• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PEMBAHASAN 5.1 Pertumbuhan di Lokasi Penanaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. PEMBAHASAN 5.1 Pertumbuhan di Lokasi Penanaman"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

V. PEMBAHASAN

5.1 Pertumbuhan di Lokasi Penanaman a. Faktor pembatas

Sesuai dengan hasil survei dan wawancara, kondisi lahan penelitian awalnya merupakan lahan perkebunan yang ditanami pohon karet dan akhirnya terbuka karena tidak produktif dan menjadi lahan alang-alang. Saat ini, lahan yang dijadikan lokasi penelitian merupakan lokasi peternakan sapi perah dan domba garut. Pakan ternak diambil di sekitar lokasi penelitian yaitu rerumputan dan dedaunan dari pohon yang ada di sekitar lokasi peternakan.

Percobaan penelitian dilakukan di lokasi peternakan seluas 1500 m2 milik bapak Rahmat yang dibagi menjadi 3 blok. Hasil analisis tanah awal dengan menggunakan alat pH meter dengan cara menusukkan ke dalam tanah diperoleh pH tanah di blok 1 adalah 4,8; blok 2 adalah 5,2; dan blok 3 adalah 4,2 dengan tingkat kesuburan sedang. Kemudian dilakukan pengambilan contoh secara komposit. Hasil analisis tanah yang dianalisis di Services Laboratory SEAMEO BIOTROP menunjukkan pH tanah sangat masam yaitu di blok 1 = 4,1; blok 2 = 4,5; dan blok 3 = 4,0 serta kandungan Al yang tinggi di blok 1 dan 2, sedangkan blok 3 termasuk sedang. Hasil analisis kimia tanah pada akhir penelitian menunjukkan bahwa kandungan hara di lahan percobaan termasuk sangat rendah untuk semua parameter (Lampiran 1), sehingga kondisi lahan penelitian tergolong jenis lahan yang kritis atau miskin hara.

Paramater pH dan Al merupakan faktor pembatas yang sangat perlu dicermati dan dikaji agar pertumbuhan tanaman di lapangan menjadi lebih baik. Pada tanah dengan pH sangat masam, yaitu pH lebih rendah dari 4,5 maka dalam sistem tanah akan terjadi perubahan kimia yaitu Aluminium menjadi lebih larut dan beracun untuk tanaman dan sebagian besar hara tanaman menjadi kurang tersedia bagi tanaman, sedangkan beberapa hara mikro menjadi lebih larut dan beracun. Masalah-masalah ini tersebar luas di daerah tropis basah yang telah mengalami pelapukan lanjut. Menurut Sanchez dan Logan (1992), bahwa sepertiga dari daerah tropis, atau 1,7 miliar hektar, adalah tanah bereaksi asam

(2)

dengan tingkat kelarutan aluminium cukup tinggi sehingga menjadi racun bagi tanaman. Efek toksisitas Al terhadap sorgum terutama terjadi perubahan sistem perakaran yang memendek sehingga bidang serap terhadap unsur hara menajdi semakin terbatas.

Toksisitas Al dan defisiensi kalsium serta magnesium terjadi hampir 70% di tanah masam di Amerika tropis dan hampir semua tanah tersebut mengalami defisiensi pospor (Sanchez dan Salinas, 1981 diacu dalam Marschner, 1995). Akibat pH tanah masam dan Al yang tinggi menyebabkan tanaman sorgum tidak begitu baik pertumbuhannya meskipun pemupukan dilakukan dengan baik. Namun demikian, sorgum Numbu sangat tahan terhadap kemasaman tanah dibanding dengan ZH-30. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian Agustina

et al. (2010) bahwa sorgum galur BATAN B-75, B-69, dan ZH-30-29-07 lebih

rentan terhadap tanah masam dari pada varietas Numbu. Pertumbuhan sentang di lokasi penanaman sangat baik, bahkan semua tanaman tidak ada yang mati. Dari hasil ini tanaman sentang dapat di golongkan menjadi tanaman yang tahan terhadap tanah yang masam.

b. Faktor pendorong

Hasil analisis biologis tanah berupa jumlah spora terbukti bahwa ada peningkatan jumlah spora pada lahan yang ditanami sorgum dan sentang (Tabel 5). Pada awal penelitian terdapat 49 spora per 10 g tanah dan kebanyakan dari jenis Glomus sp., kemudian pada akhir penelitian diperoleh 170 spora per 10 g tanah dengan jenis Glomus sp., dan Aucolaspora. Hal ini menunjukkan adanya potensi mikorhiza alami yang ada di lokasi penelitian, kemudian meningkat setelah dilakukan pengolahan lahan dan penanaman dengan sorgum. Simbiosis dengan V-AM meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dan kekeringan yang ditunjukkan oleh semakin meningkatnya bobot kering akar, bobot kering tajuk, kandungan hara N, P, dan Ca, dan serapan P, tetapi tidak meningkatkan produksi biji kering (Hanum C, 2004). Hasil analisis kolonisasi akar (Tabel 16) terlihat di sentang, sorgum dan gulma terdapat kolonisasi V-AM. Akar sentang terkolonisasi paling banyak yaitu 61,67%, sedangkan akar sorgum sebesar 57,50% dan akar gulma sebesar 31,01%. Kolonisasi yang paling banyak terdapat pada plot yang ditanam jenis sorgum Numbu dan pertumbuhan Numbu

(3)

lebih baik dari ZH-30 serta pertumbuhan sentang menjadi lebih baik jika berada di plot yang ada sorgumnya dari pada di plot tanpa sorgum. Penyebaran akar sentang di plot sorgum lebih banyak dari pada di plot tanpa sorgum. Jangkauan akar sentang di plot sorgum lebih panjang dari pada di plot tanpa sorgum (Tabel 15). Akar sentang berhasil mengokupasi di area sorgum, namun belum terjadi interaksi negatif antara kedua komponen tersebut, bahkan mengindikasikan akar sentang membantu penyebaran spora mikorhiza dan infeksi ke akar sentang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa mikroba tanah dalam hal ini mikorhiza membantu didalam pertumbuhan tanaman baik itu sentang dan sorgum. Hasil penelitian Rumambi (2012) menunjukkan adanya interaksi antara pola tanam, aplikasi fosfat dan inokulasi V-AM mampu meningkatkankan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman jagung dan sorgum. Pada plot tanpa sorgum terlihat adanya interaksi negatif antara akar sentang dan gulma, dimana akar gulma atau alang-alang sampai menembus akar sentang. Hal ini juga menunjukkan bahwa gulma berusaha mengokupasi di areal tempat tumbuh sentang dimana terdapat kandungan hara yang tersedia dari pemupukan awal. Akibat dari hal ini pertumbuhan sentang di plot tanpa sorgum menjadi terhambat. Namun karena adanya mikorhiza alami di plot tersebut, baik sentang maupun gulma bisa bertahan dan berkembang. Mikorhiza mampu meningkatkan daya tahan terhadap kekekeringan dan tahan terhadap dan terhadap serangan pathogen akar (Imas et al., 1989).

Perkembangan sentang yang terbaik di plot tanpa sorgum ada di blok 2, dikarenakan kompetisi yang terjadi tidak dengan alang-alang namun dengan jenis gulma yang lain yaitu Phillanthus niruri, Mimosa pudica, Axonopus compressus,

Mikonia micrantha, Setaria plicata, dan Borreria levis. Pada lokasi penelitian di

blok 2 gulma-gulma tidak seinvasif alang-alang dan relatif tidak begitu tinggi. interaksi yang terjadi dalam percobaan ini dapat bersifat menghambat karena adanya faktor pembatas seperti aluminium (Al), tetapi jika ada yang bersifat mendorong karena kehadiran mikroba yang menguntungkan seperti endomikorhiza (V-AM). Mikorhiza tersebut dapat bersimbiosis dengan gulma, sentang, dan sorgum.

(4)

5.2 Pengaruh Jarak Tanam Sentang

Usaha untuk meningkatkan produktivitas tanaman dipengaruhi oleh oleh berapa faktor antara lain: jarak tanam, intensitas cahaya, dan jenis tanaman. Jarak tanam di dalam penelitian ini merupakan jarak tanam tanaman pokok sentang yaitu A1 (2,5 m x 2,5 m) dan A2 (2,5 m x5 m). Pemilihan jarak tanam ini didasarkan pada interaksi antara komponen penyusun agroforestri agar diperoleh pertumbuhan yang baik. Penguasaan ruang tumbuh bagian atas (above ground) dan ruang tumbuh di dalam tanah (below ground) akan menghasilkan pertumbuhan yang optimal. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa jarak tanam sentang belum berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi sorgum pada umur 14 BST. Pada percobaan pendahuluan menunjukkan perlakuan jarak tanam sentang pada umur 3 BST berpengaruh terhadap parameter tajuk sentang. Tajuk semakin lebar dan tinggi jika di tanam di jarak A1 (2,5 m x 2,5 m), hal ini menunjukkan jarak tanam sentang yang rapat dapat lebih mudah beradaptasi dengan baik di lapangan. Faktor internal dan eksternal sangat berpengaruh sekali terhadap pertumbuhan sentang umur 3 BST. Tanaman masih perlu beradaptasi dengan lingkungan. Jarak tanam yang rapat dapat mengurangi efek negatif dari pengaruh faktor iklim, misalkan angin yang kencang yang dapat menghambat pertumbuhan sehingga lebih stabil jika dibandingkan dengan jarak yang lebar. Namun demikian hasil lebar dan tinggi tajuk masih sangat kecil, ini dikarenakan sentang masih mengalami proses adaptasi dengan lingkungan di lapangan.

Pada percobaan Agroforestri, jarak tanam sentang hanya berpengaruh terhadap parameter lebar tajuk sentang pada umur 14 BST. Hal ini ditunjukkan bahwa jarak tanam sentang yang lebar A2 (2,5 m x 5 m) terbukti pempengaruhi pertumbuhan tajuk sentang ke arah samping. Jarak tanam yang lebar memberikan ruang tumbuh tajuk sentang untuk berkembang lebih baik dari pada jarak yang rapat.

Jarak tanam di dalam percobaan ini belum berpengaruh terhadap pertumbuhan sorgum selama 14 BST, hal ini berarti sentang belum terlihat berkompetisi dengan sorgum selama jangka waktu penelitian yaitu 14 BST. Sentang memiliki jenis tajuk yang conic atau seimbang, daunya majemuk dan mempunyai tingkat pelepasan cabang yang baik. Sentang dapat disarankan

(5)

sebagai tanaman pokok di dalam agroforestri dengan sorgum karena cahaya masing mencukupi, sehingga sorgum dapat menerima sinar matahari untuk berfotosintesis dengan baik. Pertimbangan arsitektur pohon dalam pemilihan jenis dalam agroforestri belum banyak diaplikasikan. Sentang memiliki arsitektur model Roux, sehingga tajuknya berbentuk kerucut (conic) dengan sistem percabangan yang seimbang.

Jarak tanam sentang akan mempengaruhi kecepatan penutupan tajuk dan ekspansi sistem perakaran di dalam tanah. Pada awalnya sorgum akan tumbuh dengan baik ketika tajuk sentang belum tumbuh dengan baik karena pada dasarnya sorgum termasuk jenis tanaman C4 yaitu membutuhkan sinar matahari penuh untuk fotosintesis. Semakin bertambahnya umur maka tajuk sentang akan mulai menutup seluruh ruangan dan diperkirakan sorgum tidak dapat ditanam lagi pada jarak tanam sentang 2,5 m x 2,5 m dalam kurun waktu 4 tahun, sedangkan pada jarak tanam sentang 2,5 m x 5 m tidak dapat ditanam sorgum pada umur 8 tahun.

Pada saat yang sama sistem perakaran sentang sudah dapat menginvasi areal perakaran dan akan menyerap unsur hara dan air yang lebih banyak, sehingga interaksi yang terjadi bersifat negatif terhadap sorgum.

Pendalaman lebih lanjut dapat difokuskan pada sistem jaringan pengaman unsur hara. Dalam hal ini, terdapat zonasi sistem perakaran antara tanaman pertanian (20 – 30 cm) dan tanaman kehutanan (> 30 cm), sehingga jika terjadi aliran unsur hara dari zonasi tanaman pertanian ke zonasi tanaman kehutanan maka unsur hara dan air akan dimanfaatkan oleh sistem akar yang di bawahnya. 5.3 Pengaruh Jenis Sorgum

Pada percobaan pendahuluan perlakuan jenis sorgum, baik itu S1 (Numbu), S2 (ZH-30), dan S0 (tanpa sorgum) seluruhnya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter pertumbuhan sentang. Hal ini dikarenakan sentang masih berumur 3 BST dan masih beradaptasi dengan lingkungan, hal ini berarti dalam okupasi ruangan belum mengganggu pertumbuhan sentang umur 3 BST. Plot yang ditanami sorgum memberikan asupan hara ke sentang dari pupuk dan pengolahan lahannya. Pertumbuhan sentang di plot yang ditanami sorgum lebih baik jika dibandingkan dengan plot tanpa sorgum. Pada awal percobaan, biji

(6)

sorgum yang di tabur pada setiap plot menunjukkan persentase hidupnya kecil yaitu 33,9% untuk jenis Numbu dan 15,8% untuk jenis ZH-30. Hal ini dikarenakan faktor tanah yang kritis yang ditunjukkan oleh hasil analisis kimia tanah yaitu pH sangat rendah dan mengandung unsur aluminium (Al). Namun demikian, pertumbuhan Numbu lebih baik dari pada ZH-30 dan jika dilihat dari hasil produktivitasnya maka S1 (Numbu) lebih besar yaitu 5,51 kg/100 m2 dari pada ZH-30 yaitu 1,68 kg/100 m2. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Numbu ini termasuk varietas yang tahan terhadap cekaman Aluminium dan pH rendah. Hasil penelitian (Agustina et al., 2010) memperkuat bahwa varietas Numbu mempunyai daya tahan lebih baik terhadap kemasaman dan cekaman Al dibanding dengan ZH-30-29-07, B-75, dan B-69.

Pada percobaan agroforestri perlakuan jenis sorgum memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap parameter pertumbuhan sentang dan sorgum sendiri. Pertumbuhan diameter, tinggi, lebar dan tinggi tajuk, fraksi akar horizontal dan kolonisasi V-AM sentang pada umur 14 BST di plot sorgum dan tanpa sorgum sangat nampak perbedaannya. Pertumbuhan diameter sentang yang paling bagus jika berada di plot sorgum Numbu (S1) sebesar 3,8 cm dan ZH-30 (S2) sebesar 3,65 cm, sedangkan di plot tanpa sorgum (S0) hanya 1,99 cm.

Pada umumnya di tempat terbuka (S0) pertumbuhan diameter sentang seharusnya lebih besar dari pada di tempat yang ditanami sorgum (S1 dan S2), namun kenyataanya diameter sentang yang ditanam dengan sorgum Numbu dan ZH-30 memiliki diameter yang lebih besar. Dengan demikian, kehadiran sorgum justru memacu pertumbuhan diameter sentang. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi positif di sistem perakaran sorgum dan sentang melalui kolonisasi V-AM. Pertumbuhan lebar dan tinggi tajuk juga terlihat sangat berbeda di plot sorgum dibanding di plot tanpa sorgum. Hal yang serupa juga terjadi pada parameter perakaran dan juga kolonisasi akar terhadap V-AM, bahwa pada plot sorgum pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan di plot tanpa sorgum.

Pertumbuhan sorgum, baik itu Numbu dan ZH-30 lebih baik dibandingkan pertumbuhannya sewaktu di percobaan pendahuluan. Pada percobaan agroforestri, benih sorgum menggunakan benih hasil dari percobaan pendahuluan, sehingga pertumbuhannya lebih baik dikarenakan sorgum sudah adaptif terhadap

(7)

lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya persentase hidup dan hasil produksi sorgum.

Kemudian untuk mengetahui manfaat sorgum sebagai pangan, pakan, dan energi maka dilakukan pengukuran berdasarkan umur panen sorgum yaitu 60 HST, 70, HST, 80 HST, dan 90 HST. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin meningkatnya umur panen maka kadar gula, biomassa, dan nira juga meningkat. Pertumbuhan sorgum dilihat dari persentase hidup dan produksi menunjukkan jenis S1 (Numbu) lebih baik dari pada jenis S2 (ZH-30), sedangkan pertumbuhan diameter dan tinggi sorgum sesuai dengan hasil dari kajian Balitserealia yang diacu Sihono (2009). Diameter Numbu lebih kecil dan lebih tinggi dibanding 30, bobot biji 1000 butir Numbu lebih berat dari pada ZH-30, sedangkan kadar gula dan nira lebih tinggi Numbu. Hal ini dikarenakan Numbu sudah menjadi varietas tahan terhadap cekaman Al dan pH rendah serta sudah dilepas sebagai varietas nasional, sedangkan ZH-30 masih merupakan galur harapan yang diperlukan kajian lebih lanjut untuk menjadi varietas untuk memenuhi kebutuhan akan pangan.

Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor pembatas dan pendorong pada penelitian agroforestri sangat terlihat sekali, yaitu menyangkut karakteristik tempat tumbuh dan perilaku komponen tanaman serta mikroba tanah (mikorhiza). Pada Tabel 4 hasil analisis kimia tanah menunjukkan bahwa tempat tumbuh di lokasi penelitian tergolong kritis atau miskin hara, sehingga diperlukan proses adaptasi untuk tumbuhan yang akan ditanam, kemudian tanah yang dilakukan pengolahan lahan dan pengembangan teknik budidaya dengan penambahan arang dan kompos.

Penggunaan arang (Biocharcoal) dalam budidaya sorgum berfungsi sebagai unsur pembenah tanah yang mampu mengatasi beberapa faktor pembatas sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dalam hal ini biocharcoal juga sebagai soil manager dan soil conditioner. Biocharcoal sebagai soil conditioner akan memberikan pengaruh dalam pembentukan sistem perakaran, serapan hara, translokasi air dan hara serta membangun niche mikroba dalam tanah, khususnya V-AM. Peran yang paling menonjol dalam aplikasi dalam biocharcoal adalah mempengaruhi kadar gula dan volume nira yang diperoleh ketika dipanen, dan

(8)

peran dalam meningkatkan panjang dan berat malai sorgum ketika dipanen. Berat 1000 butir juga meningkat dengan adanya penambahan biocharcoal. Hal ini dapat difahami karena biocharcoal mampu mengakumulasi nutrisi dan air untuk mendukung pertumbuhan benih dan pengisian butir sorgum (Supriyanto at al. 2012).

5.4 Pengaruh Interaksi

Pada sistem agroforestri (wanatani) pengaturan jarak tanam sangat penting, karena dalam luasan lahan tersebut akan terjadi interaksi antar tanaman dan saling mempengaruhi. baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Guna menghindari kegagalan agroforestri, ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu proses terjadinya interaksi, penyebab terjadinya interaksi, dan jenis interaksinya.

Pada penelitian percobaan pendahuluan belum ada interaksi antara komponen penyusun yaitu sentang dan sorgum, hal ini termasuk jenis interaksi netral yaitu diantara kedua tanaman tidak saling mempengaruhi, peningkatan produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi produksi pohon atau sebaliknya. Pada Tabel 6 hasil rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa blok tanam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sentang baik itu diameter, tinggi, lebar dan tinggi tajuk di lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa faktor tempat tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan sentang pada umur 3 BST, sehingga sentang masih dalam proses beradaptasi dengan faktor lingkungan.

Hasil pada penelitian percobaan agroforestri belum menunjukkan interaksi antara jenis sorgum dengan jarak tanam yang nyata terhadap parameter pertumbuhan sorgum, namun fraksi akar horizontal mempengaruhi interaksi antara sorgum dan sentang. Hasil interaksinya ini menunjukkan jenis Numbu (S1) yang ditanam dalam areal sentang dengan jarak tanam 2,5 m x 5 m (A2) memiliki fraksi akar tertinggi yaitu yaitu 66 %, sedangkan jangkauan akar sentang paling panjang ada di plot yang ditanami sorgum Numbu (S1). Dengan demikian infasi akar sentang ke tempat tumbuh sorgum sebagai awal terjadinya interaksi. Dalam hal ini akar sentang lebih banyak dan mudah berkembang untuk membentuk akar horizontal guna melakukan penyerapan hara di lahan olah sorgum. Namun hal ini belum menunjukkan interference atau interaksi negatif, dikarenakan belum ada

(9)

komponen yang dirugikan. Namun, dilihat dari hasil kolonisasi V-AM maka akar sentang terkolonisasi paling banyak di lahan olah sorgum Numbu (S1), kemudian penyebaran spora mikorhiza pada akhir penelitian sekitar 170 spora per 10 g tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada interaksi positif antara komponen penyusun tersebut yaitu sorgum dengan sentang. Sorgum membantu dalam penyebaran spora dan kolonisasi akar ke sentang, sehingga pertumbuhan sentang dan sorgum lebih baik. Berbeda dengan interaksi yang terjadi di plot tanpa sorgum, bahwa sentang pertumbuhannya tertekan akibat adanya kompetisi dengan gulma yang menyebabkan interaksi negatif. Gulma menginvasi tempat tumbuh sentang sehingga terjadi perebutan hara dan air. Tempat tumbuh yang tidak dilakukan pengolahan dan pemupukan juga mengakibatkan akar sorgum tidak berkembang dengan baik, sehingga fraksi akar horizontal sentang kecil (Tabel 13) dan shoot-root ratio nya paling tinggi (Tabel 15). Tanah yang masam dan kandungan Al yang tinggi juga berakibat terhadap interaksi antar komponen di agroforestri yaitu antara akar sentang dan sorgum. Toksisitas Al akan menghambat perpanjangan akar dengan meningkatkan tegangan ion di dalam tanah atau larutan nutrisi (Blamey et al. 1991 diacu dalam Marschner, 1995).

Tanah yang terdeteksi masam di lokasi penelitian adalah akibat dari peningkatan konsentrasi aluminium (Al) yang bersifat toksik bagi tanaman dan rendahnya kelarutan dari unsur hara sehingga terjadi defisiensi. Tanah masam ini umumnya kurang baik untuk pertumbuhan tanaman karena mempunyai pH rendah (masam), kandungan unsur P, Ca, Mg, Ca, Na dan kejenuhan basa (KB) yang rendah, serta kejenuhan Al yang tinggi (Tabel 4 dan Lampiran 1). Pembentukan suasana masam yang melewati daya dukung tanah dapat menghancurkan kisi mineral liat sehingga semakin banyak ion Al3+ yang menjauhi kompleks jerapan, menjadi tersedia. Secara umum kehadiran aluminium di dalam media pertumbuhan, jika pH di atas 5 konsentrasi Al di dalam larutan tanah rendah dan pertumbuhan tanaman normal. Jika pH lebih rendah daripada 4, konsentrasi Al menjadi sangat tinggi dan pertumbuhan tanaman sangat terhambat yang disebabkan oleh keracunan Al, walaupun ion H+ itu sendiri juga berbahaya untuk tanaman.

(10)

Gejala keracunan aluminium mudah diidentifikasi. Gejala yang terjadi pada tanaman sorgum adalah ketika tanaman sorgum di lapangan berumur lebih dari 15 HST, terlihat mulai layu, ujung daun mati dan berwarna kuning, serta akarnya pendek dan mengering. Pada tingkat selanjutnya jika tanaman tidak segera diganti maka akan terjadi kering dan akhirnya mati. Setelah diamati perakakarannya, terlihat akar tidak berkembang dan keriput berwarna kemerahan. Hal ini adalah gejala keracuanan Al yang paling mudah dilihat yaitu penghambatan pertumbuhan akar. Pada hasil penelitian menunjukkan tanaman kehutanan dalam hal ini adalah sentang lebih tahan terhadap kemasaman tanah dan cekaman Al dari pada tanaman pertanian (sorgum) di lokasi penelitian. Namun, sorgum varietas Numbu terbukti lebih tahan dari cekaman Al dan kemasaman tanah daripada sorgum galur ZH-30 di lokasi penelitian. Hal ini ditunjukkan pada percobaan pendahuluan terhadap persentase perkecambahan dan produktifitas sorgum yang awalnya rendah kemudian pada percobaan agroforestri meningkat dengan adanya proses adaptasi. Dalam penelitian ini beberapa sorgum (Numbu dan ZH-30) sudah ada yang toleran terhadap cekaman Al di lahan masam melalui proses adaptasi.

Menurut Toylor (1992) dalam Hanum (2004) bahwa mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman aluminium sangat beragam yaitu (1) mekanisme eksklusi, yaitu suatu mekanisme yang berusaha menghambat aluminium masuk ke dalam sel tanaman, dan (2) mekanisme inklusi, yaitu suatu mekanisme yang memungkinkan tanaman melanjutkan proses tumbuhnya meskipun aluminium sudah masuk ke dalam sel tanaman. Mekanisme eksklusi adalah imobilisasi Al di bidang sel dengan permeabilitas membran yang selektif, peningkatan pH rizosfer atau apoplas, eksudasi ligan pengkelat, eksudasi fosfat, dan efluks. Kemampuan apoplas sel akar menjerat Al dianggap sebagai salah satu mekanisme toleransi terhadap Al, semakin kecil kemampuan akar untuk menyerap Al, tanaman semakin peka terhadap Al. Tanaman yang toleran terhadap Al akan meningkatkan pH pada daerah perakaran sehingga menurunkan kelarutan dan keracuanan aluminium. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis tanah awal dan akhir pada plot yang ditanam sorgum dengan yang tidak ditanam sorgum, bahwa dengan adanya pengelolaan tanah dan penanaman sorgum mengakibatkan keasaman dan cekaman

(11)

Al menurun (Lampiran 1). Indikasi yang lain adalah akibat dari simbiosis V-AM dengan komponen penyusun agroforestri yang saling menguntungkan sehingga sorgum dapat tumbuh dengan baik di lokasi penelitian (Tabel 23). V-AM membantu dalam penyerapan hara dan air melalui simbiosis yang terjadi di akar. Perakaran tanaman yang bersimbiosis dengan V-AM akan semakin melebar (luas) sehingga kesempatan dan kemampuan menyerap unsur hara semakin besar. Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang diasosiasikan dengan V-AM disebabkan adanya pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi hara pada bidang serap, serta terjadinya perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapan ke dalam akar tanaman. Pada sentang, sorgum dan gulma yang terkolonisasi mengindikasikan bahwa penyebaran spora yang terjadi di bawah permukaan tanah adalah melalui proses interaksi positif antar komponen penyusun di lokasi penelitian. Hal ini dibuktikan dengan hasil kolonisasi V-AM di akar tanaman penyususun komponen agroforestri yaitu sentang, sorgum dan gulma (Tabel 23 dan Lampiran 6). Terlihat jelas dari hasil rata-rata kolonisasi V-AM di akar sentang menunjukkan yang paling tinggi yaitu 61,67%, kemudian pada sorgum sebesar 57,50% dan pada gulma sebesar 31,01%

Interaksi antara pohon dan tanaman bawah yang terjadi, baik yang ada di atas maupun di bawah permukaan tanah belum menunjukkan interference atau interaksi negatif di plot sorgum, sedangkan hal yang berbeda terjadi di plot tanpa sorgum dimana interference terjadi di sistem akar yaitu kompetisi akar gulma dengan akar sentang yang saling membutuhkan unsur hara dan air.

Referensi

Dokumen terkait

pertumbuhan tanaman ubi kayu yang lebih baik, tanah harus subur dan. kaya bahan organik baik unsur makro

Dapat dilihat bahwa di setiap saat, grafik amplitudo sel[1,1] pada simulasi tanpa anomali (warna merah) selalu lebih tinggi daripada grafik simulasi dengan anomali.

Efikasi Lima Insektisida Terhadap Kecoak Jerman Strain VCRU-WHO, GFA-JKT dan PLZ-PDG Berdasarkan Waktu Kelumpuhan Berdasarkan waktu kelumpuhan (Tabel 3), lima

Hasil penelitian menunjukan tingkat kerentanan habitat mangrove Pulau Bintan terhadap aktifitas pesisir sangat dipengaruhi oleh kegiatan reklamasi yang menyebabkan kondisi

Blok diagram sistem pendeteksi murmur regurgitasi ditunjukkan oleh Gambar 3.1 dimana sistem ini terdiri dari hardware yang berfungsi menangkap sinyal akustik dari

Maka dari model regresi ini dapat disimpul- kan bahwa corporate governance (kepemilikan institusional, kualitas audit, komisaris independen, komite audit), profitabilitas

Terprogram artinya kegiatan PkM dirancang dan dilaksanakan secara berlanjut, misalnya dalam jangka waktu 2 atau 3 tahun yang berfokus pada satu masyarakat sasaran yang

Pertunjukan Nini Thowong merupakan salah satu kesenian yang ada di Desa Panjangrejo Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul.Pada awalnya warga sekitar mempunyai keyakinan bahwa