• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pendahuluan. Negara Jepang yang terletak di daerah curah hujan yang tinggi, memiliki empat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pendahuluan. Negara Jepang yang terletak di daerah curah hujan yang tinggi, memiliki empat"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Negara Jepang yang terletak di daerah curah hujan yang tinggi, memiliki empat musim, yaitu: musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Yang dalam jangka waktu relatif dapat berubah. Alam Jepang selain mendatangkan keuntungan, juga mendatangkan kesengsaraan bagi penduduknya dengan seringnya terjadi bencana alam seperti gempa bumi, dan angin topan. Oleh karena itu untuk memilih bahan bangunan rumah tradisional Jepang yang sesuai dengan perubahan-perubahan iklim dan letak geografis tersebut dan juga dikarenakan berlimpahnya bahan alam berupa kayu, maka kayu lebih dianjurkan dijadikan bahan dasar bangunan rumah tradisional Jepang.

Di dalam perbandingannya, kayu lebih peka untuk menerima iklim. Kayu dapat menjadi lebih dingin dan dapat meresap kelembaban ketika musim panas tiba, dan tidak akan terlalu dingin jika disentuh pada waktu musim dingin. Selain itu kayu juga lebih cocok dan dapat bertahan pada saat terjadi gempa bumi di Jepang. (Tadahiro, 1990)

Menurut Gaya Jepang pada Sebuah Hunian dalam Wordpress (2007), pada dasarnya arsitektur Jepang memiliki ciri kesederhanaan dan natural yang kental. Arsitektur Jepang mengandung filosofi Zen, yaitu karakter yang berisi. Dalam kesederhanaan, diam, tanpa gerak, dan suasana meditatif, segalanya menjadi terasa berarti, lebih mendalam, bahkan keheningan itu sendiri merupakan keagungan. Inilah kesan yang ingin ditimbulkan dalam sebuah arsitektur Jepang. Orang Jepang mencari keheningan dan ketenangan dengan membangun huniannya menggunakan bahan-bahan yang sangat ringan, seperti

(2)

kayu, bambu, jerami, kertas, sutera. Orang Jepang lebih suka pada sesuatu yang transparan, hemat bahan, seolah-olah rohani tanpa membutuhkan materi.

Selain dari tiang-tiang dan atap rumah yang berbahan dari alam (kayu dan jerami), hampir seluruh komponen-komponen utama rumah tradisional Jepang berbahan dasar alam. Seperti pada: tokonoma, tatami, fusuma, shouji, ranma yang hampir keseluruhan bahan dasarnya memakai kayu.

Sangat penting untuk memahami evolusi gaya arsitektur rumah tradisional Jepang agar mengerti bagaimana interior rumah tradisional Jepang berkembang. Mulai dari zaman Heian sampai pertengahan zaman Edo (782-1750), ada tiga gaya arsitektur kediaman utama yang berkembang, yaitu: shinden-zukuri, shoin-zukuri, sukiya-zukuri. 1. 1. 1 Struktur Arsitektur Shinden-Zukuri

Rumah kediaman para bangsawan pertama kali muncul pada zaman Heian (782-1184) dengan arsitektur rumah shinden-zukuri. Gaya shinden adalah tiruan dari contoh aula pemujaan kuil Buddha. Gaya ini ditiru dari struktur pada zaman dinasti T’ang. Ruang-ruang yang terhubung satu dengan yang lain melalui jalan terusan yang beratap. Dan tengah-tengah ruang utamanya disebut sebagai moya dengan dua set pilar disekelilingnya. Interior di bagian dalamnya dipisahkan secara cermat dengan byobu (layar gulung), sudare (tirai alang-alang), kicho (tirai yang diberdirikan). Bahan untuk lantainya adalah papan kayu. Disitu digunakan alas duduk dan tikar lipat untuk duduk dan tidur dan terdapat sebuah ruangan kecil bernama nurigome yang digunakan untuk tidur atau dipakai sebagai gudang. Arsitektur ini dulu digunakan untuk para bangsawan dan samurai berkedudukan tinggi pada pertengahan abad ke-15. Apabila melihat lukisan

(3)

ini hanya memberikan sedikit perlindungan dari dinginnya musim dingin dimana pakaian berlapis-lapis yang menjadi corak mode pada zaman itu sudah dapat memberikan kehangatan.

1. 1. 2 Struktur Arsitektur Shoin-Zukuri

Arsitektur berikutnya yang muncul adalah arsitektur shoin-zukuri, suatu tipe arsitektur yang pertama kali terlihat di kediaman prajurit zaman Muromachi (1338-1573). Nama shoin berarti “perpustakaan” atau “belajar” yang pada awalnya adalah nama yang diberikan untuk kediaman kepala biara pria di kuil Zen. Gaya shoin berkembang dari gaya shinden setelah melewati lebih dari dua abad. Gaya ini jadi banyak digunakan baik untuk tempat tinggal para pekerja kuil maupun ruang tamu dan kediaman para militer golongan atas pada zaman Azuchi-Momoyama dan Edo. Keistimewaan shoin zukuri sering kali ditemukan terutama pada aula kaisho (sebuah ruangan khusus yang dipergunakan untuk menerima tamu) dan kediaman biarawan kuil Zen.

Pada mulanya, menurut Hashimoto (1989: 39), shoin merujuk pada kamar yang berukuran single yang digunakan untuk belajar dan hidup sehari-hari. Terutama di kuil Zen, sudut ruangan yang terdapat pada hōjō ( kediaman kepala biarawan) disediakan untuk belajar dan hidup sehari-hari yang sering dikenal sebagai shoin. Pada ruangan ini beberapa elemen arsitektural penentu, tergabung secara satu per satu atau secara kombinasi. Elemen-elemen tersebut yaitu tsukeshoin (kayu kasar berpemukaan rendah yang digunakan untuk membaca dan menulis dengan jendela sebagai pencahayaannnya), chigaidana (rak bertingkat yang terpasang tetap), dan tokonoma (sebuah ceruk kecil di dalam kamar yang dipergunakan untuk memajang barang seni seperti kakemono,

(4)

keramik, atau ikebana). Elemen-elemen ini secara berkala menjadi satu bagian dengan struktur ruang utama yang pada akhirnya keseluruhan bangunan rumah jadi bernama shoin.

Pada gaya arsitektur ini interior ruang bagian dalam diperluas dengan menggunakan panel shoji dan fusuma sebagai penyekat. Tatami mulai dipakai untuk menutupi seluruh permukaan lantai dengan beberapa ruang yang berukuran lebih dari seratus tatami. Pada struktur shoin-zukuri yang sudah matang terdapat mairado (pintu hias geser) dengan selembar shoji (pintu geser kertas) dibaliknya; lantai tertutup sempurna dengan anyaman tikar lipat (tatami), dan pada setiap kamar di tempat-tempat tertentu terdapat tonggak, dinding, dan fusuma (layar geser). Semua keistimewaan ini adalah pembaharuan yang tidak digunakan pada struktur shinden-zukuri.

Hashimoto (1989: 13) mengatakan bahwa gaya arsitektur ini sangat dipengaruhi oleh elemen arsitektur kepercayaan Zen, dimana pada zaman Muromachi hubungan antara penguasa militer Jepang dengan kepercayaan Zen sangatlah dekat. Kaum militerlah, terutama pada keshogunan Kamakura, yang pertama kali mendukung sekte Zen ketika baru diperkenalkan dari Cina pada akhir abad ke 12 dan awal abad ke 13 oleh pendeta Eisai (1141-1215) dan Dōgen (1200-1253). Pendeta Zen melayani keshogunan bukan hanya sebagai penasehat spiritual saja, tetapi sebagai jenderal yang ahli dalam bidang kebudayaan Cina, di mana para pendeta Zen banyak menghabiskan waktu di negara itu untuk berlatih dan menguasai bahasa Cina dengan tujuan untuk membaca doktrin dasar Zen yang terumuskan dalam bahasa Cina.

Mengingat dekatnya hubungan antara biara Zen dengan kemiliteran, maka cukup dimengerti bahwa elemen arsitektur Zen, telah mempengaruhi dalam negeri dan

(5)

Selama berkembang pada zaman Edo, elemen-elemen dari shoin zukuri juga dipakai oleh kalangan kelas bawah, dan masih bertahan hingga saat ini pada struktur ruangan bergaya Jepang, seperti yang dikatakan oleh Hashimoto (1989: 13) ”What we think today as ’traditional Japanese houses’ are nothing other than later variations on the shoin residence.”yang berarti ”Apa yang kita pikir sebagai ’rumah tradisional Jepang’ pada saat ini tak lain hanyalah bentuk variasi dari tempat tinggal bergaya shoin.

1. 1. 3 Struktur Arsitektur Sukiya-Zukuri

Arsitektur yang terakhir adalah sukiya-zukuri. Gaya sukiya berasal dari upacara minum teh, yang pada kenyataannya kata sukiya merujuk pada gedung tempat upacara minum teh itu dilaksanakan. Arsitektur sukiya yang berkembang dari shoin-zukuri pada zaman Azuchi Momoyama, sangatlah berbeda dengan kemegahan dan keindahan dari shoin-zukuri. Pada sukiya-zukuri, lebih kecil dan sederhana adalah pertimbangan untuk desain yang terbaik. Beberapa pondok teh mengalami penurunan ukuran dari enam tatami menjadi 1 ¾ tatami. Sukiya-zukuri menggabungkan seting yang lebih kecil dan sederhana dengan keistimewaan dari kelembutan, natural, dan gaya yang tidak berornamen. Penggabungan dari sukiya dengan shoin berkembang menjadi sukiya-zukuri. Arsitektur ini menjadi gaya yang popular di tempat tinggal para penduduk kota pada pertengahan hingga akhir zaman Edo (1750-1867) (Yoshino, 2004).

1. 1. 4 Jōdan

Di tempat tinggal samurai dan kuil Buddha Zen pada akhir zaman pertengahan, sebuah ruangan yang dikenal sebagai zashiki dengan berbagai macam perlengkapan dekorasi (perabotan zashiki) yang sesuai dengan fungsinya masing-masing telah menjadi tempat yang biasa digunakan untuk berlatih. Dekorasi-dekorasi tersebut adalah oshiita

(6)

yang nantinya akan dikenal sebagai tokonoma, todana yang digunakan sebagai chigaidana, tsukeshoin, nandogamae atau chōdaigamae. Dalam bagian besar, “perabotan zashiki” muncul di kediaman samurai dan kuil Zen karena dibutuhkan untuk mempertunjukkan dan menghargai artikel-artikel yang telah diimport dari China, termasuk buku, kakemono (lukisan gantung yang bergambarkan Buddha atau tulisan kaligrafi), peralatan menulis, dan perlengkapan teh, dimana hal tersebut merupakan bagian dan satu paket dengan kebudayaan Zen yang diperkenalkan pada zaman itu. (Inaba, 2000: 55)

Aula utama untuk pertemuan dengan para pembesar di ōhiroma (sebuah ruangan yang paling resmi pada shoin zukuri di akhir zaman Momoyama dan awal zaman Edo) terdiri dari jōdan, lantai yang terletak paling tinggi; berikutnya satu lantai lebih rendah yang bernama chūdan; dan lantai paling rendah yang bernama gedan. Keterangan dari variasi tingkatan lantai tersebut merupakan hasil dari proses yang panjang yang berakar dari zaman Heian (782-1184). Hashimoto (1989: 20) mengatakan bahwa pada bangunan rumah shinden zukuri, tipe struktur yang disukai oleh orang kelas atas pada zaman itu adalah lantai yang dilapisi oleh kayu berpelitur. Orang-orang duduk di atas alas jerami yang ditempatkan sesuai dengan kebutuhan. Perbedaan dalam status sosial ditandai dengan berbagai ukuran alas yang dipakai dan jenis jahitan pada bagian tepinya; sulaman yang mahal digunakan untuk para pangeran dan perdana menteri sedangkan desain hiasan yang tidak terlalu banyak macamnya menurunkan derajat kehirarkian.

Bagaimanapun, ketika tatami mulai dipakai untuk menutupi seluruh permukaan lantai, menjadi mustahil untuk menentukan perbedaan status dengan melihat jenis sulaman alas yang dipakai perseorangan. Sebaliknya, seseorang yang berkedudukan

(7)

tinggi duduk di ruangan yang memakai tatami dan bawahannya duduk di ruangan yang tidak memakai apa pun, perbedaan tinggi lantai yang diciptakan oleh alas dengan tebal sekitar lima sentimeter inilah yang akan menjadi tipe jōdan.

Hashimoto (1989: 233) menjelaskan jōdan sebagai sebuah area pada ruangan resmi shoin yang berada satu pijakan lebih tinggi. Tokonoma, chigaidana, tsukeshoin, dan chodaigamae terletak di sekelilingnya. Keempat elemen arsitektur ini semuanya terdapat pada struktur arsitektur shoin zukuri pada zaman Muromachi (1333-1567), tetapi semuanya baru terpasang dalam satu ruangan pada zaman Momoyama (1568-1614) dan menjadi salah satu kriteria untuk struktur shoin zukuri yang telah matang. Walaupun keempat elemen tersebut pada mulanya terletak pada ruangan pribadi dalam suatu kediaman namun pada struktur arsitektur shoin zukuri yang telah matang, keempat elemen arsitektur tersebut dipindahkan ke ruangan untuk umum. Hashimoto (1989: 24) mengatakan bahwa pada kenyataannya elemen arsitektur tersebut menegaskan suatu ruangan sebagai ruangan formal paling agung, dimana hanya orang yang berkedudukan paling tinggi pada zaman tersebut yang diperbolehkan untuk duduk dalam area yang telah dibatasi, yaitu jōdan. Jōdan digunakan oleh tokoh yang berkedudukan tinggi pada pertemuan dengan para pembesar untuk menekankan kekuasaannya yang lebih tinggi.

Pemisahan ini menunjukkan perbedaan status antara shogun dan para daimyo yang kurang berpengaruh, dengan cukup jelas tetapi tidak berlebihan. Hirai (2007: 101) mengatakan bahwa status seorang shogun ditunjukkan dengan duduk di bagian yang paling tinggi, yaitu jōdan, sementara itu status para daimyo dinyatakan dengan berbagai jarak antara tempat mereka duduk dengan tempat duduk shogun, dan pada ketinggian lantai yang berbeda.

(8)

Kazuo (1996: 72-73) mengungkapkan susunan duduk tersebut pada tahun 1603 dengan Tokugawa Ieyasu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di ruangan itu, sebagai berikut:

On the uppermost level, the jōdan, were seated Ieyasu and, to his left, the prelate Gien (1558-1626), abbot of the Daigoji Sambōin and one of the Ieyasu’s advisors. Below this group sat seven lower-ranked men on the gedan, also in strict order of precedence. The overall seating arrangement graphically demonstrates a hierarchy based by and large on office and rank, then age.

Arti:

Ieyasu duduk pada tingkat yang paling atas, yaitu jōdan , dan di sebelah kirinya terdapat pendeta tinggi Gien (1558-1626), biarawan dari Daigoji Sambōin dan salah satu penasehat Ieyasu.

Di bawah golongan ini, tujuh orang berkedudukan lebih rendah duduk di gedan, yang juga memiliki hak lebih tinggi untuk diperintah secara keras. Secara keseluruhan penggambaran penyusunan tempat duduk tersebut mempertunjukkan hirarki yang berdasarkan pada jabatan dan kedudukan dan umur.

1.2 Rumusan Permasalahan

Dalam skripsi ini yang akan saya teliti adalah pengaruh Zen pada jōdan dalam arsitektur shoin-zukuri zaman Momoyama (1568-1614).

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Saya membatasi penelitian tentang pengaruh Zen terhadap jōdan yang merupakan salah satu bagian dari elemen rumah yang terdapat pada shoin-zukuri pada zaman Momoyama (1568-1614) di Kyoto yang pernah menjadi ibukota Jepang.

(9)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh Zen terhadap salah satu elemen dalam arsitektur shoin-zukuri, yaitu jōdan pada zaman Momoyama (1568-1614), sehingga manfaat dari penelitian ini adalah agar pembaca dapat mengetahui lebih dalam pengaruh konsep Zen pada jōdan dalam arsitektur shoin-zukuri zaman Momoyama di Kyoto.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, pertama-tama metode yang akan saya gunakan adalah metode kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal dan internet. Sebagai penunjang data-data, saya menggunakan buku-buku yang didapat dari perpustakaan Japan Foundation, perpustakaan Universitas Bina Nusantara, perpustakaan Universitas Indonesia, perpustakaan Universitas Al-Azhar, koleksi dosen dan internet.

Setelah itu untuk menganalisis data saya menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu cara kerja membahas suatu masalah dengan cara menata dan mengklarifikasikan data serta memberikan penjelasan tentang keterangan yang terdapat pada data dan menganalisisnya.

1.6 Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu: Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Landasan Teori, Bab 3 Analisis Data, Bab 4 Simpulan dan Saran, bab 5 Ringkasan, yang akan saya jelaskan berikut ini.

(10)

Bab 1, berisikan tentang pendahuluan skripsi, terdiri dari 5 sub bab antara lain latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan, yang bertujuan agar pembaca mendapat gambaran umum mengenai hal yang akan diteliti oleh penulis.

Bab 2, menjelaskan tentang teori-teori yang digunakan untuk meneliti arsitektur rumah Jepang

Bab 3, penulis akan memaparkan tentang analisa pengaruh Zen pada setiap elemen yang terdapat pada jōdan.

Bab 4, berisi tentang simpulan dan saran. Dalam simpulan diuraikan hasil dari analisis Bab 3, sehingga pembaca mengetahui jawaban dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “RISK ASSESSMENT PADA UNIT PENGELOLAAN

Jumlah Responden Petani Padi di Kabupaten Sragen dan Karanganyar berdasarkan Kombinasi Jenis Pupuk yang Digunakan. Multifungsi Sistem

Preparat yang diamati adalah sel homogen, sel arkesporial, sel sporogen, sel parietal, sel induk mikrospora, tahap mikrospora diad, tetrad dan polen matang..

Setelah melakukan eksplorasi melalui video tentang menggambar dengan benar, siswa mampu Menganalisis hal-hal yang perlu diperhatikan saat menggambar dengan

Dasar Hukum Terhadap Penetapan permohonan Asal Usul Anak Oleh Suami Istri yang Suaminya berstatus WNA pada Awal Pernikahannya. Adapun dasar hukum pertimbangan hakim

Relokasi Pasar Warungkondang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dapat memberikan dampak terhadap keberlangsungan pelayanan bagi pengunjung Pasar Warungkondang. Karena

Sistem pertandingan roket air mode tembak sasaran bertujuan untuk mendapatkan roket air yang meluncur dengan stabilitas yang baik dan tepat pada sasaran yang berjarak 70

2.2 Bagi memperkemaskan lagi kaedah perlantikan Skim Perkhidmatan Perjawatan Akademik UPSI, Bahagian Sumber Manusia telah menyediakan garis panduan Skim Perkhidmatan