• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Blitar. Oleh: M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Blitar. Oleh: M."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Blitar Oleh: M. Tauchid Noor∗

Abstrak

Awal permasalahan penelitian ini adalah (1) Bagaimana peran Komisi Pemilihan Umum Kota Blitar terhadap partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Kota Blitar, (2) Faktor-faktor apa saja yang mendorong dan menghambat peran KPUD terhadap partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah Kota Blitar tahun 2005. Kedua masalah tersebut menjadi penting karena peran KPUD serta faktor pendukung dan penghambat sering menjadi penyebab tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada. Untuk itu, penelitian ini berupaya menjawab kedua masalah tersebut agar dari fakta yang ada dapat diidentifikasi berbagai tindakan melalui implementasi kebijakan KPU Kota Blitar dalam seluruh tahapan pilkada tahun 2005.

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, untuk mengetahui dan menganalisis peran KPUD terhadap partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah di Kota Blitar. Kedua, untuk menemukan konsepsi teoretis dan praktis dari perspektif sosiologi bagaimana seharusnya KPUD berperan dan melaksanakan wewenangnya terhadap partisipasi masyarakat dalam pilkada dan menganalisis faktor yang dapat mendorong dan menghambat peran KPUD terhadap partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Kata kunci: komisi pemilihan umum daerah, partisipasi masyarakat, pemilihan kepala daerah

A. Pendahuluan

Kebijakan desentralisasi sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memperluas kewenangan pelaksanaan otonomi daerah dengan menyerahkan sepenuhnya beberapa bidang urusan pemerintahan kepada daerah kabupaten dan kota yang meliputi pekerjaan umum, kesehatan,

pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan

perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan ketenagakerjaan. Di lain pihak, kewenangan pemerintah pusat terbatas pada penanganan bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama serta bidang tertentu seperti kebijakan perencanaan nasional, dana perimbangan, sistem administrasi negara, pembinaan dan

(2)

pemberdayaan sumber daya manusia dan pemberdayaan sumber daya alam dan teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Perluasan kewenangan tersebut membawa konsekuensi kepada pemerintah daerah untuk menerima peningkatan tugas dan tanggung

jawab yang harus diembannya1.

Namun, masalahnya sistem pilkada secara langsung tersebut baru kali pertama dilakukan dengan memberikan wewenang yang sangat luas kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk mengatur

tahapan-tahapan pelaksanaan pilkada (electoral regulation), melaksanakan

seluruh tahapan proses pilkada (electoral process), dan mengawasi serta

menegakkan peraturan pelaksanaan pilkada (electoral law enforcement).

Sementara itu, masyarakat sudah terlalu lama terkungkung dalam sistem pemilu yang membelenggu partisipasi mereka untuk mengubah sikap politik masyarakat guna berpartisipasi dalam pemilu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

B. Konsep Peran

Peran (peranan) dalam beberapa literatur linguistik bisa diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan seseorang dalam suatu peristiwa

tertentu2. Selain itu, peran juga bisa didefinisikan suatu keterlibatan

seseorang dalam suatu tindakan atau perbuatan dengan tujuan tertentu, keterlibatan tersebut bisa mendukung atau bahkan menentukan hasil pencapaian tujuan.

Peran yang dilakukan seseorang atau suatu subjek tertentu bisa efektif apabila pemegang peran tersebut memiliki wewenang yang cukup

untuk melaksanakan tugas dan perannya. Sirajuddin3 menyimpulkan

bahwa apabila peran tersebut dilaksanakan oleh seseorang yang memang diberi tugas dan wewenang untuk hal tertentu, disebut ‘peranan’ yang selalu digandengkan dengan ‘tanggung jawab’, sedangkan suatu proses yang melibatkan masyarakat umum (yang sebenarnya tidak diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan hal tertentu) disebut ‘peran serta’.

1 Nugroho Trilaksono, Reformasi dan Reorientasi Kebijakan Otonomi Daerah dalam Perspektif Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dalam Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1, No. 2 (Malang: Fakultas Administrasi Negara, Unibraw, 2000), p. 13.

2 E. Zul Fajri dan R.A. Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Difa Publisher, Tanpa Tahun), p. 641.

3 Mokhammad Najikh, Partisipasi Masyarakat dalam Perspektif Teoritik dalam Sirajuddin (ed.), Hak Rakyat Mengontrol Negara, (Jakarta: Yappika dan Malang: MCW, 2006), p. 87.

(3)

Dalam hal ini, Canter sebagaimana dikutip4 mengartikan peran sebagai proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian/kepahaman masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, di mana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisis oleh badan yang berwenang. Lebih sederhana

lagi, Canter mendefinisikan sebagai feed-forward information (komunikasi dari

pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan atau pelaksanaan

kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat kepada

pemerintah atas pelaksanaan kebijakan itu).

Peran suatu badan/institusi dalam suatu tindakan (kenegaraan) ada yang ditentukan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan ada pula yang didasarkan fungsi dari badan/institusi tersebut. Apabila ditentukan berdasarkan perundang-undangan, peran yang harus dilaksanakan terbatas sesuai dengan bagaimana ketentuan limitatif yang ada dan harus bertanggung jawab sebatas apa yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan tersebut, sedangkan apabila didasarkan fungsinya, peran suatu badan/institusi tidak terbatas pada ketentuan perundang-undangan, tetapi bisa dikembangkan atau diperluas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan fungsi dari badan/institusi tersebut dan pertanggungjawaban atas itu lebih didasarkan terwujudnya pelaksanaan fungsi yang diembannya.

Dapat dikatakan bahwa peran KPUD adalah mengemban tanggung jawab, mengusahakan pelaksanaan tugas, dan menerjemahkannya menjadi kenyataan sesuai wewenang yang diperoleh. Dengan demikian, KPUD harus menyatukan komitmen anggotanya menjadi satu kesatuan solid

sebagai lembaga independent yang memiliki kekuatan untuk menyukseskan

pilkada mengingat KPUD adalah arsitek bagi suksesnya pilkada.

Kota Blitar yang secara sosiokultural tergolong dalam masyarakat paguyuban tersebut, di Jawa Timur menduduki ranking pertama tingginya partisipasi dengan 74,06% dari total masyarakat yang mempunyai hak

pilih5. Pertanyaannya adalah apakah tingginya partisipasi tersebut karena

dipengaruhi peran dari KPUD? dan bagaimana sebenarnya interaksi antara KPUD dan masyarakat?

4 Ibid, p. 13.

5 M. Tauchid Noor, Analisis Yuridis terhadap Pelaksanaan Wewenang KPUD dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah: Studi di Kantor KPUD Kota Blitar, (Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Widyagama Malang, 2005), p. 9.

(4)

C. Konsep Wewenang

Wewenang (authority, competence) oleh Hassan Shadily6 diterjemahkan

sebagai ”hak atau kewajiban kekuasaan memberi perintah atau bertindak untuk memengaruhi tindakan orang lain agar sesuatu dilakukan sesuai

dengan yang diingini.” Shadily kemudian memperjelas terjemahan authority

dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan

wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya

(subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk melakukan tugas tertentu.”

Lebih lanjut, Shadily mengatakan bahwa proses delegation of authority

dilaksanakan melalui langkah-langkah: (1) menentukan tugas bawahan tersebut, (2) penyerahan wewenang itu sendiri, dan (3) timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.

Wewenang sangat erat hubungannya dengan kekuasaan. Dengan wewenang berarti seseorang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Jadi, wewenang menekankan unsur hak, bukan

kekuasaan, meskipun kekuasaan dan wewenang tidak bisa dipisahkan7.

Hubungan organisatoris antara pemerintah pusat dengan daerah yang menempatkan daerah sebagai kepanjangan tangan bertugas untuk

mengurus seluruh kepentingan pemerintah. Sebagai pihak yang notabene

berkedudukan sebagai kepanjangan tangan, hal yang harus dicermati adalah perangkat yang melekat pada pemerintah daerah yang berwujud kekuasaan dan wewenang. Piranti itulah yang nantinya akan dijadikan dasar untuk memutar roda pemerintah daerah lewat keputusan-keputusan (beschikking) yang akan diambil. Mac Iver (1965: 76)8 menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku baik secara langsung dengan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.

Kekuasaan dalam bidang publik dapat dibedakan menjadi kekuasaan konstitutif, legislatif, yudikatif, dan administrasi. Kekuasaan konstitutif adalah kekuasaan yang menyelenggarakan fungsi konstitutif. Imple-mentasinya, membuat dan mengubah UUD. Jadi, hakikat kekuasaan konstitutif adalah menciptakan hukum dasar.

6 Hassan Shadily dan John M. Echols, Kamus Bahasa Inggris–Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), p. 46.

7 Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994) p. 144.

8 Fatkhurohman, Izin Usaha Industri yang Berwawasan Lingkungan untuk Menunjang Pembangunan yang Berkesinambungan, (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 1996), p. 13.

(5)

Sumber wewenang bisa diperoleh secara atribusi, delegasi, subdelegasi, dan mandat. Wewenang secara atribusi diartikan apabila undang-undang dasar atau undang-undang (dalam arti formal) memberikan kepada suatu badan kekuasaan sendiri (mandiri) wewenang

untuk membuat/membentuk peraturan perundang-undangan9.

Disebutkan juga bahwa kekuasaan yang diperoleh secara langsung (ex

officio) di dalamnya dilekati oleh bentuk-bentuk wewenang10.

Pada hakikatnya, dari kedua konsep tersebut wewenang dan peran tidak dapat dipisahkan sehingga dalam pelaksanaan keduanya saling beriringan. Wewenang merupakan tugas yang harus diemban oleh suatu lembaga, sedangkan peran merupakan fungsi sosial yang harus dijalankan oleh suatu lembaga sesuai dengan wewenang yang diembannya. Seperti halnya wewenang, setiap lembaga juga mempunyai beberapa peran yang kadangkala harus dilaksanakan secara bersamaan. Dengan sendirinya wewenang tersebut tidak akan bermakna apa-apa jika tidak diperankan secara tepat oleh KPUD.

D. Konsep Peran Serta (Partisipasi) Masyarakat

Dari sudut terminologi, peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan

keputusan (elite). Bahasan yang lebih khusus lagi, menurut Goulet11 peran

serta masyarakat (partisipasi) sesungguhnya merupakan suatu cara untuk

membahas incentive material yang mereka butuhkan. Dengan perkataan lain,

partisipasi masyarakat merupakan insentif moral sebagai entry point mereka

untuk memengaruhi lingkup makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka.

Cormick (1979)12 membedakan partisipasi masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang bersifat

9 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundangan-Undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Armico, 1998), p. 85.

10 Fatkhurohman, Izin Usaha Industri yang Berwawasan Lingkungan untuk Menunjang Pembangunan yang Berkesinambungan, (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 1996), p. 4.

11 Najikh, Mokhammad, "Partisipasi Masyarakat dalam Perspektif Teoritik" dalam Sirajuddin (ed.), Hak Rakyat Mengontrol Negara, (Jakarta: Yappika dan Malang: MCW, 2006), p. 13.

12 Mokhammad Najikh, "Partisipasi Masyarakat dalam Perspektif Teoritik" dalam Sirajuddin (ed.), Hak Rakyat Mengontrol Negara, (Jakarta: Yappika dan Malang: MCW, 2006), p. 14.

(6)

konsultatif dan kemitraan. Dalam pola hubungan yang konsultatif antara pihak pejabat pengambil keputusan, kelompok masyarakat yang berkepentingan, dan anggota-anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu. Keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Dalam konteks partisipasi masyarakat dengan pola kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah, dan membahas keputusan.

Peran serta atau partisipasi masyarakat juga bisa diciptakan melalui fungsionalisasi struktur sosial yang ada dalam masyarakat karena dalam struktur sosial banyak dijumpai berbagai aspek perilaku sosial. Perilaku sosial menunjukkan adanya suatu gejala yang tetap pada kehidupan masyarakat setelah melalui tahapan perubahan sosial tertentu.

Pollak13 mengemukakan bahwa struktur sosial dapat berfungsi

sebagai pengawas sosial, yaitu sebagai penekan kemungkinan pelanggaran terhadap norma-norma sehingga disiplin dalam kelompok masyarakat dapat terwujud. Pengawasan dalam hal ini dimaksudkan untuk mendisiplinkan para anggota kelompok (masyarakat) dan menghindarkan atau membatasi adanya penyelewengan dari kebijakan yang sudah ada.

Dalam konteks struktur sosial tersebut, KPUD diposisikan sebagai salah satu bagian dari struktur sosial yang memiliki otoritas untuk menjalankan fungsi sebagai pengawas sosial. Dengan demikian, melalui peran dan wewenang yang sudah diberikan secara legal menurut hukum, KPUD dapat berperan untuk menciptakan kedisiplinan masyarakat dalam berpartisipasi untuk proses pemilihan kepala daerah. Fungsionalisasi posisi KPUD sebagai salah satu bagian dari struktur sosial akan menjamin terwujudnya peran serta masyarakat sebagai bentuk ketaatan terhadap

norma-norma yang sudah dibuat oleh KPUD melalui wewenang electoral

regulation.

E. Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung

Reformasi membawa perubahan dalam hubungan pusat dengan daerah dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999. Akan tetapi, trauma terhadap pelaksanaan pilkada Orde Baru yang ditandai dengan intervensi pusat secara berlebihan menjadi semangat para pembuat undang-undang. Ihwal kepala daerah diatur di dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40 UU No. 22/1999 yang secara tegas memuat ketentuan-ketentuan mengenai

13 Mayor Pollak, Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1979), p. 61.

(7)

tugas, fungsi dan kewenangan DPRD dalam pelaksanaan pilkada. Ketentuan lebih rinci tentang pilkada tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 151/2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah.

Pemikiran dan kehendak yang berkembang di setiap momen pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah harapan akan lahirnya pelaksanaan pilkada secara langsung. Ide tersebut sekaligus gagasan revisi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pada awal 2001 yang memberikan otonomi yang luas dan nyata serta perimbangan keuangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Ide pemilihan kepala daerah secara langsung itu karena dilatarbelakangi oleh berbagai ketidakpuasan dan penyimpangan di dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan para wakil rakyat daerah, seperti yang terjadi dalam kasus Maluku, DKI Jakarta, dan lain-lain. Berbagai kalangan aktivis prodemokrasi, LSM, dan lembaga pemantau pemilu juga telah berulang kali melakukan simulasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Semangat untuk meningkatkan kualitas demokrasi dengan cara penerapan pemilihan langsung kepada eksekutif semakin mengemuka. Proses pilkada yang berpedoman pada kerangka sistem UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 151 Tahun 2000 beserta aturan-aturan lainnya dipersepsi sudah tidak relevan dari berbagai sisi seperti yang telah

dijelaskan di atas (Siregar, 2005: 46)14.

Kehendak agar pilkada digelar secara langsung akhirnya memang mendapat angin segar, lebih-lebih setelah lahir UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disusul dengan keluarnya PP No. 6 Tahun 2005 yang mengatur pilkada. Secara umum, pilkada langsung yang telah dilaksanakan Juni 2005 merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Menurut Mendagri, M. Maruf, ada lima pertimbangan penting

penyeleng-garaan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia15.

Pertama, pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan langsung.

Kedua, pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Ketiga, pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran

demokrasi (politik) bagi rakyat (civil education). Keempat, pilkada langsung

14 Ahmad Rizki Siregar, Pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Widyagama, 2005), p. 46.

15 Mufti M. Mubarok, Suksesi Pilkada Jurus Memenangkan Pilkada Langsung, (Surabaya: Java Pustaka Media Utama), pp. 3-7.

(8)

sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Kelima, pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Kelima pertimbangan penting tersebut menjadi dasar mengapa

penyelenggaraan pilkada langsung tetap harus dilakukan16.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) di kota Blitar dilaksanakan oleh sebuah komisi pemilihan umum daerah yang diberi wewenang khusus untuk menyelenggarakannya. Hal itu sesuai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sama halnya dengan KPUD di seluruh Indonesia, KPUD yang ada di kota Blitar juga merupakan metamorfosis dari KPU kota Blitar.

KPU kota Blitar yang selanjutnya dalam proses penyelenggaraan pilkada langsung disebut KPUD kota Blitar terdiri atas lima orang anggota. Selain itu, dalam pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsinya KPUD kota Blitar dibantu oleh sekretariat KPUD.

F. Metode Penelitian 1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis yang mengkaji peran negara (dalam hal ini diwakili KPUD Kota Blitar) dalam bentuk tindakan KPUD terhadap partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini menelusuri segala bentuk tindakan sosial (aksi-interaksi) yang terjadi pada proses pemilihan kepala daerah di Kota Blitar.

Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tradisi pemikiran

sosiologi interpretatif dan fenomenologis17. Penelitian ini bertolak dari

paradigma definisi sosial sebagaimana dikemukakan oleh George Ritzer18

dengan mengetengahkan teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial, seperti teori tindakan (peran KPUD), fungsionalisme struktural, dan fenomenologi. Metode yang digunakan dalam mengkaji fenomena partisipasi masyarakat (fenomenologis) adalah metode penelitian kualitatif. Untuk itu, penelitian ini memanfaatkan konsep-konsep metode penelitian

yang sudah diperkenalkan dengan baik oleh Marshall dan Rossman19

tentang qualitative approaches dan Straus dan Corbin20.

16 Ibid, p. 7.

17 Donald Ary, Lucy C. Jacobs, Ana Asghar Razavieh, Introduction to Research in Education, (Sixth Edition (Wadsworth: Thomson Learning, 2000), p. 445.

18 George Ritzher, Sociology: a Multiple Paradigm Science, (Boston: Allyn and Bacon, 2003), p. 37.

19 Chaterine Marshall, and G.B. Rossman, Designing Qualitative Research, (London: Sage Publication, 1989), pp. 48-49.

20 Anselm Straus, and Juliet Corbin, Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedure and Techniques, (Newburry Park CA: Sage Publication, 1990), pp. 124-145.

(9)

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui

peng-gabungan dua teknik sekaligus, yaitu: pertama, penelitian lapangan (field

research) melalui observasi (observation) dan wawancara mendalam (depth interview) dengan responden yang telah dikelompokkan baik melalui direct interview dengan panduan yang sudah dipersiapkan maupun melalui

kuesioner secara semiterbuka. Kedua, studi pustaka (library research), yaitu

dengan meneliti beberapa literatur dan dokumen-dokumen yang dapat mendukung proses analisis data.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan mengacu pada konsep Strauss dan

Corbin21 yang disebut proses pengodean. Proses pengodean itu terdiri atas

pengodean terbuka (open coding), yang meliputi analisis kata, frasa, dan

kalimat serta analisis lebih lanjut melalui studi perbandingan. Kemudian,

pengodean terpusat/berporos (axial coding) yang meliputi penyusunan

kategori (kategorisasi) penggunaan model-model paradigma dan

pengodean terpilih (selective coding) dengan menjelaskan alur cerita dan

mengaitkan kategori lain di seputar kategori inti yang kemudian dilacak keabsahan hubungannya. Setelah itu, dilakukan pengkajian terhadap fenomena dan kajian terhadap teori substantif dan formal.

4. Keabsahan Data

Sebelum data diproses dan dianalisis lebih mendalam, terlebih dahulu dilakukan pengujian keabsahan data. Dalam menentukan

keabsahan (trustworthiness), pemeriksaan data dilakukan dengan berdasarkan

beberapa kriteria. Moleong22 memperkenalkan empat kriteria yang dapat

digunakan, yakni derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),

kebergantungan (dependability), dan kepastian (conformability).

G. Hasil Penelitian

1. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Kota Blitar

Pelaksanaan pilkada di kota Blitar dapat dikatakan berjalan dengan lancar. Hal itu dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat yang cukup tinggi mencapai lebih dari 70 persen. Kelancaran dan ketertiban penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di kota Blitar tidak lepas dari pelaksanaan peran dan wewenang KPUD yang dilaksanakan dengan baik.

21 Ibid, pp. 51-124.

22 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), p. 170.

(10)

Untuk menjamin tertibnya pelaksanaan pilkada tersebut, KPUD

mengeluarkan beberapa produk hukum berupa peraturan (regeling) dan

keputusan (beschiking). Selama penyelenggaraan pilkada di Kota Blitar

tersebut tercatat ada 9 Peraturan KPU kota Blitar dan 19 Keputusan KPU kota Blitar yang dikeluarkan.

Beberapa tindakan sudah dilakukan oleh KPU kota Blitar untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pilkada langsung secara baik.

1. Menyusun jadwal dan agenda penahapan pemilihan kepala daerah. Hal

ini dilakukan untuk menjamin efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Penjadwalan dan agenda-agenda tersebut disusun dan ditetapkan berdasarkan Keputusan KPU kota Blitar Nomor 1 Tahun 2005.

2. Membentuk kelompok kerja pendaftaran pemilih dan pencalonan

kepala daerah yang ditetapkan berdasarkan Keputusan KPU kota Blitar Nomor 3A, 3B, dan 4A Tahun 2005.

3. dan sebagainya.

Pelaksanaan pilkada di kota Blitar diikuti oleh tiga pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ketiga pasangan calon tersebut didaftarkan oleh gabungan beberapa partai politik dan satu pasangan calon yang didaftarkan oleh satu partai politik.

2. Peran KPUD terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pilkada di kota Blitar

Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak

selalu tercipta secara automatically. Melainkan adanya peran dan

berfung-sinya organ-organ resmi yang diberi wewenang dan tanggung jawab terhadap partisipasi masyarakat.

Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tugas dan wewenang KPUD. Wewenang tersebut dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 yang juga menjelaskan tentang tugas dan wewenang KPUD pada Bab III Pasal 5, di mana isinya sama dengan apa yang ditentukan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004.

Secara kuantitas, tingginya tingkat partisipasi masyarakat kota Blitar dalam pilkada 2005 tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.

(11)

Tabel Daftar Pemilih Pilkada Tahun 2005 di Jatim

Sumber: Jawa Pos, Senin 1 Agustus 2005

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat kota Blitar dalam pilkada tahun 2005 menduduki posisi ter-tinggi di wilayah Jawa Timur. Hal itu dapat diketahui dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, yakni sebesar 74,06%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KPU kota Blitar telah berhasil melaksanakan pilkada dengan baik dengan tingkat partisipasi yang tinggi.

Faktor yang mendorong tingginya partisipasi dan tertibnya pelaksanaan pilkada kota Blitar 2005 yaitu adanya totalitas kerja KPU kota Blitar, independensi, kedekatan dengan desk pilkada, peran institusi lain, pengaruh figur incumbent, dan institusi lain yang ingin berprestasi.

3. Faktor Pendorong dan Penghambat Peran KPUD terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada Kota Blitar

Pada hakikatnya, tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada tidak muncul begitu saja, tetapi ada faktor yang memengaruhinya. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa apabila pengaruh itu positif akan berpengaruh positif pula terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Demikian pula sebaliknya. N o. Kabupaten/ Kota Jumlah Pendudu k Daftar Pemilih Tetap Daftar Pemilih

Menggunakan Hak Pilih

Tidak Menggunakan Hak Pilih Suara Sah Suara Tak Sah Jumlah Pemilih (%) Jumlah (%) 1 Kab. Ngawi 869.955 655.790 426.491 20.283 446.774 68,13 209.016 31,87 2 Kab. Situbondo 631.313 481.899 339.803 10.007 349.810 72,59 132.089 27,41 3 Kab. Ponorogo 936.199 720.505 491.785 20.376 512.161 71,08 208.344 28,92 4 Kab. Banyuwangi 1.557.436 1.202.303 792.478 21.540 814.018 67,70 388.285 32,30 5 Kab. Sumenep 1.035.003 794.673 562.514 19.327 581.841 73,22 212.832 26,78 6 Kab. Jember 2.257.153 1.609.120 1.038.447 30.350 1.068.797 66,42 540.323 33,58 7 Kab. Lamongan 1.370.302 945.512 662.539 16.342 678.881 71,80 266.631 28,20 8 Kab. Gresik 1.136.717 811.102 549.811 22.188 571.999 70,52 239.103 29,48 9 Kota Surabaya 2.710.139 1.934.288 960.240 39.654 999.894 51,69 934.394 48,31 10 Kab. Kediri 1.433.467 1.142.363 718.254 24.708 742.962 65,04 399.401 34,96 11 Kota Blitar 126.785 95.241 68.379 2.159 70.538 74,06 24.703 25,94

(12)

a. Faktor Pendorong

Ada berbagai faktor pendorong peran KPUD terhadap partisipasi masyarakat dalam Pilkada kota Blitar. Di antaranya, bahwa dalam melaksanakan amanat yang diembannya, Ketua, Sekretaris, dan Anggota KPU kota Blitar mempunyai komitmen untuk mengembangkan kerja secara total. Semua unsur memahami tugas dan tanggung jawabnya dengan mengedepankan kerja sama yang baik demi melayani masyarakat.

KPUD dalam menjalankan perannya harus dapat bekerjasama dengan desk pilkada tersebut. Akan menjadi tidak bermakna apabila antara keduanya menjaga jarak atau bahkan terjadi konflik. Apabila hal itu terjadi, jelas kinerjanya akan terhambat. Akan tetapi, sebaliknya semua dapat berjalan lancar apabila keduanya mampu menciptakan hubungan kedekatan yang kondusif dengan memahami tugas masing-masing.

Kekuasaan incumbent yang bersumber pada karisma pribadi, daya

tarik, kejujuran, kebapakan, kasih sayang, dan popularitas dapat memengaruhi masyarakat dalam pilkada. Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa kinerja yang baik dari incumbent akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada.

Adanya kepentingan pihak kepolisian untuk meningkatkan status dari polres persiapan menjadi polresta definitif dapat menguntungkan peran KPU kota Blitar terhadap partisipasi masyarakat. Dengan adanya status tersebut, secara penuh kepolisian akan mengeluarkan kekuatan penuh untuk mengamankan jalannya Pilkada kota Blitar 2005.

b. Faktor Penghambat

Dengan belum adanya acuan tentang jumlah pemilih, KPU kota Blitar mengambil data pemilih tetap pemilu terakhir dari BPS. Dengan langkah tersebut, akhirnya muncul kejanggalan dalam jumlah karena di lapangan kondisinya sudah banyak berubah, misalnya terdapat penduduk yang meninggal dunia, pindah tempat, pensiun dari anggota TNI/Polri, dan ada yang menjadi TNI/Polri serta ada penduduk yang sudah menikah. Kondisi inilah yang kemudian dapat menghambat kelancaran pelaksanaan tahapan pilkada yang akhirnya menghambat peran KPUD untuk mening-katkan partisipasi masyarakat.

Hambatan lain yang menyebabkan tidak efektifnya peran KPUD terhadap partisipasi masyarakat dalam pilkada adalah adanya kampanye terselubung. Kegiatan kampanye terselubung tersebut, misalnya pemba-gian beras ke masyarakat tertentu, lomba mancing, dan lain-lain merupa-kan pelanggaran dalam kampanye. Model kampanye seperti inilah yang dapat menghambat peran KPUD terhadap partisipasi masyarakat.

Hambatan lain yang berasal dari pemberian honorarium yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pada dasarnya KPU kota Blitar berwenang

(13)

merencanakan segala sesuatu untuk kelancaran penyelenggaraan pilkada, termasuk menyusun anggaran yang dibutuhkan secara riil dalam pelak-sanaan pilkada. Akan tetapi, wewenang KPUD tersebut belum bisa mene-robos wewenang DPRD. Dari anggaran yang diajukan sebesar Rp 5 miliar, tetapi yang disetujui hanya sebesar Rp 3,5 miliar.

Faktor penghambat yang lain adalah data pemilih yang kurang valid. Dengan belum adanya acuan tentang jumlah pemilih, KPU kota Blitar mengambil data pemilih tetap pemilu terakhir dari BPS. Dengan langkah tersebut, akhirnya muncul kejanggalan dalam jumlah karena di lapangan kondisinya sudah banyak berubah.

H. Penutup 1. Kesimpulan

Sehubungan dengan peran KPU Kota Blitar sesuai dengan wewenang yang ada maka KPU Kota Blitar telah melakukan tindakan sebagai berikut:

1. KPU kota Blitar telah menjalankan perannya dalam pilkada 2005 sesuai undang-undang yaitu dengan melakukan interaksi sosial dengan

masyarakat dan stakeholder. Dalam interaksi sosial tersebut terdapat

peran yang signifikan terhadap partisipasi masyarakat sehingga kota Blitar menduduki peringkat tertinggi partisipasinya dalam pilkada di Jawa Timur. Adapun peran KPUD yang diimplementasikan dalam pilkada tersebut sebagai berikut:

a. Dilakukannya sosialisasi dengan menggunakan media komunikasi multijalur pada setiap tahapannya secara tepat, baik melalui media cetak, elektronik maupun melalui forum-forum organisasi nonformal dalam masyarakat, misalnya radio, koran, kelompok tahlil, pengajian, ibu-ibu PKK, dan sebagainya.

b. Fungsionalisasi institusi pemerintahan secara proporsional di tingkat kelurahan, misalnya dengan memberdayakan lembaga tingkat kelurahan, seperti kelurahan, RT, dan RW.

c. Mampu membangun kerja sama dan koordinasi yang harmonis dengan desk pilkada (pemerintah daerah), media massa, dan instansi terkait di daerah. Dengan kerja sama dan koordinasi tersebut terbukti efektif untuk membangun komunikasi dengan masyarakat. d. Konsisten dalam pelaksanaan regulasi sehingga KPU kota Blitar

dapat menempatkan dirinya secara netral, independen, proporsional, dan patuh sesuai wewenang dan undang-undang sehingga KPU kota Blitar dapat menjaga netralitas dan tidak berpihak kepada pasangan calon tertentu.

(14)

2. Terdapat sejumlah faktor pendorong sehingga peran KPU kota Blitar dapat berjalan dengan baik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Kota Blitar sebagai berikut.

a. Totalitas kerja KPU kota Blitar. Menyadari tugasnya yang begitu berat tersebut secara intern KPU Kota Blitar selalu mengadakan penataan ke dalam dengan cara membagi peran secara proporsional dan profesional dalam setiap kerjanya dengan melaksanakan peran secara kolektif.

b. Terjaganya independensi KPU kota Blitar. Sebagai pemegang mandat penyelenggara pilkada, KPU Kota Blitar secara teknis telah melaksanakan tugas dari setiap tahapan kegiatan pilkada. Lebih lanjut, KPU kota Blitar juga telah membuat regulasi atau aturan mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku sehingga KPU kota Blitar dapat menjaga netralitas dan tidak memihak kepada pasangan calon tertentu.

c. Kedekatan dengan desk pilkada (pemerintah daerah). Melalui kerja sama intensif dengan desk pilkada KPU kota Blitar dapat membagi peran dalam setiap tahapan pilkada secara proporsional dan profesional sehingga komunikasi dan interaksi dengan masyarakat dan stakeholder lainnya dapat berjalan dengan lancar.

d. Pengaruh figur incumbent. Munculnya incumbent sangat memengaruhi

partisipasi masyarakat dalam pilkada kota Blitar 2005. Dengan walikota lama mencalonkan lagi masyarakat menjadi antusias karena kepemimpinannya sudah teruji.

e. Institusi kepolisian juga ingin berprestasi. Pada saat berlangsungnya pilkada Kota Blitar polresta persiapan sedang menjalani akreditasi menjadi polresta definitif. Dengan kondisi tersebut pihak kepolisian menurunkan anggotanya secara penuh dalam mengamankan pilkada 2005 kota Blitar sehingga proses pelaksanaannya situasinya menjadi kondusif, tertib, dan aman.

3. Terdapat sejumlah faktor penghambat pelaksanaan peran KPU kota Blitar terhadap partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah di kota Blitar sebagai berikut.

a. Data pemilih yang kurang valid. Pada dasarnya di kota Blitar tersedia dua data, yaitu data pemilih pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden dan data dari Bapenduk hasil sensus penduduk tahun 2003. Akan tetapi, pada kenyataannya, kedua data tersebut tidak dapat dimanfaatkan karena kondisi di lapangan sudah berubah. Untuk kepentingan tersebut KPU kota Blitar perlu mengadakan validasi data dengan waktu yang cukup lama.

(15)

b. Masyarakat kurang antusias melihat pengumuman daftar calon pemilih sementara, tambahan, dan tetap. Dengan keadaan tersebut, bagi masyarakat yang tidak terdaftar akan muncul permasalahan pada saat pemungutan suara. Akibatnya, banyak calon pemilih yang sudah memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara.

c. Adanya kampanye terselubung. Ada beberapa calon telah melakukan kampanye terselubung sehingga KPU kota Blitar kesulitan memberi sanksi sesuai wewenangnya.

d. Adanya benturan wewenang dengan DPRD dalam penetapan anggaran. Sebagai lembaga independen penyelenggara pilkada kenyataannya KPU kota Blitar masih belum independen dalam masalah anggaran karena kenyataannya masih harus berbenturan dengan wewenang DPRD.

2. Saran

a. Berdasarkan faktor-faktor pendorong dan penghambat maka diperlukan penelitian lanjut agar peran KPUD untuk meningkatkan peran partisipasi masyarakat dalam pilkada, berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Adanya kemungkinan terjadi hambatan dalam proses partisipasi masyarakat karena faktor-faktor di luar peran KPUD, misalnya faktor ekonomi, tidak banyak perubahan untuk kesejahteraan masyarakat setelah calon terpilih.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bahkan model dalam pilkada bagi KPUD di daerah lain.

(16)

Daftar Pustaka

Abdusyani, Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara,

1994.

Ary, Donald, Lucy C. Jacobs, Ana Asghar Razavieh, Introduction to Research

in Education(sixth edition), Wadsworth: Thomson Learning, 2000.

Fajri, E. Zul, dan R.A. Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa

Publisher, Tanpa Tahun.

Fatkhurohman, Izin Usaha Industri yang Berwawasan Lingkungan untuk

Menunjang Pembangunan yang Berkesinambungan, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 1996.

Iver, Mac, The Web of Government, New York: Mac Milan Co, 1965.

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-Undangan

dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Armico, 1998.

Marshall, Chaterine and G.B. Rossman, Designing Qualitative Research,

London: Sage Publication, 1989.

Moleong, Lexi J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2000.

Mubarok, Mufti M., Suksesi Pilkada Jurus Memenangkan Pilkada Langsung,

Surabaya: Java Pustaka Media Utama, 2005.

Najikh, Mokhammad, "Partisipasi Masyarakat dalam Perspektif Teoritik"

dalam Sirajuddin (ed.) Hak Rakyat Mengontrol Negara. Jakarta:

Yappika dan Malang: MCW, 2006.

Noor, M. Tauchid, Analisis Yuridis terhadap Pelaksanaan Wewenang KPUD

dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah: Studi di Kantor KPUD Kota Blitar, Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Widyagama Malang.

Nugroho, Trilaksono, "Reformasi dan Reorientasi Kebijakan Otonomi

Daerah dalam Perspektif Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah". Jurnal Administrasi Negara, Vol I Nomor 2. Malang: Fakultas Ilmu Administrasi. Universitas Brawijaya, 2000.

Pollak, Mayor, Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas,Jakarta: Ikhtiar Baru, 1979.

Ritzer, Geroge, Sociology: a Multiple Paradigm Science. Boston: Allyn and

(17)

Sadily, Hassan dan John M. Echols, Kamus Bahasa Inggris–Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992.

Siregar, Ahmad Rizki, Pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum Daerah

dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Malang: Fakultas Hukum Universitas Widyagama, 2005.

Straus, Anselm and Juliet Corbin, Basic of Qualitative Research: Grounded

Theory Procedureand Techniques, Newbury Park. CA: Sage Publication, 1990.

Wahab, Solichin A., Perkembangan Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial

dan Keagamaan, dalam M. Tholhach Hasan, et al. Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Malang: LP Unisma, 2002.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Gambar

Tabel Daftar Pemilih Pilkada Tahun 2005 di Jatim

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, prinsip yang harus dipegang adalah bahwa transaksi bisnis apa pun jika di dalamnya mengandung ketidakjelasan (unclearness), ketidakpastian

Hubungan Diameter dengan Potensi Karbon Pohon Pada Tanaman Shorea leprosula Miq ( Coherence Diameter with Potential Carbon Tree at Shorea leprosula Miq

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, maka penulis mengemukakan saran (i) bagi pendidik, diharapkan dapat meningkatkan perkembangan keaksaraan pada

Dari pernyataan mufassir diatas bahwa peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa, objek yang diperintahkan kepada nabi Muhammad itu adalah Alquran, ini menunjukkan

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi yang berbeda Tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas fisik warna dan pertumbuhan jamur silase batang pisang.. Akan

Saat dalam tampilan navigasi, Anda dapat mengusap ke atas dari bawah layar atau menekan tombol bawah untuk membuka daftar pintasan.. Pintasan memberikan akses cepat untuk

Dari pembahasan di atas, terdapat hubungan antara kedua media tersebut yaitu media Audio-Visual di kelas X.7 dan media Berbasis Lingkungan Sekolah di kelas X.8 bahwa kedua

Hasil temu bual dengan peserta kajian turut menunjukkan wujudnya keperluan untuk pembangunan satu program intervensi keluarga yang dapat membantu ibu bapa dan