• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKECEWAAN DEMOKRASI DAN. Goenawan Mohamad. Dodi Ambardi Robertus Robet Ihsan Ali-Fauzi. R.William Liddle Rocky Gerung Samsu Rizal Panggabean

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEKECEWAAN DEMOKRASI DAN. Goenawan Mohamad. Dodi Ambardi Robertus Robet Ihsan Ali-Fauzi. R.William Liddle Rocky Gerung Samsu Rizal Panggabean"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

DEMOKRASI

DAN

KEKECEWAAN

Goenawan

Mohamad

i

R.William Liddle •

Rocky

Gerung

Samsu

Rizal Panggabean

Dodi Ambardi

• Robertus

Robet

• Ihsan Ali-Fauzi

Disunting oleh

Ihsan Ali-Fauzi dan

Samsu

Rizal Panggabean

(2)
(3)

DEMOKRASI

DAN

KEKECEWAAN

(4)
(5)

Demokrasi

dan

Kekecewaan

Goenawan

Mohamad

R.WilliamLiddle, RockyGerung, SamsuRizalPanggabean, Dodi Ambardi,

Robertus Robet, IhsanAli-Fauzi

Disunting oleh

IhsanAli-FauzidanSamsu RizalPanggabean

PusatStudiAgamadanDemokrasi (PUSAD) Jakarta,2009

(6)

DEMOKRASI

DAN KEKECEWAAN

Penyunting: IhsanAli-Fauzidan

Samsu

RizalPanggabean

CetakanI,April

2009

Diterbitkan oleh Pusat Studi

Agama

dan Demokrasi(PUSAD),

Yayasan

Wakaf

Paramadina

bekerjasamadengan

PT

Newmont

PacificNusantara

(NPN)

dan

MagisterPerdamaian danResolusi Konflik

UniversitasGadjah

Mada

(MPRK-UGM)

AlamatPenerbit:

GrahaParamadina,PondokIndah Blok

F

4-6

Jl.

TB

Simatupang,PondokIndah, Cilandak

Jakarta Selatan12310 Tel. (021) 765-1611, Faks. (021)7652015

Hak

ciptadilindungiundang-undang

Allrigtreserved

KulitMuka:IhsanAli-FauzidanHeni Nuroni

ISBN: 978-979-19725-0-5

(7)

Daftar

Isi

vii Pengantar Penyunting

l

BAGIAN

I:

ORASI

ILMIAH

3 Demokrasi dan Kekecewaan

Goenawan

Mohamad

BAGIAN

II:

TANGGAPAN-TANGGAPAN

15 Politiksebagai Perjuangan atauPengeboran?

R. WilliamLiddle 21 Mengaktifkan Politik

Rocky

Gemng

29 Negara dan Demokrasi yangBelajar

Samsu

RizalPanggabean

43

Dua

Monologtentang Demokrasi

Dodi

Ambardi

51 "Yang Politissebagai Nostalgia"

RobertusRobet

59 Berharappada"Partai-partaiGerakan"?

IhsanAli-Fauzi

69

BAGIAN

III:

TANGGAPAN

ATAS

TANGGAPAN

71 Demokrasi, PolitikdanKairos

Goenawan

Mohamad

(8)
(9)

Pengantar

Penyunting

Bukuinibermuladari orasiilmiahyang disampaikan

Goe-nawan

Mohamad

dalam acaraNurcholish Madjid

Memo-rial Lecture

(NMML),

di Aula Nurcholish Madjid,

Uni-versitasParamadina,Jakarta,23Oktober2008lalu.Acara

ini adalah acara tahunan Yayasan

Wakaf

Paramadina CYWP). Kaliiniyangkedua, setelah ditahun sebelumnya Dr.KomaruddinHidayatmenyampaikanorasi sejenisyang

pertama.

SelainuntukmengenangsosokdanpemikiranCakNur,

begitu biasanya almarhum Nurcholish Madjid dipanggil, acara di atasterutamadimaksudkan untukmerenungkan

sumbangan pemikirannyabagi bangsaIndonesia dewasa

ini dan di masa depan. Selain oleh orasi ilmiah, acara di

atasjugadiisiolehpeluncuranbukuAllYou

Need

IsLove:

Cak

Nur

di

Mata

Anak-anak Muda, berisi 30 esai anak

muda

mengenai apa

makna

Cak Nurbagimerekasemua.

Menurut kami inilah mungkin cara terbaik mengenang

jasa-jasaCakNur, salah seorang pendiri

YWP:

seraya tak

hendakmengultuskannya,kamitetap inginmengapresiasi

sumbangan danmaknanya bagiMta semua.

(10)

Mengapa

orasi ilmiah kali ini disampaikan

Goenawan

Mohamad

(GM)?

Sejak semula acara

NMML

memang

dirancang untuk

mengundang

dan

memberi

kesempatan bagiseorangintelektualkelassatuuntuk merenungkanapa

saja dari peninggalan

almarhum

Cak

Nur

yang

diang-gapnyarelevan danpentingdiperbincangkanlagihari ini.

GM

tentu saja

memenuhi

syaratini.

Selain dikenal luas berkat

sumbangan

pikirannya

mengenai banyakhal,yangterdokumentasikandibanyak

buku

danrubrik"Catatan Pinggir"diMajalahBerita Ming-guan

Tempo

yangterusditulisnyahinggakini,

sumbangan

GM

juga luas diakui berkat ketekunan dan kegigihannya

membangun

dan mengelola banyak instdtusi budaya dan intelektual yang penting khususnya di Jakarta—dari

Ko-munitas

Utan

Kayu

(KUK)

hingga Komunitas Salihara,

yangbarutahunlaludiresmikandankini

makin

ramai

me-nyelenggarakan

beragam

acara.

Dan

yang tak kalah pen-ting, terutama

dalam

konteks

NMML,

GM

memiliM

hu-bunganyang

sangateratdengan

Cak

Nur.Iapernah menulis "Pengantar"untukPintu-pintu

Menuju

Tuhan,salah satu

buku

almarhum

yang

paling populer hingga kini.

Dan

keduanya,bersamasejumlahaktivispro-demokrasidi

Indo-nesia, turut mendirikan Komite Independen

Pemantau

Pemilu(KIPP)ditahun1996,yangdapatdipandangsebagai salah satutonggak penting dalam gerakan demokratisasi

di

Tanah

Air.

Selain orasi ilmiah

GM,

buku

ini juga

memuat enam

tulisan

tambahan

yang dimaksudkan untuk mengomentari

orasi ilmiah itu, dan komentar balik

GM

sendiri atas

ko-mentar-komentardi atas.Penerbitaniniadalahpermulaan

baik yang

mudah-mudahan

dapat

kami

pertahankan di

tahun-tahun

berikutnya

sehubungan dengan

NMML.

(11)

Maksudnya, agar renungan yang disampaikan dalam

pidato

NMML

bisaterusdiwacanakandandiperluas

jang-kauannya. Fakta bahwa

GM

sendiri menulis komentar

baliknyayangjauhlebihpanjangdaripidatonyayangawal

menunjukkan betapa menariknya wacana yang sudah

berkembang: betapa para komentatornya telah berhasil

memperlebarpercakapan intelektualyangditanggapi

GM

denganpenuh antusiasme.

Initentutakmengherankan,karenatemayang dipilih

GM

untuk orasi ilmiahnya, "Demokrasi dan Disilusi",

adalahtemayangsangat relevan dengansituasimutakhir

kita. (Dalam penyiapanbuku ini,

GM

menyarankan agar kata "disilusi" dalamorasi diganti dengan "kekecewaan",

yang kamiikuti).Sepertimewakiliperasaanbanyakorang tentang kualitas demokrasi kita,

GM

mengeksplisitkan sejumlah implikasi negatifyang muncul dari keharusan

para pemimpinpolitik untuktunduk kepada

hukum

besi

"kurvalonceng"yangmencirikan semua demokrasi. Tapi

iatak serta-merta

menampik

demokrasi: iahanya mene-gaskan perlunya kita memperkuat sisi "perjuangan" di dalam demokrasi, agar cita-citakeadilan, kesetaraan dan

kesejahteraan yang dijanjikan demokrasitidak tergerus oleh keharusan para pemimpin politikuntuktunduk

ke-pada

hukum

"kurva lonceng". Berbagai soal detail dalam

hubungandinamisantarasisi"perjuangan"dansisi"kurva lonceng" demokrasi inilah yang dibahas para

komen-tatornya kemudian.

Dengan

membaca

bukuini,kamiberharap bahwa

wa-wasankitamengenaitemainibisadiperkayadandiperluas oleh perdebatan yang direkam buku ini. Kalau diizinkan

untuk mengklaim,inginkamikatakan: inilahperdebatan

yangsejauhinipaling substantifdankredibeldiIndonesia

(12)

mengenai di

mana

lata

hams

kecewa kepada demokrasi dan di

mana

pula kita bisa berharap kepadanya. Sejauh

mana

klaimitubenar,tentu para pembacalahhakimnya.

***

Penerbitan

buku

inijugamenandaikiprahlebih lanjut dari

Pusat Studi

Agama

dan Demokrasi (PUSAD), salah satu

lembaga

otonom

yang dibentuk

YWP

pada

2006,

bersa-maan

denganperayaan ulangtahunnya yangke-20. Selain

penerbitan,

PUSAD

Paramadinajuga

melakukan

kegiatan

riset danadvokasimengenai

hubungan

antara

agama

dan

demokrasi. Terakhir, sejak tahun lalu

dan

bekerjasama

dengan

Magister Program untuk Resolusi Konflik,

Uni-versitas Gadjah

Mada (MPRK-UGM),

dan

The

Asia Foun-dation (TAF),kami melakukanstudimengenai"Pola-pola Konflik

Keagamaan

diIndonesia, 1990-2008,"yang

hasil-nyajuga akan segera dibukukan. Selain

dalam

kegiatan

riset ini,

kami

juga bekerjasama

dalam melaksanakan

program "Polisi, Masyarakat Sipil,

dan

Konflik

Agama

di

Indonesia,"yangsecara

umum

diharapkan bisa

memberi

sumbangan

bagipenegakanetospluralismeditanahair,

de-ngan

disalurkannya konflik-konflik

keagamaan

dalam

cara-carayangpenuhkedamaian.

Dengan

fokusyanglebihkhususdiberikanpadarisetdan advokasi mengenai

hubungan

antara

agama

dan

demok-rasi,

PUSAD

Paramadina

ingin

mengembangkan

lebih

lanjutperanlama

YWP

sebagai

forum

dialogyangterbuka

dan bebas mengenai tema-tema

keagamaan

(khususnya

keislaman), keindonesiaan,

dan kemodernan.

Seperti

diketahui, segitigatema itu sudah takenfor granted dan

(13)

kesa-daran bahwa Islam di ranah ini tak mungkin dipisahkan dari Indonesia, dan integrasi yang saling memperkokoh

keduanya itu ingin dimanfaatkan sebagai wadah budaya untukmenyongsongdanmemberisumbanganbagi

kemo-deraan. Ituartinya,menjadi Muslimyangbaiksamadan sebangun dengan menjadi warganegara yang Pancasilais dan penuh percaya diri untuk menjawab tantangan

mo-dernitas.

PadasosokCakNur,dankami hendak meniru dan

me-ngembangkannyalebihjauh,segitigatemadi atas

tercer-mindarikepercayaandirinyayangtinggiuntukmenggali, dari khazanah Islam dan Indonesiayangkaya, nilai-nilai

yang dapat memberi topangan bangsa ini dalam

meng-arungi era modern. Sejalan dengan komitmen keislaman

dankebangsaannya,CakNurtelahmemberilandasan teo-logis bagi keharusan pluralisme, kebebasan, penegakan

nilai-nilaihak-hakasasimanusia (HAM),demokrasi, dan

seterusnyadinegeriini.Karenanya,bagiCakNur, gagasan

tentangnegaraIslam,misalnya,adalahanathema,karena

ia

menghantam

bagian paling inti dari keberislaman

sebagai penyerahan-diri secara afcfifkepada Sang Ilahi.

Bagaimana Mta minta seseorang bertanggungjawab atas

keberagamaannya,jikaiaberagama karenadipaksa?

Bukan-kahkita diberikebebasanolehTuhanbahkan untuktidak

beriman? Atas mandat siapa negara

mau

mengatur hati

orang?

PUSAD

Paramadinajuga bermaksud untuk memper-teguhdan memperluasketerlibatan

YWP

dalampenguatan

civilsocietydanpelebaranpublicspheredinegeriini,yang

sudah cukup luas diketahui. Lewat berbagai forum

YWP

dibawahCakNurdulu,beragamtokoh,dariberbagaialiran

agama

danpemikiran,jugadariberbagailatarbelakang

(14)

kehidupan,

bahu-membahu memperkokoh

sendi-sendi

pluralisme dan demokrasi negeri ini. Di

bawah

Cak

Nur,

partisanshipyang terlalukental

memang

bukan

wisdom

YWP.

Seraya percaya

bahwa

manusia memiliki potensi

untukberbuat baik,

pada

Cak

Nur

juga ada keinsyafan

bahwa

sikapdanperilakumanusiaseringkalilebih

diben-tukoleh kepentingan-kepentingannya yang sesaat

Maka

mendengar semua

pihak adalah keharusan. Juga

kebe-basanberekspresi, karenatanpanyaide-idetakbisa

diper-tukarkansecara optimal.

Yang

menjadi korbannyaadalah

publik:merekakehilangankesempatan untuk

memperoleh

ide

yang

paling tahan banting, realistik,

mendekati

"kebenaran"!

Perandiatasrasanya

makin

dibutuhkansaatini,ketika

reformasi

memasuki

usianyayangkesepuluh.

Bersamaan

denganberakhirnya rezim otoritarian

Orde

Baru,

demok-ratisasi yang turut diperjuangkan

Cak

Nur

membawa

beragamimplikasijangka pendek, baikyang berupa

man-faat

maupun

mudarat,yang menjadikonteks keterlibatan

Paramadinadi

masa

kini

dan

nanti.

Yang

sangatterasaadalah tingginyaharapanwarganegara terhadapreformasi;

bahwa

reformasiadalah

panacea

buat

semua

penyakit;

bahwa

reformasibukanlah,sepertisering diparodikan, "repotnasi".Iniharapanyang

masuk

akaldan penting, tetapijuga bisa memukul-balik karena

ketidak-sabaran orang

menunggu

hasil. Penting diingat, di

mana

pirndiduniaini,transisidarirezimotoritarianke rezimyang

demokratis bukanlahjalantolyang

mulus

dan

bisadengan cepat

dan

enakdilewati.

Tantangandiatas

makin

kompleksdiatasisekarang

ka-rena,sementararecoveryekonomiberjalanlambat,

demok-ratisasijuga

memberi

insentifbagi

semua

kalanganuntuk

(15)

terlibat dalampertarunganpolitik. Biasanya, politisiyang ambisiusdan demagoglah yangpaling siapmemanfaatkan insentifini,sambilberjual-beli denganrakyatyangtengah

terhimpit kesulitan ekonomi.Untukmerebutkepentingan jangka pendek, aktor-aktorpolitiksepertiinitidak

segan-seganmegorbankansendi-sendidasarrepublikini,seperti pluralismedan toleransi,untukmenggalangmassa.

Tugas

PUSAD

Paramadinaadalahmemberipenerangan

seputarkompleksitasini:bahwareformasiyangbukan"repot nasi" hanya bisa dicapaijika semua konflik kepentingan

disalurkanmelalui lembaga-lembaga yang ada atau, jika hal itu tidak cukup, lewat protes damai dan tanpa keke-rasan;

bahwa

reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan

gampang, karenasudahbertahun-tahunberagam

kepen-tingantertanamdisana;bahwapemberantasan

KKN

tidak-lahsama dengan membersihkansampah lebaran,karena

manusia bukanlahjanur kelapabuatbikin ketupat.

Dengansendirinyainitidakberartibahwa

PUSAD

Para-madinamenjadijurubicaraataupembelapemerintah.

Ada-lahtugassemuaopinionmakers yangmencintainegeriini,

termasukParamadina,untukmenjelaskanbahwa konsoli-dasi demokrasi mensyaratkan warganegara yang taat

hukum,negaradancivilsocietyyangsama-samakuat,dan dukunganterhadapprinsip-prinsipdemokrasi. Soal

menge-ritikpemerintah,itusudah dengansendirinya—dan untuk

itu, kini tidak lagi diperlukan keberanian ekstra. Seraya bersyukurbahwatugas inikini menjadilebih

mudah

de-ngan tersedianya kebebasan pers, kita sebenarnya ditan-tanguntuk menjadikritikusyangkredibel:yangtidakasal beda,realistis,sensitifpadadetail,danmenawarkan opsi-opsiyang

masuk

akal.

(16)

Buku

iniadalah bagiandariupaya

memenuhi

sebagian tugasdantantangandi atas. Perdebatanyangberlangsung

di sana

memberi gambaran

yang realistis dan kredibel

mengenai demokrasi,yang

memang

bukan

panacea, obat

semua

penyakit,tapijuga

bukan

situkangobatitusendiri,

yang

menguras

kantong kita dengan menjualjanji-janji palsu.

Ada

harapandalamdemokrasi,tapi kitapulalahyang

menentukan

apakah harapan ituhanya akan menjadi

pe-luangyang mubaziratau menjadisumberdaya untuk

mem-perbaiki kenyataanyangsesungguhnya.

***

Bersamaan

denganterbitnya

buku

ini,

kami

ingin

meng-ucapkan banyak terimakasih kepada

semua

pihak yang

sudahikut

membantu

kelancaran

semua

acara.

Pertama-tama kami

tentu

mengucapkan

ribuan terimakasihkepada

Mas GM,

yangtelahbersedia

bukan

sajamenulis dan

me-nyampaikan

pidato, melainkanjuga

memberi

komentar

balik atas para

penanggapnya dengan

antusias.

Dalam

prosespenyelesaian

buku

ini,beberapikali

GM

mengirim-kan

revisi atas tulisannyayang sudah dikirimkan

sebe-lumnya, dan

menyampaikan

saran-saran.

Kami

juga sangat mengapresiasi kesediaanpara pemberi komentar, selain

kami

berdua, untuk meluangkan waktu

mereka:R.Williamliddle,RockyGerung,Dodi Ambardi,dan

RobertusRobert.

Kami

mohon

maaf

jikatakseorang

pun

di

antara parapenanggapiniperempuan:beberapaakademisi,

jurnalis dan aktivis

perempuan

yang

kami

hubungi gagal

memenuhi

targetyangmerekasendirisudahjanjikanuntuk menulistanggapan.

Mudah-mudahan

aspekkesetaraan

jen-derinibisaterpenuhidi

masa

depan.

(17)

Sebagiantanggapanyangakhimyaditerbitkandalambuku

inipernahdidiskusikansecara terbatasdiKomunitasSalihara dan Komunitas Utan Kayu (KUK), keduanya di Jakarta. Dalam rangkaitu, selain

GM,

RobertusRobert, Bill Liddle, RockyGerung,danDodiAmbardihadirdalamdiskusi.Sekali

lagi:terimakasih banyak.

Kami juga berhutang budi kepada kawan-kawan di

YWP,

KomunitasSaliharadanKUK,yangtelah ikut

menyuk-seskankegiatan ini. Jugakepada kawan-kawan di

MPRK

Yogyakarta. Keterlibatanmereka kadang melampauitugas

pokok merekadikantor masing-masing.

Akhirnya, kamiucapkan terimakasih juga kepada

PT

Newmont

PacificNusantara(NPN)ataspartisipasinyadalam mendanaibukansajapenerbitanbuku ini,tapijuga

kese-luruhan kegiatan

NMML

II. Juga kepadarekan

Hamid

Basyaibdan HerdNuroni, untukide danrealisasi sampul

bukuiniyangcemerlang:./res/z,/unny, juga cocokdengan

isibuku.

Semoga segalapekerjaankitainiadamanfaatnya.***

Jakarta, 3April 2009

IAFdanSRP

(18)
(19)

BAGIAN

I:

(20)
(21)

Demokrasi

dan

Kekecewaan

Goenawan

Mohamad

I.

17Oktober1953:dipagi hariitu,sekitar5000orangmuncul

dijalananJakarta.Padapukul8,mereka sudahberhimpun di luargedung

Dewan

Perwakilan Rakyat. Takjelassiapa

yang

memimpin

dan organisasi apa yang mengerahkan mereka,tapiyangmerekatuntutdiutarakandengantegas: "BubarkanParlemen".Katasebuahposter,"Parlemen un-tuk Demokrasi, bukanDemokrasi untukParlemen".

Tak lama kemudian mereka memasuki gedung

per-wakilan rakyat itu, menghancurkan beberapa kursi dan merusak kantin yang biasanya diperuntukkan bagi para

legislator.

Darisini,rombongandemonstranbergerakkejalanlagi.

Peserta makin bertambahbesar.Akhirnya mereka,

men-capai 30ribuorangbanyaknya, sampaikeIstanaNegara.

MerekaingjnmenghadapPresiden.BungKarno,yang

rae-ngetahuiapayangdituntutparademonstranitu,akhirnya

muncul.Dalam pidato singkatiamengatakan: iatak akan

membubarkan

Parlemen. Ia tak ingin jadi diktator. Ia

(22)

DemokrasidanKekecewaan

hanyaberjanjipemilihan

umum

akan diselenggarakan

se-gera.

Ringkaskata,

Bung

Karaomenolak. Tapirekaman

ucap-annya

menunjukkan

bahwa

iajuga

punya

ketidaksukaan

yang

sama

kepada "demokrasi liberal" yang dianggapnya

sebagai cangkokan "Barat" itu. Di tahun 1958, ia

mem-bubarkan

dewan

perwakilanpilihanrakyatdan

mengubah

Indonesia dengan

menerapkan

"demokrasi terpimpin". Sisteminikemudianberakhirditahun1966, ketika"Orde Baru"

memperkenalkan

format politdk yang disebutnya

"demokrasi Pancasila"—yang sebenarnyamerupakanvarian

barubagi "demokrasiterpimpin". Boleh dikatakan, dalam

"Orde Baru", sebagiandari yangdikehendaM parapenuntut padatanggal17Oktoberitudipenuhi.Kitatahu,seperti dicatat

oleh Herbert Feith

dalam The

Decline ofConstitutional

DemocracyinIndonesia,

bahwa

paraperwiraAngkatanDarat

berada di belakang aksi hari itu. Sementara

Bung

Karno

berpidato,militer

memasang

duabuahtank,beberapapanser,

empatbatangkanonyangditujukankeIstana:penegasanagar Presiden

membubarkan

Parlemendanmelikuidasidemokrasi liberalKitakemudiantahu,dalam"demokrasiPancasila"yang

ditegakkanAngkatan Darat,

DPR

memang

dipilih secara

reguler, tapipadaaldiirnya,konstruksisangpenguasa—dalam

hal ini Suharto—yang menentukan. Berangsung-angsur,

kekuasaanberkembangdarisifat"birokratik-otoriter"menjadi

otokratik. Suharto mengulangi posisi

Bung

Karno sebagai "PemimpinBesarRevolusi",dengangelaryangberbeda.

Ditahun1998,otokrasiSuhartoiturubuh. Indonesia

men-dapatkan "demokrasi hberal"-nyakembah. Satu dasawarsa

kemudian,

Mta

masih

tampak

percaya kepada demokrasi

ini—jikaituberartipemilihan

umum

yangregular, partisi-pasimasyarakatpemilih lewatpartai,pembentukan

undang-undang

melalui para legislator di parlemen, pengawasan

(23)

Orasillmiah

Mnerja kabinet dari sebuah lembaga negara yang dipilih

rakyat.Tapi akan bertahankah kepercayaanitu?

Kitabisa

menduga—

melihatbetapakorupnyapara

ang-gota

DPR

sekarang,melihat tak jelasnyalagialasanhidup

partai-partai,kecualiuntukmendapatkankursi—Indonesia

sedangmemasukisebuah masa,ketikarakyat—dengan hak penuh untuk memilih dantakmemilih—akanmencemooh,

bahkanmencurigai,parapemegangperandalamdemokrasi parlementeryangada.

Sayatak akanmeramalkanbahwa "Peristiwa 17

Okto-ber"

bam

akanterjadisegera.Tapisayakirasiapapunbisa melihat, kita akan hidup dengan harapan-harapan yang retakkepadademokrasiliberal.

Dan

takakan mengheran-kanbila kitaakansegeramendengarkecamansepertiyang pernah diutarakannovelis, Pemenang Nobel, Saramago:

"Pemihan

umum

telahjadi representasikomedi absurd,

yang memalukan".

Dalampembicaraansaya hari ini,saya akanmencoba

menunjukkan,bahwadisilusisepertiitu

memang

takakan

terelakkan. Persoalannya kemudian, sejauh

mana

dan dalam bentukapa demokrasibisadipertahankan.

n.

Demokrasi—sebagaimana kediktatoran—menjaga dirinya

darikhaos.Ia jadibentuk yangharuspraktisdanterkelola. Iadibangunsebagai sistemdan prosedur.

Tapi sebagai sebuah format, ia tak dapat sepenuhnya

menangkapapayangtakpraktisdan yangtaktertata.Salah satu jasatelaahkebudayaandanteori politikmutakhirialah pengakuanterhadap pentingnya apayangturah,yangluput tak tertangkap oleh

hukum

danbahasa,yang oleh Lacan

(24)

Demokrasidan Kekecewaan

disebut sebagaileReel (dalamversi Inggris, theReal),dan yangsaya coba terjemahkan di sinisebagai"Sang Antah".

Denganitusebenamyaditunjukkan satu kekhilafanutama

dalam

pemiMran

politikyangmengasumsikan

kemampuan

"representasi". Pengertian "representasi" dimulai dari ilusi

bahasa,

bahwa

satuhaldapatditirukan persisdalambentuk

lain,misalnyadalamkata atauperwaMlan.Ilusimimetikini

menganggap,

semua

hal, termasukyang ada dalam dunia

kehidupan, akandapat direpresentasikan. Seakan-akantak

adaSangAntah.

Namun

baik oleh teori "demokrasi radikal"

yang

di-perkenalkanLaclaudanMouffe,dengan

menggunakan

pan-dangan Gramsci,

maupun

oleh pemikiran pohtik dengan

militansiala

Mao

dalam

pemiMan

Alain Badiou,kita

ditun-jukkan

bahwa

sebuahtatamasyarakat,sebuah tubuhpolitik,

adalahsebentuksceneyangtakpernahkomplit Senantiasa

adayang obscenedalamdirinya,bagiandariSangAntah,yang

dicoba diingkari.Tapiyang obscene—yangtak tertampung

dan tak dapat diwakili olehtubuh politikyang

ada—

justru

menunjukkan

bahwa

sceneitu,atautatamasyarakatyangkita

saksikanitu,takterjadisecaraalamiah.

Menurut

Laclaudan Mouffe,tatamasyarakatitu lahirdari

hubungan

antagonistds.

Ia

merupakan

hasil perjuangan hegemonik. Itu sebabnya suatutubuhpolitikyangtampakstabil

mau

tak

mau

dihantui olehpertentangan—yang

membuatnya

hanyakwasi-stabil.

Dari

pandangan

seperti itu demokrasi, sebagaisebuah format,

memang

terdorong hanya

merawat

tubuh politik

yangkwasi-stabilitu.Sebagaiakdbatnya,iacenderung

meng-ubah

antagonisme

dan

perjuangan

hegemonik

itu jadi

majal: demokrasi acapkali menghentikan proses politik

dengan mendasarkandiripadasebuah suara terbanyakatau

sebuah konsensus.

Dengan

itu apa

yang

dianggap

(25)

OrasiIlmiah

nyimpang, apayangobscene,disingkirkan.

Maka

iatampak

sebagai sesuatu yang tak hendak

membuka

diri pada alternatif-alternatifbaru.

Contoh yangsegeradapatdilihatadalahJepang; disana, kekuasaan Partai Liberal Demorasi (LDP) berlangsung

hampirtakberhenti-hentinya.Halyangsamadapat dikata-kan tentang demokrasiAmerika. Hari-hari ini,justru di sebuahmasaketikasuarauntukperubahan yang

dibawa-kan

Obama

terdengar nyaring,sebetxilnyataktampak dah-syatnya "perubahan"yangdisuarakannya.

Pernahsayakatakan,demokrasiadalah sistemdenganrem

tersendiri—juga ketikakeadaanburukdanharus dijebol.

Pemilihan

umum,

mekanismenyayang utama,adalahmesin yangmengikutistatistik.Tiappemungutansuaraterkurung

dalam"kurvalonceng":sebagianbesarorangtak

menghen-dakdperubahan yang"ekstrem".Statistikmenunjukkanada

semacam

tendensibersama untuk takmemilih hal yang mengguncang-guncang. Statistikitu statusquo.

Dalamharibaan"kurvalonceng",

Obama

takakan berse-diamengubahpolitikAmerika dengan yangbaru yang

meng-gebrak.Akansulitkita

menemukan

perbedaan

pandangan-nya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencaridukunganlobi Israel diAmerika,takakan nekad

bilangakan mengajak

Hamas

ke mejaperundingan.Iatak

akan berani

menampik

sepenuhnya hak orang Amerika

memiliki senjata api pribadi, meskipun korban kekerasan

dinegeriitu takkunjungreda.Iatakakanbertekad meng-ubah sikap orangAmerika yang cenderung

memandang

perangsebagaikegagahanpatriotik, bukankekejaman.

Seraya bersaing ketat dengan McCain,

Obama—

yang

memproklamasikan diri sebagai pemersatu Amerika,

negarawan yang akanmenyembuhkannegeriyangterbelah

(26)

Demokrasi danKekecewaan

antara "biru" dan

"merah"—

akan tampil sebagai si

pem-bangun konsensus.

Tapi

konsensus

tak

akan

mudah

jadi

wadah

bagi

perubahan yangberani. Di Spanyol di tahun 1982,

misal-nya,ketikakediktatoranFrancosedangdigantikandengan

demokrasi yang

gandrung

perubahan. Felipe Gonzales

Marquez,

waktu

itu

40

tahun,

memikat

seluruh negeri.

Partai Sosialisnya

menawarkan

lambang kepalan tangan

yangyakin

dan

mawar

merah

yang segar. Semboyannya:

PorElCambio.Ia menang.Iabahkan

memimpin

Spanyol

sampai

empat

masa

jabatan.Tapiberangsur-angsur,partai

yangberangkatdarisemangatkelasburuh yangradikalitu

kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di

bawah

kepemimpinan

Gonzales,Spanyoljadi anggota

NATO

dan

mendukung

Amerika dalam

PerangTeluk 1991.

Sebagaitandabagaimanademokrasitakmenginginkan yang luar biasa, Partai Sosialis

menang

berturut-turut.

Mungkin

itu indikasi

bahwa

"perubahan" pada akhirnya

hams

dibatasioleh sinkronisasipengalamanorangramai.

Di haribaan "kurva lonceng",

kehidupan

politik

yang

melahirkannya kehilangan greget yang subyektif.

Kebe-raniandisimpan

dalam

laci.

m.

Tapi

mungkinkah

sebuah masyarakat bisa berhenti dan prosespohtiknya taktersentuh olehwaktu?

Pertanyaan retoris ini penting. Di

dalamnya

tersirat

adanya

harapan—

disuatu

masa

ketikautopianisme Marxis

digugat, tapiketika

pada

saatyang

sama

pragmatismeala

Richard Rorty

tampak

tak

memberikan

daya bagi

per-ubahan yang berartd.

(27)

Orasillmiah

Tapi untuk itu,

memang

diperlukan penyegaran

kem-balitentangapaarti "politik"sebenarnya.

Sebuah buku yang dengan

amat

baik

memaparkan

pemikiran politik kontemporer, Kembalinya Politik (Ja-karta, 2008), menguraikan "dua

muka

yang terpisah"

dalam pengertian "politik":

Yangpertamaadalahsisidi

mana

politik terjadisebegitu saja dalam rutinitas kelembagaan dan perilaku aktor-aktornya...Yang keduaadalahpolitikyangdiharapkan,

yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi: politiksebagaimanadiidamkan,yangtertekandibawah instansiketaksadaran.

Dalampengantarnya,RobertusRobetdanRonny

Agus-tinusmenunjukkankemungkinan—ataumalah kenyataan—

ketika demokrasi "telah

membunuh

politik" dan

"meng-gantikannyadengan konsensus".

Dengan kata lain, "politik"yang <h^"bunuh" itu adalah

pohtik sebagai proses perjuangan, bukan politiksebagai saling tukarkekuasaan dan pengaruh sebagaimana yang

terjadi melalui pemilihan

umum

dan negosiasi legislatif

dewasamidiIndonesia."Politik"yangsepertiitusebenarnya

hanyamengukuhkantubuhsosialyang seakan-akan sepe-nuhnya direpresentasikanParlemen. "Politik"yang seperti

ituberilusibahwakitabisamengabaikanSangAntah."Politik"

yang sepertiitu adalah bagianyang bersembunyi dari apa

yang disebut Ranciere lapolice: strukturyang diam-diam mengaturdan menegakkan tubuh itu.

Di sini sebuah pemaparan selintas tentangteori

Ra-nciere agaknyadiperlukan.

Lapolice itu (mungkin adahubungankata ini dengan "polis" sebagai negeri dan "polisi" sebagai penjaga

(28)

Demokrasi dan Kekecewaan

tiban) bersifatoligarkis.

Tubuh

sosial

mengandung

ketim-pangan yangtak terelakkan; selamanyaadayangkuatdan

adayanglemah, yang menguasai dan dikuasai.

Tapi lapoliceitutetap sajatakbisa

membentuk

sebuah

satuan sosial yang komplit. Di dalam hal ini, pemikiran

Rancierejuga

menunjukkan bahwa

satuan itu kwasi-stabil

sebenaraya. Sebab bahkan la police tak akanbisa

meng-abaikan,

bahwa

yangkuathanyakuatjikaiadiakuidemikian

olehyang

lemah—

meskipun dengan mengeluh dan marah.

Dengan

katalain,sikuatdiam-diam mengasumsikan adanya

posisidanpotensisilemah untuk

memberi

pengakuan.Bagi

Ranciere, ituberarti

nun

di dasaryangtak

hendak

diingat,

adakesetaraan antarakeduapihak.

Disitukita

menemukan

bagaimana sebuahnegeri,pohs, hidup: ada la logiquedu tort.

Ada

sesuatuyangsalahdan

sengkarut, tapi

dengan

begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di

dalam

"logika" itu, ketegangan terjadi, sebab

hirarki

yang

membentuk

masyarakat justru

mungkin

karenamengakuikesetaraan. Ketegangan

dalam

salah

dan

sengkarut itulahyangmelahirkankonflik,guncanganpada

konsensus,dan polemik yangtak henti-hentinya.Ranciere mengakui, selalu ada sebuah arkhe, sebuah dasar untuk

membenarkan

timpangnya distribusi tempat

dan

bagian

dalam masyarakat, tapi ia

menunjukkan

bahwa

arkheitu

selamanya bersifat sewenang-wenang.

Dariitu terbit lapolitique: sebuahpergulatan.Ia

bukan

seperti aksikomunikasialaHabermas:diarenaitutakada tujuanuntukbersepakat;di

medan

ituyanghadirbukanlah

sekedarusuldan

argumen

yangberseberangan, tapitubuh danjiwa,"perbauranduadunia","di

mana

adasubyekdan obyek yangtampak, adayangtidak".

(29)

Orasi Ilmiah

Agaknya yangtaktampakitulahyangmenyebabkanla

politique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan

makna

sosialnya. Sebab yang menggerakkan adalah

me-rekayangbukanapa-apa,yangtakpunyahakikatdanasal usuluntuk menang.

Walhasil, selalu akan adaketegangan antara lapolice

dan lapolitique. Sebuah tubuh sosial akanbergerak, tak

mandeg,dalamketeganganitu. DisiniRanciere memper-kenalkanistilah lain, lepolitique, untuk menyebutproses

mediasiantarakekuatanyang menjaga demokrasisebagai

formatdanpolitiksebagaiperjuanganke arahkesetaraan.

BerbedadariBadiou,Ranciere—yangmenyebut keada-an demokrasiliberalsekarangsebagai"pasca-demokrasi"—

masihmenaruhkepercayaanakanperandemokrasi parle-menter dan

kemampuan

perundang-undangandalam perju-anganke keadilan.

Tapi Rancierebukanlah orangyangmenganggapbahwa demokrasi parlementer dengan sendirinya adil. "Politik" sebagai perjuangan, "politik" sebagai lapolitique, itu se-suatuyangtak secararutinterjadi. Bahkanjarangterjadi.

Demikian pula, tanpa menyebutsaat demokratiksebagai "kejadian" (I'evenement)yangluarbiasa, Ranciere meng-anggapdalamsistemdemokrasiyangada, saatdemokratik

sejatitakselamanyadidapatkan.

IV.

DenganmemakaipemikiranRanciere,sayaberharap dapat menunjukkan bahwa disilusi terhadap demokrasi liberal

adakahsesuatuyangsab. dan

hams

dinyatakan.

Tuntutanakankesetaraan—dandalampengertianyang lebih luas:keadilan— adalah tuntutanyangtakakan

(30)

Demokrasidan Kekecewaan

habisnya. Ia lahir dari apa yang tak

hendak

dilihat oleh sistemyangada. Ia lahirdariyangobscene,dariyangturah

dari representasi, ia adalah gaung Sang

Antah

yang tak

tertampung.

Tapi haruskahkita

menghancurkan

demokrasi,karena

menganggap bahwa

demokrasisemata-mataformat,

bukan

sebuahproses pergulatan,

bukan

arena lapolitique? Jalan

ituada:"nihilismeaktif"dalampengertian

Simon

Critchley,

ketika ia menguraikan pendiriannya tentang "etika

ko-mitmen"

dan "politik perlawanan"

dalam

Infinitely

De-manding

(Verso, 2008). Nihilisme aktifinilahyang

dila-kukanmisalnyaolehterorAl

Qaedah—

yang padagilirannya

jugatak

menumbangkan

demokrasiliberal,

bahkan

mem-perkuatnya:

makin

kukuhnya

aparat

keamanan

negara

merupakan

peneguhan dari lapolice.

Satu-satunyajalan yang masih terbuka adalah selalu

dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan.

Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan sebelumnya;

selaludiperlukan keluwesanuntuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan ataujustru

melawan

per-undang-undangan, baik melalui partai ataupun

melawan

partai.

Artinya, tiap kah kita

membiarkan

diri untuk didesak

oleh panggilanakankeadilanyangtakpernah akan

mem-bisu. ***

(31)

BAGIAN

II:

(32)
(33)

Politik

sebagai

Perjuangan

atau

Pengeboran?

R.

William

Liddle

Dalamorasiilmiahnya,Goenawan

Mohamad

merumuskan

sebuah peta politiktempat perjuangan merupakan

satu-satunyajalan untuk mencapai kesetaraan sosial. Hal itu

berlaku dalam sistem kenegaraan apa pun, termasuk

de-mokrasi. Bagi saya, masalahnya tidak sesederhana itu.

Ketimbang perjuangan, saya lebih suka menggunakan metafor pengeboran, yang saya pinjam dari

Max

Weber, sosiologJerman awal abadke-20: "Politik adalah penge-borankayukerasyangsulitdanlama"(Politicsisastrong

andslow boringof hardboards).

Goenawan mempersoalkan demokrasi dari dua segi.

Sebagai tata politikyang "mendasarkan diri pada sebuah

suaraterbanyakatausebuahkonsensus," demokrasitidak

mungkin mewakili semua aspirasi atautuntutan masya-rakat. "Maka iatampak sebagai sesuatuyang takhendak

membuka

diri pada alternatif-alternatifbam." Buktinya adalah Jepang di

bawah

kekuasaan Partai Liberal

(34)

Demokrasi dan Kekecewaan

mokrat

selama puluhan

tahun

serta Spanyol,

tempat

Partai Sosialis yang mendirikan

demokrasi

di negara

tersebut berangsur-angsur menjadi partai kapitalis dan

pro-NATO.

Presiden terpilih Amerika Serikat Barack

Obama

pun

digambarkansebagaiseorangpolitisiyangterkurungoleh

sikap mayoritas pemilih

yang

tidak

menginginkan

perubahan-perubahanbesar. Sebagaicontoh:posisi-posisi

Presiden George

W. Bush

terhadap

sengketa

Israel-Palestina, pemilikan senjata api pribadi oleh masyarakat Amerika, danperang"sebagaikegagahanpatriotik,

bukan

kekecaman" akan dipertahankan oleh Presiden

Obama.

Obama

"akantampil sebagai si

pembangun

konsensus."

Dal

am

bentuk konkretnyadiIndonesia pasca-OrdeBaru,

ciri-ciri demokrasiyang

mencolok

bagi

Goenawan

adalah

korupsi anggota-anggota

DPR

danpartai-partaiyangtidak

punya

tujuanjelas, kecuali keinginan para

pemimpinnya

untuk

mendapatkan

kursi. Alhasil, Indonesia

sudah

memasuki

suatuerabarutempat parapemilih "akan

men-cemooh, bahkan mencurigai"

pemimpin

politiknya.Kalau

keadaanini dibiarkanberlanjut, demokrasipasti semakin

sulitdipertahankan.Solusi

Goenawan:

"Satu-satunya jalan

yang masih terbukaadalah selaludengan setia

mengem-balikan politik sebagai perjuangan, ...baik melalui

perundang-undangan atau justru

melawan

perundang-undangan,baik melaluipartaiataupun

melawan

partai".

Rumusan

Goenawan

menarik

baik sebagai analisis

maupun

sebagaicalltoaction,panggilanuntukbertindak.

Siapa

pun

akanmengakui

bahwa

demokrasiyangresponsif dan bertanggungjawab

belum

terwujud di Indonesia dan kualitasnya belakangan agak merosot di negara-negara

seperti Jepang, Spanyol, dan Amerika.

Namun

demikian, 16

(35)

PolitiksebagaiPerjvangan

bagisaya, Goenawanterlalu menekankan peran gerakan

atau mobilisasi dari luar sistem demokrasi sebagai

solu-sinya.Perjuanganmalahdipertentangkandengandemokrasi,

seakan-akan lembaga-lembaga demokrasi tidak dengan

sendirinya dinamis, tidak terbuka kepada tuntutan dari

masyarakat.Atauseakan-akankitamasihhidupdizaman Pergerakan, ketikalembaga-lembaga penjajahan

memang

harusdilawandenganperjuangan.PadazamanReformasi,

lembaga-lembaga pemerintahanjustruterdiridari

unsur-unsur demokratis yang memungkinkan dan mendorong perubahan.Perjuangantentumemainkanperan,tetapiitu

harus dipandang sebagaisatubagian dari seluruh sistem

demokrasi.

Dalamrangkaitu,Goenawanterlalumenekankanperan konsensus sebagai tujuan demokrasiyang menghambat

difference, perbedaan. Setidak-tidaknya, di negeri saya yangsudahlamademokratis,belumpernah ada konsensus

tentanghal-halpenting(misalnyatentangperanagama

da-lampolitik).Yangseringadaadalahmayoritasbesaryang

mendukungsuatuposisiatau kebijakan (misalnya,sebelum

pemerintahan George

W.

Bush, pemisahan negara dari lembaga-lembaga agama).

Tetapi mayoritas itu selalu dilawan oleh satu atau se-jumlah minoritas dengan cita-cita lain (misalnya, Kris-tenisasinegara,sepertiterteradalamanggarandasarPartai

Republiknegara bagianTexas).Takkalahpenting,hampir

setiap mayoritas dan minoritas terdiri dari kelompok-kelompoklebihkecilyangpunyatuntutandankepentingan masing-masing.Halinijugamerupakan sumber dinamisme

politik (misalnya sayap kanan

kaum

Evangelis Protestan

yang mendukung calon presiden John McCain dan sayap

kiriyang mendukung

Obama

dalampemilihan2008).

(36)

DemokrasidanKekecewaan

Tanggapan

saya terhadap

rumusan

Goenawan

tentu

dipengaruhiolehpengalamansayabelakanganinisebagai

warganegara Amerika. Setelahpemilihanpresiden 2008,

setiapkalisaya melihatwajah Barack

Obama

(yang

Amerika-Afrika),sayateringatkepadaapayang dimmigkinkanoleh

demokrasi. Saya jugateringatkepadametafor

Max

Weber

tentang politik sebagai pengeboran kayu kerasyang sulit

danlama,seperti sayakutipdi atas.

Kemenangan

Obama

tentu

merupakan

hasilperjuangan,tetapihalitu

hams

juga

dilihat sebagai hasil perbuatan para politisi demokratis

yangbertindakdidalamsistem. Kedua-duanya,peran

ge-rakandan peranpolitisidemokratis,berakardalamsekali

dalamsejarahpohtikAmerika.

Pada awal abadke-19, John

Brown

membangun

sebuah gerakan anti-perbudakan yang

memainkan

perananpenting

dalam

politikAmerika sebelum Perang Saudara berlang-sungdinegara kami. Oleh

Abraham

Lincoln,

Brown

dijuluki "fanatiksesat."Tetapi Lincolnsendiri

melawan

perbudakan dan, sebagai presiden,terus-menerus mencari akaluntuk mengakhiri "lembaga terkutuk" itu. Pendekatan Lincoln

dijelaskandenganbaikolehGarryWills,yangmenulis

buku

tentang

kepemimpinan

presidensial, sebagai berikut: "Dengan tindakan-tindakan politik yang sangat hati-hati

dan

terjaga, Lincoln sedikit

demi

sedikit

memaksa

rakyatnya untuk

mengambil

langkah-langkahkecil untuk

mengatasi masalah yangsebenarnya."

Pada

abadke-20,peran

Brown

danLincolndisusuloleh

banyak orang, hitam dan putih, yang menjadi

pemimpin

organisasi sosial

dan

partai politik serta pegawai

dan

pejabat pemerintah. Selaku pemilih

dalam

pemilihan

umum,

orang

Amerika

-Afrika

sudah menjadi

faktor

penting di negara bagi^n-negara bagian utara sebelum

(37)

Politiksebagai Perjuangan

Perang Dunia II. Kebijakan Presiden Franklin Roosevelt

(1933-1945) dan Presiden Harry

Truman

(1945-1953),

kedua-duannya Demokrat dari utara, dipengaruhi oleh faktor itu. Keputusan-keputusan yang paling penting

diambil oleh Presiden Lyndon Johnson (juga dari Partai

Demokrat) pada 1964 dan 1965, ketika beliau menanda-tanganidua undang-undangyangmelarangsegalabentuk

segregasi berdasarkan ras dan

menjamin

hak setiap

warganegarauntuk memilihdalampemilihan

umum.

Barack

Obama

mewarisisejarahinidalam dua

penger-tian.PencalonannyaolehPartaiDemokratdan kemenang-annya dalam pemilihan

umum

dimungkinkan oleh

per-buatan-perbuatan Presiden-Presiden Lincoln, Roosevelt,

Truman, dan Johnson yang

membuka

kesempatan bagi

orang-orang Amerika-Afrika untukberpartisipasi dalam

dunia politik.'Kedua,

Obama

mencari kekuasaan untuk

memerintah,bukan untukmenjadi orangyangterpandang.

Selama kampanyenyadiaberusahakerasuntuk

merumus-kansebuahvisiataugarisbesarkebijakannegara

seandai-nya dia bakal terpilih. Seperti banyak pendahulunya

(termasukbeberapapresidendari PartaiRepublik,seperti DwightEisenhower, Richard Nixon,dan RonaldReagan),

Obama

inginmelakukansesuatuyangpositifbuat bangsa

dandunia.

Pada saat yang sama dia menyadari bahwa dia harus bersikap dan bertindak realistis, "politis". Setiap

kebi-jakannya akan dibentukdalam sebuahkontekspolitikyang

mengandung banyak opportunities, kesempatan, tetapi

sekaligus saratdengan constraints, kendala. Kesempatan dankendala initerdiri antara laindari lembaga-lembaga

pemerintahan, seperti pembagian kekuasaanyang

diten-tukan oleh konstitusi,serta sistem kepartaian kami. Lagi

(38)

DemokrasidanKekecewaan

pula, setiap kebijakan akan

berdampak

juga pada posisi

dan pengaruhnya kemudian.

Pendek

kata, keberhasilan

ataukegagalan Presiden

Obama

akan ditentukan oleh

ke-canggihan politiknya ketika dia memilih kebijakan-kebi-jakannya.

Apakah

orang Indonesia bisa belajar dari sejarah ini?

Jawaban

saya adalah ya, tetapi saya khawatir

jawaban

Goenawan

adalahtidak,sebabkerangkaanalitisnya terlalu

mengandalkan para pejuang di luar sistem.

Tanpa

meng-abaikan peran positif

kaum

pejuang, fokus

utama

kita

(pengamat

dan

aktivis) seharusnya diarahkan

kepada

aktor-aktor pokok: pejabat pemerintah pusat (termasuk

hakini danjaksa),

pemimpin

partai, dan anggota

badan-badanlegislatif.

Tak

kalah penting, pemerintahan daerah

juga ikut

menikmati

proses demokratisasi di

zaman

Reformasiini. Pemerintah-pemerintah daerah, ditingkat

kabupaten

dan

kota, adalah

lembaga

demokratis yang

paling dekat kepadamasyarakat. Bagi saya, keberhasilan

atau kegagalan

demokrasi

di Indonesia

akan

lebih

ditentukan olehtingkah-lakupolitisi kabupaten dan kota

ketimbang

para pejuang di luar sistem.

Akan

tetapi,

mengingatsekalilagikata-kata

Max

Weber, janganterlalu

berharapdalam

waktu

singkat.

Kayu

Indonesiapastitidak kalah kerasdibandingkayuAmerika.***

(39)

Mengaktifkan

Politik

Rocky

Gerung

Pidato

Goenawan

Mohamad

(GM)

menyentuh kondisi

teoretis dari filsafat politik. Yaitu "ketakcukupan" demokrasi sebagai peralatan untuk menghasilkan

"per-ubahanradikal". Kritikini adalahkhas"etika politikkiri".

Karenajalan pikiranitu,

GM

sempatberpikirbahwa

demok-rasimengandungdisilusidi dalamdirinya.

Memang, dalam praktik, demokrasi lebih sering ber-hentidalam"pelembagaanformal",ketimbang mensponsori

"revolusi".Sayakira,dalamkondisireformasisekarangini,

kita

hams

menerangkanjuga demokrasi dari sudut

pan-dang keburuhan kontemporer kita untuk menghalangi

pemaknaan"TheReal"("SangAntah"—dalamistilahGM),

dari

kemungMnan

pengisiannyasecara absolut olehpolitik doktrinal, politikfundamental.Jadi, secarastrategis, ada keburuhan "politico-historis" yang lebih mendesak, di samping keburuhan "filosofis" mempersoalkan struktur metafisikdari teori demokrasi.

GM

telah mengucapkan sesuatu yang lebih

"kontem-platif. Karena itu, tanggapan saya sebaiknya yang lebih bersifat "mengaktifkan" demokrasi. Terimakasih.

(40)

DemokrasidanKekecewaan

Demokrasi adalah hasratyangtakpernahsampai. Tapi

kendati ia tidak mencukupi, kita tetap memerlukannya.

Utilitasnya

memaBg

tidak diukur melalui ambisi etisnya: "dari,olehdan untukrakyat",melainkandengankenyataan

teknisnya: juralah konsensus minimal "suara rakyat".

Konsensus itulah yang dipertandingkan melalui Pemilu.

Prinsipkerasnyaadalah:thewinnertakesall.Tapi format

51:49 ini—berkat prinsip

HAM,

yaitu pelajaran

kemanu-siaan yang kita peroleh dari dua kali kekerasan Perang

Dunia

tidakboleh

mengancam

hak-hak dasarkebebasan

individu. Artinya, "sang mayoritas" tidak boleh

semau-maunya menentukan

"isipolitik"sebuah masyarakat. Batas

daridemokrasi adalah

hak

asasimanusia. Rasionalitasini

kita perlukan

untuk

mencegah

politik mayoritas

me-manfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran total

-itarianisme. Begitulah konsensus mutakhir penyeleng-garaan demokrasi.

Memang,

dalam

praktik, demokrasi cenderung mela-hirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold)

memungkinkan

terjadinya transaksi

politik status quo. Tetapi secara substansial, demokrasi juga tetap

bertumpu

pada

prinsip

"keutamaan

warga-negara",yaitujaminanfilosofis

bahwa

poHtiktidakterbagi

habis dalam electoralpolitics Artinya, kewarganegaraan tidakbolehdireduksikedalam

mekanisme

politikPemilu, yaitudengan

membagi

habis seluruhwarganegaramenjadi anggota partaipolitik._

Dalam

demokrasi,statusontologiwarganegaralebihtinggi darikeanggotaanpartaipolitik.Tidak adademokrasitanpa warganegara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan tanpa partai politik. Karena itu, politik perwakilan tidak

boleh menghilangkan priDsip primer demokrasi, yaitu

(41)

MengaktijkanPolitik

"keutamaanwarganegara". Partaipolitik,juga parlemen, hanyalahsalah satualatwarganegarauntuk menjalankan

politik.Karenaitu,"alat"tddakbolehmembatasi"tujuan".

Demokrasitetaplahberdasarkan kedaulatanrakyat,bukan

kedaulatanpartai. Jadi, demokrasi,didalamdirinya,

me-miliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan warganegara.Sesungguhnya, ketegangan antara electoral politicsdan citizenship politics inilahyangmenjadi

prob-lemdarisistemdemokrasi.

Problem inimenghasilkan konsensus: demokrasibukan

ideal"terbaik"pengaturanpolitik,tetapi iayang"termungkm"

untukmenjaminkesetaraanhakdan kebebasanwarganegara.

Denganjaminanitu, terbukapeluang bagisirkulasielitdan

perubahan susunan politik. Artinya, kendati ada tendensi

oligarki dalam demokrasi,tetapihanyapada demokrasilah

dimungkinkan terjadinya koreksipolitik secara sistemik.

Filsafat dibelakang konsensus ini adalah kondisi falibilis

manusia,yaitu penerimaan sederhanatentang

ketakleng-kapan manusia, tentang ketidaktahuannya, dankarenaitu:

tentang potensinya untukberbuat salah. Dengan sudut

pandang ini, demokrasitidak berambisimemfinalkan

ke-benaran politik. Karena itu setiap obsesi absolutis untuk

memfinalkan politikharus disingMrkan. Falibilisme adalah

dasar untuk setiap antropologi politik sekular, yaitu

pandangan bahwa "kebaikan" dan "keadilan" harus selalu diukurkanpada kondisi kesejarahanmanusia. Dari kondisi

falibilis inilah demokrasi menyelenggarakantoleransi dan pluralisme.

Toleransi berarti penyelenggaraan politik tanpa penghakimanmoral. Toleransiadalahkesepakatanuntuk menerimakemajemukannilaidanpandanganhidupsecara horisontal.Denganprinsipinidemokrasi sekaligus

(42)

DemokrasidanKekecewaan

antisipasi berbagai

kemungkinan perubahan

nilai

dan

pandangan hidup di dalam masyarakat.

Dengan

cara ini,

"isi politik" suatu masyarakat terhindar dari fmalisasi dogmatis.

Toleransi adalah keindahan tertinggi dari demokrasi.

Pada

titik ini sebetulnya kita dapat menyelenggarakan

demokrasi secara langsung, yaitu dalam pergaulan sosial warganegara. Proyek demokrasi

memang

terletak

pada

upayauntuk mengaktifkanpolitikpadapergaulan langsung

antarwarganegara. Sesungguhnya, etikapolitik terbentuk

daripenyelenggaraantoleransiitu.

Dalam

kulturitulah kese-taraandan kebebasan dirawatuntuk

tumbuh

menjadi apa

yang pernah disebut oleh Alexis de Tocqueville sebagai

habitsofthe heart.Demokrasi yang

tumbuh

dalamtoleransi

akanmenetapdalamkebudayaan,danmenjadietikapolitik

yang otentik. Jadi, tetaplah demokrasi dapat

diselengga-rakan tanpa melulu harusmelaluipolitikperwakilan.

***

Keterbatasandemokrasi ada padafasilitaskonsensualyang

ia sediakan.

Demokrasi

memang

hanya

mengolah

ke-benaran politik di antara

mereka yang

berkonsensus.

Bahkan

lebihsempitlagi,konsensus itu harus diwakilkan

pada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan

pohtik, dan itu berarti terbuka peluang

untuk

praktik

ohgarki. Keberatan inilah yang dieksploitir oleh "pohtik kiri"dankalangan "posmodernis"untuk mendekonstruksi

demokrasidengan mengujinyamelalui

rumpun

teori

hege-mony

(oleh politik kiri)

dan

prinsip anything goes (oleh pohtik posmodernis). Politikkiri melakukan"penidakan"

(43)

Mengakti/kanPolitik

pada demokrasi dengan mengaktifkan "antagonisme"

dalamrelasi kebenaran. Percobaansemacamini

memang

bergunauntuk mengadvokasi

kaum

"disensus" agarterus

mempertanyakan ruang hegemoni oligarki itu. Dalam

proposalpolitikkiri,ruangitu

hams

dikosongkandari kon-sensus oligarkis, dan demiituperjuangan politik menjadi

permanen.

Persoalannyaadalahbahwapolitikkiriselalu

membu-tuhkan"kebenaran"yangmonumental,sekaligus

momen-tual,untuk mengaksesruangkosongdemokrasi.Ituberarti

suatuprakondisihistorisharus berlangsunglebihdahulu

di luarsistem demokrasi, sebelum perjuanganpolitik itu

diarahkan pada para pemegang konsensus oligarkis.

Si-alnya, dalam sejarah, kebenaran monumental itu baru

dapatkitamengertisetelah

momennya

selesai.Jadiselalu

ada "keterlambatan historis", keterlambatan

momentum

dalam politik kiriyang menyebabkan hilangnya energi politikketika diperlukan untuk menjalankan perubahan

politikradikal. Itulahsebabnyasifatperubahanyangterjadi

dalampolitikkiriseringhanyaberkadar"kuantitatif"dan bukan"kualitatiF.

Monumen

politikkiriselalukitadirikan setelah

momen

radikalnyaberlalu.

Politikposmodernismenantangdemokrasijugapadasifat

konsensualnya. Tapi bukan pertama-tama pada struktur oligarkinya, melainkan pada pendasaran kebenaranyang semata-matarasional.Demokrasi

memang

mengandalkan transaksi politik melalui fasilitas reason. Pada politik

posmodernis,fasilitasinitelahdiobrak-abrik oleh kondisi playfulness dari "kebenaran", yaitu kondisi politik yang

menerimaanekaideologi sebagaipermainan kebudayaan

semata-mata, dan karena itu kebebasan dapat dinikmati

sepenuh-penuhnya di luarsistem politik kebenaran.

(44)

Demokrasi dan Kekecewaan

mudera

politik

posmodernis

terbentuk oleh berbagai

imajinasi mikro, yang terus

mengapung

dalam

medan

playfulness itu, tanpa dapat tenggelam di dasar

absolut-isme.

Di sini, sentimen ideologitidak lagi diperlukan karena pendasaran-pendasaranpolitikidentitas telah

mengalami

fragmentasi mengikuti pluralisasi isu dan lokasi.

Dalam

kondisi kebudayaan yang fragmentaristis itu,

semua

hu-bungan

sosial—dari dnnia hiburan sampai sidang

parle-men—

memang

mengandung

eksploitasi politik. Tapi sekaligus di

dalam

sistem fragmentasi itu, perlawanan

politikdapatberasaldarisegala arah,dandiselenggarakan

dalam

segala waktu.

Dalam

pandangan

posmodernis,

perjuangan demokrasi haruslah

merupakan

perjuangan

untuk menikmati pluralisasi identitas, fragmentarisasi

kebudayaan danhibridisasi kebenaran.

*##

Demokrasi

memang

memerlukan

radikalisasisecara

terus-menerus.

Bukan

saja iaharus melayani berbagai aspirasi politikbaru(misalya: multikulturalisme,feminisme,

envi-ronmentalisme),tetapiterlebihiaharus mengaktifkanrasio

publik agar kondisifalibilisnyatidakberhenti.

Dengan

kata

lain,

demi memelihara

prinsip "kesementaraan

kebe-naran",iaharusbermanuver dalam "berbagaikonsensus"

dan menjaganyaagarterusberadadalamkondisi

argumen-tatif. Tidak cukup

mengatakan

bahwa

demokrasi hanya

dapat diselenggarakan

dalam

sebuah masyarakat yang argumentatif,karenajusteru demokrasidiperlukan untuk

mengedarkan argumen dalam

masyarakatyang

(45)

MengaktifkanPolitik

vatif, masyarakat yang doktrinal. Keperluan itu adalah keperluan radikal bagi humanisme, yaitu penerimaan

falibilitas manusia.

Disinikitabertemulagidenganrasionalitasdemokrasi: kebenaranpolitikadalahapa yang dapatdisepakatidalam

batas-batas bahasa manusia. Artinya, semua "proposal

kebenaran" hanya boleh diedarkan dalam terminologi

sosial, dan bukan dalam terminologi akhirat. Memang,

demokrasi akan terus dieksploitasi oleh kegandrungan pada "yang metafisik", oleh kerinduan pada "yangbelum ada", oleh pemujaan pada "yang absolut", tetapi kondisi sosiologismanusialahyangmenjadibatas operasi

demok-rasi Kondisi teologis manusia adalah orientasi eksklusif setiap orang yangtddak mungkin dikontestasikan dalam

sistemdemokrasi.Karenaitu,iaberadadiluarbatasbahasa manusia,berada diluarwilayahkonsensus demokrasi.

Bagi kita di sini, sekarang, keperluan untuk

meradi-kalisasi demokrasi sungguh diperlukan karena

pelem-bagaanpolitik kitabelum menghasilkan etika toleransi. Demokrasijugabelumberhasilmendistribusikankeadilan

ekonomi karenaelectoral politicstelahmengungguli

citi-zenshippolitics.Adasurpluskekuasaandiparlemen,tetapi etikaparlementarianterusmengalamidefisit.Kita

memang

menikmati political rights (hasil reformasi), tetapi civil libertieskitajustruterancamolehpandangan-pandangan kebudayaan yang absolutis.

Dalambahasafilsafatpohtikhari-hariini,kitaperlu

me-nyelenggarakan demokrasidengancaramempertahankan "kesementaraanabadi"darikebenaran,sambilterus men-dorongpercakapanpublikuntukmempersoalkan ketidak-adilan dan kekerasan sosial berdasarkan ukuran-ukuran

sejarah dan hakasasi manusia. Inilah program minimal

(46)

Demokrasi dan Kekecewaan

untuk menjagaruangpercakapandemokratisberlangsung

dalam semangat falibilis, dan menghalau

semua

retorika

dogmatis yang dikemas dalam jargon-jargon demokrasi.

Dengan

cara itu toleransi

dan

kemajemukan

dapat

dipertahankan,danperjuanganuntukkeadilansosialdapat

terus dikerjakan.

Pada akhirnya, demokrasi

memang

perlu

bertumbuh

mengikutikeperluansejarah.

Dengan

memahami

kritikpos-modernis (dan postrukturalis Lacanian), demokrasi akan

selaluberadadalamkondisi—istilahGuillermoO'Donnell—

theperpetualabsence ofsomethingmore.Antisipasi inilah

yangperlukitamanfaatkansecarastrategis,sambil

mem-pertimbangkan untuk mengisinya dengan spirit disensus

politikkiri

untukmengutipAlainBadiou:politics isthe artofattacking the impossible. Mengaktifkan politik de-ngan caraini, dapat menghindarkan kita dari pesimisme

dan

disilusi.***

(47)

Negara

Demokrasi

yang

Belajar

Rizal

Panggabean

Sebagai respon terhadap tulisan Goenawan

Mohamad,

tulisan ini ingin menunjukan bahwa demokrasi sebagai

format kelembagaan politik dapat menjadiwadah atau arenabagi demokrasisebagaipolitikperjuangan. Selaras

denganixd,negaraperludibawakedalamdemokrasi.

Kete-gangan struktural antara demokrasi dan negara (dengan gagasankedaulatannya)tidakharusdihadapidengan mena-fikan, meninggalkan, atau menjauhi negara. Bagaimana

punjuga,sejarahmenunjukkanbahwaketegangantersebut

adalah latarbelakang bagi keagenan warganegara—baik

sebagaiperseorangan

maupun

kelompokkecilyangkreatif dan berani, dalam memperbaiki keadaan, baik melalui

lembaga-lembagapolitikyang ada

maupun

diluarnya. Ti-dak adatempatyanglebih menarik dariIndonesiauntuk

membahas

halini.

Walaupunhanyasesekalidantidakperluberlama-lama,

inilahsaatnyakitamerayakandemokrasidiIndonesia.

(48)

Demokrasi dan Kekecewaan

ajaiban modern," kata Kishore Mahbubani, dekan di Lee

Kuan

Yew

School of Public Policy, Universitas Nasional

Singapura, "benar-benarterjadi."Keajaibanyangia

maksud-kan, tidaklaindantidakbukan, adalah Indonesia

kontem-porer.1

Satudasawarsasetelahreformasi 1998, Indonesia tampil sebagai

kampiun

kebebasan

dan

demokrasi bagi dunia

Islamdannegara-negaradiAsia Tenggara.Inikeberhasilan

yang mencengangkan. Dilihatdari pengalamantransisi di

Indonesia,barukali inidemokrasiberjalan satudasawarsa lebih.Tetapi,pengalamanIndonesiajugarelevanjika

diban-dingkan dengan pengalaman negaralainyangkeluar dari

otoriterisme.Bandingkan,misalnya,denganRusia. Setelah lepas dari rezim

komunisme

dan melakukan

reformasi

pada1991,Rusiasemakin lama

bukannya

semakin

demok-ratis,tetapisemakinmelorotke otoriterisme.2

Sepuluh tahunlalu,hampir

semua

tolokukur menunjuk-kan Indonesia tidak berhak menjadi demokrasi. Negara

yang

berpendapatan rendah

dan masih

sempoyongan

dihantam

krisis moneter,

dihadapkan

kepada

pembe-rontakandibaratdanditimur,sementaraTimorTimur masih

membara

sebelum akhirnya lepas

dengan berlumuran

darah. Tuntutan

memisahkan

diri, termasuk lewat

refe-rendum

sebagai cara

aman

melepaskandiri,bermunculan.

Sementaraitu,kekerasan

agama

danetnismulaiterjadidi

'KishoreMahbubani, "Indonesia's rise as abeacon offreedom, democracy,"TaipeiTimes',18September 2008,hal.9.

2M.

Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public Attitudes, Civic Engagement, Unexpected Outcomes in Regime

Change inIndonesia and Russia,"paperyang disampaikan dalam pertemuan tahunan AmericanPoliticalScience Association, Boston, Massachusett, 28-31 Agustus 2008.

(49)

Negara Demokrasi

beberapatempat, seakansusulmenyusuldengankekerasan

yang menyertaijatuhnya Orde Baru pada 1998. Aparat

keamanan, yang dahulu menjadi rangka-baja rezim,

ter-belah, mengalami demoralisasi, dan tak kuasa meng-hentikankonflik-konflik tersebut. Sudahbegitu, sebagian

besar penduduk Indonesia beragama Islam pula—agama

yang seringdinilaitidakselaras dengandemokrasi.

Akan

tetapi, Indonesia berhasil mengatasi berbagai

rintangandankejanggalantersebut.Sepuluh tahun

kemu-dian,negeriberpendudukMuslimterbesardiduniaini

me-nunjukkan tidakada yang takselaras antara mengamal-kanIslamdan menjadi demokratis. "Peta"AsiaTenggara

yang paling indah sekarang ialah yang dikeluarkan

Fre-edom

House, sebuah lembaga di Amerika Serikat yang memonitorpelaksanaandemokrasidiseluruh

muka

bumi. Di petaitu,hanyaIndonesianegeriyangbebas,dikelilingi

negara-negarayangtidakbebas atau separuhbebas.

Me-mang, sudah sejak tahun 2005 Freedom House menghi-tung Indonesia sebagai negarabebas dilihat dari sudut pelaksanaan hak-hakpolitikdan kebebasansipil, capaian

yang menurut The Economist

membuat

negara-negara

tetanggayang lebih kaya, yaitu Singapura, Malaysia, and

Thailand, menjadi malu.3

Selama periode itu, peningkatan dalam bahasa dan

kebudayaanTionghoatelahterjadi,walaupun padatahun

1998 terjadi kekerasan terhadap etnis Cina di beberapa

tempat di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatra.

Kenangan pahit dan trauma karena serangan dan penis-taan,yang berlangsungdibeberapatempatketikaitu,tentu

3PeterCollins,"Indonesiasetsan example,"TheWorldin2009

(The Economist),hal.63.

(50)

Demokrasidan Kekecewaan

belum

hilang. Tetapi, penindasan terhadap budaya dan

bahasa

Cina,

yang

terjadi

selama

Orde

Baru,

sudah

dihentikan di

zaman

demokrasi. Etnis Tionghoasekarang bisa berekspresi

dan

berpartisipasi secara leluasa.

Bandingkan,misalnya,dengannestapaetnisKurdi diTurki

yang

bahasa

dan

budayanya

masih

tertindas hingga

sekarang.

Serupa

Amerika

Serikat, Indonesia juga berkali-kali

mendapat

serangan teroris yang dahsyat

maupun

tidak.

Tetapi, Indonesia sebegitujaub dapat

menghadapi

dan

mengatasi serangan terorisme tanpa mengurangi kebe-basan sipilwarganya karena alasan perang melawan

teror-isme. Di Poso sekalipun, aparat

keamanan

meluangkan

waktu lamasupayagerombolanterorisyang bersembunyi

dikotadapatdilokalisirdanditanganitanpa

mengganggu

perasaanmasyarakat

Muslim

setempat.

Dalam

halmi,dan

terhadap

Amerika

Serikat

yang

selalu

menjelaskan

kemerosotankebebasansipildinegeriadidayaitudengan

berdalih kepada serangan 11 September 2001, Indonesia boleh

menepuk

dada.

Di

alam

demokrasi,

pemerintahan

Presiden Susilo

Bambang

Yudhoyono

berhasil

menangani

konflik yang

sudahberlangsung

lama

dan menyakitkan

di Aceh.

Ini-siatif

damai

ini

memang

banyak

ditopang

momentum

kondusifyangdiciptakanbencana

gempa

dantsunamiyang

terjadidiakhirtahun 2004.Tetapi,lihatlah SriLanka yang

jugadihantamtsunami.PerangSinhala-Tamilterus

mem-buruk danpemerintah

maupun

pemberontakgagal

meman-faatkanbencanasebagaikesempatan

emas

untukberdamai. Di Aceh, sudahtigatahun lebih perdamaian yangdicapai melalui

MOU

Helsinki bertahan. Literatur penghentian

perang saudara dan

pemberontakan

mengatakan, lima

(51)

NegaraDemokrasi

tahun adalah periodeyang kritis.Jikaperiodeinidilewati dengan baik,

maka

peluang bagi perdamaian untuk

ber-tahan semakin besar. Di Aceh,

masa

kritis ini belum

terlewati. Tetapi, masyarakat di Aceh sedang menikmati

kesepakatandamaiyangsejauhinipalingawet,dan belum

tampakgelagatperangakantimbul kembali.

Militer,yang selamaOrde

Bam

dengandwifungsi ABRI-nya terperosok ke dalam militerisme yang merasuk ke

berbagai aspekkehidupanmasyarakat,jugaberubah.Belum

pernah dalam sepuluhtahun ini militermengancam akan

melakukankudeta.Malahan,jenderal-jenderalseniorbanyak yangberkiprah dipartai politikdanbersaingdi pemilihan

umum—

baikditingkatpusat

maupun

provinsidan

kabupa-ten, dan yang kalah menerimanya dengan lapang dada.

Sehubungandengan perdamaiandiAceh,militerjugatunduk kepada keputusanpolitikpemerintahdanbersedia bekerja

samadengan-polisiapabila diminta. Jadi, kitaharus angkat

topiuntukmiliterIndonesiayangdengan mengejutkantelah

menjadimodelbagiangkatanbersenjatadi

mana

pun ten-tangbagaimanamenerimatransisi ke demokrasi.

#**

Sambil kita merayakan demokrasi, kita juga perlu

me-nerima kekurangan dankelemahannya.Alangkah

bagus-nya apabila penerimaan terhadap kekurangan dan

kele-mahan

yang timbul dalam demokrasi dilakukan dengan

antusiasdan lapangdada.Kalaubelumdapatmenerimanya dengan antusias, paling tidak kelemahan tersebut dapat

diterima dengan rasa dongkol dan sebal. Sebab, dalam

periodeyang sama, demokrasi di Indonesiajuga

(52)

Demokrasi dan Kekecewaan

pilkan peristiwa dan gejala yang

menimbulkan

keraguan terhadap

masa

depan dan daya tahan demokrasi.

Dalam

hubungan

antaragama, ada proses

fundamen-talisasi identitaskeagamaan. Bentuknya bisa

bermacam-macam.

Di kalangan

umat

Islam ada

kecenderungan

memaksakan

labelkafir, sesat, dan identitas

momok

lain-nya terhadap sekte minoritas atau gerakan

keagamaan

baru.Usaha-usaha menerapkanapayangdianggapsebagai

hukum

Islam, misalnya melalui peraturan daerah atau

instruksibupati, tidak selaras dengan tradisitoleran dan

moderat yangditunjukkan

umat

IslamdiIndonesiaselama

ini. Demikian pula,konfliktempat ibadat (baik sektarian

maupun

antaragama) yang terjadi di beberapa daerah

mencerminkan

serangan terhadap perbedaan dan

kebe-basanberagama.Bilaperbedaan dianggapkesesatan,

maka

etos pluralisasi dalamdemokrasiakanterganggu.

Walaupun

serangan terhadap etnisCinasudah berkurang drastis sejak1998 (kecualikerusuhan di SelatPanjang, Riau

Kepulauan,pada2001),kekerasananti-Cinadapatterjadi jika

kita mengingat pola serangan terhadap etnis Tionghoa di

Indonesia.Sebagaiilustrasi,padatahun1998, aparatkeamanan

dapat

mengubah

dan membingkai-ulang

protes

dan

demonstrasiyangtadinyaditujukanterhadaprezimOrdeBaru menjadikekerasan terhadapetnisCina.Initampakkhususnya

dalamseranganterhadapwarga TionghoadiMedan,Jakarta, Solo,danbeberapa tempatlain.Selainitu,beberapapenelitian

menunjukkankerentananumatIslam,khususnyaketikaterjadi krisissosialdanekonomj, untukdimobilisasidandigerakkan

dalam

rangka

menyerang

etnis Tionghoa.4 Penggunaan

"John Sidel, Riots, Pogroms, Jihad (Singapore: National University of Singapore, 2006).

(53)

NegaraDemokrasi

repertoirekekerasananti-Cinasemacaminitidakakan serta

mertaberhentidalamdemokrasi.

Keberhasilan Indonesia menangani serangan teror-ismebolehjadimenimbulkanrasairi negaralain.Akan te-tapi,perludiingatbahwaterorisme,serupatanaman, dapat hidup di lahan yang memungkinkannya tumbuh.

Peng-alaman AmerikaSerikat, Indonesia,dan banyaknegaralain

selamasepuluh tahun terakhirmenunjukkan denganjelas

bahwademokrasibukanlahlahan gersangbagi aksi-aksiteror.

Didalamdemokrasibisaada ekstremismedannihilismeyang menjadikan aksi teror sebagai senjata menyerang musuh sembarimenegaskanidentitasyangdogmatis.Selainitu,

eks-tremismedannihilismetersebut tidak selaluterkaitdengan agama; itubisajugaterkaitdengan etnisitas, ideologi, anti-globalisasi,sertagerakanpembabasan danseparatisme.

Walaupunperangbarutidakterjadi diAceh dalam waktu dekat, provinsidiujungBarat Indonesiainimasih dihadapkan

kepada ketidakpastian pasca-kesepakatan damai. Mantan

pemberontak sudah dapat menjadi gubernur, bupati, dan walikota. Tetapi,kapasitaspemerintahdaerahpada

umumnya

masihlemah,dan ketimpanganlamaantarkabupatensering mencuatdalam bentuktuntutanakanpembentukan provinsi-provinsibaru. Kesepakatan Helsinki sangat terfokus pada

pihak-pihakyangberperang,yaitugerilyawan

GAM

(Gerakan

AcehMerdeka) danaparatkeamananIndonesia,dankurang

memberikan jaminanbagikeselamatanwargadariaksi

kri-minalitasdan mtimidasi—termasukyangmenggunakansenjata.

Rasagamangdan tidak pastidiAcehjugadapatbersumber

darikemiskinan danpengangguran.

Akhirnya, reformasi di sektor keamanan, khususnya mihter,masihperlu dilanjutkan,supayadistorsiyangterjadi

dimasalalutidakterulanglagi.Jikaselamaempatdasawarsa

Referensi

Dokumen terkait

Jika warna favorit kamu hijau, maka kamu adalah tipe yang sangat romantik, menyukai keindahan, menyenangi alam dengan udara yang sejuk.. Kamu adalah seseorang yang selalu

Nilai keseragaman yang tinggi menunjukkan bahwa kelimpahan individu species Nepenthes pada Jalur IV lebih merata dibandingkan dengan Jalur lainnya, tidak ada

Pembuatan Etanol dari Limbah Kulit Jeruk Bali : Hidrolisis menggunakan Selulose dan Fermentasi dengan Yeast.. Universitas

Penyakit Jantung Koroner merupakan suatu penyakit jantung yang menyangkut gangguan dari pembulu darah koroner yang dalam mengenal dan menanganinya membutuhkan perhatian

pengembang dan operator infrastruktur internet yang berbasis di Singapura didukung oleh Warburg Pincus, telah mencapai kesepakatan untuk mengakuisisi 70% kepemilikan dalam

Meningkatnya volume sampah rumah tangga berakibat frekuensi dan biaya pengangkutan dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) keTempat Pengolahan Akhir (TPA)

Hal ini dapat terjadi karena proses program pelatihan kerja tersebut didukung oleh peserta pelatihan yang tepat sasaran, instruktur pelatihan yang berkompetensi

Pembelajaran ini didesain untuk menghasilkan lintasan belajar dalam pembelajaran materi perbandingan menyelesaikan permasalahan comparison menggunakan konteks