• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin aprecatio yang berarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin aprecatio yang berarti"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Pengertian Apresiasi

Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin aprecatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai” Aminudin (Dalam rindiani 2004:4). Bentuk itu berasal dari kata kerja " ti appreciate" yang berarti menghargai, menilai,mengerti dalam bahasa indonesia menjadi mengapresiasi. Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove (dalam Rindiani 2004:4), mengandung makna: (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahannya yang diungkapkan pengarang.

Sejalan dengan pengertian apresiasi di atas Effendi (dalam Hafid 2002:16) mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.

Dari pendapat itu juga dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaninya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan apresiasi sastra adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berbentuk puisi maupun prosa atau suatu

(2)

9

kegiatan menggauli sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.

2.1.2 Tingkatan Apresiasi

Adapun tingkatan apresiasi sastra Wardani (1981) membagi tingkatan apresiasi sastra kedalam empat tingkatan sebagai berikut

a. Tingkat menggemari, yang ditandai dengan adanya rasa tertarik kepada buku-buku sastra serta keinginan membacanya dengan sungguh-sungguh, anak melakukan kegiatan kliping sastra secara rapi, atau membuat koleksi pustaka mini tentangh karya sastra dari berbagai bentuk.

b. Tingkatan menikmati, yaitu mulai dari menikmati cipta sastra karena mulai tumbuh pengertian, anak dapat merasakan nilai estetis saat membaca puisi anak-anak atau mendengarkan deklamasi puisi / prosa anak-anak atau menonton drama anak-anak

c. Tingkatan mereaksi yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati misalnya menulis sebuah resensi, atau berdebat dalam suatu diskusi sastra secara sederhana. Dalam tingkat ini juga termasuk keinginan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sastra

d. Tingkat produktif, yaitu mulai ikut menghasilkan cipta sastra diberbagai media massa seperti koran, majakah, atau majalah dinding sekolah yang tersedia, baik dalam bentuk puisi, prosa atau drama.

Berbeda dengan P.Suparman (Tarigan,2000) membagi tingkatan apresiasi sastra atas lima tingkatan, yakni sebagai berikut :

(3)

10

a. Tingkat penikmatan, misalnya menikmati pembaca/deklamasi puisi, menonton drama, mendengarkan cerita.

b. Tingkat penghargaan, misalnya memetik pesan positif dalam cerita, mengagumi suatu karya sastra, meresapkan nilai-nilai humanistik dalam jiwa; menghayati amanat yang terkandung dalam puisi yang dibacanya atau yang didekalamasikan.

c. Tingkat pemahaman, misalnya mengemukakan berbagai pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra setelah menelaah atau menganalisis unsur intrinsik-ekstrinsiknya, baik karya puisi, prosa maupun drama anak-anak d. Tingkat penghayatan, misalnya melakukan kegiatan mengubah bentuk karya

sastra tertentu kedalam bentuk karya lainnya (parafprase), misalnya mengubah puisi kedalam bentuk prosa, mengubah prosa kedalam bentuk drama, menafsirkan menentukan hakikat isi karya sastra dan argumentasinya secara tepat

e. Tingkat implikasi, misalnya mengamalkan isi sastra mendayagukan hasil apresiasi sastra untuk kepentingan harkat kehidupan.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tingkatan apresiasi terdiri dari beberapa tingkatan yang berbeda seperti tingkatan menggemari, tingkatan menikmati, tingkatan mereaksi, tingkatan produktif, tingkat penikmatan, tingkat penghargaan, tingkat pemahaman, tingkat penghayatan dan tingkat implikasi. 2.1.3 Manfaat Apresiasi

Menurut Moondy dan Leslie S (dalam Abd.Khalik Sani, 2004:3) Apresiasi sastra memiliki 3 manfaat, yaitu :

(4)

11

a. Mengembangkan Imajinasi

Salah satu tujuan utama pembelajaran bahasa/sastra adalah terbentuknya kemampuan siswa yang kreatif. Untuk menjadi kreatif, salah satu aspek mutlak yang harus dimilki adalah daya imajinasi yang memadayi Akhadia (1992:23) Menyatakan bahwa “sesungguhnya hanya dapat menjadi kreatif jika siswa meiliki daya imajinasi” sebagaimana yang dikemukan Huck (1987) bahwa mengapresiasi sastra dapat mengembangkan imajinasi siswa. Imajinasi yang dimaksud adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan) atau menciptakan suatu karya (gambar, karangan dan sebagainya ) berdasarkan kenyatan pengalaman seseorang (dalam KBBI, 1994:372). daya imajinasi itu bersifat tentatif yang artinya daya imajinasi tersebut tidak bersifat tetap serta masih dapat diubah. Maksudnya dalam bersastra daya pikir didorong untuk mengalami kebebasan berkhayal tanpa kekangan aturan yang kaku (licentie puetica). Kebebasan itu bukan berarti sebebas-bebasnya tanpa batas dan tidak berakar pada dunia nyata yang bersifat logis, luwes, dan dinamis agar dapat menciptakan kreasi sastra yang didalamnya selalu ada unsur kebaruan, baik dari segi isi maupun dari segi bentuk. b. Meluaskan Pandangan tentang Kemanusiaan

Melalui pergaulan dengan karya sastra berbagai pengalaman dapat diperoleh agar kelak bisa berfungsi untuk meluaskan pandangan tentang kemanusiaan sekaligus berkaitan dengan pembentukan watak dan pribadi yang baik dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat. Misalnya : dalam puisi POT oleh Sutarji Kalsum Bachri memberi perluasan wawasan dan pengalaman kejiwaan bahwa kita harus menjadi Ibu, ibu yang mampu melahirkan generasi

(5)

12

penerus yang berkualitas, generasi yang dapat mengharumkan nama bangsa di tingkat internasional. Puisi Chairil “Sekali berarti/Sudah itu mati” jika kita cermati dengan sedalam-dalamnya, akan mendorong kita untuk memperbanyak amal saleh dalam kehidupan sehari-hari, agar kita dapat memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhan Yang Maha Esa serta tidak sederjat dengan binatang atau lebih rendah lagi.

c. Meningkatkan Keterampilan Berbahasa

Tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia di SD adalah untuk meningkatkan keterampilan berbahasa. Kaitannya dengan apresiasi sastra yang dapat meningkatkan keterampilan berbahasa siswa , berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan karya sastra dalam pembelajaran dapat meningkatkan keterampilan. Misalnya : Lehman menemukan bahwa siswa yang menggunakan karya sastra dalam membaca memperoleh nilai yang lebih tinggi dalam hal kosa kata dan pemahaman isi bacaan dibandingkan siswa yang bukan menggunakan karya sastra sebagai bahan bacaan (dalam Rofi’uddin’ 1997)

Apresiasi mempunyai beberapa manfaat yaitu mengembangkan imajinasi sehingga siswa dapat berfikir kreatif, meluaskan pandangan tentang kemanusiaan sehingga siswa dapat memiliki pengalaman tentang karya sastra dan meningkatkan keterampilan berbahasa sehingga pemahaman siswa tentang karya sastra lebih banyak.

2.1.4 Pengertian Cerita

Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi) Foster(dalam Nurgiyantoro,

(6)

13

1995:91). Sedangkan menurut Semi (1988:79) Dongeng berarti cerita rekaan/tidak nyata/fiksi, seperti: fabel (binatang dan benda mati), sage (cerita petualangan), hikayat (cerita rakyat), legenda (asal usul), mythe (dewa-dewi, peri, roh halus), ephos (cerita besar; Mahabharata, Ramayana, saur sepuh, tutr tinular). Jadi kesimpulannya adalah “Dongeng adalah cerita, namun cerita belum tentu dongeng”. Metode Bercerita berarti penyampaian cerita dengan cara bertutur. Yang membedakan antara bercerita dengan metode penyampaian cerita lain adalah lebih menonjol aspek teknis penceritaan lainnya. Sebagaimana phantomin yang lebih menonjolkan gerak dan mimik, operet yang lebih menonjolkan musik dan nyanyian, puisi dan deklamasi yang lebih menonjolkan syair, sandiwara yang lebih menonjol pada permainan peran oleh para pelakunya, atau monolog (teater tunggal) yang mengoptimalkan semuanya. Jadi tegasnya metode bercerita lebih menonjolkan penuturan lisan materi cerita dibandingkan aspek teknis yang lainnya.

2.1.5 Manfaat Cerita

Adapun manfaat cerita (dalam Nia Hidayati, 2011: http://blog. indonesiabercerita.org/tag/manfaat-cerita/) (online) (diakses 15 November 2012) a. Mengembangkan kemampuan berbicara dan memperkaya kosa kata anak,

terutama bagi anak-anak batita yang sedang belajar bicara. Kata-kata baru yang didengar melalui dongeng akan semakin memperkaya kosa kata dalam berbicara, sehingga secara tidak langsung kita telah mengajarkan perbendaharaan kata yang banyak kepada anak melalui cerita.

(7)

14

b. Bercerita atau mendongeng merupakan proses mengenalkan bentuk-bentuk emosi dan ekspresi kepada anak, misalnya marah, sedih, gembira, kesal dan lucu. Hal ini akan memperkaya pengalaman emosinya yang akan berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kecerdasan emosionalnya. Karena itu, ketika bercerita berikan penekanan intonasi pada bentuk emosi tertentu, dengan menunjukkan mimik atau ekspresi yang sesuai, sehingga anak mampu mengenali dan memahami bentuk-bentuk emosi tersebut.

c. Memberikan efek menyenangkan, bahagia dan ceria, khususnya bila cerita yang disajikan adalah cerita lucu. Secara psikologis, cerita lucu membuat anak senang dan gembira. Rasa nyaman dan bahagia lebih memudahkannya untuk meyerap nilai-nilai yang kita ajarkan melalui cerita. Perlu kita ketahui bahwa lucu tidak sama dengan clowning (membadut). Kriteria lucu di sini bukan menonjolkan cerita tentang perilaku yang terlihat kebodoh-bodohan atau konyol, sehingga anak tidak belajar meniru untuk melecehkan kondisi orang lain yang memiliki kekurangan. Kelucuan yang segar dan mendidik bisa membuat anak tidak saja mudah tersenyum, bisa tertawa atau jarang menangis, tetapi mampu menstimulasi kreativitasnya dan keingintahuannya. d. Menstimulasi daya imajinasi dan kreativitas anak, memperkuat daya ingat,

serta membuka cakrawala pemikiran anak menjadi lebih kritis dan cerdas. Alur cerita dengan menampilkan bentuk-bentuk emosi akan menumbuhkkembangkan daya imajinasi anak, sehingga ia merasakan senang belajar dengan membayangkan cerita tersebut. Suatu saat ia bisa menuliskan atau menceritakan kembali isi cerita tersebut. Sebagai orang tua, kita bisa

(8)

15

mulai bercerita dengan ending yang menggantung, biarkan ia berimajinasi dan menebak kelanjutannya atau kita sendiri memintanya untuk melanjutkan cerita tersebut. Dengan demikian, imajinasi dan kreativitasnya lebih terlatih, terutama ketika di usia sekolah ia mendapat tugas mengarang atau menulis e. Dapat menumbuhkan empati dalam diri anak. Karena itu, cerita yang kita

bacakan harus sesuai dengan prinsip yang saya jelaskan di atas. Jika anak dibacakan cerita yang menyentuh jiwa dan perasaan atau bahkan cerita yang bersumber dari pengalaman masa kecil kita, kejadian-kejadian di lingkungan sosial atau tayangan televisi yang menarik dan menyentuh sisi kemanusiaan, maka perasaannya akan tersentuh dan ia mulai memiliki rasa empati, mulai dapat membedakan mana yang pantas ditiru dan harus dijauhi. Misalnya, ketika menonton liputan tentang bencana, kita bisa menceritakan betapa menderitanya mereka yang tertimpa bencana dan kita wajib membantunya. f. Melatih dan mengembangkan kecerdasan anak. Cerita tidak saja

menyenangkan, tetapi memberikan manfaat luar biasa bagi kecerdasan anak secara inteligen (kognitif), emosional (afektif), spiritual dan visual anak. Secara kognitif yaitu akan mempermudah proses pembelajaran pada anak, karena kemampuan berpikir otak lebih mudah menyerap nilai yang terkandung dalam cerita. Secara afektif, cerita akan mempengaruhi suasana hati dan menumbuhkan perasaan-perasaan empati dan positif pada anak. Secara spiritual, cerita juga bisa menggugah kesadaran ruhani, menyentuh bagian terdalam diri anak-anak kita, serta melatih kemampuan, kemauan dan kecerdasan mereka akan keberadaan Tuhan dalam hidup mereka. Hal ini

(9)

16

secara psikomotorik akan menuntun mereka untuk bisa mengaplikasikan apa yang mereka dengar dari cerita melalui bentuk-bentuk ibadah. Kisah kehidupan Rasulullah SAW (Sejarah Islam), kisah para sahabat Nabi atau para syuhada merupakan cerita realita yang tepat untuk menstimulasi kecerdasan mereka.

g. Sebagai langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Ketertarikan pada cerita akan membuat anak penasaran, ingin mengetahui dan membaca bukunya. Semakin tinggi rasa ingin tahunya, semakin tingi pula minat bacanya, sehingga kelak ia menjadi anak yang suka membaca dan menghargai ilmu.

h. Merupakan cara paling baik untuk mendidik tanpa kekerasan, menanamkan nilai moral dan etika juga kebenaran, serta melatih kedisiplinan. Bercerita atau mendongeng merupakan cara yang efektif untuk memberikan sentuhan manusiawi (human touch) dan menumbuhkan sportivitas anak. Anak lebih bisa memahami hal yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru melalui cerita yang kita ungkapkan. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar, serta memudahkan mereka menilai dan memposisikan diri di tengah-tengah orang lain.

i. Membangun hubungan personal dan mempererat ikatan batin orang tua dengan anak. Ini merupakan manfaat yang paling penting bagi kita juga anak-anak kita, terutama bagi kita yang tidak bisa selalu mendampinginya. Membacakan cerita merupakan kesempatan kita untuk lebih dekat dengan mereka, sehingga terbina sebuah komunikasi yang baik.

(10)

17

Bercerita merupakan cara sederhana yang memiliki arti dan bisa memberikan dampak luar biasa bagi kepribadian anak-anak kita. Anak-anak kita adalah belahan jiwa kita, seperti matahari yang tiada henti menyinari kehidupan kita sebagai sebuah keluarga. Membahagiakan anak tidak selalu bisa kita lakukan dengan memenuhi kebutuhan materialnya, tetapi lebih dari itu, kebutuhan ruhani, kedekatan dan ikatan batin yang kuat merupakan bentuk kebahagiaan yang utuh dalam membangun dan membentuk kepribadiannya.

2.1.6 Ciri-ciri Cerita Anak

Ciri-ciri cerita anak adalah sebagai berikut: a. Keterbatasan isi dan bentuk

Cerita anak memiliki keterbatasan,baik yang menyangkut pengalaman hidup yang dikisahkan, cara mengisahkan, maupun bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan.

b. Penyajian secara langsung

Kisah yang ditampilkan memberikan uraian yang menuju sasaran secara langsung. tindakan-tindakan tokoh ditampilkan secara jujur.

c. Memiliki fungsi terapan

Cerita anak memberikan pesan moral kepada anak-anak. Pesan moral tersebut disampaikan dengan cara tidak menggurui maupun terkesan mengabaikan kecerdasan anak namun berkenaaan dengan hal-hal yang bermanfaat untuk anak-anak yaitu menceritakan secara jelas tokoh-tokoh yang bersifat penolong dan pemurah dan juga menceritakan tokoh-tokoh jahat yang patut dihukum.

(11)

18

d. Memberi kesenangan dan pemahaman tentang kehidupan

Cerita anak mampu memberikan kesenangan dan kenikmatan. Selain itu, cerita anak juga mampu menstimulasi imajinasi anak, mampu membawa ke pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain.

e. Sifat fantastis

Hal ini dilandasi oleh perkembangan kejiwaan anak yang sarat dengan dunia fantasi. Semakin tinggi daya fantasi dalam cerita anak, maka cerita tersebut lebih digemari oleh anak-anak.

f. Citra dan metafora kehidupan

Citra dan metafora kehidupan yang dikisahkan dalam cerita anak baik dalam hal isi (emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral) maupun bentuk (kebahasaan dan cara-cara pengekspresian) dapat dijangkau dan dipahami oleh anak sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya.

g. Anak sebagai pusat cerita

Cerita anak tidak harus berkisah tentang anak, dunia anak, dan berbagai peristiwa yang melibatkan anak. cerita anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan maupun kehidupan yang lain.

Ciri-ciri cerita anak adalah memiliki keterbatasan, kisah yang ditampilkan memberikan uraian yang menuju sasaran secara langsung. tindakan-tindakan tokoh ditampilkan secara jujur, memberikan pesan moral kepada anak-anak, mampu memberikan kesenangan dan kenikmatan sehingga mampu menstimulasi imajinasi anak, mampu membawa ke pemahaman terhadap diri sendiri dan orang

(12)

19

lain, bersifat fantasi, dapat dijangkau dan dipahami oleh anak sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya dan harus berkisah tentang anak, dunia anak, dan berbagai peristiwa yang melibatkan anak. Maimunah 2012: (http://id.

shvoong.com/social-sciences/education/2250154-ciri-ciri-cerita-anak/#ixzz2ET7Couz1) (online) (diakses 15 November 2012) 2.1.7 Unsur-unsur cerita

Menurut Trimansyah (1999 : 38-41) Cerita anak terdiri atas unsur-unsur pembangun cerita, yaitu :

a. Tokoh dan perwatakan

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam cerita. Hal senada juga diungkapkan oleh Aminuddin yang menyatakan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat batinnya agar watak juga dikenal oleh pembaca. Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahir dan batin yang dapat berupa pandangan hidup, sikap, keyakinan, adat istiadat, dan sebagainya.

b. Latar atau setting

Latar atau setting yaitu tempat, keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Tidak semua jenis latar cerita selalu ada dalam sebuah cerita. Mungkin dalam sebuah cerita, latar yang menonjol adalah latar waktu dan tempat.

(13)

20

c. Alur atau plot

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan- tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku/ tokoh cerita. Dalam alur terdapat serangkaian peristiwa dari awal sampai akhir, yang terbagi atas : (1) pengenalan tahap peristiwa dalam suatu cerita yang mengenalkan tokoh- tokoh atau latar cerita, (2) konflik adalah ketegangan atau pertikaian antara dua kepentingan dalam cerita, (3) klimaks adalah titik akhir dalam konflik, (4) leraian adalah bagian struktur setelah tercapai klimaks, (5) selesaian merupakan tahap akhir dalam sebuah cerita.

d. Tema dan Amanat

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita yang berperan sebagai dasar bagi pengarang dalam memaparkan karya fiksi. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat, di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat

Unsur-unsur dalam cerita anak adalah tokoh atau individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam cerita, latar atau setting yaitu tempat, keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra, alur atau rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan- tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku/ tokoh cerita, tema atau ide yang mendasari suatu cerita yang berperan sebagai dasar bagi pengarang dalam memaparkan

(14)

21

karya fiksi dan amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.

2.1.8 Pengertian Fiksi

Istilah fiksi dalam bahasa indonesia diserap dari bahasa inggris piction yang berarti cabang seni sastra yang berupa cerita-cerita imajinatif, berbentuk prosa.termasuk didalamnya adalah cerpen, nopel, dan cerita-cerita yang diciptakan. Kata piction dalam bahasa inggris sebenarnya diserap dari bahasa latin fingere yang berarti membuat, membentuk. Oleh karena itu fiksi disebut juga sebagai cerita buatan atau cerita rekaan karena fiksi menyajikan cerita buatan pengarangnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Aminuddin (dalam Hafid 2002:31) mengemukakan pengertian cerita fiksi adalah keesahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dan peranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.

Pembelajaran apresiasi sastra yang efektif dapat dilakukan melalui pembelajaran cerita fiksi secara bertingkat yaitu menggemari, menikmati, merespon, menceritakan dan memahami cerita fiksi.

Pembelajaran apresiasi yang efektif dapat dilakukan melalui pembelajaran cerita fiksi secara bertingkat yaitu menggemari, menikmati, merespon, dan memproduksi karya sastra Rofi’udin dan Budiasih, (dalam Hafid 2002:30).

Jika anak diberitahu bahwa sesuatu itu baik misalnya, maka akan lebih baik dengan memberikan bukti konkret yang mengungkapkan hal itu baik daripada memberitahu kepada anak bahwa itu tidak baik. Pesan yang

(15)

22

disampaikan dalam cerita fiksi lebih tepat dijadikan sarana penyampaian pesan kepada anak. Akan jauh lebih efektif menanamkam sesuatu sikap dengan contoh dalam cerita dibanding dengan hanya memberi tahu. Anak lebih memahami pentingnya suatu kejujuran misalnya jika diramu dalam suatu cerita yang telah terbukti, dibanding dengan hanya menyatakan kepada anak bahwa jujur itu baik.

Teks cerita harus disesuaikan dengan perkembangan anak atau usia anak. Rubbin (1995:150) menyatakan bahwa teks cerita dapat disajikan sebagai landasan tumpuh empat keterampilan berbahasa. Selain itu teks cerita dapat mengembangkan aspek kejiwaan anak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rofi’uddin dan Zuchdi (dalam Hafid 2000:26) menyatakan bahwa aspek kejiwaan yang ditumbuhkembangkan melalui teks cerita adalah daya nalar, kepekaan, emosi, dan daya imajinasi, perluasan wawasan dan daya kreasi. Dengan potensi yang dimiliki teks cerita sastra relevan untuk diakrabkan pada anak-anak sejak usia Sekolah Dasar.

2.1.9 Manfaat Cerita Fiksi

Cerita fiksi mempunyai peranan yang sangat penting khususnya dalam peningkatan minat baca bagi murid. Ditinjau dari segi manfaatnya pragmatikahnya sastra anak khususnya cerita fiksi bermanfaat sebagai pendidikan dan hiburan Rofi’uddin dan Zuchdi (dalam Hafid 2000:27)

Manfaat pendidikan pada sastra memberi banyak informasi tentang sesuatu hal, memberi banyak pengetahuan, memberi kreatifitas atau keterampilan anak dan juga memberi pendidikan moral pada anak. Manfaat hiburan sastra anak jelas memberi kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan pada diri anak.

(16)

23

Selain manfaat pendidikan dan hiburan menurut Endraswaro (2002:13) sastra anak khususnya cerita fiksi juga bermanfaat membentuk kepribadian dan menuntut kecerdasan emosi anak. Perkembangan emosi anak akan dibentuk melalui karya sastra yang dibacanya setelah menikmati cerita fiksi yang dibacanya itu, anak-anak secara alamiah akan terbentuk kepribadiannya menjadi penyeimbang emosi secara wajar, menanamkan konsep dari harga diri, menanamkan kemampuan yang realitas, membekali anak untuk memahami kelebihan dan kekurangan diri, dan membentuk sifat-sifat kemanusiaan pada diri si anak.

Pada dasarnya dalam karya sastra khususnya cerita fiksi terkandung masalah-masalah kesemestaan yang dapat dipelajari anak-anak dan dapat membuahkan pengalaman estetik (Rofi’uddin dan Zuchi, 1999:17). Bahasa imajinatif karya sastra dapat menghasilkan responsi interval dan responsi emosional. Responsi interval dan emosional akan menuntun anak–anak merasakan dan menghayati para tokoh berbagai konflik dan masalah kehidupan manusia.

Sastra anak-anak akan membantu murid memperoleh kesenangan dan kebahagiaan diri, keindahan dan kesedihan, kelucuan dan keajaiban yang pernah dialaminya. Cerita fiksi memiliki nilai personal dan nilai pendidikan yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak-anak. Dengan demikian sastra anak dapat memberikan: kenikmatan dan kesenangan, memperkuat cara berpikir, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman, mengembangkan kemampuan berprilaku menjanjikan.

(17)

24

Adapun sastra cerita fiksi mengandung nilai pendidikan, membantu perkembangan bahasa, mengembangkan kemampuan membaca, mengembangkan kepekaan cerita dan meningkatkan kemampuan menulis.

2.1.10 Unsur-unsur yang Membangun Cerita Fiksi

Supriadi (2006:59) pada hakikatnya unsur yang membangun cerita fiksi sama dengan unsur yang membangun cerita fiksi lain seperti cerpen, novel, dan dongeng lainnya. Unsur ekstrinsik adalah: (a) latar belakang pendidikan pengarang, (b) latar belakang penciptanya, (3) situasi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sedangkan unsur intrinsik adalah: (a) tema atau amanat, (b) alur atau plot, (c) perwatakan atau penokohan, dan (d) latar.

Keempat unsur intrinsik tersebut diuraikan sebagai berikut : a) Tema atau Amanat

Tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Selanjutnya dikatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya fiksi. Tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tujuan yang hendak dicapai oleh pengarang.

Mengetahui tema suatu cerita/novel, maka kita harus merangkum unsur-unsur lain dan sekaligus membaca secara tuntas cerita tersebut. Mengetahui suatu tema dalam cerita, maka terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan seperti apakah motivasi tokoh, apa problemnya dan apa keputusannya yang diambilnya. Selain itu harus dijejaki konflik sentral. Dan konflik sentral inilah akan menjurus kepada sesuatu yang hendak dicari.

(18)

25

b) Alur atau Plot

Alur cerita suatu cerpen pada umumnya terdiri atas (1) bagian pembuka, yaitu situasi yang mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikut, (2) bagian tengah, yaitu kondisi bergerak ke arah yang mulai memuncak, (3) bagian puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa, (4) bagian penutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampakkan pemecahan masalah atau penyelesainnya.

Alur merupakan tulang punggung cerita sebab alur menuntun pembaca menelusuri cerita secara keseluruhan tidak ada jalan cerita yang bisa kita tinggalkan apabila kita tidak mengetahui jalan cerita secara utuh. Tetapi unsur alur yang paling perlu adalah konflik dan klimaks. Sebab dalam konflik itulah tampak masalah secara utuh dan jelas secara menarik pembaca untuk mengikuti kejelasan cerita.

c) Perwatakan atau Penokohan

Sumarjo (dalam Ridayani, 2004:10) berpendapat, karakter adalah sifat-sifat khas pelaku/tokoh yang diceritakan, bagaimana kualitas nalar, sikap, tingkah laku pribadi, jiwa, yang membedakan dengan tokoh lain dalam sebuah cerita.

Masalah perwatakan/penokohan adalah suatu hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan menentukan karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan yang membetuk alur. Tokoh dan perwatakan harus terstruktur pula. Ia memiliki fisik dan mental secara bersama membentuk totalitas pelaku yang bersangkutan. Segala tindakan dan prilaku

(19)

26

merupakan jalinan hubungan logis, suatu hubungan yang termasuk akal walaupun relatif.

Untuk mengetahui tokoh utama atau tokoh tambahan dalam sebuah cerita, maka kita harus melihat keseringan pemunculannya dalam sebuah cerita. Selain itu dapat juga diketahui lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarang dan juga lewat judulnya.

Tokoh dalam sebuah cerita digambarkan oleh pengarang seperti halnya manusia mempunyai watak-watak yang berbeda, ada yang baik ada pula yang jahat, sehingga dalam cerita dikenal istilah pelaku protagonis, yaitu pelaku disenangi dan pelaku antagonis yaitu pelaku yang tidak disenangi pembaca.

Dalam cerita fiksi, penggambaran penokohan tidak serumit yang di atas tetapi pengarang langsung menyebutkan karakter pelakunya misalnya, langsung disebutkan bahwa tokoh itu licik, penyabar, dungu, dan sebagainya. Demikian pula posisi tokoh sangat jelas yang memihak kepada kebaikan dan yang memihak kepada kejahatan.

d) Latar

Latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi, latar belakang fiksi, unsur dan ruang dalam suatu cerita. Dalam konteks latar segala yang berkaitan dengan tempat, waktu, musim, periode, kejadian-kejadian di sekitar peristiwa cerita semua termasuk latar.

Tarigan (dalam Ridayani, 2004:13) mengemukakan bahwa latar yang dapat dipergunakan untuk beberapa maksud atau tujuan tertentu antara lain:

(20)

27

a. Latar harus mudah dikenal kembali dan juga yang dilukiskan dengan terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.

b. Latar suatu cerita mempunyai suatu relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan arti umum.

c. Kadang-kadang mungkin juga terjadi bahwa latar itu dapat bekerja bagi maksud-maksud yang lebih tertentu dan terarah dari pada menciptakan suatu atmosfer yang bermanfaat dan berguna.

2.1.11 Pembelajaran Cerita Fiksi di Sekolah Dasar

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) mata pelajaran bahasa Indonesia bahan pembelajaran prosa fiksi khususnya cerita fiksi anak pada dasarnya tidak berdiri sendiri sebagai mana yang dinyatakan dalam kurikulum sebelumnya. Tetapi jika kita perhatikan dengan baik, justru kurikulum 2006 ada peluang yang sangat besar bagi guru untuk mengajarkan cerita fiksi.

Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan rambu-rambu kurikulum KTSP 2006, karya sastra (cerita fiksi) bukan hanya dijadikan bahan ajar untuk mengajarkan sastra tetapi disini dapat juga dijadikan sebagai bahan ajar untuk kemampuan berbahasa siswa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Hal ini tampak pada rambu-rambu kurikulum KTSP yang berbunyi “perbandingan bobot pembelajaran bahasa dan sastra sebaiknya seimbang dan dapat disajikan secara terpadu: misalnya wacana sastra dapat sekaligus dipakai sebagai bahan pembelajaran” (Depdiknas 2006:17).

(21)

28

Jika ditelaah kurikulum KTSP 2006 mata pelajaran bahasa Indonesia, cerita fiksi sebagai bahan pembelajaran dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan khususnya di kelas VI. Berikut ini disajikan butir-butir pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum 2006 mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai berikut :

a. Melengkapi bagian awal atau akhir sebuah cerita.

b. Membaca cerita kemudian menceritakan ciri sifat pelakunya atau kebiasaan pelakunya.

c. Membaca buku cerita yang baik dan melaporkan di depan kelas.

d. Membaca cerita, mencatat hal yang penting/menarik, kemudian menyusun pertanyaan.

Sasaran tersebut memiliki implikasi bahwa guru sastra di Sekolah Dasar perlu memiliki kemampuan yang memadai tentang strategi pembelajaran sastra agar strategi yang digunakan sesuai dengan sasarannya. Selain itu, guru perlu memiliki penguasaan ber sastra yang memadai agar proses penyampaian guru tidak tergelincir pada hal-hal yang bersifat meklanis, teori-teori saja, bahkan agar guru dapat membagikan pengalaman pada siswa.

Jika diperhatikan kedua pendekatan tadi, keduanya bertentangan. Untuk itu yang lebih sesuai adalah menggabungkan kedua pendekatan tersebut karena muara terakhir pembelajaran cerita fiksi adalah terbinanya apresiasi dan kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan cerita fiksi dan keterampilan dari sastra untuk itu, perlu ditetapkan pandangan bahwa sastra adalah sesuatu yang kehadiranya untuk dipelajari dan dinikmati. Bimbingan atau

(22)

29

dasar-dasar penafsiran dalam batas-batas tertentu perlu diberikan oleh guru agar proses penikmatan terjadi lebih terarah. Murid diberi kebebasan dan tanggungjawab dalam menelusuri karya cerita fiksi dengan cara siswa diminta menyiapkan satu presentasi atau penampilan tentang karya cerita fiksi yang dinikmatinya baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Peran guru lebih banyak sebagai fasilitator.

2.1.12 Pengertian Pembelajaran Model STAD

Model STAD yang dikembangkan oleh Robert dan kolega-koleganya di Universitas John Hopkin, merupakan salahsatu model pembelajarn kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan salah satu model yang banyak digunakan dalam pembelajaran kooperatif. Slavin (dalam Nur, 2006:4) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif dengan tipe STAD, Murid di tempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan 4-5 orang murid yang merupakan campuran dari kemampuan akademik yang berbeda, sehingga dalam setiap kelompok terdapat siswa yang berprestasi tinggi, sedang, dan rendah atau variasi jenis kelamin, kelompok ras, dan etnis atau kelompok sosial lainnya.

Pembelajaran model STAD merupakan salah satu model pembelajaranya yang terstruktur dan sistematis, dimana kelompok–kelompok kecil bekerja sama untuk mencapai tujuan–tujuan bersama (Slavin, 1995:71).

Cooper dan Heinich (dalam Rosmawan 2007:13) menjelaskan bahwa: pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagi metode pembelajaran yang melibatkan kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan murid bekerja sama untuk

(23)

tujuan-30

tujuan dan tugas-tugas akademik bersama, sambil bekerja sama, belajar keterampilan-keterampilan kolaboratif dan sosial.

Anggota-anggota kelompok memiliki tanggung jawab dan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan beberapa defenisi di atas dapat dikatakan bahwa belajar model STAD mendasarkan bahwa murid bekerjasama dalam belajar kelompok dan sekaligus masing-masing bertanggung jawab pada aktifitas belajar anggota kelompoknya, sehingga seluruh anggota kelompok dapat menguasai materi pelajaran dengan baik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan belajar kelompok siswa dapat bekerjasama, antar sesama kelompok yaitu saling tukar pendapat dalam menyelesaikan soal yang dikerjakan.

2.1.13 Langkah-Langkah Penggunaan Model STAD

Kelompok belajar Model STAD diterapkan pada bimbingan belajar dalam kelas, biasanya akan terjadi tutorial antara siswa dimana murid yang telah menguasai konsep atau permasalahan (tutor) akan memberikan penjelasan pada murid lain pada kelompoknya. Proses pengembangan kemampuan akan terjadi baik untuk tutor sebaya maupun temannya mengalami peningkatan pemahaman. kelebihan yang dimiliki oleh tutor sebaya adalah dapat memahami materi lebih baik dibandingkan dengan teman-temannya, Slavin (dalam Asma (2006:51)

Jumlah anggota adalah kelompok yang berkisar 3-4 orang yang terdiri dari murid dengan kemampuan yang beragam, sehingga dalam satu kelompok akan terdapat siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Selanjutnya mereka diharapkan akan bekerjasama dan saling menolong antar anggota untuk

(24)

31

kesuksesan bersama. Kesuksesan kelompok ini menjadi faktor pemicu peningkatan motivasi belajar siswa, karena siswa akan merasa bahwa kompetisi yang diterapkan berjalan adil, Slavin (dalam Asma 2006:52)

Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif model STAD menurut Asma (2006:51) terdiri dari enam tahap: (a) Persiapan pembelajaran, (b) penyajian materi, (c) belajar kelompok (d) tes, (e) penentuan skor penempatan individual, dan (f) penghargaan kelompok. tahap-tahap pembelajaran kooperatif learning tipe STAD sebagai berikut :

a. Tahap 1 .Persiapan Pembelajaran  Materi

Materi pembelajaran dengan menggunakan Model STAD dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara kelompok. sebelum menyajikan materi pelajaran, dibuat Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang akan dipelajari kelompok, dan lembar jawaban dan lembar kegiatan tersebut

 Menempatkan Siswa dalam Kelompok

Menetapkan siswa dalam kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari empat orang dengan cara mengurutkan siswa data atas kebawa berdasarkan kemampuan akademiknya dan daftar siswa yang telah diuraikan tersebut dibagi menjadi empat bagian. kemudian diambil satu siswa dari tiap kelompok sebagai anggota kelompok. Kelompok yang sudah dibentuk diusahakan berimbang selain menurut kemampuan akademik juga diusahakan menurut jenis kelamin dan etnis

(25)

32

 Menentukan Skor Dasar

Skor dasar merupakan skor rata-rata pada kuis sebelumnya. jika mulai mengunakan STAD setelah memberikan tes kemampuan prasyarat/tes pengetahuan awal, maka skor tes tersebut dapat dipakai sebagai skor dasar. Selain skor tes kemampuan prasyarat/tes pengetahuan awal, nilai siswa pada semester sebelumnya juga dapat digunakan skor dasar.

b. Tahap 2 Penyajian Materi

Tahap penyajian materi ini menggunakan waktu sekitar 20-35 menit setiap pembelajaran dengan model ini, selalu dimulai dengan penyajian materi oleh guru. Sebelum menyajikan materi pelajaran, guru dapat memulai dengan penjelasan tujuan pelajaran, memberikan motivasi untuk berkooperatif, menggali pengetahuan prasyarat dan sebagainya. Dalam penyajian kelas dapat digunakan model ceramah, dan tanya jawab, diskusi dan sebagainya, sesuai dengan isi bahan ajar dan kemampuan belajar.

c. Tahap 3 Kegiatan Belajar Kelompok

Dalam setiap kegiatan belajar kelompok digunakan lembar kegiatan, lembar tugas, dan lembar kunci jawaban. Masing masing dua lembar untuk setiap kelompok. dengan tujuan agar terjalin kerjasama diantara kelompoknya. Lembar kegiatan dan lembar tugas diserahkan pada saat kegiatan belajar kelompok sedangkan kunci jawaban diserahkan setelah kegiatan kelompok selesai dilaksanakan setelah penyerahan lembar kegiatan dan lembar tugas, guru menjelaskan tahapan dan fungsi belajar kelompok dari tipe STAD. Setiap siswa mendapat peran pemimpin anggota-anggota dalam kelompoknya dengan harapan

(26)

33

bahwa setiap anggota kelompok termotivasi untuk memulai pembicaraan dalam diskusi.

d. Tahap 4 Pemeriksaan Terhadap Hasil Kegiatan Kelompok

Pemeriksaan terhadap hasil kegiatan kelompok dilakukan dengan memprensentasikan hasil kegiatan kelompok di depan kelas oleh wakil dari setiap kelompok. Pada tahap kegiatan ini diharapkan terjadi interaksi antar anggota kelompok penyajian dengan anggota kelompok lain untuk melengkapi jawaban kelompok tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara bergantian. Pada tahap ini pula dilakukan pemeriksaan hasil kegiatan kelompok dengan memberikan kunci jawaban dan setiap kelompok memeriksa sendiri hasil pekerjaanya serta memperbaiki jika masih terdapat kesalahan-kesalahan.

e. Tahap 5 Siswa Mengerjakan Soal-soal secara Individu

Pada tahap ini setiap siswa harus memperhatikan kemampuannya dan menunjukan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal tes sesuai dengan kemampuannya. Siswa dalam tahap ini tidak diperkenangkan bekerjasama

f. Tahap 6 Pemeriksaan Hasil Tes

Pemeriksaan hasil tes dilakukan oleh guru, membuat daftar skor peningkatan satu individu, yang kemudian dimasukan menjadi skor kelompok. Peningkatan rata-rata skor setiap individu merupakan sumbangan bagi kinerja pencapaian kelompok.

(27)

34

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penggunaan Model STAD Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Fiksi, antara lain : Penelitian yang dilakukan oleh Astarina, B. Shinta Marga. 2011, Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar dan Pra Sekolah. Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP Universitas Negeri Malang, dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran ini dapat terbukti hasil belajar siswa meningkat. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata hasil belajar siswa dari 59 dengan persentase ketuntasan 34% kemudian mengalami peningkatan pada akhir siklus -1 yaitu 67,13 dengan persentase ketuntasan 43% dan meningkat lagi pada akhir siklus -2 yaitu 76,70 dengan persentase ketuntasan 91%. Kesimpulan dari penelitian adalah penerapan model pembelajaran kooperatif learning tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar mengapresiasi cerita fiksi siswa kelas 3 SDN Tanjungrejo 5 Malang.

Peneltian yang dilakukan oleh Muhammad Karwapi 2012. Penggunaan Model Kooperatif Learning Tipe STAD dalam Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Fiksi di Kelas VI SDN 318 Tobarakka Kecamatan Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo. Program studi SI Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar. Jenis data yang diperoleh adalah data kualitatif yang terdiri atas tes hasil belajar dan hasil observasi. Tindakan dalam penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus. Setiap siklus dilaksanakan 2 kali pertemuan pembelajaran. Setiap siklus melalui empat prosedur, yaitu perencanaan,

(28)

35

pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Dalam penelitian ini, pembelajaran mengacu pada langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif learning tipe STAD yang terdiri atas lima tahapan yang terdiri atas: 1) tahap pembangkitan, 2) tahap pengaitan, 3) tahap pengambaran, 4) tahap penafsiran, 5) tahap penilaian.

Berdasarkan data hasil penelitian siklus I diperoleh tingkat keberhasilan 66,66%, dan siklus II sudah mencapai 83,33%. Kesimpulan pembelajaran yaitu kemampuan mengapresiasi cerita fiksi pada murid kelas VI SDN 318 Tobarakka, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, dapat meningkat dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif learning tipe STAD. Diharapkan dalam menerapkan model ini pada pengorganisasian kelas sebaiknya dilakukan guru sebelum pembelajaran, model ini terbukti dapat meningkatkan hasil belajar mengapresiasi sastra siswa kelas VI sehingga dapat menjadi alternatif pembelajaran yang inovatif dan menarik siswa antusias belajar.

2.3 Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah jika guru menggunakan model STAD maka kemampuan siswa dalam mengapresiasi cerita fiksi di kelas VI SDN 7 Bonepantai Kabupaten Bone Bolango akan meningkat

2.4 Indikator Kinerja

Yang menjadi indikator kinerja keberhasilan peneltian tindakan kelas ini minimal 80 % dari 25 siswa memperoleh kategori terampil dalam mengapresiasi cerita fiksi melalui model STAD.

Referensi

Dokumen terkait

4. Bentuk tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi tersebut, dalam proses belajar mengajar digunakan oleh guru untuk memberi penguatan, bertanya, menggunakan variasi,

Pada Gambar 8 terlihat ada tiga variasi pengukuran kecepatan linier solution shaker yaitu pengukuran kecepatan ketika tanpa beban, pengukuran kecepatan dengan beban 50 g dan

Berkaitan dengan uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Sikap Masyarakat terhadap Keberadaan Lokalisasi Prostitusi Dolly dan Maraknya

Berdasarkan tabel 4 diatas diketahui suhu yang didapatkan dari hasil objek yang sama dan waktu yang sama, hasil di atas merupakan hasil dari dua alat ukur yang berbeda

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sekretaris Desa dibantu oleh kepala Urusan Staf Sekretaris Desa atau Kepala Urusan adalah unsur sekretariat yang melaksanakan urusan

Campuran gas yang keluar dari reaktor diturunkan tekanannya menjadi 1,1 atm dengan expander, kemudian didinginkan dengan cooler (Co-01) untuk dialirkan ke absorber

(2007) dan Rumambi (2007) menyimpulkan bahwa sikap audiens remaja terhadap brand placement dalam suatu film dapat diukur melalui empat skala dimensi, yaitu attention,

Berdasarkan hasil pengukuran dengan surveymeter pada titik-titik yang telah ditentukan diperoleh data-data laju dosis paparan radiasi seperti pada tabel 1 untuk pengukuran