• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS B.INDONESIA. M. Visar Rafly Kelas: X MIPA 3 Absen: 35

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUGAS B.INDONESIA. M. Visar Rafly Kelas: X MIPA 3 Absen: 35"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS B.INDONESIA

Nama: M. Visar Rafly

Kelas: X MIPA 3

(2)

Copeeet!

Irvan melihat sebuah tangan dengan sebilah silet cutter mulai merobek perlahan permukaan sebuah tas kulit mewah milik seorang Ibu. Begitu perlahan hingga si Ibu sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang sedang berusaha membuka dan mengambil isi tasnya. Irvan masih terpaku melihat kejadian tersebut, ia masih belum bisa bereaksi apapun selain bibirnya terbuka dan matanya

membulat. Kini tangan itu mulai merogoh ke dalam tas dengan perlahan, lebih pelan dari gerak slow motion pada film-film laga. Tapi, secepat kilat tangan itu keluar dengan sebuah dompet dalam genggaman. Secepat itu pula dompet berpindah ke dalam saku celana si pencopet. Irvan pun terhe yak da e era ika diri erteriak, COPEEET!!!

Sinar matahari menyengat begitu kejamnya siang itu, Irvan lagi-lagi menyeka keringatnya dengan sapu tangan yang disiapkan oleh Ibunya setiap pagi. Sambil menunggu bus yang tak kunjung datang, Irvan melihat ke bawah kakinya, ia melihat bayangannya sendiri berada tepat di sana. Menyadari hal tersebut Irvan menjadi teringat akan pelajaran IPA kelas 2 SD tentang bayangan.. bayangan terpendek terjadi saat matahari tepat di atas kepala kita, begitu bunyinya. Lalu Irvan melirik jam tangannya, pantas saja orang ini jam dua belas kurang sepuluh.. ucapnya dalam hati. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling halte, tak ada pelajar SD di sana selain dirinya. Kedua teman sekelasnya Ilham dan Dika yang biasanya pulang bersama dengannya sekarang di antar jemput oleh Ibu mereka masing-masing semenjak banyak berita penculikan yang ditayangkan di TV TV.

Tak la a ke udia se uah us ertuliska Pelita Jaya erhe ti di depa Ir a . Ia pu segera naik bersama beberapa penumpang lain yang sudah menunggu. Irvan melongokkan

kepalanya, mencari-cari kursi kosong. Tapi nihil, tak ada satu pun kursi yang menganggur. Akhirnya Irvan harus berdiri bersama dua orang lain. Suasana bus tiba-tiba ramai saat seorang Ibu bercerita tentang kejadian yang menimpanya tadi pagi dalam bus yang sama. Beliau kecopetan. Irvan

mendengarkan dengan seksama dan menjadi takut bila hal itu terjadi pada dirinya, apalagi ia hanya seorang anak kelas 6 SD yang berbadan kecil. Sepanjang perjalanan Irvan memeluk erat tas

sekolahnya. Tas ransel yang biasanya ia pakai di punggung, siang itu ia kenakan di dada agar tak lepas dari pengawasannya

Keesokan harinya, Irvan mogok sarapan karena Ibunya tak mau mengantarkan Irvan ke sekolah. Ipa .. ka u ka tau kalau I u asuk pagi, jadi I u ggak isa ga teri ka u. Lagia , iasa ya ka juga era gkat se diri.. tutur I u ya.

Tapi apa I u ggak ka atir? Ilha sa a Dika aja sekara g dia teri Ma ah ya. Kok Ipa e ggak Bu?

Ipa .. ka u ka udah gede sekara g. I u per aya kok ka u pasti isa jaga diri. Udah ya, I u berangkat dulu. jangan lupa ku i pi tu ya kalau era gkat.. kata I u sa il e ge up ke i g Irvan. Irvan hanya bisa cemberut dan menggerutu.

Irvan berangkat masih dengan Pelita Jaya. Tapi pagi ini ia bersyukur mendapatkan tempat duduk walaupun di kursi paling belakang. Irvan memindahkan ranselnya dari punggung ke pangkuannya, ia masih teringat pada cerita Ibu-Ibu kemarin siang.

(3)

Bus berhenti di sebuah perempatan. Penumpang yang duduk di samping Irvan turun dari bus dan digantikan oleh seorang lelaki berbadan kekar yang baru saja memasuki bus. Irvan menatap lelaki itu dengan ngeri. Orang itu mengenakan celana jeans panjang yang sengaja dirobek pada bagian lututnya, kaos oblong putih yang sudah pudar dan sebuah rompi kulit hitam yang sudah usang.

Irvan terbatuk-batuk saat menghirup asap rokok yang dihembuskan dari mulut orang itu. Rasa ngerinya berubah menjadi kesal. Ia mendongakkan kepala dan melihat wajah lelaki itu. Irvan

langsung membelalakkan matanya saat menyadari bahwa orang itu benar-benar menakutkan bila dilihat dari jarak sedekat itu. Kumisnya yang tebal hampir menutupi seluruh bibir atasnya, rambut gondrongnya ia kuncir asal-asalan saja, dan sebuah kaca mata hitam bertengger di atas ubun-ubunnya. Irvan pun tak berani menatap orang itu lama-lama.

“ekitar li a e it ke udia lelaki di sa pi g Ir a itu erdiri da e eriakka Kiri! pada kondektur. Orang itu turun di depan sebuah pasar yang ramai, selain itu seorang pemuda

berpenampilan rapi juga turun di sana. Irvan memperhatikan pemuda itu, betapa kontrasnya penampilannya dibandingkan dengan Bapak berbadan kekar yang tadi duduk di sampingnya.

Tak lama kemudian Pak kondektur meneriakkan nama SD tempat Irvan bersekolah, Irvan pun beranjak dari tempat duduknya dengan terburu-buru.

Saat jam istirahat,

Ipa , kok ka u ggak di a teri I u ka u juga? Ati-ati loh sekara g a yak opet di dale is.. ucap Dika.

Iya Pa , selai opet juga ada pe ulik loh.. ka u ggak takut? ti pal Ilha .

I uku ka kerja, jadi ggak isa ga ter.. ha ya itu ya g diu apka Ir a , padahal er agai pikira berkecamuk di kepalanya. Bayangan sosok bapak yang tadi pagi duduk di sampingnya melintas, ia merasa ngeri.

Dengan gelisah Irvan menantikan Pelita Jaya sepulang sekolah hari itu. Irvan ingin segera tiba di rumah dan merengek pada Ibunya minta untuk di antar-jemput.

I i hari ju ’at da I u pasti sudah pula g.. gu a ya pela .

Lima menit menunggu terasa bagaikan satu jam, namun lima menit kemudian Pelita Jaya berhenti di depan Irvan. Dengan segera ia melangkah memasuki bus, terpaksa siang itu ia harus berdiri lagi.

Irvan berdesakan dengan beberapa penumpang lain, termasuk salah satunya bapak

berbadan kekar yang tadi pagi duduk di sampingnya, ia berdiri sekitar setengah meter dari bapak itu, hanya terhalang oleh seorang Ibu-Ibu. Irvan terhenyak kaget dan segera meraih ranselnya, memindahkan ransel itu ke dadanya. Saat sedang panik itulah tiba-tiba bus berhenti mendadak, membuat penumpang terlontar ke depan. Irvan berdiri sempoyongan dan mencoba meraih kursi terdekat.

Ternyata ada seseorang yang akan naik bus. Seorang pemuda yang tadi pagi Irvan lihat turun bersama bapak berbadan kekar. Irvan mengerenyitkan dahi heran, kenapa bisa kebetulan sekali mereka naik bus yang sama dalam waktu yang sama juga? Tapi Irvan tak mau ambil pusing.

(4)

Kurang lebih lima menit kemudian, bus berhenti di sebuah perempatan jalan. Bapak berbadan kekar tadi turun dari bus. Irvan pun merasa lega, ia tidak merasa ngeri lagi seperti tadi. Namun bersamaan dengan itu, lebih banyak penumpang memasuki bus sehingga keadaan menjadi semakin sumpek.

Irvan tetap memeluk erat ranselnya sambil mengawasi penumpang-penumpang yang berdiri di sampingnya. Ia menarik napas lega karena tidak seorang pun yang mirip dengan bapak berbadan kekar tadi.

Irvan sedang melamunkan PR Matematika saat tiba-tiba ia melihat sebuah tangan dengan sebilah silet cutter mulai merobek perlahan permukaan sebuah tas kulit mewah milik seorang Ibu. Begitu perlahan hingga si Ibu sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang sedang berusaha membuka dan mengambil isi tasnya. Irvan masih terpaku melihat kejadian tersebut, ia masih belum bisa bereaksi apapun selain bibirnya terbuka dan matanya membulat. Kini tangan itu mulai merogoh ke dalam tas dengan perlahan, lebih pelan dari gerak slow motion pada film-film laga. Tapi, secepat kilat tangan itu keluar dengan sebuah dompet dalam genggaman. Secepat itu pula dompet berpindah ke dalam saku celana si pencopet. Irvan pun terhenyak dan memberanikan diri berteriak,

COPEEET!!! hi gga se ua pe u pa g kaget da e oleh ke arah ya. De ga epat Ir a menunjuk seorang pemuda berpenampilan rapi yang Irvan hapal betul lengan bajunya. Tangan pemuda itulah yang merobek dan mengambil isi tas milik seorang Ibu.

Apa?! Tidak u gki Bu, Pak. A ak ke il itu pasti er oho g! teriak pe uda itu.

E ggak! Ipa ggak oho g. Co a aja I u ek tas I u.. sahut Ir a sa il e atap si I u. I u tersebut mengecek tasnya dan menemukan bahwa tas itu sobek di bagian bawahnya. Para penumpang lain kaget. Lalu Ibu itu mengecek isi tasnya dengan wajah yang mulai cemas, dan..

Do pet saya hila g. A ak i i e ar! kata si I u.

Loh isa saja ya g e ga il a ak itu se diri! Apa ukti ya kalau saya ya g e opet I u?! kata pemuda copet itu. Namun tatapan semua penumpang sudah menyiratkan padanya bahwa dialah si copet dan dia pantas dihakimi.

Co a A a g keluari isi saku ela a A a g! ta ta g Ir a . Bersa aan dengan itu, Pak supir yang menyadari bahwa terjadi keributan dalam busnya pun menghentikan laju bus.

Pak supir bersama kondektur mendekat ke kerumunan di tengah bus. Ada apa i i? ta ya pak supir.

Ada pe opet Pak! Itu ora g ya! sahut salah seorang penumpang sambil menunjuk si pemuda. Lalu pak supir mendekati pemuda itu dan bertanya,

Apa e ar ka u e opet dala us saya?

Be er Pak. “aya tadi lihat se diri, A a g itu e opet I u i i da e asukka do pet ya ke saku ela a Pak. “ahut Irvan lantang. Lalu dengan sigap pak supir merogoh saku celana pemuda berpenampilan rapi itu. Dan pak supir mengeluarkan sebuah dompet wanita yang cukup tebal.

Itu do pet saya! teriak si I u.

Kalau egitu ka u harus di a a ke ka tor polisi! Ka u seri g naik bus ini, jadi selama ini kamu ya g e uat us ka i tidak a a ?! e tak pak ko dektur.

“udah, Pak, sudah.. kita selesaika a ti di ka tor polisi. Tutur pak supir. Teri akasih ya, ak.. siapa a a ka u?

(5)

Teri akasih ya ak Ipa . Na ti bapak mohon kamu mau ikut ke kantor polisi sebagai saksi, Cu a se e tar kok.. u ap pak supir de ga le ut.

Teri akasih Ipa , erkat ka u do pet I u tidak jadi hila g! sahut si I u de ga ge ira. Para penumpang lain yang tadinya geram melihat pemuda copet itu menjadi tersenyum bangga pada Irvan dan bertepuk tangan. Irvan merasa lega.

Namun tiba-tiba ia teringat pada bapak berbadan kekar yang tadi ia temui. Irvan telah semena-mena berburuk sangka pada bapak itu. Padahal menurut cerita yang Irvan dengar dari

penumpang lain di perjalanan pulang, bapak itu adalah seorang penjaga keamanan pasar. Mau gi a a lagi? kalau ggak erpe a pila sera , isa- isa para ok u ggak aka takut.. begitu alasan yang dilontarkan seseorang saat membicarakan bapak berbadan kekar itu.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan PMP No.07 Tahun 1964 Pasal 14, besarnya intensitas cahaya dalam ruangan supervisor produksi dengan aktivitas kerja seperti dikemukakan di atas digolongkan dalam kriteria

kelas H berada pada angka 13,03 atau mewakili 23,67% dari total keterampilan menulis karya ilmiah, (b) subketerampilan menggunakan tata tulis dalam karya ilmiah pada mahasiswa

(ii) Usulan pembentukan daerah ditolak apabila daerah induk atau calon daerah yang akan dibentuk mempunyai nilai dengan kategori kurang mampu, tidak mampu, dan

Kedua hipotesis yang di ajukan diterima sehingga diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah dan berfikir kritis matematis peserta didik kelas VIII MTsN 2 Solok

JUDUL : EFE JUDUL : EFEKTIVI KTIVIT TAS FU AS FUNGSI P NGSI PEMAS EMASARAN P ARAN PADA ADA PT PT...

Ibu mengatakan pegel-pegel di daerah punggung bagian  belakang dan sering kencing pada saat malam hari, ibu mengatakan sedang tidak menderita penyakit kronis

Menurut Muslich (2009: 42), gejala bahasa adalah perubahan yang terjadi melalui proses analogi, adaptasi, kontaminasi, hiperkorek, varian, asimilasi, disimilasi, adisi,

Bahwa selain daripada itu, posita gugatan angka 12 adalah kabur/tidak jelas (obscuur libel) karena dalam posita gugatan angka 12 disebutkan pihak yang diminta untuk