DEMOKRASI
DAN
KEKECEWAAN
Goenawan
Mohamad
i
R.William Liddle •
Rocky
Gerung
•Samsu
Rizal PanggabeanDodi Ambardi
• RobertusRobet
• Ihsan Ali-FauziDisunting oleh
Ihsan Ali-Fauzi dan
Samsu
Rizal PanggabeanDEMOKRASI
DAN
KEKECEWAAN
Demokrasi
dan
Kekecewaan
Goenawan
Mohamad
R.WilliamLiddle, RockyGerung, SamsuRizalPanggabean, Dodi Ambardi,
Robertus Robet, IhsanAli-Fauzi
Disunting oleh
IhsanAli-FauzidanSamsu RizalPanggabean
PusatStudiAgamadanDemokrasi (PUSAD) Jakarta,2009
DEMOKRASI
DAN KEKECEWAAN
Penyunting: IhsanAli-Fauzidan
Samsu
RizalPanggabeanCetakanI,April
2009
Diterbitkan oleh Pusat Studi
Agama
dan Demokrasi(PUSAD),Yayasan
Wakaf
Paramadinabekerjasamadengan
PT
Newmont
PacificNusantara(NPN)
danMagisterPerdamaian danResolusi Konflik
UniversitasGadjah
Mada
(MPRK-UGM)
AlamatPenerbit:
GrahaParamadina,PondokIndah Blok
F
4-6Jl.
TB
Simatupang,PondokIndah, CilandakJakarta Selatan12310 Tel. (021) 765-1611, Faks. (021)7652015
Hak
ciptadilindungiundang-undangAllrigtreserved
KulitMuka:IhsanAli-FauzidanHeni Nuroni
ISBN: 978-979-19725-0-5
Daftar
Isi
vii Pengantar Penyunting
l
BAGIAN
I:ORASI
ILMIAH
3 Demokrasi dan Kekecewaan
Goenawan
Mohamad
BAGIAN
II:TANGGAPAN-TANGGAPAN
15 Politiksebagai Perjuangan atauPengeboran?
R. WilliamLiddle 21 Mengaktifkan Politik
Rocky
Gemng
29 Negara dan Demokrasi yangBelajar
Samsu
RizalPanggabean43
Dua
Monologtentang DemokrasiDodi
Ambardi
51 "Yang Politissebagai Nostalgia"
RobertusRobet
59 Berharappada"Partai-partaiGerakan"?
IhsanAli-Fauzi
69
BAGIAN
III:TANGGAPAN
ATAS
TANGGAPAN
71 Demokrasi, PolitikdanKairos
Goenawan
Mohamad
Pengantar
Penyunting
Bukuinibermuladari orasiilmiahyang disampaikan
Goe-nawan
Mohamad
dalam acaraNurcholish MadjidMemo-rial Lecture
(NMML),
di Aula Nurcholish Madjid,Uni-versitasParamadina,Jakarta,23Oktober2008lalu.Acara
ini adalah acara tahunan Yayasan
Wakaf
Paramadina CYWP). Kaliiniyangkedua, setelah ditahun sebelumnya Dr.KomaruddinHidayatmenyampaikanorasi sejenisyangpertama.
SelainuntukmengenangsosokdanpemikiranCakNur,
begitu biasanya almarhum Nurcholish Madjid dipanggil, acara di atasterutamadimaksudkan untukmerenungkan
sumbangan pemikirannyabagi bangsaIndonesia dewasa
ini dan di masa depan. Selain oleh orasi ilmiah, acara di
atasjugadiisiolehpeluncuranbukuAllYou
Need
IsLove:Cak
Nur
diMata
Anak-anak Muda, berisi 30 esai anakmuda
mengenai apamakna
Cak Nurbagimerekasemua.Menurut kami inilah mungkin cara terbaik mengenang
jasa-jasaCakNur, salah seorang pendiri
YWP:
seraya takhendakmengultuskannya,kamitetap inginmengapresiasi
sumbangan danmaknanya bagiMta semua.
Mengapa
orasi ilmiah kali ini disampaikanGoenawan
Mohamad
(GM)?
Sejak semula acaraNMML
memang
dirancang untukmengundang
danmemberi
kesempatan bagiseorangintelektualkelassatuuntuk merenungkanapasaja dari peninggalan
almarhum
Cak
Nur
yang
diang-gapnyarelevan danpentingdiperbincangkanlagihari ini.GM
tentu sajamemenuhi
syaratini.Selain dikenal luas berkat
sumbangan
pikirannyamengenai banyakhal,yangterdokumentasikandibanyak
buku
danrubrik"Catatan Pinggir"diMajalahBerita Ming-guanTempo
yangterusditulisnyahinggakini,sumbangan
GM
juga luas diakui berkat ketekunan dan kegigihannyamembangun
dan mengelola banyak instdtusi budaya dan intelektual yang penting khususnya di Jakarta—dariKo-munitas
Utan
Kayu
(KUK)
hingga Komunitas Salihara,yangbarutahunlaludiresmikandankini
makin
ramaime-nyelenggarakan
beragam
acara.Dan
yang tak kalah pen-ting, terutamadalam
konteksNMML,
GM
memiliM
hu-bunganyang
sangateratdenganCak
Nur.Iapernah menulis "Pengantar"untukPintu-pintuMenuju
Tuhan,salah satubuku
almarhum
yang
paling populer hingga kini.Dan
keduanya,bersamasejumlahaktivispro-demokrasidiIndo-nesia, turut mendirikan Komite Independen
Pemantau
Pemilu(KIPP)ditahun1996,yangdapatdipandangsebagai salah satutonggak penting dalam gerakan demokratisasidi
Tanah
Air.Selain orasi ilmiah
GM,
buku
ini jugamemuat enam
tulisantambahan
yang dimaksudkan untuk mengomentariorasi ilmiah itu, dan komentar balik
GM
sendiri atasko-mentar-komentardi atas.Penerbitaniniadalahpermulaan
baik yang
mudah-mudahan
dapatkami
pertahankan ditahun-tahun
berikutnyasehubungan dengan
NMML.
Maksudnya, agar renungan yang disampaikan dalam
pidato
NMML
bisaterusdiwacanakandandiperluasjang-kauannya. Fakta bahwa
GM
sendiri menulis komentarbaliknyayangjauhlebihpanjangdaripidatonyayangawal
menunjukkan betapa menariknya wacana yang sudah
berkembang: betapa para komentatornya telah berhasil
memperlebarpercakapan intelektualyangditanggapi
GM
denganpenuh antusiasme.
Initentutakmengherankan,karenatemayang dipilih
GM
untuk orasi ilmiahnya, "Demokrasi dan Disilusi",adalahtemayangsangat relevan dengansituasimutakhir
kita. (Dalam penyiapanbuku ini,
GM
menyarankan agar kata "disilusi" dalamorasi diganti dengan "kekecewaan",yang kamiikuti).Sepertimewakiliperasaanbanyakorang tentang kualitas demokrasi kita,
GM
mengeksplisitkan sejumlah implikasi negatifyang muncul dari keharusanpara pemimpinpolitik untuktunduk kepada
hukum
besi"kurvalonceng"yangmencirikan semua demokrasi. Tapi
iatak serta-merta
menampik
demokrasi: iahanya mene-gaskan perlunya kita memperkuat sisi "perjuangan" di dalam demokrasi, agar cita-citakeadilan, kesetaraan dankesejahteraan yang dijanjikan demokrasitidak tergerus oleh keharusan para pemimpin politikuntuktunduk
ke-pada
hukum
"kurva lonceng". Berbagai soal detail dalamhubungandinamisantarasisi"perjuangan"dansisi"kurva lonceng" demokrasi inilah yang dibahas para
komen-tatornya kemudian.
Dengan
membaca
bukuini,kamiberharap bahwawa-wasankitamengenaitemainibisadiperkayadandiperluas oleh perdebatan yang direkam buku ini. Kalau diizinkan
untuk mengklaim,inginkamikatakan: inilahperdebatan
yangsejauhinipaling substantifdankredibeldiIndonesia
mengenai di
mana
latahams
kecewa kepada demokrasi dan dimana
pula kita bisa berharap kepadanya. Sejauhmana
klaimitubenar,tentu para pembacalahhakimnya.***
Penerbitan
buku
inijugamenandaikiprahlebih lanjut dariPusat Studi
Agama
dan Demokrasi (PUSAD), salah satulembaga
otonom
yang dibentukYWP
pada
2006,bersa-maan
denganperayaan ulangtahunnya yangke-20. Selainpenerbitan,
PUSAD
Paramadinajugamelakukan
kegiatanriset danadvokasimengenai
hubungan
antaraagama
dandemokrasi. Terakhir, sejak tahun lalu
dan
bekerjasamadengan
Magister Program untuk Resolusi Konflik,Uni-versitas Gadjah
Mada (MPRK-UGM),
dan
The
Asia Foun-dation (TAF),kami melakukanstudimengenai"Pola-pola KonflikKeagamaan
diIndonesia, 1990-2008,"yanghasil-nyajuga akan segera dibukukan. Selain
dalam
kegiatanriset ini,
kami
juga bekerjasamadalam melaksanakan
program "Polisi, Masyarakat Sipil,dan
KonflikAgama
diIndonesia,"yangsecara
umum
diharapkan bisamemberi
sumbangan
bagipenegakanetospluralismeditanahair,de-ngan
disalurkannya konflik-konflikkeagamaan
dalam
cara-carayangpenuhkedamaian.Dengan
fokusyanglebihkhususdiberikanpadarisetdan advokasi mengenaihubungan
antaraagama
dandemok-rasi,
PUSAD
Paramadina
inginmengembangkan
lebihlanjutperanlama
YWP
sebagaiforum
dialogyangterbukadan bebas mengenai tema-tema
keagamaan
(khususnyakeislaman), keindonesiaan,
dan kemodernan.
Sepertidiketahui, segitigatema itu sudah takenfor granted dan
kesa-daran bahwa Islam di ranah ini tak mungkin dipisahkan dari Indonesia, dan integrasi yang saling memperkokoh
keduanya itu ingin dimanfaatkan sebagai wadah budaya untukmenyongsongdanmemberisumbanganbagi
kemo-deraan. Ituartinya,menjadi Muslimyangbaiksamadan sebangun dengan menjadi warganegara yang Pancasilais dan penuh percaya diri untuk menjawab tantangan
mo-dernitas.
PadasosokCakNur,dankami hendak meniru dan
me-ngembangkannyalebihjauh,segitigatemadi atas
tercer-mindarikepercayaandirinyayangtinggiuntukmenggali, dari khazanah Islam dan Indonesiayangkaya, nilai-nilai
yang dapat memberi topangan bangsa ini dalam
meng-arungi era modern. Sejalan dengan komitmen keislaman
dankebangsaannya,CakNurtelahmemberilandasan teo-logis bagi keharusan pluralisme, kebebasan, penegakan
nilai-nilaihak-hakasasimanusia (HAM),demokrasi, dan
seterusnyadinegeriini.Karenanya,bagiCakNur, gagasan
tentangnegaraIslam,misalnya,adalahanathema,karena
ia
menghantam
bagian paling inti dari keberislamansebagai penyerahan-diri secara afcfifkepada Sang Ilahi.
Bagaimana Mta minta seseorang bertanggungjawab atas
keberagamaannya,jikaiaberagama karenadipaksa?
Bukan-kahkita diberikebebasanolehTuhanbahkan untuktidak
beriman? Atas mandat siapa negara
mau
mengatur hatiorang?
PUSAD
Paramadinajuga bermaksud untuk memper-teguhdan memperluasketerlibatanYWP
dalampenguatancivilsocietydanpelebaranpublicspheredinegeriini,yang
sudah cukup luas diketahui. Lewat berbagai forum
YWP
dibawahCakNurdulu,beragamtokoh,dariberbagaialiran
agama
danpemikiran,jugadariberbagailatarbelakangkehidupan,
bahu-membahu memperkokoh
sendi-sendipluralisme dan demokrasi negeri ini. Di
bawah
Cak
Nur,partisanshipyang terlalukental
memang
bukan
wisdom
YWP.
Seraya percayabahwa
manusia memiliki potensiuntukberbuat baik,
pada
Cak
Nur
juga ada keinsyafanbahwa
sikapdanperilakumanusiaseringkalilebihdiben-tukoleh kepentingan-kepentingannya yang sesaat
Maka
mendengar semua
pihak adalah keharusan. Jugakebe-basanberekspresi, karenatanpanyaide-idetakbisa
diper-tukarkansecara optimal.
Yang
menjadi korbannyaadalahpublik:merekakehilangankesempatan untuk
memperoleh
ideyang
paling tahan banting, realistik,mendekati
"kebenaran"!
Perandiatasrasanya
makin
dibutuhkansaatini,ketikareformasi
memasuki
usianyayangkesepuluh.Bersamaan
denganberakhirnya rezim otoritarian
Orde
Baru,demok-ratisasi yang turut diperjuangkan
Cak
Nur
membawa
beragamimplikasijangka pendek, baikyang berupa
man-faat
maupun
mudarat,yang menjadikonteks keterlibatanParamadinadi
masa
kinidan
nanti.Yang
sangatterasaadalah tingginyaharapanwarganegara terhadapreformasi;bahwa
reformasiadalahpanacea
buatsemua
penyakit;bahwa
reformasibukanlah,sepertisering diparodikan, "repotnasi".Iniharapanyangmasuk
akaldan penting, tetapijuga bisa memukul-balik karenaketidak-sabaran orang
menunggu
hasil. Penting diingat, dimana
pirndiduniaini,transisidarirezimotoritarianke rezimyangdemokratis bukanlahjalantolyang
mulus
dan
bisadengan cepatdan
enakdilewati.Tantangandiatas
makin
kompleksdiatasisekarangka-rena,sementararecoveryekonomiberjalanlambat,
demok-ratisasijuga
memberi
insentifbagisemua
kalanganuntukterlibat dalampertarunganpolitik. Biasanya, politisiyang ambisiusdan demagoglah yangpaling siapmemanfaatkan insentifini,sambilberjual-beli denganrakyatyangtengah
terhimpit kesulitan ekonomi.Untukmerebutkepentingan jangka pendek, aktor-aktorpolitiksepertiinitidak
segan-seganmegorbankansendi-sendidasarrepublikini,seperti pluralismedan toleransi,untukmenggalangmassa.
Tugas
PUSAD
Paramadinaadalahmemberipeneranganseputarkompleksitasini:bahwareformasiyangbukan"repot nasi" hanya bisa dicapaijika semua konflik kepentingan
disalurkanmelalui lembaga-lembaga yang ada atau, jika hal itu tidak cukup, lewat protes damai dan tanpa keke-rasan;
bahwa
reformasi birokrasi bukanlah pekerjaangampang, karenasudahbertahun-tahunberagam
kepen-tingantertanamdisana;bahwapemberantasan
KKN
tidak-lahsama dengan membersihkansampah lebaran,karenamanusia bukanlahjanur kelapabuatbikin ketupat.
Dengansendirinyainitidakberartibahwa
PUSAD
Para-madinamenjadijurubicaraataupembelapemerintah.
Ada-lahtugassemuaopinionmakers yangmencintainegeriini,
termasukParamadina,untukmenjelaskanbahwa konsoli-dasi demokrasi mensyaratkan warganegara yang taat
hukum,negaradancivilsocietyyangsama-samakuat,dan dukunganterhadapprinsip-prinsipdemokrasi. Soal
menge-ritikpemerintah,itusudah dengansendirinya—dan untuk
itu, kini tidak lagi diperlukan keberanian ekstra. Seraya bersyukurbahwatugas inikini menjadilebih
mudah
de-ngan tersedianya kebebasan pers, kita sebenarnya ditan-tanguntuk menjadikritikusyangkredibel:yangtidakasal beda,realistis,sensitifpadadetail,danmenawarkan opsi-opsiyang
masuk
akal.Buku
iniadalah bagiandariupayamemenuhi
sebagian tugasdantantangandi atas. Perdebatanyangberlangsungdi sana
memberi gambaran
yang realistis dan kredibelmengenai demokrasi,yang
memang
bukan
panacea, obatsemua
penyakit,tapijugabukan
situkangobatitusendiri,yang
menguras
kantong kita dengan menjualjanji-janji palsu.Ada
harapandalamdemokrasi,tapi kitapulalahyangmenentukan
apakah harapan ituhanya akan menjadipe-luangyang mubaziratau menjadisumberdaya untuk
mem-perbaiki kenyataanyangsesungguhnya.
***
Bersamaan
denganterbitnyabuku
ini,kami
inginmeng-ucapkan banyak terimakasih kepada
semua
pihak yangsudahikut
membantu
kelancaransemua
acara.Pertama-tama kami
tentumengucapkan
ribuan terimakasihkepadaMas GM,
yangtelahbersediabukan
sajamenulis danme-nyampaikan
pidato, melainkanjugamemberi
komentarbalik atas para
penanggapnya dengan
antusias.Dalam
prosespenyelesaian
buku
ini,beberapikaliGM
mengirim-kan
revisi atas tulisannyayang sudah dikirimkansebe-lumnya, dan
menyampaikan
saran-saran.Kami
juga sangat mengapresiasi kesediaanpara pemberi komentar, selainkami
berdua, untuk meluangkan waktumereka:R.Williamliddle,RockyGerung,Dodi Ambardi,dan
RobertusRobert.
Kami
mohon
maaf
jikatakseorangpun
diantara parapenanggapiniperempuan:beberapaakademisi,
jurnalis dan aktivis
perempuan
yangkami
hubungi gagalmemenuhi
targetyangmerekasendirisudahjanjikanuntuk menulistanggapan.Mudah-mudahan
aspekkesetaraanjen-derinibisaterpenuhidi
masa
depan.Sebagiantanggapanyangakhimyaditerbitkandalambuku
inipernahdidiskusikansecara terbatasdiKomunitasSalihara dan Komunitas Utan Kayu (KUK), keduanya di Jakarta. Dalam rangkaitu, selain
GM,
RobertusRobert, Bill Liddle, RockyGerung,danDodiAmbardihadirdalamdiskusi.Sekalilagi:terimakasih banyak.
Kami juga berhutang budi kepada kawan-kawan di
YWP,
KomunitasSaliharadanKUK,yangtelah ikutmenyuk-seskankegiatan ini. Jugakepada kawan-kawan di
MPRK
Yogyakarta. Keterlibatanmereka kadang melampauitugaspokok merekadikantor masing-masing.
Akhirnya, kamiucapkan terimakasih juga kepada
PT
Newmont
PacificNusantara(NPN)ataspartisipasinyadalam mendanaibukansajapenerbitanbuku ini,tapijugakese-luruhan kegiatan
NMML
II. Juga kepadarekanHamid
Basyaibdan HerdNuroni, untukide danrealisasi sampulbukuiniyangcemerlang:./res/z,/unny, juga cocokdengan
isibuku.
Semoga segalapekerjaankitainiadamanfaatnya.***
Jakarta, 3April 2009
IAFdanSRP
BAGIAN
I:
Demokrasi
dan
Kekecewaan
Goenawan
Mohamad
I.
17Oktober1953:dipagi hariitu,sekitar5000orangmuncul
dijalananJakarta.Padapukul8,mereka sudahberhimpun di luargedung
Dewan
Perwakilan Rakyat. Takjelassiapayang
memimpin
dan organisasi apa yang mengerahkan mereka,tapiyangmerekatuntutdiutarakandengantegas: "BubarkanParlemen".Katasebuahposter,"Parlemen un-tuk Demokrasi, bukanDemokrasi untukParlemen".Tak lama kemudian mereka memasuki gedung
per-wakilan rakyat itu, menghancurkan beberapa kursi dan merusak kantin yang biasanya diperuntukkan bagi para
legislator.
Darisini,rombongandemonstranbergerakkejalanlagi.
Peserta makin bertambahbesar.Akhirnya mereka,
men-capai 30ribuorangbanyaknya, sampaikeIstanaNegara.
MerekaingjnmenghadapPresiden.BungKarno,yang
rae-ngetahuiapayangdituntutparademonstranitu,akhirnya
muncul.Dalam pidato singkatiamengatakan: iatak akan
membubarkan
Parlemen. Ia tak ingin jadi diktator. IaDemokrasidanKekecewaan
hanyaberjanjipemilihan
umum
akan diselenggarakanse-gera.
Ringkaskata,
Bung
Karaomenolak. Tapirekamanucap-annya
menunjukkan
bahwa
iajugapunya
ketidaksukaanyang
sama
kepada "demokrasi liberal" yang dianggapnyasebagai cangkokan "Barat" itu. Di tahun 1958, ia
mem-bubarkan
dewan
perwakilanpilihanrakyatdanmengubah
Indonesia dengan
menerapkan
"demokrasi terpimpin". Sisteminikemudianberakhirditahun1966, ketika"Orde Baru"memperkenalkan
format politdk yang disebutnya"demokrasi Pancasila"—yang sebenarnyamerupakanvarian
barubagi "demokrasiterpimpin". Boleh dikatakan, dalam
"Orde Baru", sebagiandari yangdikehendaM parapenuntut padatanggal17Oktoberitudipenuhi.Kitatahu,seperti dicatat
oleh Herbert Feith
dalam The
Decline ofConstitutionalDemocracyinIndonesia,
bahwa
paraperwiraAngkatanDaratberada di belakang aksi hari itu. Sementara
Bung
Karnoberpidato,militer
memasang
duabuahtank,beberapapanser,empatbatangkanonyangditujukankeIstana:penegasanagar Presiden
membubarkan
Parlemendanmelikuidasidemokrasi liberalKitakemudiantahu,dalam"demokrasiPancasila"yangditegakkanAngkatan Darat,
DPR
memang
dipilih secarareguler, tapipadaaldiirnya,konstruksisangpenguasa—dalam
hal ini Suharto—yang menentukan. Berangsung-angsur,
kekuasaanberkembangdarisifat"birokratik-otoriter"menjadi
otokratik. Suharto mengulangi posisi
Bung
Karno sebagai "PemimpinBesarRevolusi",dengangelaryangberbeda.Ditahun1998,otokrasiSuhartoiturubuh. Indonesia
men-dapatkan "demokrasi hberal"-nyakembah. Satu dasawarsa
kemudian,
Mta
masihtampak
percaya kepada demokrasiini—jikaituberartipemilihan
umum
yangregular, partisi-pasimasyarakatpemilih lewatpartai,pembentukanundang-undang
melalui para legislator di parlemen, pengawasanOrasillmiah
Mnerja kabinet dari sebuah lembaga negara yang dipilih
rakyat.Tapi akan bertahankah kepercayaanitu?
Kitabisa
menduga—
melihatbetapakorupnyaparaang-gota
DPR
sekarang,melihat tak jelasnyalagialasanhiduppartai-partai,kecualiuntukmendapatkankursi—Indonesia
sedangmemasukisebuah masa,ketikarakyat—dengan hak penuh untuk memilih dantakmemilih—akanmencemooh,
bahkanmencurigai,parapemegangperandalamdemokrasi parlementeryangada.
Sayatak akanmeramalkanbahwa "Peristiwa 17
Okto-ber"
bam
akanterjadisegera.Tapisayakirasiapapunbisa melihat, kita akan hidup dengan harapan-harapan yang retakkepadademokrasiliberal.Dan
takakan mengheran-kanbila kitaakansegeramendengarkecamansepertiyang pernah diutarakannovelis, Pemenang Nobel, Saramago:"Pemihan
umum
telahjadi representasikomedi absurd,yang memalukan".
Dalampembicaraansaya hari ini,saya akanmencoba
menunjukkan,bahwadisilusisepertiitu
memang
takakanterelakkan. Persoalannya kemudian, sejauh
mana
dan dalam bentukapa demokrasibisadipertahankan.n.
Demokrasi—sebagaimana kediktatoran—menjaga dirinya
darikhaos.Ia jadibentuk yangharuspraktisdanterkelola. Iadibangunsebagai sistemdan prosedur.
Tapi sebagai sebuah format, ia tak dapat sepenuhnya
menangkapapayangtakpraktisdan yangtaktertata.Salah satu jasatelaahkebudayaandanteori politikmutakhirialah pengakuanterhadap pentingnya apayangturah,yangluput tak tertangkap oleh
hukum
danbahasa,yang oleh LacanDemokrasidan Kekecewaan
disebut sebagaileReel (dalamversi Inggris, theReal),dan yangsaya coba terjemahkan di sinisebagai"Sang Antah".
Denganitusebenamyaditunjukkan satu kekhilafanutama
dalam
pemiMran
politikyangmengasumsikankemampuan
"representasi". Pengertian "representasi" dimulai dari ilusi
bahasa,
bahwa
satuhaldapatditirukan persisdalambentuklain,misalnyadalamkata atauperwaMlan.Ilusimimetikini
menganggap,
semua
hal, termasukyang ada dalam duniakehidupan, akandapat direpresentasikan. Seakan-akantak
adaSangAntah.
Namun
baik oleh teori "demokrasi radikal"yang
di-perkenalkanLaclaudanMouffe,denganmenggunakan
pan-dangan Gramsci,
maupun
oleh pemikiran pohtik denganmilitansiala
Mao
dalampemiMan
Alain Badiou,kitaditun-jukkan
bahwa
sebuahtatamasyarakat,sebuah tubuhpolitik,adalahsebentuksceneyangtakpernahkomplit Senantiasa
adayang obscenedalamdirinya,bagiandariSangAntah,yang
dicoba diingkari.Tapiyang obscene—yangtak tertampung
dan tak dapat diwakili olehtubuh politikyang
ada—
justrumenunjukkan
bahwa
sceneitu,atautatamasyarakatyangkitasaksikanitu,takterjadisecaraalamiah.
Menurut
Laclaudan Mouffe,tatamasyarakatitu lahirdarihubungan
antagonistds.Ia
merupakan
hasil perjuangan hegemonik. Itu sebabnya suatutubuhpolitikyangtampakstabilmau
takmau
dihantui olehpertentangan—yangmembuatnya
hanyakwasi-stabil.Dari
pandangan
seperti itu demokrasi, sebagaisebuah format,memang
terdorong hanyamerawat
tubuh politikyangkwasi-stabilitu.Sebagaiakdbatnya,iacenderung
meng-ubah
antagonismedan
perjuanganhegemonik
itu jadimajal: demokrasi acapkali menghentikan proses politik
dengan mendasarkandiripadasebuah suara terbanyakatau
sebuah konsensus.
Dengan
itu apayang
dianggapOrasiIlmiah
nyimpang, apayangobscene,disingkirkan.
Maka
iatampaksebagai sesuatu yang tak hendak
membuka
diri pada alternatif-alternatifbaru.Contoh yangsegeradapatdilihatadalahJepang; disana, kekuasaan Partai Liberal Demorasi (LDP) berlangsung
hampirtakberhenti-hentinya.Halyangsamadapat dikata-kan tentang demokrasiAmerika. Hari-hari ini,justru di sebuahmasaketikasuarauntukperubahan yang
dibawa-kan
Obama
terdengar nyaring,sebetxilnyataktampak dah-syatnya "perubahan"yangdisuarakannya.Pernahsayakatakan,demokrasiadalah sistemdenganrem
tersendiri—juga ketikakeadaanburukdanharus dijebol.
Pemilihan
umum,
mekanismenyayang utama,adalahmesin yangmengikutistatistik.Tiappemungutansuaraterkurungdalam"kurvalonceng":sebagianbesarorangtak
menghen-dakdperubahan yang"ekstrem".Statistikmenunjukkanada
semacam
tendensibersama untuk takmemilih hal yang mengguncang-guncang. Statistikitu statusquo.Dalamharibaan"kurvalonceng",
Obama
takakan berse-diamengubahpolitikAmerika dengan yangbaru yangmeng-gebrak.Akansulitkita
menemukan
perbedaanpandangan-nya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencaridukunganlobi Israel diAmerika,takakan nekad
bilangakan mengajak
Hamas
ke mejaperundingan.Iatakakan berani
menampik
sepenuhnya hak orang Amerikamemiliki senjata api pribadi, meskipun korban kekerasan
dinegeriitu takkunjungreda.Iatakakanbertekad meng-ubah sikap orangAmerika yang cenderung
memandang
perangsebagaikegagahanpatriotik, bukankekejaman.Seraya bersaing ketat dengan McCain,
Obama—
yangmemproklamasikan diri sebagai pemersatu Amerika,
negarawan yang akanmenyembuhkannegeriyangterbelah
Demokrasi danKekecewaan
antara "biru" dan
"merah"—
akan tampil sebagai sipem-bangun konsensus.
Tapi
konsensus
takakan
mudah
jadiwadah
bagiperubahan yangberani. Di Spanyol di tahun 1982,
misal-nya,ketikakediktatoranFrancosedangdigantikandengan
demokrasi yang
gandrung
perubahan. Felipe GonzalesMarquez,
waktu
itu40
tahun,memikat
seluruh negeri.Partai Sosialisnya
menawarkan
lambang kepalan tanganyangyakin
dan
mawar
merah
yang segar. Semboyannya:PorElCambio.Ia menang.Iabahkan
memimpin
Spanyolsampai
empat
masa
jabatan.Tapiberangsur-angsur,partaiyangberangkatdarisemangatkelasburuh yangradikalitu
kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di
bawah
kepemimpinan
Gonzales,Spanyoljadi anggotaNATO
danmendukung
Amerika dalam
PerangTeluk 1991.Sebagaitandabagaimanademokrasitakmenginginkan yang luar biasa, Partai Sosialis
menang
berturut-turut.Mungkin
itu indikasibahwa
"perubahan" pada akhirnyahams
dibatasioleh sinkronisasipengalamanorangramai.Di haribaan "kurva lonceng",
kehidupan
politikyang
melahirkannya kehilangan greget yang subyektif.
Kebe-raniandisimpan
dalam
laci.m.
Tapi
mungkinkah
sebuah masyarakat bisa berhenti dan prosespohtiknya taktersentuh olehwaktu?Pertanyaan retoris ini penting. Di
dalamnya
tersiratadanya
harapan—
disuatumasa
ketikautopianisme Marxisdigugat, tapiketika
pada
saatyangsama
pragmatismealaRichard Rorty
tampak
takmemberikan
daya bagiper-ubahan yang berartd.
Orasillmiah
Tapi untuk itu,
memang
diperlukan penyegarankem-balitentangapaarti "politik"sebenarnya.
Sebuah buku yang dengan
amat
baikmemaparkan
pemikiran politik kontemporer, Kembalinya Politik (Ja-karta, 2008), menguraikan "dua
muka
yang terpisah"dalam pengertian "politik":
Yangpertamaadalahsisidi
mana
politik terjadisebegitu saja dalam rutinitas kelembagaan dan perilaku aktor-aktornya...Yang keduaadalahpolitikyangdiharapkan,yang tersimpan secara potensial, tidak teraktualisasi: politiksebagaimanadiidamkan,yangtertekandibawah instansiketaksadaran.
Dalampengantarnya,RobertusRobetdanRonny
Agus-tinusmenunjukkankemungkinan—ataumalah kenyataan—
ketika demokrasi "telah
membunuh
politik" dan"meng-gantikannyadengan konsensus".
Dengan kata lain, "politik"yang <h^"bunuh" itu adalah
pohtik sebagai proses perjuangan, bukan politiksebagai saling tukarkekuasaan dan pengaruh sebagaimana yang
terjadi melalui pemilihan
umum
dan negosiasi legislatifdewasamidiIndonesia."Politik"yangsepertiitusebenarnya
hanyamengukuhkantubuhsosialyang seakan-akan sepe-nuhnya direpresentasikanParlemen. "Politik"yang seperti
ituberilusibahwakitabisamengabaikanSangAntah."Politik"
yang sepertiitu adalah bagianyang bersembunyi dari apa
yang disebut Ranciere lapolice: strukturyang diam-diam mengaturdan menegakkan tubuh itu.
Di sini sebuah pemaparan selintas tentangteori
Ra-nciere agaknyadiperlukan.
Lapolice itu (mungkin adahubungankata ini dengan "polis" sebagai negeri dan "polisi" sebagai penjaga
Demokrasi dan Kekecewaan
tiban) bersifatoligarkis.
Tubuh
sosialmengandung
ketim-pangan yangtak terelakkan; selamanyaadayangkuatdan
adayanglemah, yang menguasai dan dikuasai.
Tapi lapoliceitutetap sajatakbisa
membentuk
sebuahsatuan sosial yang komplit. Di dalam hal ini, pemikiran
Rancierejuga
menunjukkan bahwa
satuan itu kwasi-stabilsebenaraya. Sebab bahkan la police tak akanbisa
meng-abaikan,bahwa
yangkuathanyakuatjikaiadiakuidemikianolehyang
lemah—
meskipun dengan mengeluh dan marah.Dengan
katalain,sikuatdiam-diam mengasumsikan adanyaposisidanpotensisilemah untuk
memberi
pengakuan.BagiRanciere, ituberarti
nun
di dasaryangtakhendak
diingat,adakesetaraan antarakeduapihak.
Disitukita
menemukan
bagaimana sebuahnegeri,pohs, hidup: ada la logiquedu tort.Ada
sesuatuyangsalahdansengkarut, tapi
dengan
begitu berlangsunglah sejarah sosial. Didalam
"logika" itu, ketegangan terjadi, sebabhirarki
yang
membentuk
masyarakat justrumungkin
karenamengakuikesetaraan. Ketegangan
dalam
salahdan
sengkarut itulahyangmelahirkankonflik,guncanganpada
konsensus,dan polemik yangtak henti-hentinya.Ranciere mengakui, selalu ada sebuah arkhe, sebuah dasar untuk
membenarkan
timpangnya distribusi tempatdan
bagiandalam masyarakat, tapi ia
menunjukkan
bahwa
arkheituselamanya bersifat sewenang-wenang.
Dariitu terbit lapolitique: sebuahpergulatan.Ia
bukan
seperti aksikomunikasialaHabermas:diarenaitutakada tujuanuntukbersepakat;dimedan
ituyanghadirbukanlahsekedarusuldan
argumen
yangberseberangan, tapitubuh danjiwa,"perbauranduadunia","dimana
adasubyekdan obyek yangtampak, adayangtidak".Orasi Ilmiah
Agaknya yangtaktampakitulahyangmenyebabkanla
politique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan
makna
sosialnya. Sebab yang menggerakkan adalahme-rekayangbukanapa-apa,yangtakpunyahakikatdanasal usuluntuk menang.
Walhasil, selalu akan adaketegangan antara lapolice
dan lapolitique. Sebuah tubuh sosial akanbergerak, tak
mandeg,dalamketeganganitu. DisiniRanciere memper-kenalkanistilah lain, lepolitique, untuk menyebutproses
mediasiantarakekuatanyang menjaga demokrasisebagai
formatdanpolitiksebagaiperjuanganke arahkesetaraan.
BerbedadariBadiou,Ranciere—yangmenyebut keada-an demokrasiliberalsekarangsebagai"pasca-demokrasi"—
masihmenaruhkepercayaanakanperandemokrasi parle-menter dan
kemampuan
perundang-undangandalam perju-anganke keadilan.Tapi Rancierebukanlah orangyangmenganggapbahwa demokrasi parlementer dengan sendirinya adil. "Politik" sebagai perjuangan, "politik" sebagai lapolitique, itu se-suatuyangtak secararutinterjadi. Bahkanjarangterjadi.
Demikian pula, tanpa menyebutsaat demokratiksebagai "kejadian" (I'evenement)yangluarbiasa, Ranciere meng-anggapdalamsistemdemokrasiyangada, saatdemokratik
sejatitakselamanyadidapatkan.
IV.
DenganmemakaipemikiranRanciere,sayaberharap dapat menunjukkan bahwa disilusi terhadap demokrasi liberal
adakahsesuatuyangsab. dan
hams
dinyatakan.Tuntutanakankesetaraan—dandalampengertianyang lebih luas:keadilan— adalah tuntutanyangtakakan
Demokrasidan Kekecewaan
habisnya. Ia lahir dari apa yang tak
hendak
dilihat oleh sistemyangada. Ia lahirdariyangobscene,dariyangturahdari representasi, ia adalah gaung Sang
Antah
yang taktertampung.
Tapi haruskahkita
menghancurkan
demokrasi,karenamenganggap bahwa
demokrasisemata-mataformat,bukan
sebuahproses pergulatan,
bukan
arena lapolitique? Jalanituada:"nihilismeaktif"dalampengertian
Simon
Critchley,ketika ia menguraikan pendiriannya tentang "etika
ko-mitmen"
dan "politik perlawanan"dalam
InfinitelyDe-manding
(Verso, 2008). Nihilisme aktifinilahyangdila-kukanmisalnyaolehterorAl
Qaedah—
yang padagilirannyajugatak
menumbangkan
demokrasiliberal,bahkan
mem-perkuatnya:makin
kukuhnya
aparatkeamanan
negaramerupakan
peneguhan dari lapolice.Satu-satunyajalan yang masih terbuka adalah selalu
dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan.
Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan sebelumnya;
selaludiperlukan keluwesanuntuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan ataujustru
melawan
per-undang-undangan, baik melalui partai ataupun
melawan
partai.
Artinya, tiap kah kita
membiarkan
diri untuk didesakoleh panggilanakankeadilanyangtakpernah akan
mem-bisu. ***
BAGIAN
II:
Politik
sebagai
Perjuangan
atau
Pengeboran?
R.
William
LiddleDalamorasiilmiahnya,Goenawan
Mohamad
merumuskansebuah peta politiktempat perjuangan merupakan
satu-satunyajalan untuk mencapai kesetaraan sosial. Hal itu
berlaku dalam sistem kenegaraan apa pun, termasuk
de-mokrasi. Bagi saya, masalahnya tidak sesederhana itu.
Ketimbang perjuangan, saya lebih suka menggunakan metafor pengeboran, yang saya pinjam dari
Max
Weber, sosiologJerman awal abadke-20: "Politik adalah penge-borankayukerasyangsulitdanlama"(Politicsisastrongandslow boringof hardboards).
Goenawan mempersoalkan demokrasi dari dua segi.
Sebagai tata politikyang "mendasarkan diri pada sebuah
suaraterbanyakatausebuahkonsensus," demokrasitidak
mungkin mewakili semua aspirasi atautuntutan masya-rakat. "Maka iatampak sebagai sesuatuyang takhendak
membuka
diri pada alternatif-alternatifbam." Buktinya adalah Jepang dibawah
kekuasaan Partai LiberalDemokrasi dan Kekecewaan
mokrat
selama puluhantahun
serta Spanyol,tempat
Partai Sosialis yang mendirikan
demokrasi
di negaratersebut berangsur-angsur menjadi partai kapitalis dan
pro-NATO.
Presiden terpilih Amerika Serikat Barack
Obama
pun
digambarkansebagaiseorangpolitisiyangterkurungoleh
sikap mayoritas pemilih
yang
tidakmenginginkan
perubahan-perubahanbesar. Sebagaicontoh:posisi-posisi
Presiden George
W. Bush
terhadap
sengketaIsrael-Palestina, pemilikan senjata api pribadi oleh masyarakat Amerika, danperang"sebagaikegagahanpatriotik,
bukan
kekecaman" akan dipertahankan oleh Presiden
Obama.
Obama
"akantampil sebagai sipembangun
konsensus."Dal
am
bentuk konkretnyadiIndonesia pasca-OrdeBaru,ciri-ciri demokrasiyang
mencolok
bagiGoenawan
adalahkorupsi anggota-anggota
DPR
danpartai-partaiyangtidakpunya
tujuanjelas, kecuali keinginan parapemimpinnya
untuk
mendapatkan
kursi. Alhasil, Indonesiasudah
memasuki
suatuerabarutempat parapemilih "akan men-cemooh, bahkan mencurigai"pemimpin
politiknya.Kalaukeadaanini dibiarkanberlanjut, demokrasipasti semakin
sulitdipertahankan.Solusi
Goenawan:
"Satu-satunya jalanyang masih terbukaadalah selaludengan setia
mengem-balikan politik sebagai perjuangan, ...baik melalui
perundang-undangan atau justru
melawan
perundang-undangan,baik melaluipartaiataupun
melawan
partai".Rumusan
Goenawan
menarik
baik sebagai analisismaupun
sebagaicalltoaction,panggilanuntukbertindak.Siapa
pun
akanmengakuibahwa
demokrasiyangresponsif dan bertanggungjawabbelum
terwujud di Indonesia dan kualitasnya belakangan agak merosot di negara-negaraseperti Jepang, Spanyol, dan Amerika.
Namun
demikian, 16PolitiksebagaiPerjvangan
bagisaya, Goenawanterlalu menekankan peran gerakan
atau mobilisasi dari luar sistem demokrasi sebagai
solu-sinya.Perjuanganmalahdipertentangkandengandemokrasi,
seakan-akan lembaga-lembaga demokrasi tidak dengan
sendirinya dinamis, tidak terbuka kepada tuntutan dari
masyarakat.Atauseakan-akankitamasihhidupdizaman Pergerakan, ketikalembaga-lembaga penjajahan
memang
harusdilawandenganperjuangan.PadazamanReformasi,
lembaga-lembaga pemerintahanjustruterdiridari
unsur-unsur demokratis yang memungkinkan dan mendorong perubahan.Perjuangantentumemainkanperan,tetapiitu
harus dipandang sebagaisatubagian dari seluruh sistem
demokrasi.
Dalamrangkaitu,Goenawanterlalumenekankanperan konsensus sebagai tujuan demokrasiyang menghambat
difference, perbedaan. Setidak-tidaknya, di negeri saya yangsudahlamademokratis,belumpernah ada konsensus
tentanghal-halpenting(misalnyatentangperanagama
da-lampolitik).Yangseringadaadalahmayoritasbesaryang
mendukungsuatuposisiatau kebijakan (misalnya,sebelum
pemerintahan George
W.
Bush, pemisahan negara dari lembaga-lembaga agama).Tetapi mayoritas itu selalu dilawan oleh satu atau se-jumlah minoritas dengan cita-cita lain (misalnya, Kris-tenisasinegara,sepertiterteradalamanggarandasarPartai
Republiknegara bagianTexas).Takkalahpenting,hampir
setiap mayoritas dan minoritas terdiri dari kelompok-kelompoklebihkecilyangpunyatuntutandankepentingan masing-masing.Halinijugamerupakan sumber dinamisme
politik (misalnya sayap kanan
kaum
Evangelis Protestanyang mendukung calon presiden John McCain dan sayap
kiriyang mendukung
Obama
dalampemilihan2008).DemokrasidanKekecewaan
Tanggapan
saya terhadaprumusan
Goenawan
tentudipengaruhiolehpengalamansayabelakanganinisebagai
warganegara Amerika. Setelahpemilihanpresiden 2008,
setiapkalisaya melihatwajah Barack
Obama
(yangAmerika-Afrika),sayateringatkepadaapayang dimmigkinkanoleh
demokrasi. Saya jugateringatkepadametafor
Max
Weber
tentang politik sebagai pengeboran kayu kerasyang sulit
danlama,seperti sayakutipdi atas.
Kemenangan
Obama
tentu
merupakan
hasilperjuangan,tetapihalituhams
jugadilihat sebagai hasil perbuatan para politisi demokratis
yangbertindakdidalamsistem. Kedua-duanya,peran
ge-rakandan peranpolitisidemokratis,berakardalamsekali
dalamsejarahpohtikAmerika.
Pada awal abadke-19, John
Brown
membangun
sebuah gerakan anti-perbudakan yangmemainkan
perananpentingdalam
politikAmerika sebelum Perang Saudara berlang-sungdinegara kami. OlehAbraham
Lincoln,Brown
dijuluki "fanatiksesat."Tetapi Lincolnsendirimelawan
perbudakan dan, sebagai presiden,terus-menerus mencari akaluntuk mengakhiri "lembaga terkutuk" itu. Pendekatan LincolndijelaskandenganbaikolehGarryWills,yangmenulis
buku
tentang
kepemimpinan
presidensial, sebagai berikut: "Dengan tindakan-tindakan politik yang sangat hati-hatidan
terjaga, Lincoln sedikitdemi
sedikitmemaksa
rakyatnya untuk
mengambil
langkah-langkahkecil untukmengatasi masalah yangsebenarnya."
Pada
abadke-20,peranBrown
danLincolndisusulolehbanyak orang, hitam dan putih, yang menjadi
pemimpin
organisasi sosial
dan
partai politik serta pegawaidan
pejabat pemerintah. Selaku pemilih
dalam
pemilihanumum,
orangAmerika
-Afrikasudah menjadi
faktorpenting di negara bagi^n-negara bagian utara sebelum
Politiksebagai Perjuangan
Perang Dunia II. Kebijakan Presiden Franklin Roosevelt
(1933-1945) dan Presiden Harry
Truman
(1945-1953),kedua-duannya Demokrat dari utara, dipengaruhi oleh faktor itu. Keputusan-keputusan yang paling penting
diambil oleh Presiden Lyndon Johnson (juga dari Partai
Demokrat) pada 1964 dan 1965, ketika beliau menanda-tanganidua undang-undangyangmelarangsegalabentuk
segregasi berdasarkan ras dan
menjamin
hak setiapwarganegarauntuk memilihdalampemilihan
umum.
BarackObama
mewarisisejarahinidalam duapenger-tian.PencalonannyaolehPartaiDemokratdan kemenang-annya dalam pemilihan
umum
dimungkinkan olehper-buatan-perbuatan Presiden-Presiden Lincoln, Roosevelt,
Truman, dan Johnson yang
membuka
kesempatan bagiorang-orang Amerika-Afrika untukberpartisipasi dalam
dunia politik.'Kedua,
Obama
mencari kekuasaan untukmemerintah,bukan untukmenjadi orangyangterpandang.
Selama kampanyenyadiaberusahakerasuntuk
merumus-kansebuahvisiataugarisbesarkebijakannegara
seandai-nya dia bakal terpilih. Seperti banyak pendahulunya
(termasukbeberapapresidendari PartaiRepublik,seperti DwightEisenhower, Richard Nixon,dan RonaldReagan),
Obama
inginmelakukansesuatuyangpositifbuat bangsadandunia.
Pada saat yang sama dia menyadari bahwa dia harus bersikap dan bertindak realistis, "politis". Setiap
kebi-jakannya akan dibentukdalam sebuahkontekspolitikyang
mengandung banyak opportunities, kesempatan, tetapi
sekaligus saratdengan constraints, kendala. Kesempatan dankendala initerdiri antara laindari lembaga-lembaga
pemerintahan, seperti pembagian kekuasaanyang
diten-tukan oleh konstitusi,serta sistem kepartaian kami. Lagi
DemokrasidanKekecewaan
pula, setiap kebijakan akan
berdampak
juga pada posisidan pengaruhnya kemudian.
Pendek
kata, keberhasilanataukegagalan Presiden
Obama
akan ditentukan olehke-canggihan politiknya ketika dia memilih kebijakan-kebi-jakannya.
Apakah
orang Indonesia bisa belajar dari sejarah ini?Jawaban
saya adalah ya, tetapi saya khawatirjawaban
Goenawan
adalahtidak,sebabkerangkaanalitisnya terlalumengandalkan para pejuang di luar sistem.
Tanpa
meng-abaikan peran positif
kaum
pejuang, fokusutama
kita(pengamat
dan
aktivis) seharusnya diarahkankepada
aktor-aktor pokok: pejabat pemerintah pusat (termasuk
hakini danjaksa),
pemimpin
partai, dan anggotabadan-badanlegislatif.
Tak
kalah penting, pemerintahan daerahjuga ikut
menikmati
proses demokratisasi dizaman
Reformasiini. Pemerintah-pemerintah daerah, ditingkat
kabupaten
dan
kota, adalahlembaga
demokratis yangpaling dekat kepadamasyarakat. Bagi saya, keberhasilan
atau kegagalan
demokrasi
di Indonesiaakan
lebihditentukan olehtingkah-lakupolitisi kabupaten dan kota
ketimbang
para pejuang di luar sistem.Akan
tetapi,mengingatsekalilagikata-kata
Max
Weber, janganterlaluberharapdalam
waktu
singkat.Kayu
Indonesiapastitidak kalah kerasdibandingkayuAmerika.***Mengaktifkan
Politik
Rocky
Gerung
Pidato
Goenawan
Mohamad
(GM)
menyentuh kondisiteoretis dari filsafat politik. Yaitu "ketakcukupan" demokrasi sebagai peralatan untuk menghasilkan
"per-ubahanradikal". Kritikini adalahkhas"etika politikkiri".
Karenajalan pikiranitu,
GM
sempatberpikirbahwademok-rasimengandungdisilusidi dalamdirinya.
Memang, dalam praktik, demokrasi lebih sering ber-hentidalam"pelembagaanformal",ketimbang mensponsori
"revolusi".Sayakira,dalamkondisireformasisekarangini,
kita
hams
menerangkanjuga demokrasi dari sudutpan-dang keburuhan kontemporer kita untuk menghalangi
pemaknaan"TheReal"("SangAntah"—dalamistilahGM),
dari
kemungMnan
pengisiannyasecara absolut olehpolitik doktrinal, politikfundamental.Jadi, secarastrategis, ada keburuhan "politico-historis" yang lebih mendesak, di samping keburuhan "filosofis" mempersoalkan struktur metafisikdari teori demokrasi.GM
telah mengucapkan sesuatu yang lebih"kontem-platif. Karena itu, tanggapan saya sebaiknya yang lebih bersifat "mengaktifkan" demokrasi. Terimakasih.
DemokrasidanKekecewaan
Demokrasi adalah hasratyangtakpernahsampai. Tapi
kendati ia tidak mencukupi, kita tetap memerlukannya.
Utilitasnya
memaBg
tidak diukur melalui ambisi etisnya: "dari,olehdan untukrakyat",melainkandengankenyataanteknisnya: juralah konsensus minimal "suara rakyat".
Konsensus itulah yang dipertandingkan melalui Pemilu.
Prinsipkerasnyaadalah:thewinnertakesall.Tapi format
51:49 ini—berkat prinsip
HAM,
yaitu pelajaran kemanu-siaan yang kita peroleh dari dua kali kekerasan PerangDunia
—
tidakbolehmengancam
hak-hak dasarkebebasanindividu. Artinya, "sang mayoritas" tidak boleh
semau-maunya menentukan
"isipolitik"sebuah masyarakat. Batasdaridemokrasi adalah
hak
asasimanusia. Rasionalitasinikita perlukan
untuk
mencegah
politik mayoritasme-manfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran total
-itarianisme. Begitulah konsensus mutakhir penyeleng-garaan demokrasi.
Memang,
dalam
praktik, demokrasi cenderung mela-hirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold)memungkinkan
terjadinya transaksipolitik status quo. Tetapi secara substansial, demokrasi juga tetap
bertumpu
pada
prinsip"keutamaan
warga-negara",yaitujaminanfilosofisbahwa
poHtiktidakterbagihabis dalam electoralpolitics Artinya, kewarganegaraan tidakbolehdireduksikedalam
mekanisme
politikPemilu, yaitudenganmembagi
habis seluruhwarganegaramenjadi anggota partaipolitik._Dalam
demokrasi,statusontologiwarganegaralebihtinggi darikeanggotaanpartaipolitik.Tidak adademokrasitanpa warganegara, tetapi politik dapat terus diselenggarakan tanpa partai politik. Karena itu, politik perwakilan tidakboleh menghilangkan priDsip primer demokrasi, yaitu
MengaktijkanPolitik
"keutamaanwarganegara". Partaipolitik,juga parlemen, hanyalahsalah satualatwarganegarauntuk menjalankan
politik.Karenaitu,"alat"tddakbolehmembatasi"tujuan".
Demokrasitetaplahberdasarkan kedaulatanrakyat,bukan
kedaulatanpartai. Jadi, demokrasi,didalamdirinya,
me-miliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan warganegara.Sesungguhnya, ketegangan antara electoral politicsdan citizenship politics inilahyangmenjadi
prob-lemdarisistemdemokrasi.
Problem inimenghasilkan konsensus: demokrasibukan
ideal"terbaik"pengaturanpolitik,tetapi iayang"termungkm"
untukmenjaminkesetaraanhakdan kebebasanwarganegara.
Denganjaminanitu, terbukapeluang bagisirkulasielitdan
perubahan susunan politik. Artinya, kendati ada tendensi
oligarki dalam demokrasi,tetapihanyapada demokrasilah
dimungkinkan terjadinya koreksipolitik secara sistemik.
Filsafat dibelakang konsensus ini adalah kondisi falibilis
manusia,yaitu penerimaan sederhanatentang
ketakleng-kapan manusia, tentang ketidaktahuannya, dankarenaitu:
tentang potensinya untukberbuat salah. Dengan sudut
pandang ini, demokrasitidak berambisimemfinalkan
ke-benaran politik. Karena itu setiap obsesi absolutis untuk
memfinalkan politikharus disingMrkan. Falibilisme adalah
dasar untuk setiap antropologi politik sekular, yaitu
pandangan bahwa "kebaikan" dan "keadilan" harus selalu diukurkanpada kondisi kesejarahanmanusia. Dari kondisi
falibilis inilah demokrasi menyelenggarakantoleransi dan pluralisme.
Toleransi berarti penyelenggaraan politik tanpa penghakimanmoral. Toleransiadalahkesepakatanuntuk menerimakemajemukannilaidanpandanganhidupsecara horisontal.Denganprinsipinidemokrasi sekaligus
DemokrasidanKekecewaan
antisipasi berbagai
kemungkinan perubahan
nilaidan
pandangan hidup di dalam masyarakat.
Dengan
cara ini,"isi politik" suatu masyarakat terhindar dari fmalisasi dogmatis.
Toleransi adalah keindahan tertinggi dari demokrasi.
Pada
titik ini sebetulnya kita dapat menyelenggarakandemokrasi secara langsung, yaitu dalam pergaulan sosial warganegara. Proyek demokrasi
memang
terletakpada
upayauntuk mengaktifkanpolitikpadapergaulan langsung
antarwarganegara. Sesungguhnya, etikapolitik terbentuk
daripenyelenggaraantoleransiitu.
Dalam
kulturitulah kese-taraandan kebebasan dirawatuntuktumbuh
menjadi apayang pernah disebut oleh Alexis de Tocqueville sebagai
habitsofthe heart.Demokrasi yang
tumbuh
dalamtoleransiakanmenetapdalamkebudayaan,danmenjadietikapolitik
yang otentik. Jadi, tetaplah demokrasi dapat
diselengga-rakan tanpa melulu harusmelaluipolitikperwakilan.
***
Keterbatasandemokrasi ada padafasilitaskonsensualyang
ia sediakan.
Demokrasi
memang
hanya
mengolah
ke-benaran politik di antara
mereka yang
berkonsensus.Bahkan
lebihsempitlagi,konsensus itu harus diwakilkanpada hanya segelintir orang melalui sistem perwakilan
pohtik, dan itu berarti terbuka peluang
untuk
praktikohgarki. Keberatan inilah yang dieksploitir oleh "pohtik kiri"dankalangan "posmodernis"untuk mendekonstruksi
demokrasidengan mengujinyamelalui
rumpun
teorihege-mony
(oleh politik kiri)dan
prinsip anything goes (oleh pohtik posmodernis). Politikkiri melakukan"penidakan"Mengakti/kanPolitik
pada demokrasi dengan mengaktifkan "antagonisme"
dalamrelasi kebenaran. Percobaansemacamini
memang
bergunauntuk mengadvokasi
kaum
"disensus" agarterusmempertanyakan ruang hegemoni oligarki itu. Dalam
proposalpolitikkiri,ruangitu
hams
dikosongkandari kon-sensus oligarkis, dan demiituperjuangan politik menjadipermanen.
Persoalannyaadalahbahwapolitikkiriselalu
membu-tuhkan"kebenaran"yangmonumental,sekaligusmomen-tual,untuk mengaksesruangkosongdemokrasi.Ituberarti
suatuprakondisihistorisharus berlangsunglebihdahulu
di luarsistem demokrasi, sebelum perjuanganpolitik itu
diarahkan pada para pemegang konsensus oligarkis.
Si-alnya, dalam sejarah, kebenaran monumental itu baru
dapatkitamengertisetelah
momennya
selesai.Jadiselaluada "keterlambatan historis", keterlambatan
momentum
dalam politik kiriyang menyebabkan hilangnya energi politikketika diperlukan untuk menjalankan perubahanpolitikradikal. Itulahsebabnyasifatperubahanyangterjadi
dalampolitikkiriseringhanyaberkadar"kuantitatif"dan bukan"kualitatiF.
Monumen
politikkiriselalukitadirikan setelahmomen
radikalnyaberlalu.Politikposmodernismenantangdemokrasijugapadasifat
konsensualnya. Tapi bukan pertama-tama pada struktur oligarkinya, melainkan pada pendasaran kebenaranyang semata-matarasional.Demokrasi
memang
mengandalkan transaksi politik melalui fasilitas reason. Pada politikposmodernis,fasilitasinitelahdiobrak-abrik oleh kondisi playfulness dari "kebenaran", yaitu kondisi politik yang
menerimaanekaideologi sebagaipermainan kebudayaan
semata-mata, dan karena itu kebebasan dapat dinikmati
sepenuh-penuhnya di luarsistem politik kebenaran.
Demokrasi dan Kekecewaan
mudera
politikposmodernis
terbentuk oleh berbagaiimajinasi mikro, yang terus
mengapung
dalam
medan
playfulness itu, tanpa dapat tenggelam di dasarabsolut-isme.
Di sini, sentimen ideologitidak lagi diperlukan karena pendasaran-pendasaranpolitikidentitas telah
mengalami
fragmentasi mengikuti pluralisasi isu dan lokasi.
Dalam
kondisi kebudayaan yang fragmentaristis itu,
semua
hu-bungan
sosial—dari dnnia hiburan sampai sidangparle-men—
memang
mengandung
eksploitasi politik. Tapi sekaligus didalam
sistem fragmentasi itu, perlawananpolitikdapatberasaldarisegala arah,dandiselenggarakan
dalam
segala waktu.Dalam
pandangan
posmodernis,perjuangan demokrasi haruslah
merupakan
perjuanganuntuk menikmati pluralisasi identitas, fragmentarisasi
kebudayaan danhibridisasi kebenaran.
*##
Demokrasi
memang
memerlukan
radikalisasisecaraterus-menerus.
Bukan
saja iaharus melayani berbagai aspirasi politikbaru(misalya: multikulturalisme,feminisme,envi-ronmentalisme),tetapiterlebihiaharus mengaktifkanrasio
publik agar kondisifalibilisnyatidakberhenti.
Dengan
katalain,
demi memelihara
prinsip "kesementaraankebe-naran",iaharusbermanuver dalam "berbagaikonsensus"
dan menjaganyaagarterusberadadalamkondisi
argumen-tatif. Tidak cukup
mengatakan
bahwa
demokrasi hanyadapat diselenggarakan
dalam
sebuah masyarakat yang argumentatif,karenajusteru demokrasidiperlukan untukmengedarkan argumen dalam
masyarakatyangMengaktifkanPolitik
vatif, masyarakat yang doktrinal. Keperluan itu adalah keperluan radikal bagi humanisme, yaitu penerimaan
falibilitas manusia.
Disinikitabertemulagidenganrasionalitasdemokrasi: kebenaranpolitikadalahapa yang dapatdisepakatidalam
batas-batas bahasa manusia. Artinya, semua "proposal
kebenaran" hanya boleh diedarkan dalam terminologi
sosial, dan bukan dalam terminologi akhirat. Memang,
demokrasi akan terus dieksploitasi oleh kegandrungan pada "yang metafisik", oleh kerinduan pada "yangbelum ada", oleh pemujaan pada "yang absolut", tetapi kondisi sosiologismanusialahyangmenjadibatas operasi
demok-rasi Kondisi teologis manusia adalah orientasi eksklusif setiap orang yangtddak mungkin dikontestasikan dalam
sistemdemokrasi.Karenaitu,iaberadadiluarbatasbahasa manusia,berada diluarwilayahkonsensus demokrasi.
Bagi kita di sini, sekarang, keperluan untuk
meradi-kalisasi demokrasi sungguh diperlukan karena
pelem-bagaanpolitik kitabelum menghasilkan etika toleransi. Demokrasijugabelumberhasilmendistribusikankeadilan
ekonomi karenaelectoral politicstelahmengungguli
citi-zenshippolitics.Adasurpluskekuasaandiparlemen,tetapi etikaparlementarianterusmengalamidefisit.Kita
memang
menikmati political rights (hasil reformasi), tetapi civil libertieskitajustruterancamolehpandangan-pandangan kebudayaan yang absolutis.
Dalambahasafilsafatpohtikhari-hariini,kitaperlu
me-nyelenggarakan demokrasidengancaramempertahankan "kesementaraanabadi"darikebenaran,sambilterus men-dorongpercakapanpublikuntukmempersoalkan ketidak-adilan dan kekerasan sosial berdasarkan ukuran-ukuran
sejarah dan hakasasi manusia. Inilah program minimal
Demokrasi dan Kekecewaan
untuk menjagaruangpercakapandemokratisberlangsung
dalam semangat falibilis, dan menghalau
semua
retorikadogmatis yang dikemas dalam jargon-jargon demokrasi.
Dengan
cara itu toleransidan
kemajemukan
dapat
dipertahankan,danperjuanganuntukkeadilansosialdapatterus dikerjakan.
Pada akhirnya, demokrasi
memang
perlubertumbuh
mengikutikeperluansejarah.
Dengan
memahami
kritikpos-modernis (dan postrukturalis Lacanian), demokrasi akan
selaluberadadalamkondisi—istilahGuillermoO'Donnell—
theperpetualabsence ofsomethingmore.Antisipasi inilah
yangperlukitamanfaatkansecarastrategis,sambil
mem-pertimbangkan untuk mengisinya dengan spirit disensus
politikkiri
—
untukmengutipAlainBadiou:politics isthe artofattacking the impossible. Mengaktifkan politik de-ngan caraini, dapat menghindarkan kita dari pesimismedan
disilusi.***Negara
Demokrasi
yang
Belajar
Rizal
Panggabean
Sebagai respon terhadap tulisan Goenawan
Mohamad,
tulisan ini ingin menunjukan bahwa demokrasi sebagai
format kelembagaan politik dapat menjadiwadah atau arenabagi demokrasisebagaipolitikperjuangan. Selaras
denganixd,negaraperludibawakedalamdemokrasi.
Kete-gangan struktural antara demokrasi dan negara (dengan gagasankedaulatannya)tidakharusdihadapidengan mena-fikan, meninggalkan, atau menjauhi negara. Bagaimana
punjuga,sejarahmenunjukkanbahwaketegangantersebut
adalah latarbelakang bagi keagenan warganegara—baik
sebagaiperseorangan
maupun
kelompokkecilyangkreatif dan berani, dalam memperbaiki keadaan, baik melaluilembaga-lembagapolitikyang ada
maupun
diluarnya. Ti-dak adatempatyanglebih menarik dariIndonesiauntukmembahas
halini.Walaupunhanyasesekalidantidakperluberlama-lama,
inilahsaatnyakitamerayakandemokrasidiIndonesia.
Demokrasi dan Kekecewaan
ajaiban modern," kata Kishore Mahbubani, dekan di Lee
Kuan
Yew
School of Public Policy, Universitas NasionalSingapura, "benar-benarterjadi."Keajaibanyangia
maksud-kan, tidaklaindantidakbukan, adalah Indonesia
kontem-porer.1
Satudasawarsasetelahreformasi 1998, Indonesia tampil sebagai
kampiun
kebebasandan
demokrasi bagi duniaIslamdannegara-negaradiAsia Tenggara.Inikeberhasilan
yang mencengangkan. Dilihatdari pengalamantransisi di
Indonesia,barukali inidemokrasiberjalan satudasawarsa lebih.Tetapi,pengalamanIndonesiajugarelevanjika
diban-dingkan dengan pengalaman negaralainyangkeluar dari
otoriterisme.Bandingkan,misalnya,denganRusia. Setelah lepas dari rezim
komunisme
dan melakukan
reformasipada1991,Rusiasemakin lama
bukannya
semakindemok-ratis,tetapisemakinmelorotke otoriterisme.2
Sepuluh tahunlalu,hampir
semua
tolokukur menunjuk-kan Indonesia tidak berhak menjadi demokrasi. Negarayang
berpendapatan rendahdan masih
sempoyongan
dihantam
krisis moneter,dihadapkan
kepada
pembe-rontakandibaratdanditimur,sementaraTimorTimur masih
membara
sebelum akhirnya lepasdengan berlumuran
darah. Tuntutanmemisahkan
diri, termasuk lewatrefe-rendum
sebagai caraaman
melepaskandiri,bermunculan.Sementaraitu,kekerasan
agama
danetnismulaiterjadidi'KishoreMahbubani, "Indonesia's rise as abeacon offreedom, democracy,"TaipeiTimes',18September 2008,hal.9.
2M.
Steven Fish and Danielle Lussier, "Society Counts: Public Attitudes, Civic Engagement, Unexpected Outcomes in Regime
Change inIndonesia and Russia,"paperyang disampaikan dalam pertemuan tahunan AmericanPoliticalScience Association, Boston, Massachusett, 28-31 Agustus 2008.
Negara Demokrasi
beberapatempat, seakansusulmenyusuldengankekerasan
yang menyertaijatuhnya Orde Baru pada 1998. Aparat
keamanan, yang dahulu menjadi rangka-baja rezim,
ter-belah, mengalami demoralisasi, dan tak kuasa meng-hentikankonflik-konflik tersebut. Sudahbegitu, sebagian
besar penduduk Indonesia beragama Islam pula—agama
yang seringdinilaitidakselaras dengandemokrasi.
Akan
tetapi, Indonesia berhasil mengatasi berbagairintangandankejanggalantersebut.Sepuluh tahun
kemu-dian,negeriberpendudukMuslimterbesardiduniaini
me-nunjukkan tidakada yang takselaras antara mengamal-kanIslamdan menjadi demokratis. "Peta"AsiaTenggara
yang paling indah sekarang ialah yang dikeluarkan
Fre-edom
House, sebuah lembaga di Amerika Serikat yang memonitorpelaksanaandemokrasidiseluruhmuka
bumi. Di petaitu,hanyaIndonesianegeriyangbebas,dikelilinginegara-negarayangtidakbebas atau separuhbebas.
Me-mang, sudah sejak tahun 2005 Freedom House menghi-tung Indonesia sebagai negarabebas dilihat dari sudut pelaksanaan hak-hakpolitikdan kebebasansipil, capaian
yang menurut The Economist
membuat
negara-negaratetanggayang lebih kaya, yaitu Singapura, Malaysia, and
Thailand, menjadi malu.3
Selama periode itu, peningkatan dalam bahasa dan
kebudayaanTionghoatelahterjadi,walaupun padatahun
1998 terjadi kekerasan terhadap etnis Cina di beberapa
tempat di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatra.
Kenangan pahit dan trauma karena serangan dan penis-taan,yang berlangsungdibeberapatempatketikaitu,tentu
3PeterCollins,"Indonesiasetsan example,"TheWorldin2009
(The Economist),hal.63.
Demokrasidan Kekecewaan
belum
hilang. Tetapi, penindasan terhadap budaya danbahasa
Cina,yang
terjadiselama
Orde
Baru,sudah
dihentikan di
zaman
demokrasi. Etnis Tionghoasekarang bisa berekspresidan
berpartisipasi secara leluasa.Bandingkan,misalnya,dengannestapaetnisKurdi diTurki
yang
bahasadan
budayanya
masih
tertindas hinggasekarang.
Serupa
Amerika
Serikat, Indonesia juga berkali-kalimendapat
serangan teroris yang dahsyatmaupun
tidak.Tetapi, Indonesia sebegitujaub dapat
menghadapi
danmengatasi serangan terorisme tanpa mengurangi kebe-basan sipilwarganya karena alasan perang melawan
teror-isme. Di Poso sekalipun, aparat
keamanan
meluangkan
waktu lamasupayagerombolanterorisyang bersembunyi
dikotadapatdilokalisirdanditanganitanpa
mengganggu
perasaanmasyarakat
Muslim
setempat.Dalam
halmi,danterhadap
Amerika
Serikatyang
selalumenjelaskan
kemerosotankebebasansipildinegeriadidayaitudengan
berdalih kepada serangan 11 September 2001, Indonesia boleh
menepuk
dada.Di
alam
demokrasi,pemerintahan
Presiden SusiloBambang
Yudhoyono
berhasilmenangani
konflik yangsudahberlangsung
lama
dan menyakitkan
di Aceh.Ini-siatif
damai
inimemang
banyak
ditopangmomentum
kondusifyangdiciptakanbencana
gempa
dantsunamiyangterjadidiakhirtahun 2004.Tetapi,lihatlah SriLanka yang
jugadihantamtsunami.PerangSinhala-Tamilterus
mem-buruk danpemerintah
maupun
pemberontakgagalmeman-faatkanbencanasebagaikesempatan
emas
untukberdamai. Di Aceh, sudahtigatahun lebih perdamaian yangdicapai melaluiMOU
Helsinki bertahan. Literatur penghentianperang saudara dan
pemberontakan
mengatakan, limaNegaraDemokrasi
tahun adalah periodeyang kritis.Jikaperiodeinidilewati dengan baik,
maka
peluang bagi perdamaian untukber-tahan semakin besar. Di Aceh,
masa
kritis ini belumterlewati. Tetapi, masyarakat di Aceh sedang menikmati
kesepakatandamaiyangsejauhinipalingawet,dan belum
tampakgelagatperangakantimbul kembali.
Militer,yang selamaOrde
Bam
dengandwifungsi ABRI-nya terperosok ke dalam militerisme yang merasuk keberbagai aspekkehidupanmasyarakat,jugaberubah.Belum
pernah dalam sepuluhtahun ini militermengancam akan
melakukankudeta.Malahan,jenderal-jenderalseniorbanyak yangberkiprah dipartai politikdanbersaingdi pemilihan
umum—
baikditingkatpusatmaupun
provinsidankabupa-ten, dan yang kalah menerimanya dengan lapang dada.
Sehubungandengan perdamaiandiAceh,militerjugatunduk kepada keputusanpolitikpemerintahdanbersedia bekerja
samadengan-polisiapabila diminta. Jadi, kitaharus angkat
topiuntukmiliterIndonesiayangdengan mengejutkantelah
menjadimodelbagiangkatanbersenjatadi
mana
pun ten-tangbagaimanamenerimatransisi ke demokrasi.#**
Sambil kita merayakan demokrasi, kita juga perlu
me-nerima kekurangan dankelemahannya.Alangkah
bagus-nya apabila penerimaan terhadap kekurangan dan
kele-mahan
yang timbul dalam demokrasi dilakukan denganantusiasdan lapangdada.Kalaubelumdapatmenerimanya dengan antusias, paling tidak kelemahan tersebut dapat
diterima dengan rasa dongkol dan sebal. Sebab, dalam
periodeyang sama, demokrasi di Indonesiajuga
Demokrasi dan Kekecewaan
pilkan peristiwa dan gejala yang
menimbulkan
keraguan terhadapmasa
depan dan daya tahan demokrasi.Dalam
hubungan
antaragama, ada prosesfundamen-talisasi identitaskeagamaan. Bentuknya bisa
bermacam-macam.
Di kalanganumat
Islam adakecenderungan
memaksakan
labelkafir, sesat, dan identitasmomok
lain-nya terhadap sekte minoritas atau gerakan
keagamaan
baru.Usaha-usaha menerapkanapayangdianggapsebagai
hukum
Islam, misalnya melalui peraturan daerah atauinstruksibupati, tidak selaras dengan tradisitoleran dan
moderat yangditunjukkan
umat
IslamdiIndonesiaselamaini. Demikian pula,konfliktempat ibadat (baik sektarian
maupun
antaragama) yang terjadi di beberapa daerahmencerminkan
serangan terhadap perbedaan dankebe-basanberagama.Bilaperbedaan dianggapkesesatan,
maka
etos pluralisasi dalamdemokrasiakanterganggu.
Walaupun
serangan terhadap etnisCinasudah berkurang drastis sejak1998 (kecualikerusuhan di SelatPanjang, RiauKepulauan,pada2001),kekerasananti-Cinadapatterjadi jika
kita mengingat pola serangan terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia.Sebagaiilustrasi,padatahun1998, aparatkeamanan
dapat
mengubah
dan membingkai-ulang
protesdan
demonstrasiyangtadinyaditujukanterhadaprezimOrdeBaru menjadikekerasan terhadapetnisCina.Initampakkhususnya
dalamseranganterhadapwarga TionghoadiMedan,Jakarta, Solo,danbeberapa tempatlain.Selainitu,beberapapenelitian
menunjukkankerentananumatIslam,khususnyaketikaterjadi krisissosialdanekonomj, untukdimobilisasidandigerakkan
dalam
rangkamenyerang
etnis Tionghoa.4 Penggunaan"John Sidel, Riots, Pogroms, Jihad (Singapore: National University of Singapore, 2006).
NegaraDemokrasi
repertoirekekerasananti-Cinasemacaminitidakakan serta
mertaberhentidalamdemokrasi.
Keberhasilan Indonesia menangani serangan teror-ismebolehjadimenimbulkanrasairi negaralain.Akan te-tapi,perludiingatbahwaterorisme,serupatanaman, dapat hidup di lahan yang memungkinkannya tumbuh.
Peng-alaman AmerikaSerikat, Indonesia,dan banyaknegaralain
selamasepuluh tahun terakhirmenunjukkan denganjelas
bahwademokrasibukanlahlahan gersangbagi aksi-aksiteror.
Didalamdemokrasibisaada ekstremismedannihilismeyang menjadikan aksi teror sebagai senjata menyerang musuh sembarimenegaskanidentitasyangdogmatis.Selainitu,
eks-tremismedannihilismetersebut tidak selaluterkaitdengan agama; itubisajugaterkaitdengan etnisitas, ideologi, anti-globalisasi,sertagerakanpembabasan danseparatisme.
Walaupunperangbarutidakterjadi diAceh dalam waktu dekat, provinsidiujungBarat Indonesiainimasih dihadapkan
kepada ketidakpastian pasca-kesepakatan damai. Mantan
pemberontak sudah dapat menjadi gubernur, bupati, dan walikota. Tetapi,kapasitaspemerintahdaerahpada
umumnya
masihlemah,dan ketimpanganlamaantarkabupatensering mencuatdalam bentuktuntutanakanpembentukan provinsi-provinsibaru. Kesepakatan Helsinki sangat terfokus pada
pihak-pihakyangberperang,yaitugerilyawan
GAM
(GerakanAcehMerdeka) danaparatkeamananIndonesia,dankurang
memberikan jaminanbagikeselamatanwargadariaksi
kri-minalitasdan mtimidasi—termasukyangmenggunakansenjata.
Rasagamangdan tidak pastidiAcehjugadapatbersumber
darikemiskinan danpengangguran.
Akhirnya, reformasi di sektor keamanan, khususnya mihter,masihperlu dilanjutkan,supayadistorsiyangterjadi
dimasalalutidakterulanglagi.Jikaselamaempatdasawarsa