• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PENGAWETAN TANAH DAN AIR (2. Mengukur Kemiringan Lahan dengan Alat Pengukur Sudut)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PENGAWETAN TANAH DAN AIR (2. Mengukur Kemiringan Lahan dengan Alat Pengukur Sudut)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK PENGAWETAN TANAH DAN AIR

(2. Mengukur Kemiringan Lahan dengan Alat Pengukur Sudut)

Oleh:

Kelompok : IV (Empat)

Kelas / Hari / Tanggal : Shift A2 / Kamis / 14 Maret 2013 Nama dan NPM : 1. Haidar Rafid Azis (240110100012)

2. M. Rais Hasjim (240110100026) 3. Mahadyansahi A. (240110100044) 4. Fia Noviyanti (240110100053)

Asisten : 1. Grace Yolanda 2. Monika E. Sitompul 3. M. Sulaeman

4. Rizky Patria Dewaner

LABORATORIUM KONSERVASI TANAH DAN AIR

JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN 2013

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiringan suatu lahan merupakan tingkat kecuraman lereng permukaan suatu lahan yang dapat dinyatakan dalam satuan persen atau derajat. Satuan persen adalah satuan yang umum digunakan untuk menyatakan kemiringan atau lereng lahan yang menunjukkan perbandingan antara beda tinggi dengan jarak mendatar dari dua titik yang diukur, sedangkan satuan derajat menyatakan besarnya sudut yang dibentuk oleh garis permukaan lahan tersebut dengan garis mendatar.

Kemiringan dan panjang lereng merupakan dua hal dari tofografi yang mempengaruhi erosi. Besar kemiringan suatu lahan dapat diketahui dengan beberapa cara dengan alat yang sederhana maupun yang lebih modern. Beberapa alat pengukur kemiringan dilapangan diantaranya adalah theodolite, waterpass, sunto level, abney level dan hagameter. Alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah identifikasi kemiringan lahan secara mudah dan praktis.

Sebelum melakukan berbagai usaha koservasi tanah dilaksanakan dilapangan, maka perlu dilakukan pengamatan secara seksama terhadap keadaan sebenarnya dilapangan. Hal tersebut dimaksudkan agar memudahkan dalam pelaksanaan selanjutnya dilapangan dalam melaksanakan usaha atau tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dalam kegiatan konservasi tanah dengan apa yang direncanakan dapat berhasil dengan baik, diantaranya dengan mengukur kemiringan lahan secara cepat dan akurat agar tanah tersebut dapat ditanam dengan baik dan benar sehingga dapat mencegah terjadinya erosi. Oleh karena itu, dalam praktikum kali ini untuk mengetahui kemiringan lahan dengan menggunakan alat ukur sudut ini penting untuk dilaksanakan.

1.2 TujuanPraktikum

Adapun tujuan dari dilaksanakannya praktikum kali ini adalah sebagai berikut:

(3)

1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran kemiringan lahan dengan benar menggunakan alat pengukur sudut dalam satuan persen atau derajat.

1.3 Metodologi Pengamatan dan Pengukuran 1.3.1 Alat dan Bahan

1. Patok. 2. Tali 3. Meteran. 4. Rambu ukur.

5. Alat ukur sudut (Sunto level, Abney level, Haga meter). 6. Alat ukur theodolite

1.3.2 Prosedur Praktikum

1. Menententukan lokasi lahan yang akan diukur kemiringan lerengnya. 2. Memasang patok pada lahan sesuai dengan bentuk kemiringan lereng

lahan atau jarak antar patok tetap (mis: per 10 meter). 3. Memasang alat ukur Theodolite di atas kaki tiga. 4. Mendirikan alat ukur Theodolite :

- Alat yang sudah dipasang di atas kaki tiga tersebut didirikan tepat di atas titik ukur.

- Mengatur sumbu satu (Sb1) dalam keadaan tegak dan sumbu II (Sb2) dalam keadaan mendatar dengan cara mengatur kedua nivo tabung yang ada pada busol di bagian atas alat, gelembungnya ada ditengah yang diatur dengan ketiga skrup mendatar.

5. Mengukur tiap segmen dengan alat ukur sudut dan alat ukur theodolite. 6. Mencatat dan menghitung jarak datar dan jarak miringnya.

7. Mengambarkan profil kemiringan lahan dan menentukan kelas kemiringan lahan rata-rata dan reliefnya.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Slope (Kemiringan)

Kemiringan dan panjang lereng merupakan dua hal dari topografi yang mempengaruhi erosi. Pengaruh kemiringan dan panjang lereng terhadap erosi disebabkan karena kecepatan aliran permukaan, dimana semakin panjang dan curam suatu lereng maka kecepatan aliran permukaan akan semakin cepat. Dengan demikian gaya gesek air pada tanah dan kemampuan air untuk menghanyutkan tanah semakin besar.

Kemiringan suatu lahan adalah tingkat kecuraman lereng permukaan suatu lahan yang dapat dinyatakan dalam satuan persen atau derajat. Satuan persen adalah satuan yang umum digunakan untuk menyatakan kemiringan atau lereng lahan yang menunjukkan perbandingan antara beda tinggi dengan jarak mendatar dari dua titik yang diukur, sedangkan satuan derajat menyatakan besarnya sudut yang dibentuk oleh garis permukaan lahan tersebut dengan garis mendatar.

Kedudukan lereng juga menentukan besar kecilnya erosi. Lereng bagian bawah lebih mudah tererosi daripada lereng bagian atas karena momentum air larian lebih besar dan kecepatan air larian lebih terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah. Dari berbagai pengamatan ternyata ”Air limpasan yang terjadi pada tanah bertekstur sedang sampai halus umumnya meningkat dengan meningkatnya kemiringan, sedangkan pada tanah bertektur pasir meningkatnya kemiringan tidak selalu meningkatkan limpasan. Namun demikian dengan meningkatnya kemiringan erosi selalu meningkat.

Lahan dengan kemiringan yang cukup dapat mengakibatkan air mengalir ke bagian yang lebih rendah merupakan faktor penyebab erosi. Sudah dapat diduga pada lahan curam, air lebih dari hujan yang jatuh akan mengalir ke bagian yang lebih rendah dengan kecepatan lebih tinggi dibanding aliran pada lahan dengan kemiringan yang lebih landai, sehingga terjadinya erosi akan lebih serius.

Panjang lereng juga memegang peranan penting. Makin panjang lereng, akumulasi limpasan permukaan makin besar, sehingga volume dan kecepatannya akan semakin meningkat, yang berarti daya gerus dan angkutnya semakin tinggi.

(5)

Sehubungan dengan erosi ini sertiap negara menetapkan batas meksimum kemiringan lereng untuk daerah yang dapat diusahakan pertanian (arable land) berbeda-beda. Di Afrika tengah maksimum kemiringan adalah 12 %, do Filipina 25 % dan di Israel 35 %.

Hubungan antara erosi dan kemiringan dan panjang lereng seperti terlihat pada Gambar di bawah ini:

(a) (b)

Gambar 1. Hubungan antara erosi dan kemiringan (a) dan panjang lereng (b) Berdasarkan hal di atas pula tindakan-tindakan konservasi secara mekanis umumnya berkaitan dengan usaha-usaha memperpendek dan memperkecil lereng lahan yang akan digunakan.

Konversi satuan derajat ke dalam satuan persen dapat menggunakan persamaan berikut:

Satuan derajat = tg satuan % Satuan % = arc tg satuan derajat Contoh:

Lereng 45o → tg 45o = 1, berarti persen kemiringan lahan = 100% Lereng 15o→ 15o = 0,2679, berarti persen kemiringan lahan = 26,79% Lereng 15 %→ arc tg 0,15 = 8,53, berarti sudut kemiringan lahan = 8,53o

Besarnya kemiringan suatu lahan dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu dengan menggunakan alat yang sederhana maupun alat yang lebih modern. Beberapa alat pengukur kemiringan di lapangan diantaranya adalah meteran, busur derajat, suunto level/klinometer, abney level, haga meter, waterpass, theodolite.

(6)

Kemiringan Lahan (%) Kelas Kemiringan Lahan Relief

0 – 3 Datar Datar

3 – 8 Agak Miring Landai

8 – 15 Miring Berombak

15 – 25 Agak Terjal Bergelombang

25 – 40 Terjal Berbukit

> 40 Curam Bergunung

Tabel 1: Klasifikasi Kemiringan Lereng dan Kategori Bentuk Reliefnya Land slope atau kemiringan lahan merupakan faktor yang sangat perlu untuk dperhatikan, sejak dari penyiapan lahan pertanian, usaha penanamannya, pengambilan produk-produk serta pengawetan lahan tersebut, karena lahan yang mempunyai kemiringan itu dapat dikatakan lebih mudah terganggu atau rusak, lebih-lebih kalau derajat kemiringanya besar. Derajat kemiringan dan panjang lereng merupakan dua sifat yang utama dari topografi yang memepengaruhi besarnya erosi. Makin curam dan makin panjang lereng maka makin besar pula besar kecepatan aliran air permukaan dan bahaya erosi. Bila kita hubungkan kenyataan ini dengan lereng yang gundul, maka inilah yang termudah untuk terjadinya erosi ditijau dari sudut topografi, karena kecepatan daripada aliran air di permukaan dapat dengan mudah mengikis lapisan atas tanah.

2.2 Pengukuran Kemiringan Lahan

Waktu melakukan pengukuran dengan alat-alat ilmu ukur tanah, baik pengukuran mendatar maupun pengukuran tegak, haruslah sumbu ke satu tegak lurus dan sumbu ke dua tegak lurus pada sumbu ke satu. Untuk mencapai keadaan dua sumbu itu, digunakan suatu alat yang dinamakan nivo. Menurut bentuk nivo dibagi dalam dua macam, yaitu nivo kotak dan nivo tabung. Diketahui garis arah nivo adalah garis singgung yang ditarik di titik tengah skala pada nivo. Apabila titik tengah gelembung berimpit dengan titik tengah skala, maka keadaan ini dinamakan gelembung di tengah-tengah (Wongsotjitro, 1980).

Pengukuran di atas permukaan bumi dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk lengkung permukaan bumi dan proses perhitungannya pun akan lebih sulit dibandingkan dengan pengukuran yang dilakukan pada

(7)

bidang datar. Jadi pengukuran yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan bentuk lengkung bumi disebut geodesi, sedangkan pengukuran yang dilaksanakan tanpa mempertimbangkan bentuk lengkung bumi disebut ukur tanah datar. Pengukuran sudut berarti mengukur suatu sudut yang terbentuk antara suatu titik dan dua titik lainnya. Pada pengukuran ini diukur arah dari pada dua titik atau lebih yang dibidik dari satu titik kontrol dan jarak antara titik-titik diabaikan (Sosrodarsono dan Takasaki, 1992).

Menurut Sosrodarsono dan Takasaki (1992) theodolit mempunyai perbedaan baik bagian dalamnya, maupun penampilannya, tergantung dari pekerjaannya, pabrik pembuatannya dan lain-lain, akan tetapi secara umum mempunyai prinsip mekanisme yang sama. Secara umum theodolit dapat dipisahkan menjadi bagian atas dan bagian bawah. Adapun bagian atas tersebut diantaranya :

a. Pelat atas yang langsung dipasang pada sumbu vertikal.

b. Standar yang secara vertikal dipasang pada pelat atas yang langsung dipasang pada sumbu vertikal.

c. Sumbu horisontal didukung oleh pelat atas yang langsung dipasang pada sumbu vertikal.

d. Teleskop tegak lurus sumbu horisontal dan dapat berputar mengililingi sumbunya.

e. Lingkaran graduasi vertikal dengan sumbu horisontal sebagai pusatnya. f. Dua buah nivo tabung dengan sumbu-sumbu yang saling tegak lurus satu

dengan lainnya.

Sedangkan bagian bawahnya diantaranya : a. Pelat bawah.

b. Lingkaran graduasi horisontal mengelilingi pelat bawah.

c. Tabung sumbu luar dari sumbu vertical yang dipasangkan tegak lurus terhadap lingkaran graduasi horizontal.

d. Pelat-pelat sejajar dan sekrup-sekrup penyipat datar untuk menghorisontalkan theodolit secara keseluruhan.

(8)

2.3 Alat Ukur Beda Tinggi Lahan 2.3.1 Abney Level

Abney level digunakan untuk mengukur kemiringan lahan. Dapat juga untuk mengukur ketinggian benda seperti pohon, rumah, dan sebagainya. Penggunaan clinometer lebih praktis daripada penggunaan abney level karena, sebab surveyor hanya tingggal membaca besaran sudut atau kemiringan lahan tersebut dalam dua macam satuan, yaitu derajat dan persentase. Untuk cara penggunaan clinometer hampir sama dengan kompas, yaitu mata yang kanan melihat skala clinometer, sedangkan mata kiri menuju objek. Kedua mata membidik sasaran dalam posisi sejajar. Selain digunakan untuk mengukur besarnya lereng dalam dua satuan, yaitu derajat (skala kiri) dan persentase (skala kanan), clinometer ini juga digunakan untuk mengukur tinggi pohon, bangunan atau objek-objek yang lainnya (Abdullah, 1993).

Penyipat abney terdiri atas tabung bidik berpenampang segi empat, panjangnya 127 mm, dilengkapi dengan tabung teleskop yang mencapai panjang 178 mm. Tabung teleskop dilengkapi dengan lubang bidik pada ujung bidik dan benang silang garis horizontal, sehingga lengkaplah susunan pembidikan. Pada tabung bidik empat persegi panjang disekrupkan busur setengah lingkaran berskala derajat dibaca dengan nonius. Pada sumbu busur dipasang suatu nino spiritus. Dalam tabung bidik dipasang cermin yang membentuk sudut 450 dengan garis bidik, yang memungkinkan pengamat melihat secara serentak nivo spiritus melalui cermin dan target di tempat yang jauh pada benang silang. Untuk mengatur sudut kemiringan, penyipat abney ditempatkan pada mata sedemikian rupa sehingga gelembung nivo terlihat pada cermin. Tabung bidik dimiringkan unutk mengamati stasiun depan, dan dengan menggerakkan sekrup pengontrol nivo secara lambat (Irvine, 1995).

(9)

Penggunaan Abney Level untuk menentukan tingginya pohon:

Gambar 2. Abney Level 2.3.2 Suunto Level

Suunto PM-5 digunakan untuk mengukur suatu ketinggian, Suunto Meter Tingginya adalah instrumen untuk mengukur seperti mengukur tingginya pohon, dengan ketelitian besar dan cepat. Juga dapat digunakan untuk menentukan sudut suatu gradien. Suunto Klinometer merupakan instrumen yang penggunanya seluruh penjuru dunia seperti para pensurvei, insinyur, orang yang membuat peta, geolog, buruh tambang dan arsitek dan banyak orang yang lain untuk mengukur sudut vertikal dan keserongan dengan cepat dan dengan mudah

Gambar 3. Suunto PM-5

Suunto tandem adalah suatu klinometer dan kompas ketepatan liquid-filled di dalam satu alat. Instrument ini adalah suatu alat sempurna untuk para pensurvei, insinyur, orang yang membuat peta, geolog, buruh tambang, arsitek dan untuk siapa yang perlu untuk mengukur indikasi directional, sudut vertikal dan keserongan dengan kecepatan dan ketelitian.

(10)

Gambar 4. Suunto tandem Feature Produk:

1. Ketelitian tinggi- tepat membaca

2. Aluminum tahan lama yang melindungi dari dampak, karatan dan air 3. Bingkai pada 90 penjuru/sudut derajat

4. Kapsule Mutu sama seperti di yang reguler PMS dan KBS

5. Tandem 360 PC / 360 R: Timbangan: 0± 90°, 0± 150%, kosinus [tabel;meja] konversi 0- 45°

6. Tandem 400 PC / 400 R: Timbangan: 0± 100 gons, 0± 150%, [tabel;meja] konversi:kosinus 0- 50 g

2.3.3 Hand Gun Altimeter (HAGA)

Hand Gun Altimeter (HAGA) adalah suatu alat ukur untuk mengukur ketinggian, mulai dari ketinggian yang sedang sampia yang tinggi. Alat ini harganya tidak terlalu mahal dan cukup akurat (sempurna). Kemuliaan di atas dan di bawah mata pengamat dapat dibaca secara langsung dari skala jika pengamat berdiri pada jarak 15, 20, 25 atau 30 m dari pohon. Skala yang sesuai dapat terpilih dengan berputar pemilihan [itu] memutar angka telepon pusat perhatian/paling depan instrumen Ketika digunakan dengan tepat, Blume Leiss mempunyai suatu ketelitian sekitar+/- 0.5 m untuk suatu 20 m pohon jangkung ( dengan kata lain sekitar 2.5%).

(11)

Gambar 5. Hagameter 2.3.4 Meteran

Meteran disebut juga sebagai pita ukur atau tape atau bisa disebut juga sebagai rol meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur jarak atau panjang. Meteran juga berguna untuk mengukur sudut, membuat sudut siku-siku, dan juga dapat digunakan untuk membuat lingkaran. Satuan yang digunakan dalam meteran adalah mm atau cm, feet tau inch. Pita ukur atau meteran tersedia dalam ukuran panjang 10 meter, 15 meter, 30 meter sampai 50 meter. Pita ukur biasanya dibagi pada interval 5 mm atau 10 mm.

Meteran juga memiliki daya muai dan daya regang. Daya muai adalah tingkat pemuaian akibat perubahan suhu udara. Dan daya regang adaah perubahan panjang akibat regangan atau tarikan. Daya muai dan daya regang meteran dipengaruhi oleh jenis meteran, yang di bedakan berdasarkan bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Penyajian angka nol pada meteran ada yang di nyatakan tepat di ujung awal meteran dan ada pula yang dinyatakan pada jarak tertentu dari ujung awal meteran.

Pita ukur yang dibuat dari kain tidak banyak digunakan orang lain, karena kurang kuat dan cepat rusak. Untuk memperkuat kainnya, maka kain itu diberi benang dari tembaga. Supaya tahan air, kain dimasukkan dalam minyak yang panas dan direndam beberapa waktu lamanya, lalu dikeringkan. Lebar pita ukur ini ± 2 cm dan panjangnya ada 10 m, 20 m, atau 30 m. Kekurangan pada pita ukur dari kain ini adalah mendapat regangan bila basah dan cepat rusak, maka dari itu

(12)

pita ukur dari kain ini sekarang jarang sekali dipakai. Pita ukur dari baja lebih baik daripada pita ukur dari kain. Pita ukur baja ini dibuat dari pita baja, lebar 20 mm, tebal 0.4 mm, dan panjang 20 m, 30 m, dan 50 m. Pita ukur yang dibuat dari kain meskipun diperkuat dengan benang tembaga tidak lagi digunakan pada ilmu ukur tanah (Wongsotjitro, 1980).

2.4 Klasifikasi Lahan Menurut Permukaannya 2.4.1 Wilayah Datar

Wilayah ini mempunyai relief datar dengan kemiringan lereng < 2% dengan ketinggian tempat berkisar antara 0 – 50 m dpl. Daerah ini berada di sepanjang sungai, dataran bergambut dan sebagian kecil di daerah pesisir pantai. Kondisi penutupan lahan ini merupakan hutan rawa, hutan mangrove dan sebagian telah digunakan masyarakat berupa ladang. Luas wilayah areal ini mencapai 2.241 Km2 (12,11%) dengan penyebaran terluas di Kecamatan Teluk Etna.

2.4.2 Wilayah Bergelombang

Wilayah bergelombang dengan kemiringan lereng dominan berkisar antara 2-8% dan berada pada ketinggian tempat antara 0-150 m dpl. Kondisi penutupan lahan ini berupa hutan dataran rendah. Daerah ini tersebar di 4 kecamatan dengan luas areal 3.610 Km2 (1,95%).

2.4.3 Wilayah Bergelombang hingga berbukit kecil

Wilayah ini menempati areal yang sangat sempit yang berada di Kecamatan Teluk Etna bagian utara, yaitu di sekitar Desa Urubika, Yapima dan Desa Ure. Kemiringan lereng daerah ini berkisar antara 9 – 15% (0,40%) dengan ketinggian tempat 20 -800 m dpl, kondisi penutup lahan berupa kebun dan belukar.

2.4.4 Wilayah Berbukit

Wilayah ini berbukit-bukit dengan kondisi lahan terjal dan mempunyai kemiringan lereng antara 15 – 25% dan setempat hingga 40%, dengan ketinggian tempat 5 – 600 m dpl. Daerah ini penyebarannya paling luas mulai dari bagian tenggara hingga barat daya seperti di Kecamatan Buruway dan Kecamatan Kaimana dengan luas areal 1503,9 Km2 (8,61%) dengan penutupan lahan berupa hutan sekunder dan hutan primer.

(13)

2.4.5 Wilayah Berbukit Hingga Bergunung

Daerah ini mempunyai bentuk wilayah berbukit-bukit hingga bergunung dengan kemiringan lereng > 40% dan setempat bisa mencapai 70%. Ketinggian tempat 100 m-2.800 m dpl. Daerah seperti ini tersebar luas di bagian utara merupakan Gunung Wagura Kote dan sebelah barat merupakan pegunungan Kumawa dengan luas areal 14.415,8 Km2 (77,92%).

(14)

BAB III

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Percobaan

3.1.1 hasil pengukuran dengan theodolite a. hasil pengukuran theodolite

Tabel 1 Hasil Pengukuran Theodolite Jarak (m) BA (cm) BB (cm) BT (cm) VA (o) HA (o) 5 137,5 132,5 135 83,904 236,889 10 120 110 115 83,823 238,100 15 115 100 107,5 83,528 238,119

Tabel 2 Hasil Perhitungan Theodolite

α

dM (m) dH (cm) Kemiringan Sudut (%) (o) 6,10 4,91 56,5 8,69 4,96 6,18 9,94 103,5 9,61 5,48 6,47 14,73 141,5 10,41 5,94

b. Perhitungan pada theodolite

Menghitung dM : dM = c(BA − BB) cos α Diketahui : c=100 dM1 = 100 x (137,5 − 132) cos 6,10 dM1 = 4,91 m dM2 = 100 x (120 − 110) cos 6,18 dM2 = 9,94 m dM3 = 100 x (115 − 100) cos 6,47 dM3 = 14,73 m Menghitung alpha (

α

) : 𝛼 = 90 − VA 𝛼1 = 90 − 83,904 = 6,10o 𝛼2 = 90 − 83,823 = 6,18o 𝛼3 = 90 − 83,528 = 6,47o Menghitung dH : dH =1

2c x (BA − BB) sin 2α + (Hi − BT) Diketahui : c = 100 ; Hi = 165 cm

(15)

dH1 =1 2100 x (137,5 − 132) sin 2(6,10) + (165 − 135) = 56,5 cm dH2 = 1 2100 x (120 − 110) sin 2(6,18) + (165 − 110) = 103,5 cm dH3 = 1 2100 x (115 − 100) sin 2(6,47) + (165 − 100) = 141,5 cm Perhitungan sudut kemiringan (𝛼)

𝛼(%) =dM dH x 100% 𝛼( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛dM dH 𝛼1(%) =4,91 56,5 x 100% = 8,69 % 𝛼1( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛4,91 56,5= 4,96 o 𝛼2(%) = 9,94 103,5 x 100% = 9,61 % 𝛼2( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 9,94 103,5= 5,48 o 𝛼3(%) = 14,73 141,5 x 100% = 10.41 % 𝛼3( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛14,73 141,5= 5,94 o

c. profil kemiringan hasil pengukuran theodolite

α1 = 4,96o

α2 = 5,48o

(16)

3.1.2 hasil pengukuran dengan meteran a. hasil pengukuran dan perhitungan meteran

Tabel 3 hasil pengukuran dan perhitungan meteran Jarak (m) dH (cm) Kemiringan Sudut (%) (o) 5 33 15,15 8,61 10 52 19,23 10,88 15 46 32,61 18,06

b. perhitungan pada meteran

Perhitungan sudut kemiringan (𝛼)

𝛼(%) =dM dH x 100% 𝛼( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛dM dH 𝛼1(%) = 5 33 x 100% = 15,15 % 𝛼1( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 5 33= 8, 61 o 𝛼2(%) = 10 52 x 100% = 19,23 % 𝛼2( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛10 52= 10,88 o 𝛼3(%) = 15 46 x 100% = 32,61 % 𝛼3( 𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛15 46= 18,06 o

(17)

c. profil kemiringan hasil pengukuran meteran

3.1.3 hasil pengukuran dengan sunto level a. hasil pengukuran dan perhitungan sunto level

Tabel 4 hasil pengukuran dan perhitungan sunto level Jarak (m) dH (cm) Kemiringan Sudut (%) (o) 5 28,36 17,63 10 10 56,71 17,63 10 15 55,98 26,79 15 b. perhitungan pada sunto level

Menghitung sudut kemiringan (%)

𝛼(%) =dM dH x 100% Menghitung dH dH = dM tan α 𝛼1(%) = 5 28,36 x 100% = 17,63 % dH1 = 5 tan 10= 28,36 cm α1 = 8,61o α2 = 10,88o α3 = 18,06o

(18)

𝛼2(%) = 10 56,71 x 100% = 17,63 % dH2 = 10 tan 10= 56,71 cm 𝛼3(%) = 15 55,98 x 100% = 26,79 % dH3 = 15 tan 15= 55,98 cm

c. profil kemiringan hasil pengukuran sunto level

3.1.4 hasil pengukuran dengan abney level a. hasil pengukuran dan perhitungan abney level

Tabel 5 hasil pengukuran dan perhitungan abney level Jarak (m) dH (cm) Kemiringan Sudut (%) (o) 5 33,33 15 8,53 10 58,82 17 9,64 15 88,24 17 9,64

b. perhitungan pada abney level

Menghitung sudut kemiringan (o)

𝛼(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛dM dH Menghitung dH dH =dM α α1 = 8,61o α2 = 10,88o α3 = 18,06o

(19)

𝛼1(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 5 33,33= 8,53 o dH 1 = 5 0,15= 33,33 cm 𝛼2(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 10 58,82= 9,64 o dH 2 = 10 0,17= 58,82 cm 𝛼3(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 15 88,24= 9,64 o dH 3 = 15 0,17= 88,24 cm

c. profil kemiringan hasil pengukuran abney level

3.1.5 hasil pengukuran dengan hagameter a. hasil pengukuran dan perhitungan hagameter

Tabel 5 hasil pengukuran dan perhitungan hagameter Jarak (m) dH (cm) Kemiringan Sudut (%) (o) 5 41,67 12 6,84 10 71,43 14 7,96 15 93,75 16 9,09 α1 = 8,53o α2 = 9,64o α3 = 9,64o

(20)

b. perhitungan pada hagameter

Menghitung sudut kemiringan (o)

𝛼(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛dM dH Menghitung dH dH =dM α 𝛼1(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 5 41,67= 6,84 o dH 1 = 5 0,12= 41,67 cm 𝛼2(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 10 71,43= 7,96 o dH 2 = 10 0,14= 71,43 cm 𝛼3(𝑜) = 𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑎𝑛 15 93,75= 9,09 o dH 3 = 15 0,16= 93,75 cm

c. profil kemiringan hasil pengukuran hagameter

3.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai pengukuran kemiringan lahan dengan alat pengukur. Alat pengukur yang dipergunakan dalam praktikum kali ini terdiri dari pita ukur (meteran), theodolit, abney level, suunto meter, dan hagameter. Pengukuran ini dilakukan dengan membagi jarak ukur menjadi 3 bagian, yaitu 10 m, 20 m, dan 30 m.

α1 = 6,48o

α2 = 7,96o

(21)

Dilakukannya pengukuran kemiringan lereng ini sangatlah penting. Kelerengan sangat berhubungan dengan besarnya erosi yang dialami oleh lahan tersebut. Semakin jauh panjang lereng, maka kemungkinan besarnya erosi lebih tinggi. Kelerengan akan memperbesar jumlah aliran permukaan. Akan tetapi besarnya erosi dapat ditangani dengan memanfaatkan faktor, yaitu : vegetasi penutup tanah, dengan demikian erosi dapat diperkecil. Dengan mengetahui sudut lereng baik dalam persen (%) ataupun dalam (0), maka kita bisa memperkirakan seberapa bersar terjadinya erosi ditempat itu dan tindakan konservasi yang bagaimana seharusnya dilakukan pada titik tersebut.

Pada pengukuran menggunakan theodolit didapati hasil perhitungan kemiringan sudut menunjukkan nilai kemiringan (%) pada jarak 10 m, 20 m, dan 30 m adalah sebesar 0,27; 0,31; dan 0,27. Sedangkan nilai kemiringan dalam derajat (o) pada jarak 10 m, 20 m, dan 30 m adalah sebesar 15,05; 16,99; dan 14,38.

Selanjutnya, pada pengukuran menggunakan meteran. Meteran ini dijadikan patokan seberapa besar beda tinggi lahan dengan melihat angka yang tertera pada rambu ukur. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa besarnya kemiringan sudut dalam persen (%) adalah 18,52 pada jarak 10 m. Sedangkan besarnya kemiringan sudut dalam derajat (o) adalah 10,49. Pengukuran hanya dilakukan pada jarak 10 m, hal ini disebakan alat yang digunakan sudah tidak bias menjangkau titik ke 2 dan ke 3.

Pada pengukuran selanjutnya, menggunakan alat pengukur sudut berupa suunto level. Dalam penggunaannya, alat ini harus dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengamat yang akan mengamati kemiringan lahan dengan alat ini memisir terlebih dahulu garis setinggi mata pengamat pada tiang atau rambu ukur pada jarak 10 m dan selanjutnya. Pada alat suunto level ini, hasil pengukuran sudah dalam bentuk derajat (o). Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh besarnya nilai kemiringan sudut dalam persen (%) pada bacaan dalam adalah 36,4; 38,39; dan 40,4. Sedangkan pada bacaan luar didapati hasil 36,40; 46;63; 44,52.

Pengukuran keempat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur sudut berupa abney level. Penggunaannya hampir sama dengan suunto level, sebelum

(22)

digunakan, alat harus dikalibrasi terlebih dahulu. Terdapat gelembung udara pada abney level yang menjadi titik acuan dalam pengukuran yang disebut Nivo. Pada alat abney level ini, hasil pengukuran sudah dalam bentuk derajat (o). Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh besarnya nilai kemiringan sudut dalam persen (%) adalah 29; 30; 30.

Berdasarkan literatur diketahui bahwa abney level memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dibanding dengan suunto level. Akan tetapi pengukurannya tidak betul-betul akurat karena dalam pelaksanaannya masih terjadi beberapa kesalahan seperti dalam pembacaan nilai dan pemisiran karena kurang teliti pada saat melakukan praktikum yang dikarenakan pemaikaian alat bergiliran dan waktu praktikum yang terbatas. Pada penggunaan alat abney level kita dituntut untuk lebih telaten karena untuk meletakkan nivo pada garis tengah dengan sejajar sebagai indikator bahwa kemiringan sudah tepat tidaklah mudah. Pengukur harus tidak banyak bergerak dan harus teliti.

Terakhir, dilakukan pengukuran kemiringan lahan dengan menggunakan alat pengukur sudut berupa hagameter. Penggunaan alat ini adalah dengan mengarahkan alat pada rambu ukur yang ditempatkan pada titik pengamatan, kemudian pengamat membidik kearah rambu, setelah benar-benar dianggap lurus, praktikan kemudian menembak dengan memcet tombol pada alat, selanjutnya pengamat lain membaca angka yang ditunjukkan oleh jarum pada hagameter. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh besarnya nilai kemiringan sudut dalam persen (%) adalah 28; 28; 28. Sedangkan besarnya kemiringan sudut dalam derajat (o) adalah 15,64; 15,64; 15,64.

Berdasarkan hasil pengamatan dan literatur, diketahui bahwa alat yang memiliki tingkat ketelitian paling tinggi adalah theodolit, sedangkan yang tingkat keakurasiannya paling rendah adalah meteran. Ketelitian dalam hal pengukuran tidak hanya tergantung pada alat, namun pada pengukur dan juga faktor alamnya.

Dalam menggunakan theodolit, gelembung air yang terdapat pada nivo horizontal maupun vertikal harus benar-benar berada di tengah. Theodolit digital memiliki kelebihan seperti hasil data yang diperoleh lebih cepat, cara penggunaanya mudah, serta data yang diperoleh akurat. Sedangkan

(23)

kekurangannya adalah bobotnya berat, harganya mahal, dan untuk mendapat data yang akurat, pengaturan harus stabil.

(24)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Kemiringan suatu lahan adalah tingkat kecuraman lereng permukaan suatu lahan yang dapat dinyatakan dalam satuan persen atau derajat.

2. Lahan dengan kemiringan yang cukup dapat mengakibatkan air mengalir ke bagian yang lebih rendah merupakan faktor penyebab erosi.

3. Makin panjang lereng, akumulasi limpasan permukaan makin besar, sehingga volume dan kecepatannya akan semakin meningkat, yang berarti daya gerus dan angkutnya semakin tinggi.

4. Pengukuran di atas permukaan bumi dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk lengkung permukaan bumi.

5. Pengukuran jarak dan kemiringan suatu lahan dapat dilakukan dengan menggunakan meteran, theodolite, abney level, suunto level, dan hagameter.

6. Setiap tempat ataupun setiap titik mempunyai sudut lereng (kelerengan) baik dalam (%) maupun dalam (0) mempunyai nilai yang berbeda.

7. Dengan mengetahui sudut lereng baik dalam persen (%) ataupun dalam (0), maka kita bisa mengetahui seberapa bersar terjadinya erosi ditempat itu dan tindakan konservasi yang bagaimana seharusnya dilakukan.

8. Alat pengukur kemiringan sudut yang paling akurat dari kelima alat yang digunakan adalah theodolite.

4.2 Saran

Disarankan kepada praktikan yang akan melakukan praktikum serupa agar:

1. Memahami terlebih dahulu materi yang akan dipraktikkan agar memudahkan jalannya praktikum.

(25)

2. Melakukan praktikum dengan serius dan teliti untuk meminimalisir terjadinya kesalahan.

3. Memastikan kaki tiga pada theodolite sudah berdiri tegak dengan sempurna dan pastikan juga gelembung nivo sudah berada di tengah agar pembacaannya akurat.

4. Memastikan telah melakukan kalibrasi dengan benar sebelum mengukur kemiringan dengan abney dan suunto level.

5. Melakukan perhitungan dengan teliti dan hati-hati sehingga terhindar dari kesalahan.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. 1993. Survai Tanah dan Evaluasi Lahan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Asdak, Chay. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 1995. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Anonim. 2012. Alat Ukur Tanah. Tersedia:

http://www.slideshare.net (Diakses pada tanggal 18/3/2013 pada pukul 18.17 WIB)

Anonim. 2008. Diameter Tape. Tersedia:

http://www.cnr.vt.edu (Diakses pada tanggal 18/3/2013 pada pukul 18.23 WIB)

Bafdal, Nurpilihan; Suryadi, Edi. Penuntun Praktikum Teknik Pengawetan Tanah dan Air. 2007. Jatinagor: UNPAD.

Frick, H. 1996. Ilmu dan Alat Ukur Tanah. Kanisius. Yogyakarta.

Hutdopi. 2011. Alat Ukur Geografi. Tersedia:

http://hutdopi08.blogspot.com (Diakses pada tanggal 18/3/2013 pada pukul 18.09 WIB)

Irawan, Budi. 2011. Mengoperasikan dan Merawat Alat Ukur Tanah. Tersedia: http://pustaka.ictsleman.net (Diakses pada tanggal 18/3/2013 pada pukul 18.13 WIB)

Irvine, W. 1995. Penyigian Untuk Konstruksi. Edisi ke II. ITB. Bandung.

Kartasapoetra, G . 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Bina Aksara, Jakarta.

McCormac, J.2004. Surveying. Fifth Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Schwab, Glen O; dkk. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. United States of America: John Wiley and Sons, Inc.

Seta, A. K. 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia, Jakarta.

Sosrodarsono, S., dan Takasaki, M. 1992. Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan. Edisi ke III. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Suripin, M.Eng. 2002. Pelestarian Sumber Daya Air dan Tanah. ANDI. Yogyakarta.

(27)

http://www.scribd.com (Diakses pada tanggal 18/3/2013 pada pukul 18.15)

Wikipedia. 2012. Topographic Abney Level. Tersedia:

http://en.wikipedia.org (Diakses pada tanggal 18/3/2013 pada pukul 18.21)

Wongsotjitro, S. 1980. Ilmu Ukur Tanah. Kanisius. Yogyakarta.

Yulfa, Arie. 2008. Peta Situasi. Tersedia:

http://arieyulfa.files.wordpress.com (Diakses pada tanggal 18/3/2013 pada pukul 18.24)

(28)

LAMPIRAN

Gambar 1. Abney Level Gambar 2. Pembacaan sudut dengan teodolit

Gambar

Gambar 1. Hubungan antara erosi dan kemiringan (a) dan panjang lereng (b)  Berdasarkan hal di atas pula tindakan-tindakan konservasi secara mekanis  umumnya berkaitan dengan usaha-usaha memperpendek dan memperkecil lereng  lahan yang akan digunakan
Tabel 1: Klasifikasi Kemiringan Lereng dan Kategori Bentuk Reliefnya  Land  slope  atau  kemiringan  lahan  merupakan  faktor  yang  sangat  perlu  untuk  dperhatikan,  sejak  dari  penyiapan  lahan  pertanian,  usaha  penanamannya,  pengambilan  produk-pr
Gambar 3. Suunto PM-5
Gambar 4. Suunto tandem  Feature Produk:
+6

Referensi

Dokumen terkait