SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA ………... Sejarah Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Oleh karena itu, masuknya kembali Ketetapan MPR dalam hierarki akan membawa dampak besar pada sistem hukum di Indonesia, terlebih Tap MPR di posisikan

Kedua , kedudukan dan status hukum Ketetapan MPR berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan kedudukan dan status

Pada akhirnya, pasca perubahan UUD NRI 1945 dengan adanya penegasan konsep negara hukum dan supremasi hukum yang dianut oleh Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal

Jadi, dalam hal ternyata terdapat pengertian yuridis tentang Ketetapan MPR yang dubuis itu, MPR dapat memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran mengenai soal pengertian mana yang

iSedangkan imengenai iimplikasi iadanya irekonstruksi iahlul iḥalli iwal iaqdi idi iIndonesia iberkaitan idengan irelevansi ikedudukan iMPR ipasca iamandemen iUndang-Undang iDasar