• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS CITRA MULTIBEAM DI LINTASAN SEBELAH BARAT PULAU TANIMBAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS CITRA MULTIBEAM DI LINTASAN SEBELAH BARAT PULAU TANIMBAR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS CITRA MULTIBEAM DI LINTASAN SEBELAH BARAT PULAU TANIMBAR

Sugiarta Wirasantosa1)

ABSTRAK

Citra multibeam berarah Barat Laut – Tenggara pada lintasan di sebelah barat P. Tanimbar mencer-minkan suatu palung dengan kedalaman lebih dari 1.500 m. Lereng barat laut palung tersebut lebih curam dari pada lereng tenggaranya. Citra 3-D dan penampang batimetri daerah ini menunjukkan adanya teras-teras pada lereng barat laut. Teras-teras-teras tersebut mencerminkan bagian dari morfologi komplek akresi di daerah tumbukan antara lempeng benua Australia dengan busur kepulauan Banda. Alur erosi dan cekun-gan lereng pada komplek akresi mencerminkan terjadinya aliran sedimen dari lereng atas menuju palung.

Kata kunci: Citra multibeam, batimetri, akresi, Tanimbar, Laut Arafura.

ABSTRACT

Multibeam image trending NW-SE across an area to the west of Tanimbar Island shows a trough with depth of more than 1,500 m. The northwestern slope of the trough is steeper than that of the southeastern. The 3-D image and the bathymetric profile of this area indicate terraces occur-ing in the northwestern slope. These terraces reflect part of accretionary complex morphology in a collision front of Australian continental plate with the Banda arc. Erosian channels and slope basins in the accretion complex reflect the occurence of sediment flow from the upper slope to the trench.

Keywords: Multibeam image, bathymetry, aceretion, Tanimbar, Arafura Sea.

PENDAHULUAN

Penelitian Laut Arafura dan Laut Timor dilaku-kan dalam rangka program ATSEA (Arafura and Timor Seas Environmental Action), suatu program kerja sama regional antara Indonesia, Timor Leste dan Australia yang didukung oleh ATSEF (Arafura Timor Seas Ex-pert Forum), UNDP dan GEF. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2010 dengan menggunakan Kapal Ri-set Baruna Jaya VIII milik Pusat Penelitian Oseanologi LIPI dan mencakup penelitian oseanografi, batimetri dan sedimen permukaan, sumber daya ikan, plank-ton dan pencemaran. Makalah ini merupakan lapo-ran hasil penelitian batimetri berdasarkan pencitraan multibeam di lintasan yang menunjukkan perubahan batimetri di wilayah sebelah barat Pulau Tanimbar.

Batimetri merupakan aspek penting yang mempengaruhi karakter laut, habitat maupun din-amika sumber daya biologi dan non-biologi yang ada disana. Tujuan penelitian ini adalah mendeskrip-sikan kenampakan batimetri Laut Arafura dan Laut Timor di lintasan sebelah barat Pulau Tanimbar serta

membahas implikasinya terhadap proses dan me-kanisme sedimentasi yang terjadi disana. Pemba-hasan dilakukan menurut penafsiran citra multibeam di lintasan berarah barat laut – tenggara sepanjang 90 km dengan lebar kurang lebih 4 km (Gambar 1)

Batimetri daerah penelitian meliputi batimetri pa-paran benua dan palung dengan kedalaman bervari-asi. Kedalaman rata-rata laut Arafura berkisar antara 30 m sampai 90 m. Namun kearah timur, kedalaman ini menjadi lebih kecil dari 15 m pada bagian dangkal di Selat Torres dan menjadi lebih dalam, berkisar an-tara 50 m sampai 120 m, di arah barat yang berba-tasan dengan laut Timor. Beberapa tempat di bagian barat laut Arafura menunjukkan kedalaman melebihi 1.200 m dan mencapai lebih dari 3.000 m di palung Timor yang sejajar dengan P. Timor. Batimetri meru-pakan salah satu aspek penting karena mempenga-ruhi karakter oseanografi di daerah tersebut. Misalnya, batimetri dangkal di Selat Torres merupakan peng-halang arus massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia dan sebaliknya, terutama untuk kesinambun-gan massa air dari kedalaman yang besar. Karena

1)Peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 31 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 20 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal 06 September 2011

(2)

itu, massa air dalam dari kedua lautan tersebut ter-hubung melalui alur dalam selat-selat Makassar, Lom-bok, Lifamatola, Ombai dan di antara pulau-pulau Nusa Tenggara (e.g. Gordon, 2005; Gordon et al., 2008).

Paparan Sahul merupakan daerah paparan yang luas dan tidak tergenang pada kala Pleistosen dan juga pada waktu zaman es terakhir, 18.000 ta-hun yang lalu. Transgresi air laut terjadi pada 11.000 – 8.000 tahun yang lalu. Dalam tulisannya menge-nai geodinamik wilayah Indonesia Timur, Hall (2002) menyatakan bahwa paparan Sahul merupakan ba-gian dari benua Australia dan Papua pada 50 juta ta-hun terakhir, dan tidak pernah terpisah sebagai blok.

METODE PENELITIAN

Pencitraan dilakukan dengan menggunakan

echosounder multibeam SIMRAD EM-1002 untuk akui-sisi data batimetry resolusi tinggi. EM 1002 memiliki 111 beam dengan frekuensi 95 kHz dan mempunyai jang-kauan kedalaman berkisar dari 5 m hingga 1.000 m dan lebar sapuan hingga 7,4 kali kedalaman. Perekaman data multibeam dilakukan dengan menggunakan Soft-ware Seafloor Information System (SIS), sedangkan untuk pemrosesan data digunakan software Neptune dengan memperhitungkan perubahan kecepatan suara dalam kolom air serta efek dari anggukan (pitch), ge-lengan (roll) maupun arah kapal (gyro compass) dan juga dilakukan koreksi posisi, koreksi pasang surut dan noise. Akuisisi data batimetri dengan kedalaman lebih dari 1.000 m dilaksanakan dengan menggunakan single beam echosounder SIMRAD EA-500 dengan frekuen-si 12 kHz dan mempunyai jangkauan kedalaman dari 3 m hingga 11.000 m. Data single beam echosouder direkam dengan menggunakan software Navipac.

Lintang Selatan (°)

Bujur Timur (°)

Lillintasan multibeam

Peta memperlihatkan unsur geodinamik di bagian timur Indonesia. Garis dengan gigi menun-jukkan lokasi zona tumbukan (collision zone) atau zona subduksi (peta diadaptasi dari De Smet, 1989). Garis merah tebal menunjukkan lintasan multibeam.

Gambar 1.

Model subduction melalui P. Timor, digambar ulang dari Jacobson et al. (1981). Gambar 2.

(3)

Citra multibeam pada Cruise ATSEA diperoleh dari lintasan berarah barat laut – tenggara. Lintasan Cruise ATSEA ini terletak diantara dua transek terda-hulu, yaitu transect Tanimbar yang terletak di ujung timur P. Tanimbar dan transek Timor yang terletak di sebelah timur P. Timor (Jongsma et al., 1989; Jacob-son et al., 1981). Dengan demikian, data dan infor-masi mengenai karakteristik lapisan dan umur sedi-men dari pengamatan seismik refleksi dua disedi-mensi di 2 transek tersebut dapat digunakan sebagai pemband-ing untuk membantu penafsiran citra multibeam yang dikembangkan berdasarkan karakteristik yang lebih rinci pada citra tersebut. Jacobson et al., (1981), me-nyatakan bahwa sistem palung Timor-Tanimbar-Aru merupakan bentuk permukaan suatu zona subduksi (Gambar 2) akibat tumbukan antara tepian benua Australia dengan busur Banda yang diperkirakan terjadi pada 3 juta tahun yang lalu (Johnston, 1981).

Jongsma et al. (1989) menduga bahwa sedi-men yang sedi-menutupi bagian lempeng benua yang landai berumur Mesozoikum dan menyatakan bahwa ketebalan lapisan sedimen pada lereng yang curam (inner slope) menunjukkan penipisan kearah utara. Menurut informasi yang diperolehnya dari DSDP Site 262 (Deep Sea Drilling Programme) di sebelah barat transek Timor para peneliti terdahulu memperkirakan bahwa kecepatan sedimentasi selama Pleistosen akhir sampai Resen lebih besar dari pada kecepa-tan sedimentasi selama Pleistosen Awal. Kemudian, Jongsma et al. (1989) memperkirakan batuan dasar palung berumur 5 juta tahun berdasarkan kecepa-tan sedimentasi rata-rata di kawasan transek Timor

HASIL DAN PEMBAHASAN

Survei multibeam yang dilakukan Cruise ATSEA telah menghasilkan profil batimetri (Gambar 3) dan ci-tra multibeam. Profil batimetri di lintasan ini

menunjuk-Kedalaman (m)

Lintang Selatan (°)

Bujur Timur (°)

Profil batimetri pada lintasan berarah timur laut – tenggara di sebelah barat Pulau Tanimbar yang diperoleh Cruise ATSEA 2010. Warna menunjukkan kedalaman (m).

(4)

kan kedalaman yang bervariasi antara 320 m hingga 1.540 m dan menunjukkan tiga bentuk morfologi yang berbeda, yaitu morfologi dengan kemiringan terjal di sisi barat laut, morfologi lembah dan morfologi den-gan kemirinden-gan yang landai (Gambar 4). Keseluruhan bentuk morfologi pada lintasan ini menunjukkan mor-fologi zona tumbukan (collision zone), yaitu tumbukan lempeng benua Australia terhadap busur kepulauan sebagaimana telah ditafsirkan data seismiknya oleh peneliti terdahulu (a.l. Jongsma et al., 1989; Jacobson et al.,1981; Von der Borch, 1979).

Penelaahan profil batimetri secara rinci menunjukkan bahwa morfologi terjal di bagian barat laut lintasan ini, pada bagian yang diling-kari, terdiri dari teras-teras atau undakan mu-lai dari atas sampai dasar lembah (Gambar 4A).

Morfologi pada lintasan Cruise ATSEA ini adalah merupakan bagian dari zona tumbukan yang terdefor-masi secara kuat dan pada sekala yang lebih lengkap ditunjukkan oleh Gambar 5 yang memperlihatkan

ba-gian dari Tanimbar transek yang melewati ujung timur P. Tanimbar. Batuan pada lereng yang curam (inner slope) mempunyai karakteristik yang berbeda dengan batuan palung maupun batuan di sisi yang landai. Bat-uan sedimen pada lereng yang curam terdeformasi se-cara kompresif selama proses tumbukan lempeng tek-tonik sebagaimana diamati oleh Jacobson et al. (1981) pada rekaman seismik refleksi yang melalui lintasan di daerah ini. Pengaruh deformasi pada zona tumbukan dan dampaknya terhadap struktur batuan dapat dia-mati jauh kearah barat sampai di P. Timor (a.l. Keep et,al., 2005), dan di lintasan Timor transek di ujung timur P. Timor, Jongsma et al. (1989) mendapati adan-ya batuan sedimen adan-yang tampak transparan pada reka-man seismik. Kembali pada lintasan seismik di ujung timur P. Tanimbar, pada lereng yang curam mulai dari palung Tanimbar kearah atas (Gambar 5), Jongsma et al. (1989) mengamati deformasi yang lebih kuat pada prisma akresi dengan sesar naik (thrust fault) berjarak kurang dari 1 km. Pada prisma akresi di lintasan ini Jongsma et al. (1989) mengamati adanya cekungan le-reng sebagaimana ditunjukkan pada kotak C, Gambar 5. Profil lintasan berarah timur laut – tenggara di sebelah barat Pulau Tanimbar. A menunjukkan Timur Laut dan B adalah Tenggara.

Gambar 4.

Morfologi rinci bagian Gambar 4 yang dilingkari memperlihatkan teras-teras dan dasar lembah. Gambar 4A.

(5)

Gambaran rinci mengenai cekungan akresi atau cekungan lereng yang terdapat pada prisma akresi di lintasan seismik Jongsma diperlihatkan pada Gambar 6, dan bentuk seperti ini juga tampak pada citra multibeam lengkap dengan teras-teras pada sisi lereng yang curam dan alur erosi di lereng tersebut (inner slope). Gambaran permukaan terse-but dapat ditafsirkan sebagai morfologi suatu mint-akat geologi daerah tumbukan sebagaimana ditafsir-kan dari penampang seismik oleh peneliti terdahulu. Rekaman seismik pantul pada lintasan di se-belah timur P. Tanimbar juga memperlihatkan karak-teristik bentuk palung dan batuan di sisi timur palung

yang berbeda dari karakteristik lereng yang curam dan komplek. Dalam hal ini, bentuk palung dan bentuk permukaan lereng lempeng Australia yang landai lebih teratur dan rata sebagaimana ditunjukkan pada Gam-bar 7. Jongsma et al. (1989) menyatakan bahwa bat-uan pada lereng landai ini terdiri dari lapisan sedimen berumur Tersier dengan perlapisan horizontal yang membaji dan menunjukkan progradasi di atas lapisan Mezosoikum yang tebal, dan bahwa lapisan Mesozoi-kum tampak menerus di bawah sisi palung yang curam (inner slope) dan dasar palung itu sendiri ditutupi oleh lapisan sedimen yang diduga berumur Pliosen sampai Resen. Gambaran yang diperlihatkan pada penam-pang seismik tersebut memperkuat interpretasi citra multibeam mengenai bentuk palung dan bentuk per-Penafsiran seismik refleksi pada lintasan di sebelah timur Tanimbar, (Jongsma et al., 1989). Gambar 5.

Rincian penampang seismik refleksi melalui palung Tanimbar memperlihatkan akresi sedimen di cekungan lereng pada bagian lereng dalam (Kotak C pada Gambar 5, diadaptasi dari (Jongsma et al, (1989).).

(6)

Penafsiran seismik refleksi pada lintasan di sebelah timur Tanimbar, menunjukkan lapisan sedimen Tersier yang membaji dan berprogradasi diatas lapisan Mesozoikum yang tebal. (Jongsma et al., 1989). Gambar 7.

Citra terinci bagian barat laut lintasan memperlihatkan teras, alur erosi dan mungkin akumu-lasi sedimen pada cekungan lereng dibagian atas teras. Morfologi yang lebih halus pada bagian dasar lembah mungkin mencerminkan gambaran endapan yang tidak terganggu. Gambar 8.

(7)

mukaan batuan baik yang dipengaruhi oleh deformasi pada zona tumbukan maupun pada lereng yang landai. Pembahasan citra multibeam yang direkam se-lama Cruise ATSEA lebih difokuskan pada bagian lereng yang curam sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4A. Citra multibeam tersebut diperlihatkan pada Gambar 8 dengan indikasi kedalaman menggu-nakan warna. Bentuk morfologi citra tersebut ditafsir-kan dengan mempertimbangditafsir-kan bentuk morfologi 2 dimensi yang diperlihatkan oleh penampang seismik sebagaimana telah dibahas di atas, namun dalam bentuk yang lebih lengkap kearah lateral. Bentuk mor-fologi pada citra multibeam secara lateral memberi ke-san adanya alur-alur yang kurang lebih sejajar pada sisi lereng yang curam, setidaknya pada kedalaman antara 600 m sampai 1500 m. Alur-alur sejajar yang terletak pada zona deformasi lebih mungkin meng-gambarkan alur akibat aliran material kearah palung daripada diakibatkan oleh deformasi itu sendiri. Alur seperti ini mungkin masih dapat ditemukan kearah atas lereng tersebut dan juga kearah lateral pada le-reng yang curam. Alur-alur ini diperkirakan menggam-barkan erosi bawah laut akibat aliran material dari arah atas. Citra multibeam pada bagian yang lebih dang-kal, yaitu disekitar kedalaman 400 m, memperlihatkan morfologi cekungan yang memberi kesan sebagai cekungan lereng sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 5 dan Gambar 6. Namun demikian, ketebalan sedimen dalam cekungan lereng ini sulit untuk diperki-rakan, meskipun Gambar 6 memperlihatkan ketebalan sedimen yang relatif besar. Cekungan lereng diperki-rakan tersebar disepanjang komplek akresi, sep-erti dijumpai di timur P. Tanimbar (transect Jongsma) dan di barat P. Tanimbar pada citra multibeam. Na-mun demikian, sampai sejauh mana distribusi cekun-gan lereng ini kearah barat tidak dapat dipastikan. Citra multibeam (Gambar 8) memperlihat-kan bahwa endapan yang terakumulasi pada ba-gian dasar lembah mempunyai permukaan yang halus dan tidak terganggu. Demikian juga sisi tenggara lintasan ini menunjukkan permukaan yang landai, halus dan tidak terganggu. Sisi teng-gara lintasan ini dianggap mewakili lempeng ben-ua Australia (misalnya Jacobson et al., 1981).

KESIMPULAN

Lintasan citra multibeam berarah barat laut – tenggara di sebelah barat P. Tanim-bar menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

1. Lintasan ini merefleksikan zona tumbukan antara lempeng benua Australia dengan busur kepu-lauan Banda. Lempeng benua Australia dengan ke-miringan yang landai tertutup oleh lapisan sedimen Mesozoik dan lapisan sedimen berumur Tersier sam-pai Resen. Palung yang merupakan bagian dengan kedalaman terbesar ditutupi oleh lapisan sedimen

yang tidak terganggu dan berumur Pliosen-Pleistosen sampai Resen. Sisi yang curam (inner slope) ter-diri dari batuan yang terdeformasi secara kompresif dan mempunyai sesar naik dengan jarak bervariasi antara 200 m sampai 1.000 m. Di lintasan ini dapat diamati adanya cekungan lereng pada bagian atas batuan yang terdeformasi sebagaimana dapat dia-mati pada lintasan di ujung timur P. Tanimbar dan pada citra multibeam di bagian barat P. Tanimbar.

2. Lapisan sedimen paling atas pada dasar palung merupakan lapisan sedimen yang tidak ter-ganggu dan mempunyai umur Pliosen sampai Resen. Sedimen ini mungkin berasal dari sedimen yang di-endapkan kembali (re-sedimented) melalui alur ero-sional pada sisi lereng yang curam dan dari sisi lereng yang landai. Selain itu, sebagian dari sedimen pada dasar palung mungkin berasal dari paparan Sahul di-arah timur yang terdistribusi akibat arus lintas Indonesia.

PERSANTUNAN

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Sekretar-iat ATSEA yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini dan kepada rekan-rekan M. Hasanudin, P. Dwi Santoso dan D. Setiawan dari Pu-sat Penelitian Oseanologi LIPI yang telah membantu dalam operasional multibeam dan pengolahan datanya.

DAFTAR PUSTAKA

ATSEA. 2010. ATSEA Cruise Report, ed. Wirasantosa S., T.Wagey, S. Nurhakim and D. Nugroho, AT-SEA Program, Jakarta

De Smet, M.E.M.1989. A geometrically consistent plate-tectonic model for Eastern Indonesia; Neth-erlands Journal of Sea Research, 24 (2/3), 173-183

Gordon, A. L. 2005, Oceanography of the Indonesian seas and their throughflow, Oceanography, 18(4), 14– 27.

Gordon, A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, B. A. Huber, W. Pranowo & S. Wirasantosa 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006, Geophys. Res. Lett., 35, L24605, doi:10.1029/2008GL036372

Hall, R. 2002. Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific: comput-er-based reconstructions, model and animations. Journal of Asian Earth Sciences 20: 353–434. Jacobson, R.S., G.G. Shor, R.M. Kieckhefer & G.M.

Purdy, 1981, Seismic refraction and reflection studies in the Timor-Aru trough system and Aus-tralian continental shelf; in The Geology and Tec-tonics of Eastern Indonesia, Geological Research

(8)

and Development Centre, Spec. Publ. No.2, 1981, 153-169

Jongsma, D., J.M. Woodside, W. Huson, S. Suparka & D. Kadarisman. 1989. Geophysics and tentative Late Cenozoic seismic stratigraphy of the Banda Arc – Australian continent collision zone along three transects; Netherlands Journal of Sea Re-search, 24(2/3), 205-229

Johnston, C.R. 1981. A review of Timor tectonics, with implications for the development of the Banda Arc; in The Geology and Tectonics of Eastern Indone-sia, Geological Research and Development Cen-tre, Spec. Publ. No.2, 1981, 199-216

Keep, M., L. Beckand & P. Bekkers. 2005. Complex modified thrust systems along the southern mar-gin of East Timor; APPEA Journal 2005, 297 – 310 Silver, E.A., D. Reed, R. McCaffrey & Y.Yoyodiwiryo,

1983, Back-arc thrusting in the eastern Sunda arc, Indonesia; a consequence of arc-continental colli-sion; J. Geophys. Res. 88, 7429-7448

Von der Borch, C. 1979. Continent-island arc collision in the Banda arc; Tectonophysics 54, 169 -193

Referensi

Dokumen terkait

Militer asing yang dengan persetujuan penguasa militer menyertai atau mengikuti suatu satuan Angkatan Perang yang disiap- siagakan untuk perang, militer tawanan perang, dan

Pemaparan di atas menggambarkan bahwa pendidikan agama Islam mencakup usaha yang dilaksanakan untuk membentuk atau membimbing jasmani dan rohani anak didik yang berdasarkan pada

resiko kecelakaan kerja akibat perilaku penanganan atau penggunaan bahan kimia yang kurang baik mahasiswa telah memperoleh materi-materi yang telah di sampaikan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk menguji kinerja dari tiga metode pencahayaan didapatkan kesimpulan bahwa Cylight memiliki nilai realistis yang sebanding dengan

Melalui kegiatan mengamati dan penugasan, siswa dapat mengidentifikasi unsur-unsur teks pidato dengan benar.. Melalui kegiatan mengamati, siswa dapat mengidentifikasi

dan Penetapan Kadar Sampel Menggunakan Spektrofotometer Hasil dari karakterisasi menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis pada buah semangka dan jambu biji merah

Misalnya dalam upacara Karo atau tradisi lainnya di setiap wilayah hampir sama tetapi ada sedikit yang membedakan, itu terkait dengan desakalapatra-nya (Wawancara Pak Kariadi pada