MEMASTIKAN
PEMENUHAN KEWAJIBAN
PENGENDALIAN
PENCEMARAN UDARA
STB: PLTU BATUBARA
Oleh: Margaretha Quina, Annisa Erou
S
ektor energi, terutama PLTU Batubara (PLTU-B), merupakan salah satu sektor yang cukupsignifikan dalam pengendalian pencemaran udara. PLTU-B yang sekarang beroperasi diperkirakan
menyebabkan 6.500 kematian dini setiap tahunnya di Indonesia.1 Dengan tambahan kapasitas
21.000 MW PLTU-B baru yang akan dibangun, angka kematian dini diperkirakan turut melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa/tahun. Biaya kesehatan yang akan timbul mencapai Rp 351 triliun untuk setiap tahun
operasinya.2
Figur terbesar terdiri dari masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU-B. Hal ini menunjukkan masalah
ketidakadilan lingkungan yang kental: sekelompok orang harus menanggung beban pencemaran
lingkungan yang jauh lebih besar sebagai konsekuensi pasokan energi untuk publik (termasuk industri) secara luas.
Masyarakat, akademisi dan pemerhati lingkungan dapat berkontribusi dalam memastikan pengendalian
pencemaran udara sebaik mungkin dari PLTU-B ini. Sebagaimana dijelaskan dalam seri sebelumnya,
“Mengenal Kerangka Pengaturan Pencemaran Udara di Indonesia,” Indonesia telah memiliki kerangka
dasar pengendalian pencemaran udara. Kerangka dasar ini, walaupun sederhana, telah memberikan ruang interpretasi yang cukup bagi pemerintah untuk menerjemahkan dalam peraturan pelaksana yang
lebih progresif dan ketat. Dalam hal ini, terdapat instrumen atur dan awasi (command and control) yang
telah berlaku bagi PLTU Batubara, yaitu:
1. AMDAL dan UKL-UPL; 2. Perizinan;
3. Peraturan perundang-undangan terkait; dan 4. Pengawasan.
1 Estimasi yang dilakukan Universitas Harvard menunjukkan penyebab utama dari kematian dini ini termasuk stroke (2.700), penyakit jantung iskemik, kanker paru-paru (300), penyakit paru obstruktif kronik (400), serta penyakit pernafasan dan kardiovaskular lainnya (800). Lih: Greenpeace Indonesia (2015) The True Cost of Coal.
2 Greenpeace Indonesia (2015) The True Cost of Coal.
Untuk PLTU-B yang telah beroperasi, memanfaatkan tiga instrumen ini agar dipatuhi sebaik-baiknya merupakan salah satu cara untuk memastikan ketaatan penuh, bahkan lebih dari taat, dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Instrumen 1:
AMDAL dan UKL-UPL
Kewajiban hukum PLTU-B dalam pengendalian pencemaran udara secara detail, proyek per proyek, dapat ditemui dalam dokumen lingkungan hidup. Dalam hal ini,
terdapat dua kemungkinan: pada AMDAL3 (khususnya bagian Rencana Pemantauan
Dampak dan Rencana Pengelolaan Dampak) atau UKL-UPL.4 Baik AMDAL maupun
UKL-UPL merupakan studi mengenai dampak lingkungan yang akan ditimbulkan
usaha dan/atau kegiatan, serta pengelolaan lingkungan yang dilakukan. Bedanya,
pada AMDAL, kajian lebih komprehensif dan memperhitungkan rona awal lingkungan hidup (baseline
condition) dalam memprakirakan dampak.
PLTU-B merupakan salah satu usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL apabila: 1. Kapasitasnya > 100 MW (dalam satu lokasi)5
2. Dilakukan di dalam kawasan lindung;6 atau
3. Berbatasan dengan kawasan lindung7
PLTU-B dengan kapasitas di bawah 100 MW memang tidak perlu membuat AMDAL, namun wajib memiliki UKL-UPL.
Bagian yang relevan untuk mengetahui kewajiban usaha dan/atau kegiatan dalam kedua dokumen ini
sama, yaitu pada “Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan” (RKL-RPL).8
Inilah acuan utama untuk menentukan apa saja kewajiban hukum yang telah diberikan bagi PLTU-B, serta apakah kewajiban tersebut telah dipatuhi atau dilanggar.
Selebihnya mengenai RKL-RPL dalam konteks pengendalian pencemaran udara PLTU-B akan dijelaskan di Lampiran 1: “Bagaimana RKL-RPL Berfungsi dalam Pengawasan Ketaatan PLTU-B?”
3 AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
4 UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
5 Permen LH No. 5 Tahun 2012 tentang Kegiatan Wajib AMDAL.
6 Pasal 3 ayat (1) Permen No. 5 Tahun 2012. Kawasan lindung yang dimaksud merujuk pada Lampiran III Permen No. 5 Tahun 2012.
7 Ibid.
Instrumen 2:
Izin Lingkungan
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL merupakan subjek yang juga wajib izin lingkungan. Izin lingkungan merupakan prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dalam izin lingkungan, pada umumnya terdapat kewajiban hukum yang dibebankan kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk mematuhi RKL-RPL, ANDAL dan KA-ANDAL yang telah disetujui. Izin lingkungan berlaku sepanjang
usaha dan/atau kegiatan berlangsung, yaitu 30 tahun untuk PLTU-B.9 Kecuali, jika mengalami perubahan
kondisi-kondisi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 dan 51 PP No. 27 Tahun 2012, dimana izin
lingkungan wajib diubah.10
Apabila ditemukan ketidaktaatan terhadap izin lingkungan, maka terdapat konsekuensi berupa sanksi administrasi, yang dapat diberikan secara berjenjang atau kumulatif, berupa teguran tertulis, paksaan
pemerintah, pembekuan izin dan pencabutan izin.11 Apabila ketidaktaatan tersebut sampai menyebabkan
pencemaran pada udara ambien, maka konsekuensinya tidak hanya sanksi administrasi, melainkan juga
sanksi pidana.12
Selain itu, izin lingkungan juga dapat dibatalkan oleh pemberi izin apabila kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan.13 Mekanisme pembatalan ini sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan.14
Instrumen 3:
Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan Lain
Selain AMDAL, UKL-UPL dan Izin Lingkungan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan juga dibebani kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya, sekalipun tidak diatur atau ditegaskan dalam RKL-RPL, kewajiban-kewajiban ini tetap berlaku.
Terdapat 2 (dua) peraturan utama di bidang pengendalian pencemaran udara yang
membebankan kewajiban bagi penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal pengendalian
pencemaran udara di luar yang ditentukan AMDAL atau UKL-UPL:
1. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999
PP No. 41 Tahun 1999 membebankan kewajiban secara umum, tidak hanya bagi penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, namun juga bagi pemerintah. Kewajiban utama penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang secara khusus disebutkan dalam PP No. 41 Tahun 1999 antara lain: mematuhi
baku mutu emisi yang sesuai peraturan perundang-undangan (kecuali ditentukan lain dalam
9 Sesuai dengan jangka waktu berlaku Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, yaitu 30 (tiga puluh) tahun.
10 Lihat Pasal 50 dan 51 PP No. 27 Tahun 2018.
11 Pasal 76 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009. 12 Pasal 98 dan 99 UU No. 32 Tahun 2009.
13 Pasal 37 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009.
AMDAL), menaati ketentuan baku mutu udara ambien, menaati persyaratan teknis pengendalian
pencemaran udara sumber tidak bergerak, melakukan kewajiban-kewajiban terkait pengawasan, dan menyampaikan laporan.
Secara detail, rekapitulasi kewajiban penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sumber tidak
bergerak, termasuk PLTU-B, dapat dilihat dalam Lampiran 2: “Kewajiban Penanggungjawab Usaha
dan/atau Kegiatan Berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999.“
2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2012
PermenLH No. 21 Tahun 2012 menentukan baku mutu emisi yang harus dipatuhi oleh PLT Termal, termasuk PLTU-B. Baku mutu emisi untuk PLTU-B ditentukan dalam 2 (dua) kategori berdasarkan umur pembangkit: (a) Lampiran A untuk PLTU yang beroperasi sebelum ditetapkannya PermenLH tersebut; (b) Lampiran B untuk PLTU yang beroperasi pasca ditetapkannya PermenLH tersebut.
Selain itu, terdapat ketentuan peralihan bagi pembangkit yang perencanaannya disusun sebelum
ditetapkannya Permen No. 21 Tahun 2008 namun beroperasi setelahnya. Nilai BME PLTU-B dapat
dilihat pada Lampiran 4: “Baku Mutu Emisi PLTU Batubara berdasarkan Lampiran A & B PermenLH 21/2008.”
Selain baku mutu emisi, PermenLH No. 21 Tahun 2008 juga membebankan beberapa kewajiban teknis seperti pemantauan dengan CEMS, pengukuran, penghitungan beban emisi, dan lain-lain. Secara detail, rekapitulasi kewajiban penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam PermenLH No. 21 Tahun 2008 dapat dilihat dalam Lampiran 3: “Kewajiban Penanggungjawab Usaha dan/atau
Kegiatan Berdasarkan PermenLH No. 12 Tahun 2008.”
Instrumen 4:
Pengawasan
Segala kewajiban penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tertuang dalam Izin Lingkungan serta peraturan perundang-undangan seharusnya diawasi oleh pemberi izin. Pengawasan rutin oleh pemerintah seharusnya dilakukan lewat 2 (dua) lapisan:
1. Pengawasan atas laporan swapantau yang diserahkan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan RKL-RPL nya;
2. Pengawasan langsung, baik rutin (terjadwal) maupun insidental (tidak terjadwal / mendadak) berdasarkan pengaduan.
Namun, dalam hal pengawas tidak cukup baik secara kuantitas maupun kualitas, pengaduan memainkan peranan penting dalam memastikan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
LAMPIRAN
Memastikan Pemenuhan Kewajiban
Pengendalian Pencemaran Udara
LAMPIRAN 1
Bagaimana RKL-RPL berfungsi dalam pengawasan ketaatan PLTU-B?
Izin lingkungan seharusnya memiliki diktum yang menyatakan bahwa penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib mematuhi rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan
(RPL) dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, akan dijabarkan masing-masing instrumen
dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran udara dan PLTU Batubara.
#1 Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL)
RKL-RPL biasanya berupa 2 (dua) matriks terpisah. Berikut akan dijabarkan isi dari masing-masing matriks berikut relevansinya dalam pengawasan.
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) berisi:
No. Elemen dalam
matriks RKL Hal yang perlu diperhatikan terkait udara
Relevansi dalam
Kata kunci yang relevan:
□ Penurunan kualitas udara ambien
Pastikan untuk menyisir semua dampak ini baik pada tahap
konstruksi, operasi dan pasca-operasi. Untuk pasca-operasi, penurunan kualitas udara ambien mungkin terjadi dari penimbunan abu batubara jika sistemnya terbuka.
□ Gangguan kesehatan masyarakat atau perubahan pola penyakit
Dampak ini relevan pada tahap konstruksi (sekalipun pada tahap ini mungkin dibahasakan “gangguan kenyamanan”),
namun yang paling penting adalah tahap operasi. Dalam
pasca operasi juga mungkin terjadi terkait penimbunan abu.
□ Gangguan pada fauna
Salah satu dampak turunan dari penurunan kualitas udara ambien adalah gangguan pada fauna liar. Mungkin
ditemukan, namun tidak selalu. Dapat diperiksa pada tahap
konstruksi dan operasi.
Merupakan dampak yang harus dipantau dalam pengawasan. Ini juga menjadi basis dalam pengaduan untuk
membantu mengidentifikasi
alasan pengaduan. Namun, perlu diingat
bahwa pengaduan tidak
mensyaratkan telah
Sumber dampak yang relevan:
□ Tahap operasional
Dampak penurunan kualitas udara dari cerobong (pembakaran batubara) merupakan sumber dampak yang
paling penting, dengan parameter PM 2,5 yang berbahaya
bagi kesehatan.
Selain itu, bongkar muat batubara juga merupakan sumber dampak yang cukup disadari masyarakat, dengan parameter PM 10 yang lebih mengganggu (karena ukurannya lebih
besar) namun tingkat kebahayaannya lebih rendah dari PM 2,5.
Membantu investigasi
□ Tahap konstruksi
Pada tahap ini sebetulnya telah ada beberapa dampak penurunan kualitas udara, misal: dari mobilisasi alat berat / material, serta gangguan lalu lintas udara dari pembangunan cerobong.
□ Tahap pasca-operasi
Sumber dampak yang penting diperhatikan adalah tempat
penyimpanan abu batubara, terlebih apabila terdapat penimbunan akhir.
Indikator keberhasilan seharusnya dibuat sedetail mungkin. Hal-hal
yang perlu diperhatikan terkait dampak penurunan kualitas udara: □ Dalam kaitannya dengan udara, seharusnya menyebutkan
baku mutu yang berlaku, mencakup: (1) Baku mutu emisi
(2) Baku mutu udara ambien
Dalam menentukan baku mutu yang berlaku, dapat merujuk baku mutu nasional (emisi: PermenLH No. 21 Tahun 2008; ambient: Lampiran PP No. 41 Tahun 1999) atau daerah (biasanya berbentuk Perda / Peraturan Kepala Daerah, terkadang keputusan kepala daerah). Baku mutu
daerah tidak boleh lebih longgar dari baku mutu nasional. □ Dalam konteks udara, indikator keberhasilan sebaiknya
detail untuk setiap parameter udara (PM 2,5; PM 10; SOx; NOx; dan sebaiknya mencakup merkuri)
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait pengelolaan dampak
kesehatan masyarakat:
□ Indikator pengelolaan seharusnya merespon semua jenis penyakit yang terkait penurunan kualitas udara
□ Biasanya, ukuran yang digunakan sangat rendah, yaitu sebatas ISPA. Padahal terdapat dampak kesehatan lain
yang relevan seperti kematian dini, stroke, jantung koroner, penyakit paru obstruktif kronis, dll.
□ Indikator dampak kesehatan dari deposisi logam berat atau
abu batubara (yang merupakan limbah B3) biasanya tidak
direspon.
Indikator keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup seharusnya menjadi
indikator taat atau tidak
taatnya penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
Oleh karena itu, ini
dapat menjadi basis bagi masyarakat dalam
investigasi dan pengawasan
mandiri pra-pengaduan, maupun dalam mengawal hasil pengaduan.
Salah satu hal yang dapat diminta kepada instansi lingkungan hidup terkait adalah melengkapi indikator keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup yang belum terakomodir dalam RKL-RPL.
4.
Bentuk pengelolaan lingkungan hidup
Dalam konteks pengendalian pencemaran udara, bentuk
pengelolaan lingkungan hidup sangat penting. Pilihan bentuk pengelolaan tidak terbatas pada (a) pendekatan teknologi, namun juga: (b) pendekatan sosial ekonomi; (c) pendekatan institusi. Seharusnya ketiga pendekatan ini dapat dikombinasikan.
Untuk cerobong (pengendalian emisi yang bersumber dari pembakaran batubara):
Persyaratan minimum cerobong perlu diperhatikan, apakah telah sesuai dengan Kepka Bapedal no. 205/1996 Perlu diperhatikan apa teknologi pengendalian
pencemaran udarayang dijanjikan dalam RKL. Pilihan teknologi pencemar udara terkait dengan masing-masing parameter, sbb:
SOx – FGD (flue gas desulfurization)
NOx – SCNR atau low NOx burner
PM (total partikulat) – bag filter dan/atau ESP/EP
Biasanya merupakan komitmen yang diperiksa pemenuhannya dalam pengawasan. Asumsinya, apabila seluruh kewajiban ini telah dilakukan dengan
baik, maka dampak negatif
Untuk penimbunan dan pembongkaran batubara, beberapa opsi pendekatan teknologi yang mungkin ada:
□ Penimbunan batubara di tempat tertutup
Kemungkinan opsi yang ada adalah menggunakan shelter
atau menggunakan paranet yang lebih tinggi dari timbunan □ Pembuatan sabuk hijau (greenbelt)
□ Penyiraman batubara secara berkala
□ Pemindahan batubara menggunakan conveyor belt dengan sistem tertutup
Untuk penimbunan abu sisa pembakaran batubara (penyebaran abu dari tempat penimbunan abu batubara), beberapa opsi pendekatan teknologi yang mungkin ada:
□ Menggunakan tempat penyimpanan abu tertutup (silo) untuk tempat penampungan sementara abu terbang
□ Memanfaatkan kembali abu batubara secara sendiri atau bekerja sama dengan pemegang izin pemanfaatan limbah B3
□ Pengangkutan abu terbang menggunakan truk kapsul (tertutup)
□ Penyiraman penimbunan abu secara periodik dengan air
□ Pembuatan greenbelt untuk menahan penyebaran abu
Akan tetapi, dalam pemeriksaan lapangan seringkali ditemukan bahwa bentuk pengelolaan yang
dijanjikan tidak dilakukan
sepenuhnya. Misal, alat pengendali pencemaran udara ada, namun rusak
/ tidak bergungsi, atau sengaja tidak dioperasikan.
Hal-hal ini dapat diobservasi dan didokumentasikan sebagai temuan untuk memperkuat pengaduan. Atau, jika diperlukan, mungkin akan berguna
jika dilakukan tindakan hukum melalui jalur litigasi
oleh pemerintah ataupun masyarakat.
5. Lokasi pengelolaan lingkungan hidup
Menentukan lokasi dimana pengelolaan lingkungan hidup dilakukan,
yang seharusnya memperhatikan sifat persebaran dampak yang
dikelola. Dalam hal pencemar udara, seharusnya didasarkan pada permodelan masing-masing zat pencemar.
Membantu investigasi untuk menentukan dimana titik-titik yang perlu diperiksa.
6. Periode pengelolaan lingkungan hidup
Menunjukkan kapan (dalam kondisi apa) dan berapa lama kegiatan pengelolaan lingkungan dilaksanakan. Terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan sepanjang waktu (mis: sepanjang waktu operasi), akan tetapi ada juga yang disyaratkan berbeda bergantung kondisi lingkungan (misal: perbedaan frekuensi pengelolaan pada musim kemarau dan musim hujan, atau pengelolaan yang harus dilakukan berdasarkan kecepatan angin)
Membantu investigasi untuk
menentukan kapan / dalam kondisi apa observasi perlu dilakukan.
Mencakup institusi pelaksana yang bertanggung jawab, termasuk:
□ Instansi pelaksana
□ Instansi pengawas
□ Instansi penerima laporan
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) berisi:
No. Elemen dalam
matriks Hal yang perlu diperhatikan terkait pencemaran udara Relevansi
1.
Dampak lingkungan yang dipantau
Mencakup:
□ Jenis dampak yang timbul dan komponen lingkungan yang terkena dampak – sama dengan RKL
□ Indikator / parameter yang dipantau (misal: untuk
emisi, PM 2,5; PM 10; SOx dan NOx) □ Sumber dampak – sama dengan RKL
Sama dengan RKL. Jika ada dampak lingkungan yang
tidak dipantau, dapat menjadi
indikasi pelanggaran.
a) Metode pengumpulan dan analisis data
□ Dalam konteks emisi, penting untuk melihat apakah
pemantauan dilakukan secara manual atau dengan
continuous emission monitoring system (CEMS) □ Apakah metode merujuk peraturan atau standar (i.e.
SNI) tertentu yang berlaku
□ Jika secara manual, apakah analisis laboratorium dilakukan oleh laboratorium lingkungan (terakreditasi dan teregistrasi)
□ Rentang waktu bagi parameter yang dipantau (misal: merujuk ke pengukuran tahunan, 24 jam atau 8 jam, dll)
b) Lokasi pantau
□ Dalam konteks udara ambien, penting untuk melihat apakah dipantau di titik-titik yang (a) diprediksi
mengalami penurunan kualitas udara terburuk; dan/ atau (b) pusat keramaian
□ Apakah lokasi pantau sampai level kedetailan koordinat
c) Waktu dan frekuensi
□ Jika dilakukan secara manual, perlu melihat berapa frekuensi pengambilan sampel, dan dalam kondisi apa
□ Jika dilakukan dengan CEMS, perlu melihat bagaimana koneksinya dengan sistem DLH/KLHK, dan jika tidak
terkoneksi, bagaimana pelaporannya
Ketiga hal di atas perlu diperhatikan secara rinci.
Merupakan kunci dari pemantauan lingkungan hidup. Bentuk pemantauan lingkungan hidup menentukan secara detail bagaimana pemantauan dilakukan. Hal ini berdampak pada valid/
tidaknya hasil pemantauan.
Dalam melakukan pengawasan, instansi lingkungan hidup juga harus mematuhi hal ini. Begitu juga jika masyarakat ingin mengambil sampel / melakukan pengawasan secara mandiri, perlu
memperhatikan hal-hal berikut
(dengan asumsi penentuan metode, lokasi pantau, dan waktu dan frekuensi cukup sahih). Kegagalan melakukan pemantauan sesuai ketentuan merupakan indikasi
ketidaktaatan.
□ Pelaksana, biasanya penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
□ Pengawas
□ Penerima laporan
LAMPIRAN 2
Kewajiban penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang secara khusus disebutkan dalam PP No. 41
Tahun 1999 mencakup:
a. Mematuhi ketentuan baku mutu emisi untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran
udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya1
b. Melakukan upaya penanggulangan dan pemulihan, jika menyebabkan terjadinya pencemaran
udara2
c. Menaati ketentuan baku mutu udara ambien3
d. Menaati persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak4
e. Dalam konteks pengawasan:5
i. Mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;
ii. Memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal
itu diminta pengawas;
iii. Memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
iv. Mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan
v. Mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.
f. Menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah
dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait
lainnya.6
g. Menanggung biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara;7
h. Mengganti kerugian akibat pencemaran udara, baik untuk penanggulangan maupun
pemulihan, dalam hal usaha dan/atau kegiatannya megnakibatkan terjadinya pencemaran
udara ambien.8
1 Pasal 24 ayat (1) PP No. 41 Tahun 1999
2 Pasal 25 ayat (1) PP No. 41 Tahun 1999 3 Pasal 30 ayat (1) PP No. 41 Tahun 1999
4 Pasal 30 ayat (2) PP No. 41 Tahun 1999
5 Pasal 48 PP No. 41 Tahun 1999 6 Pasal 50 PP No. 41 Tahun 1999
7 Pasal 52 PP No. 41 Tahun 1999
8 Pasal 54 PP No. 41 Tahun 1999
LAMPIRAN 3
Kewajiban Hukum Penanggung Jawab Usaha dan/atau Kegiatan Berdasarkan Permen No. 21
Tahun 2008
PermenLH 21/2008 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Tenaga Listrik Termal, dalam Pasal 9, menyatakan PLTU-B memiliki kewajiban:
a. Membuang emisi gas melalui cerobong yang dilengkapi dengan sarana pendukung pengambilan sampel dan alat pengaman sesuai peraturan perundang-undangan (merujuk pada ketentuan persyaratan cerobong dalam Kepka Bapedal No. 205/1996 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak);
b. Melakukan pengelolaan emisi sehingga mutu emisi yang dibuang ke udara tidak melampaui baku
mutu emisi yang telah ditetapkan;
c. Memasang alat CEMS pada cerobong dengan beban pencemaran tertinggi, yang dihitung pada
tahap awal perencanaan pemasangan, dan beroperasi secara terus-menerus, untuk pembangkit berbahan bakar fosil dengan kapasitas di atas 25 MW yang dibangun sebelum diberlakukannya PermenLH 21/2008;
d. Memasang alat CEMS pada pembangkit berbahan bakar fosil dengan kapasitas di atas 25 MW
atau kapasitas kurang dari 25 MW dengan kandungan sulfur dalam bahan bakar lebih dari 2% dan beroperasi secara terus-menerus yang dibangun sesudah diberlakukannya PermenLH 21/2008;
e. Mengukur parameter SO2, NOx, Opasitas, O2, CO dan laju alir serta menghitung CO2 dan total
partikulat bagi pengukuran emisi dengan CEMS;
f. Melakukan pengukuran parameter SO2, NOx, total partikulat, opasitas, laju alir dan O2 secara manual bagi cerobong lainnya yang tidak dipasang CEMS oleh laboratorium terakreditasi paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan;
g. Menghitung beban emisi parameter SO2, NOx, total partikulat dan CO2 setiap satuan produksi
listrik yang dihasilkan dan melaporkannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. Melaporkan hasil pemantauan dan pengukuran sesuai format laporan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VIII PermenLH 21/2008 setiap 6 (enam) bulan sekali untuk pengukuran secara manual kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri;
i. Melaporkan hasil pemantauan dan pengukuran sesuai format laporan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VIII PermenLH 21/2008 setiap 3 (tiga) bulan sekali untuk pengukuran CEMS kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri
j. Memiliki sistem jaminan mutu (Quality Assurance) dan pengendalian mutu (Quality Control) untuk
pengoperasian CEMS dan perhitungan beban emisi parameter SO2, NOx, total partikulat dan CO2;
k. Melaporkan terjadinya kondisi tidak normal atau darurat dalam jangka waktu paling lama 7 x 24
jam kepada Menteri dan instansi teknis terkait;
l. Menangani kondisi tidak normal atau kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada huruf k dengan
keselamatan dan kesehatan manusia, serta tidak menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Terhadap kewajiban-kewajiban tersebut, PLTU-B harus menaatinya supaya pengendalian pencemaran
udara dapat dilaksanakan dengan baik1. Bila kemudian dilakukan pengawasan dan diketahui bahwa
PLTU-B tidak menaati kewajiban-kewajiban tersebut, maka komunitas juga dapat melaporkan
ketidaktaatan tersebut kepada Badan Lingkungan Hidup yang berwenang (kab/kota atau provinsi) dan/ atau KLHK.
LAMPIRAN 4
Parameter
Kadar maksimum (mg/Nm3)
Lampiran A Lampiran B
Sulfur Dioksida (SO2) 750 750
Nitrogen Oksida (NOx) dinyatakan sebagai NO2 850 750
Total Partikulat 150 100
Opasitas 20% 20%
Catatan:
1. Volume gas diukur dalam keadaan standar (250C dan tekanan 1 atmosfer).
2. Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan.
3. Semua parameter dikoreksi dengan O2 sebesar 7% untuk bahan bakar batubara dalam keadaan
kering kecuali opasitas.
4. Pemberlakuan baku mutu emisi untuk 95% waktu operasi normal selama 3 (tiga) bulan (dalam lampiran B ditambahkan frasa: “bagi yang menggunakan CEMS”).