PERUBAHAN
PENGGUNAAN
LAHAN
DAN
KARAKTERISTIK
TANAH
DAERAH
PASANG
SURUT
BATANG
BERBAK
–
PAMUSIRAN
LAUT,
JAMBI
ASMADI
SA’AD
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
PERUBAHAN
PENGGUNAAN
LAHAN
DAN
KARAKTERISTIK
TANAH
DAERAH
PASANG
SURUT
BATANG
BERBAK
–
PAMUSIRAN
LAUT,
JAMBI
Oleh
ASMADI
SA’AD
NRP
P02600007
PROGRAM
STUDI
ILMU
TANAH
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Perubahan Penggunaan Lahan dan Karakteristik Tanah Daerah Pasang Surut Batang Berbak – Pamusiran Laut, Jambi adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012 Asmadi Sa’ad NRP P02600007
ABSTRACT
ASMADI SAAD. Changes of land use and soil characteristics of tidal swamp land Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi. Under supervision of SUPIANDI SABIHAM, ATANG SUTANDI, BASUKI SUMAWINATA and M. ARDIANSYAH Reclamation of tidal swamp land carried out by the Government of Indonesia for the purpose of transmigration and food security program in the Province of Jambi in 1973 faced with some problems, namely: (1) peat and mineral soils that have a low capability for agricultural development, (2) decomposition of the peat at fibric stage with low nutrient availability, (3) limited accessibility, (4) land cover domination by forest vegetation, and (5) very poor drainage. To improve this condition, construction of drainage canals is necessary to get rid of the excessive water and land preparation for rice cultivation. It has led to changes in land use and soil characteristics after reclamation. The purposes of this research were to: (1) study land use changes and their affecting factors, (2) analyze the changes of soil characteristics and their affecting factors, and (3) study the relationships between land use changes and soil characteristics and land productivity of tidal swamp of Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi after reclaimed. The research was conducted at Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi that was reclaimed by the early 1973 until 2008. Data of land use type of the early reclamation period of the study area were obtained from the 1973 survey report, while those of 1989, 1998 and 2008 were analyzed from the Landsat imagery and farmer information. Image processing was done by supervised classification and used Tasseled cap transformation. Data were analyzed with Geographical Information System (GIS) ArcView 3.2 / ArcGIS Software. Soil and water characteristic were analyzed in the Department of Soil Science and Land Resource, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. The research results showed that the land use of tidal swamp of the Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi changed from three types at the early period of reclamation into six types after 20 years of reclamation and developed into eight types after 35 years of reclamation. Land use changes in the Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi were due to changes in land and hydrological characteristics and farmer attractiveness to the high-
economic value commodities such as rubber and oil palm. Paddy fields were
predominantly on the relatively lower land position with enough water availability. Coconut plantation, mixed farms, rubber and oil palm were predominantly on the relatively higher land. After 35 years, the land reclamation improved soil ripeness and drainage condition, caused a decrease in soil pH and CEC, and increase in soil exchangeable-Al and sulfate as well as a decrease in exchangeables -K, -Na, -Ca and - Mg. Thickness of the organic material at the site of observation decreased between 22 cm to 40 cm. Loss of thickness of the organic material is strongly influenced by the condition of drainage and land preparation for rice planting by burning. Land productivity increased in the first ten-years of the reclamation and decreased in the second ten-years period otherwise increased again after 35 years of reclamation and this phenomenon was in line with changes in soil characteristics and water quality and availability. For the purpose of tidal land management which contain potential acid sulfate, it is necessary to carry out land use zonation and water regulation. It is urgently needed to further research on the hydrological aspect especially on the river, canals, and land water level, water circulation, and tidal range which is a basic data for water management.
Keywords: land use change, reclamation, soil characteristics change, tidal swamp, Jambi,
RINGKASAN
ASMADI SA’AD. Perubahan Penggunaan Lahan dan Karakteristik Tanah Daerah Pasang Surut Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, ATANG SUTANDI, BASUKI SUMAWINATA dan M. ARDIANSYAH
Reklamasi lahan rawa pasang surut yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk program transmigrasi dan ketahanan pangan di Provinsi Jambi tahun 1973 dihadapkan pada beberapa masalah, yaitu: (1) tanah gambut dan tanah mineral yang memiliki daya sangga rendah untuk pertanian, (2) dekomposisi gambut pada tingkat fibrik dan hemik dengan ketersediaan hara rendah, (3) aksesibilitas yang terbatas, (4) ditutupi oleh vegetasi hutan dan (5) drainase sangat buruk. Untuk memperbaiki kondisi ini diperlukan saluran drainase untuk membuang air berlebih dan persiapan lahan untuk tanaman padi. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan karakteristik tanah setelah reklamasi.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mempelajari perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut, (2) menganalisis perubahan karakteristik tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut, (3) mempelajari keterkaitan antara perubahan penggunaan lahan dan karakteristik tanah serta produktivitas lahan pasang surut setelah direklamasi.
Penelitian ini dilakukan di Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi yang sudah direklamasi dengan data awal tahun 1973 sampai 2008. Data penggunaan lahan awal reklamasi Batang Berbak - Pamusiran Laut Jambi diperoleh dari laporan survei tahun 1973 dan penggunaan lahan tahun 1989, 1998 dan 2008 berdasarkan hasil analisis Citra Landsat dan informasi petani. Data Landsat diolah menggunakan program pengolahan citra dengan klasifikasi terbimbing. Hasil reklasifikasi dikonversi dari raster ke vektor guna mendapatkan peta penggunaan lahan. Khusus untuk citra 2008 ditambahkan input data dari transformasi Tesseled
Cap pada hasil reklasifikasi dengan digitasi layar (screen digitizing). Perubahan penggunaan lahan diperoleh dengan proses tumpang tindih (overlay) peta penggunaan lahan tahun 1973-1989, peta penggunaan lahan tahun 1989-1998 dan peta penggunaan lahan tahun 1998-2008. Data spasial dianalisis dengan program
GIS (Geographycal Information System) ArcView 3.2. Proses lay out peta
menggunakan program ArcGIS.
Studi ini menunjukkan bahwa: Penggunaan lahan pasang surut di Batang Berbak - Pamusiran Laut Jambi mengalami perubahan dari tiga tipe penggunaan lahan pada awal reklamasi menjadi enam tipe penggunaan lahan setelah dua puluh tahun reklamasi dan delapan tipe penggunaan lahan setelah tiga puluh lima tahun reklamasi. Perubahan penggunaan lahan tersebut ditentukan oleh perubahan karakteristik tanah dan hidrologi serta ketertarikan petani terhadap komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yaitu karet dan kelapa sawit. Penggunaan lahan sawah dominan pada lahan yang relatif lebih rendah dan air tersedia sedangkan untuk lahan yang relatif tinggi didominasi oleh penggunaan lahan tanaman kelapa, kebun campuran, karet, dan kelapa sawit. Setelah 35 tahun reklamasi lahan pasang surut menyebabkan terjadinya penurunan terhadap daya dukung fisik lahan untuk pertanian dan menyebabkan terjadi penurunan pH tanah dan KTK serta
peningkatan Al-dd dan SO42- serta penurunan K-dd, Na-dd, Ca-dd dan Mg-dd. Ketebalan bahan organik pada lokasi pengamatan mengalami turun antara 22 cm sampai 40 cm. Penurunan ketebalan bahan orgaik sangat dipengaruhi oleh kondisi drainase dan persiapan lahan dengan pembakaran untuk penanaman padi. Saluran drainase yang dibuat mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan dapat mengakibatkan terjadinya kontak oksigen dengan bahan sulfidik dalam tanah menyebabkan kemasaman tanah. Produktivitas tanah pada lahan pasang surut meningkat pada sepuluh tahun awal pembukaan dan menurun pada sepuluh tahun kedua namun meningkat kembali setelah tiga puluh lima tahun reklamasi sejalan dengan perubahan karakteristik tanah dan ketersediaan dan kualitas air. Peningkatan produktivitas lahan pasang surut dapat ditingkatkan lagi dengan penerapan suatu paket teknologi.
Untuk tujuan pengelolaan lahan pasang surut yang mengandung potensial sulfat masam perlu dilakukan zonasi penggunaan lahan dan pengaturan tata air dengan mempertimbangkan jangkauan air pasang dan memperhatikan kedalaman bahan sulfidik. Pengembangan daerah pasang surut masa yang akan datang sangat diperlukan adanya penelitian tentang hidrologi terutama kaitannya dengan tinggi muka air sungai, saluran, lahan dan jangkauan pasang, sirkulasi air serta penyebaran dan kedalaman bahan sulfidik yang merupakan data dasar untuk pengelolaan air.
Kabaharuan (novelty) dari penelitian ini menunjukkan adanya bukti bahwa lahan pasang surut setelah direklamasi memiliki potensi yang besar dan menuju suatu kondisi yang lebih baik dalam rangka mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan.
.
Kata kunci : karakteristik tanah, penggunaan lahan, rawa pasang surut, reklamasi,
@
Hak
cipta
milik
IPB,
tahun
2012
Hak
cipta
dilindungi
Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulis karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
PERUBAHAN
PENGGUNAAN
LAHAN
DAN
KARAKTERISTIK
TANAH
DAERAH
PASANG
SURUT
BATANG
BERBAK
-
PAMUSIRAN
LAUT,
JAMBI
Oleh
ASMADI
SA’AD
Disertasi
Sebagai
salah
satu
syarat
untuk
memperoleh
gelar
Doktor
pada
Program
Studi
Ilmu
Tanah
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
Ujian Tertutup : 23 Desember 2011 Penguji luar komisi pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S. (Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, IPB)
Dr. Ir. Untung Sudadi, M.S. (Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, IPB)
Ujian Terbuka : 28 Januari 2012 Penguji luar komisi pada Ujian Terbuka : Prof (r). Dr. Istiqlal Amien. (Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian)
Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc (Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, IPB)
Judul Disertasi : Perubahan Penggunaan Lahan dan Karakteristik Tanah Daerah Pasang Surut Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi
Nama : Asmadi Sa’ad
NRP : P02600007
Program Studi : Ilmu Tanah Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Ir. Atang Sutandi, M.Si.PhD.
Ketua Anggota
Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr. Dr. Ir. M. Ardiansyah.
Anggota Anggota Mengetahui ,
Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana
Ir. Atang Sutandi, M.Si. PhD. Dr. Ir. Dahrul Syah.
KATA PENGANTAR
Puji dan Sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.
Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana di IPB, Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. sebagai ketua komisi pembimbing atas segala motivasi, perhatian, dorongan dan bimbingan serta arahan mulai penyusunan proposal, kunjungan lapangan dan penulisan disertasi;
2. Ir. Atang Sutandi, M.S, PhD. sebagai anggota komisi pembimbing dan ketua program studi Ilmu Tanah atas perhatian, bimbingan dan arahan serta motivasi dalam penyelesaian disertasi;
3. Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr. sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan dalam penelitian di lapang dan penulisan disertasi;
4. Dr. Ir. M. Ardiansyah. sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan terutama perubahan penggunaan lahan;
5. Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S. dan Dr. Ir. Untung Sudadi, M.S. sebagai penguji luar komisi pada Ujian Tertutup;
6. Prof (r). Dr. Istiqlal Amien dan Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. sebagai penguji luar komisi pada Ujian Terbuka;
7. Prof. Dr. Ir. Uup Safei Wiradisastra, M.Sc. (Alm) dan Prof. Dr. Ir. Soedarsono, M.Sc. atas perhatian selama menempuh pendidikan di IPB;
8. Prof. Hisao Furukawa atas motivasi dan pengalaman di lapang;
9. Dr.Ir. Suwardi, M.Agr, Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc., Ir. Hermanu Widjaya, M.Sc. atas kebersamaannya di lapang;
10. Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc., Dr. Ir. Budi Nugroho, M.S., dan Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. atas kebersamaanya selama penyelesaian akhir tulisan ini; 11. Semua staf pengajar di program studi Ilmu Tanah sekolah pasca sarjana IPB
yang telah membekali ilmu pengetahuan dan pengalaman lapangan selama penulis menempuh pendidikan;
12. Semua teman mahasiswa pascasarjana Ilmu Tanah IPB atas perhatian dan bantuannya;
13. Semua tenaga laboratorium kimia dan kesuburan tanah atas dukungan dan bantuannya di laboratorium;
14. H. Oman, Mas Arman, Kang Narto, Dirmaja dan Afrizal atas bantuannya di lapang;
15. Orang tua tercinta Asa’ad dan Jusminar (Alm), mertua tersayang M. Noor dan Siti Arpah serta kakak, adik-adik atas dorongan semangat dan doanya;
16. Istri tercinta Noperma dan anak-anak tersayang Regina Wulandari, Firson Madino dan Ahmad Jusuf Muhdori atas doa, kesabaran dan ketabahannya.
Semoga disertasi ini bermanfaat terutama dalam reklamasi lahan pasang surut. Amin.
Bogor, Februari 2012 Asmadi Sa’ad
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kerinci pada tanggal 9 Maret 1968 dari pasangan ayah Asa’ad dengan ibu Jusminar (Almarhumah) sebagai putra kedua dari tujuh bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci, Jambi: tamat Sekolah Dasar (SD 5 Negeri) pada tahun 1980, tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP 1 Negeri) pada tahun 1983, tamat Sekolah Menengah Atas (SMA 1 Negeri) pada tahun 1986.
Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Jambi (UNJA) pada tahun 1986 dan berhasil memperoleh gelar Sarjana Pertanian bidang keahlian Ilmu Tanah pada tahun 1991. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana IPB, dan pada tahun 1999 memperoleh gelar Megister Sain bidang Ilmu Tanah. Mulai tahun 1992 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Budi daya Pertanian Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
Sekarang penulis dikarunia tiga orang anak dari pernikahan dengan isteri tercinta Noperma yaitu (1) Regina Wulandari, (2) Firson Madino, (3) Ahmad Jusuf Mohdori.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...xix
DAFTAR GAMBAR ...xx
DAFTAR LAMPIRAN ...xxii
I. PENDAHULUAN ...1 1.1. Latang Belakang ...1 1.2. Tujuan Penelitian ...4 1.3. Hipothesis ...5 1.4. Kebaharuan Penelitian ...5 II. TINJAUAN PUSTAKA ...7
2.1. Lahan Rawa ...7
2.2.Tanah Gambut ...8
2.3. Pengertian Tanah Sulfat Masam ...11
2.4. Pembentukan Pirit ...12
2.5. Reaksi Oksidasi – Reduksi pada Tanah Sulfat Masam . ...14
2.6. Tata Air di Lahan Pasang Surut.. ...15
2.7. Produktivitas Tanah Sulfat Masam.. ...17
2.8. Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan... ...18
2.9 Penginderaan Jauh...
22
2.10. Sistem Informasi Geografis...
24
III. METODE PENELITIAN ...27
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...
27
3.2. Metodologi Penelitian...27
3.3. Pengolahan dan Analisis Data ...42
IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN ...43
4.1. Identifikasi Penggunaan Lahan ...43
4.2. Penggunaan lahan Awal Reklamasi tahun 1973...45
4.3. Penggunaan lahan Setelah Reklamasi tahun 1989 ...48 xvii
4.4. Penggunaan lahan Setelah Reklamasi tahun 1998 ...50
4.5. Penggunaan lahan Setelah Reklamasi tahun 2008 ...53
4.6. Perubahan Penggunaan Lahan ...55
4.6.1. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1973 Ke tahun 1989 ...57
4.6.2. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1989 Ke tahun 1998 ...57
4.6.3. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1998 Ke tahun 2008 ...58
V. PERUBAHAN KARAKTERISTIK TANAH DAN AIR ...61
5.1. Perubahan karakteristik Tanah...61
5.1.1 Ketebalan Bahan Organik...61
5.1.2 Tingkat Kemasaman Tanah (pH)...63
5.1.3 Kapasitas Tukar kation ...65
5.1.4 Aluminium Al-dd...
67
5.1.5 Sulfat SO4
2-
...68
5.2. Kualitas Air...69
5.3. Tinggi Muka Air Sungai dan Air Saluran ...73
VI. HUBUNGAN PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DENGAN KARAKTERISTIK TANAH DAN AIR TERHADAP PRODUKTIVITAS ...77
6.1. Pemikiran Reklamasi Lahan Pasang Surut Delta Berbak Jambi ...77
6.2. Perubahan Poduktivitas Lahan sawah Pasang Surut di Delta Berbak ...80
6.3. Kecenderungan Perubahan Tata Guna Lahan ke komoditi lain ...84
6.4. Perkembangan Hidrologi (Saluran Drainase) ...87
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...99
7.1. Kesimpulan ...99 7.2. Saran...99 DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN... 107 xviii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan untuk Digunakan dengan Data Penginde-
raan Jauh (Lillesand dan Kiefer, 1994) ...21
2 . Aplikasi Prinsip dan Saluran Spektral Thematic Mapper (Lo,1995) ...23
3 . Lokasi Pengamatan Tanah ...39
4. Parameter dan Metode Analisis Karakteristik Tanah...
40
5 . Lokasi Pengambilan Sample Air Saluran, Air Tanah, dan Air Sungai ...41
6 . Parameter dan Metode Analisis Kualitas Air ...
41
7. Formula Transformasi Tasseled Cap Landsat TM...
45
8. Hasil Matrik Klasifikasi Kelas Penggunaan lahan ...45
9. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1973, 1989, 1998, dan Tahun 2008...55
10. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1973 ke Tahun 1989 ...57
11. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1989 ke Tahun 1998...58
12. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1998 ke Tahun 2008...59
13. Ketebalan Bahan Organik Pada Lokasi 1, 2,dan 3 ...62
14. Kualitas Air Sungai Tahun 2008 ...70
15. Peranan Daerah Pasang Surut Terhadap Produksi Gabah Kering di Propinsi Jambi Tahun 1969-1977...78
16. Produksi Rata-rata per Hektar Gabah Kering Giling di Delta Berbak...
80
17. Produksi Tanaman Padi di Daerah Lahan Pasang Surut Musim tanam 1983/1984 82 18. Perubahan Produktivitas Lahan Pasang Surut...
83
19. Keadaan Air Tanah di Komplek Proyek Pelita ...91 xix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Peta lokasi penelitian ...28
2. Proses koreksi geometri citra, peta dan foto udara ...30
3. Foto Udara 1976 Terkoreksi Geometrik ...32
4. Citra Landsat Tahun 1989 Terkoreksi Geometrik ...33
5. Citra Landsat Tahun 1998 Terkoreksi Geometrik ...34
6. Citra Landsat Tahun 2008 Terkoreksi Geometrik ...35
7. Diagram Alir Penentuan Perubahan Penggunaan Lahan ...36
8. Peta Lokasi Pengamatan Tanah ...38
9. Penampakan Visual untuk Area contoh Citra Landsat ...44
10. Peta penggunaan lahan tahun 1973...
47
11. Peta penggunaan lahan tahun 1989...
49
12. Peta penggunaan lahan tahun 1998...
51
13. Peta penggunaan lahan tahun 2008...
54
14. Grafik Perubahan Penggunaan Lahan ...56
15. Perubahan Ketebalan Bahan Organik ...63
16. pH (kemasaman tanah) Tahun 1973, 1984, dan 2008...64
17. Perubahan KTK pada Tahun 1973, 1984, dan 2008 ...66
18. Perubahan Al-dd pada Tahun 1973, 1984, dan 2008 ...68
19. Perubahan Jumlah SO42- Tahun 1973, 1984 dan 2008...69
20. Nilai pH Air Saluran di Lokasi 1...
71
21. Nilai EC (uS/cm) Air Saluran di Lokasi 1...
71
22. Nilai pH Air Saluran di Lokasi 2...
71
23. Nilai EC (uS/cm) Air Saluran di Lokasi 2...
72 xx
24. NilaipH Air Saluran di Lokasi 3.. ...72
25. Nilai EC (uS/cm) Air Saluran di Lokasi 3... ...73
26. Tinggi Muka Air Pasang dan Surut Sungai Batanghari ...74
27. Tinggi Muka Air Pasang dan Surut SK 16 Rantau RasauSungai Batanghari ...74
28. Tinggi Muka Air Pasang dan Surut Parit 4 Rantau Rasau II ...75
29. Tinggi Muka Air Pasang dan Surut pada Saluran Lokasi 2 SK 21 Sungai Dusun 75
30. Tinggi Muka Air Pasang dan Surut pada Saluran Lokasi 3 SK 12 Harapan Makmur 76
31. Produksi Padi pada Awal Pembukaan Lahan Pasang Surut (1973) ...81
32. Perubahan Produktifitas (Produksi Padi GKG Ton/Ha) ...84
33. Penampang Saluran Primer ...89
34. Penampang Saluran Sekunder ...90
35. Peta Hidrologi Tahun 1973 ...92
36. Peta Kondisi Hidrologi Tahun 2008...
94 xxi
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Curah Hujan (mm) di Daerah Pasang Surut Delta Berbak Jambi ... 107
2. Kondisi Iklim Lokasi Penelitian (CH, Temperatur udara, LP, RH dan V ) ... 107
3. Titik GCP (Ground Control Point) GPS untuk Registrasi Citra dan Peta ... 108
4. Titik Lokasi Pengecekan Penggunaan Lahan Tahun 2008... 109
5. Deskripsi Profil Lokasi Penelitian 1973 ... 113
6.Deskripsi Profil Lokasi Penelitian Tahun 1984... 114
7.Deskripsi Profil Lokasi Penelitian Tahun 2008... 116
8. Karakteristik Tanah Lokasi 1, Lokasi 2 dan Lokasi 3 Tahun 1973... 119
9. Karakteristik Tanah Lokasi 1, Lokasi 2 dan Lokasi 3 Tahun 1984... 119
10. Karakteristik Tanah Lokasi 1 Tahun 2008 ... 120
11. Karakteristik Tanah Lokasi 2 Tahun 2008 ... 121
12. Karakteristik Tanah Lokasi 3 Tahun 2008 ... 122
13. Kualitas Air Sungai Batanghari dan Batang Berbak tahun 2008 ... 123
14. Karakteristik Air Lokasi 1 Tahun 2008-2009... 124
15. Kualitas Air Lokasi 2 SK 21 Sungai Dusun ... 125
16. Kualitas Air Lokasi 3 Harapan Makmur SK 12 ... 126
17. Kualitas Air di Rantau Jaya ... 127
18. Kualitas Air Daerah Rantau Makmur SK 6 ... 128
19. Tinggi Muka Air Sungai Batanghari , SK 16, Lokasi 1, Lokasi 2 dan Lokasi 3 ... 129
20.Selisih Ketinggian Air Maksimum dan Minimum di Lokasi Penelitian ... 130
21. Peta Lokasi Profil Tahun 1973 ... 131
22.Peta Lokasi Profil Tanah Tahun 1984 ... 132
23.Peta Lokasi Pengamatan Air Tahun 2008 ... 133 xxii
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang tergenang secara terus menerus atau sementara, air tanah dangkal, drainase buruk dan muka air tanah dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Di Indonesia luas lahan pasang surut diperkirakan 20,11 juta hektar, mencakup 6,71 juta hektar bertipologi sulfat masam, 2,07 juta hektar bertipologi potensial sulfat masam, 10,89 juta hektar bertipologi lahan gambut dan 0,44 juta hektar bertipologi lahan salin (Nugroho et
al. 1992). Alihamsyah (2002) menyatakan bahwa sampai tahun 2000 lahan pasang surut telah direklamasi sekitar 4,18 juta hektar dari 9,53 juta hektar yang berpotensi dikembangkan untuk areal pertanian. Lahan tersebut sebagain besar tersebar di pantai timur Sumatera (Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau), pantai selatan Kalimantan Selatan dan pantai selatan Irian Jaya. Saat ini, Provinsi Jambi memiliki 684.000 hektar lahan pasang surut yang berpotensi untuk pengembangan pertanian dan luasan lahan yang telah digunakan untuk pertanian adalah 103.087 hektar (Bappeda Provinsi Jambi 2000). Sementara itu, luasan yang diperuntukkan untuk pemukiman transmigrasi adalah 48.919 hektar mencakup lokasi Rantau Rasau, Lagan Hulu, Simpang Pandan, Simpang Puding, Pamusiran, Lambur, dan Dendang (Ananto dan Alihamsayah, 2000).
Lahan pasang surut memiliki topografi datar dan memiliki ketersediaan air cukup sehingga sesuai untuk pertanian (van Wijk dan Widjaya Adhi, 1992). Namun demikian lahan pasang surut mempunyai faktor pembatas berupa kendala tata air yang sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sifat kimia tanah berupa kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0-4,5), kahat hara makro, kahat hara mikro (Cu dan Zn), adanya ion atau senyawa yang meracuni seperti Al, Fe, dan SO42-, serta bahan organik atau gambut yang mentah merupakan faktor yang menghambat bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu lahan pasang surut sering mengandung bahan sulfidik yang dapat berubah menjadi tanah sulfat masam (Widjaya Adhi et al. 1992).
Kebijakan pembukaan lahan pasang surut secara luas oleh pemerintah pada awalnya didasarkan atas pertimbangan : (1) untuk menunjang pembangunan
sektor pertanian sebagai alternatif dalam mengimbangi pengalihan fungsi lahan dari pertanian untuk bukan pertanian, (2) untuk memenuhi kebutuhan pangan akibat pertumbuhan penduduk, (3) melihat kenyataan keberhasilan masyarakat Bugis dan Banjar dalam membuka lahan pasang surut (Sastrosoedarjo & Soemartono, 1979; Soenarno, 2000). Dalam Pelita I (1969-1974) telah dibuka lahan pasang surut seluas ± 32.000 ha, dimana 60 persen atau sekitar 19.200 ha dimanfaatkan untuk penempatan transmigran. Hasil yang dicapai oleh transmigran cukup memuaskan, dan atas dasar hasil tersebut pada akhir Pelita I Presiden Republik Indonesia menginstruksikan pembukaan daerah pasang surut seluas 1 juta hektar. Pembukaan lahan pasang surut direncanakan tersebar di beberapa lokasi yaitu 200.000 ha di Kalsel dan Kalteng, 100.000 ha di Kalbar, 300.000 ha di Sumsel, 100.000 ha di Jambi, dan 300.000 ha di Riau (Satari, 1979).
Pembukaan lahan pasang surut di Pantai Timur di Provinsi Jambi dimulai oleh masyarakat Bugis, Banjar dan Melayu pada daerah tanggul sungai dimana tanah tersebut paling cocok untuk irigasi pasang surut. Pemanfaatan lahan pasang surut oleh masyarakat Bugis, Banjar dan Melayu untuk tanaman padi dan kelapa dilakukan dengan luasan yang relatif kecil (Furukawa, 2002). Pembukaan lahan pasang surut oleh pemerintah dalam skala besar dimulai tahun 1969 (Institut Pertanian Bogor 1969; Litbang Transmigrasi 1972; Satari, 1979) yang dikenal dengan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dan BP-P3S (Badan Pelaksana Proyek Pengairan Pasang Surut) yang dilanjutkan dengan ISDP
(Integrated Swamp Development Project). Proyek Pembukaan lahan pasang surut pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah seluas 1,000 hektar berlokasi di tepi sungai Batang Berbak, 70 km ke arah hilir dari ibukota Provinsi Jambi (Penghulu Ratau Rasau dan Marga Berbak) yang dikenal dengan “Projek Pelita”. Proyek Pelita awalnya dibangun tiga parit, yaitu parit I sepanjang 6.5 km, parit II sepanjang 6.0 km dan parit III sepanjang 4.0 km. Adapun jumlah penduduk trasmigrasi yang ditempatkan adalah sebanyak 249 kepala keluarga (KK). Pembukaan berikutnya berlokasi ke arah barat dari pinggir sungai seperti Rantau Rasau, Lambur, Lagan, dan Dendang. Daerah tersebut sebagian besar termasuk tanah organik (gambut) dengan ketebalan yang bervariasi.
Banyak permasalahan yang dihadapi dalam pembukaan lahan pasang surut di Provinsi Jambi antara lain: (1) tanah tersebut memiliki lapisan atas tanah gambut dengan tingkat kematangan fibrik dan hemik memiliki daya sangga rendah, (2) kurangnya aksesibiltas transportasi untuk mendatangkan sarana produksi dan pengangkutan hasil baik melalui sungai maupun darat, (3) sebagian besar areal ditutupi oleh material organik dengan ketebalan antara 30 cm – 100 cm dengan tingkat kematangan fibrik hingga hemik dan kandungan hara yang rendah, (4) drainase sangat terhambat (very poorly drained) (Institut Pertanian Bogor 1973). Untuk mengatasi permasalahan ini Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Departemen Pertanian melakukan pembuatan saluran drainase yang diharapkan dapat membuang kelebihan air. Bahan dari galian saluran drainase diletakkan di pinggir saluran drainase yang digunakan untuk material pembangunan jalan sekaligus sebagai tanggul.
Pembangunan infrastruktur dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum seperti saluran, tanggul (sebagai jalan) diharapkan berfungsi sebagai saluran drainase dan sekaligus sebagai saluran irigasi dengan ukuran lebar untuk saluran primer 9 m, saluran sekunder 4 m (Institut Pertanian Bogor 1969). Pembangunan saluran dimulai pada waktu pembukaan pertama yang dikenal dengan “Projek Pelita”. Pada tahun 1970, dilanjutkan pembukaan untuk daerah Rantau Rasau I dan Rantau Rasau II, tahun 1971 pembukaan daerah Bandar Jaya, tahun 1972 Harapan Makmur, dan tahun 1973 Rantau Jaya dan Rantau Makmur.
Pembukaan lahan pasang surut memberikan sumbangan besar terhadap produksi padi di Provinsi Jambi. Produksi padi lahan pasang surut pada periode tahun 1969 sampai 1977 mencapai 43,6 persen gabah kering giling (GKG) dari total produksi padi Propinsi Jambi (Sulaksono, 1979). Tahun 1990 lahan pasang surut menghasilkan produksi gabah kering giling (GKG) sebesar 233,46 ton atau 47 persen dari produksi GKG dari produksi keseluruhan Provinsi Jambi sebesar 546,36 ton (Soepani, 1992; Bappeda Provinsi Jambi 2000). Pada tahun 1997/1998 menunjukkan penurunan produksi yang cukup besar dan hal ini terbukti luasnya lahan yang ditelantarkan oleh petani yang sebelumnya merupakan sentra produksi padi seperti di desa Rantau Rasau I, Rantau Rasau II, Pamusiran, Lambur, Pandan Lagan, dan Dendang. Kendala biofisik mencakup kondisi lahan yang masam dan
beracun sebagai akibat adanya drainase berlebihan (over drained) yang menyebabkan terjadinya oksidasi lapisan pirit terutama pada musim kemarau yang panjang, sarana dan prasarana tata air yang kurang lengkap, dan tingkat penggunaan teknologi budidaya pertanian yang masih rendah. Kesalahan dalam pengelolaan lahan menyebabkan terjadi degradasi lahan akibat aktivitas manusia
atau anthrophogenic soil degradation (Lal, 1998; Blum, 1998; Himiyama, 1999),
seperti perubahan-perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah menjadi perkebunan atau semak belukar (Hobbs, 1997; Mendoza and Etter, 2002).
Lahan rawa pasang surut dengan tanah organik (gambut) diatasnya, setelah perbaikan sistem tata air maka akan mengalami oksidasi, pencucian, pengeringan, penggenangan dan subsiden. Persiapan lahan dengan pembakaran mengakibatkan munculnya tanah mineral yang mengandung pirit berpotensi sulfat masam atau tanah mineral bergambut (peaty mineral). Pertanyaan yang timbul adalah apakah lahan pasang surut tipologi sulfat masam atau tanah bergambut masih mampu untuk mendukung produksi pertanian? Bagaimana perubahan penggunaan lahan dan karakteristik tanah setelah reklamasi pada tahun 1973 sampai tahun 2008 ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian tentang : Perubahan Penggunaan Lahan dan Karakteristik Tanah Daerah Pasang Surut Batang Berbak - Pamusiran Laut, Jambi.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan setelah reklamasi.
2. Menganalisis perubahan karakteristik tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan karakteristik tanah setelah reklamasi.
3. Mempelajari keterkaitan perubahan penggunaan lahan dan karakteristik tanah serta produktivitas lahan pasang surut setelah reklamasi.
1.3. Hipotesis
1. Perubahan penggunaan lahan daerah pasang surut setelah reklamasi sangat dipengaruhi oleh perubahan karakteristik tanah dan air serta kecenderungan petani dalam memilih komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
2. Reklamasi lahan pasang surut menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik tanah berupa penurunan ketebalan bahan organik, penurunan pH tanah, KTK, kation basa dan peningkatan Al-dd dan SO4-2.
3. Faktor utama yang menentukan perubahan karakteristik tanah daerah pasang surut dan kaitannya dengan perubahan pengunaan lahan dan produktivitas lahan adalah sistem drainase, kedalaman bahan sulfidik dan ketersediaan air.
1.4. Kebaharuan Penelitian (Novelty)
Kabaharuan (novelty) dari penelitian ini menunjukkan adanya bukti bahwa lahan pasang surut setelah direklamasi memiliki potensi yang besar dan menuju suatu kondisi yang lebih baik dalam rangka mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan rawa didefinisikan sebagai tanah peralihan antara ekosistem daratan dan ekosistem yang permukaan air dekat permukaan tanah atau ditutupi oleh air dangkal. Lahan rawa menunjukkan genangan permanen atau periodik, baik secara alami atau buatan, statis atau mengalir, payau atau asin. Termasuk rawa, danau, lumpur flat, hutan mangrove dan padang lamun dangkal (Mitch dan Gosselink, 1993). Daerah yang tergenang atau permukaan air tanah pada frekuensi dan durasi yang cukup mendukung kehidupan kondisi tanah jenuh air termasuk rawa (Cowardin et al. 1979). Idak (1948) mengatakan lahan rawa adalah lahan disekitar aliran sungai yang selalu tergenang air terutama pada musim hujan dan dapat kering pada musim kemarau. Lahan rawa tersebut adan yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, sebagian tergenang pada saat air pasang dan kembali kering pada saat air surut. Lahan rawa yang muka air tanah dipengaruhi oleh pasang surut air laut disebut lahan rawa pasang surut. Rawa air tawar terdapat di cekungan yang terisolasi seperti di pinggiran sekitar danau dan sepanjang aliran sungai. Pada lahan rawa air tawar salinitasnya relatif rendah karena pengaruh pasang surut dari air laut sedikit yang disebabkan posisi yang jauh dari laut.
Kondisi hidrologis lahan rawa dapat mengubah sifat fisik dan kimia seperti ketersediaan hara, tingkat pematangan, salinitas tanah, sifat sedimen, dan pH tanah. Perubahan kondisi hidrologi lahan rawa akan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan dan produktivitas di lahan rawa. Lahan rawa memberikan peran ekosistem penting, langsung mengatur proses hidrologi dan biogeokimia serta supporing tingginya tingkat produktivitas biologis (Mitsch dan Gosselink, 2007).
Mitsch dan Gosselink (2007) mengklasifikasikan lahan rawa menjadi dua kelompok utama yaitu : (1) lahan rawa pantai (coastal wetland) mencakup rawa air pasang surut dan rawa bakau dan (2) lahan air tawar (lebak). Lahan rawa pantai merupakan lahan basah di daerah pesisir yang dipengaruhi oleh pasang dan surut dari air laut disebut lahan rawa pasang surut. Kondisi rawa pantai dan rawa
lebak yang memungkinkan terjadinya pengendapan bahan organik dapat terbentuk tanah gambut.
Daerah rawa pasang surut pantai timur Jambi memiliki beberapa lingkungan pegendapan antara lain lingkungan dataran pasang surut, lingkungan rawa payau, lingkungan riverine, lingkungan pantai pasir dan lingkungan rawa gambut (Furukawa 1994). Daerah rawa pasang surut Batang Berbak-Pamusiran Laut diapit oleh tiga buah sungai yaitu Sungai Batanghari, Pamusiran dan Batang Berbak dengan topografi datar. Rawa pantai timur Jambi terbentuk karena peristiwa transgresi laut pada zaman Holosin (Polak 1933, diacu dalam IPB 1973). Naiknya permukaan air laut maka permukaan air tanah di daerah tersebut ikut naik dan tumbuhnya vegetasi yang husus yang menjadi awal pembentukan tanah-tanah Histosol (gambut). Adanya lapisan bahan organik dan pengendapan bahan tanah mineral yang dipengaruhi oleh air asin dapat berubah menjadi lapisan
cat clay yang menjadi faktor penentu untuk tanah sulfat masam.
Pengelolaan lahan pasang surut terdapat beberapa kendala agrofisik lahan berupa tanah yang masam, kesuburan tanah yang rendah, kemungkinan terjadinya keracunan aluminium dan besi, lapisan pirit yang terdapat pada permukaan tanah, gambut terlalu tebal, fluktuasi air pasang dan surut, perubahan kuantitas dan kualitas air pada musim hujan dan kemarau yang dapat berdampak buruk terhadap tanaman pertanian.
2.2. Tanah Gambut
Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) gambut dikelaskan dalam Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Jenuh air kurang dari 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung 20 persen karbon organik atau
2. Jenuh air selama lebih dari 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai karbon organik sebesar :
a. 18 persen atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 persen atau lebih, atau
b. 12 persen atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau
c. 12 persen atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya mengandung kurang dari 60 persen liat.
Gambut (peat) adalah endapan bahan organik sedenter (pengendapan di tempat), yang terutama terdiri dari atas sisa jaringan tumbuhan yang menumbuhi dataran rawa itu (Notohadiprawiro et al. 1979). Oleh karena bahan sisa nabati itu belum mengalami proses perombakan jauh, maka gambut masih jelas menampakkan bentuk jaringan asli yang menjadi asalnya. Apabila proses perombakan telah berjalan cukup jauh maka bentuk jaringan aslinya sudah tidak tampak lagi dan sedikit banyak telah memperoleh kenampakan serba sama (homogen), sehingga bahan organik itu dinamakan sepuk (muck).
Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik (irreversible drying). Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan, memegang dan melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar.
Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dapat dibedakan menjadi tiga tingkat dekomposisi yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik merupakan bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan bahan pembentuknya dengan ukuran diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm. Gambut hemik merupakan tanah gambut yang sudah mengalami dekomposisi dan bersifat setengah matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang (Sabiham dan Furukawa, 1986; Noor, 2007). Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 2/3 volume, hemik 1/3-2/3 volume dan saprik kurang dari 1/3 volume. Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut. Kerapatan lindak adalah salah satu pengukuran yang penting untuk menafsirkan data analisis tanah terutama yang menunjukkan kesuburan. Kerapatan lindak atau bulk density (BD) tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah
gambut memiliki BD yang beragam antara 0,01 g/cm3- 0,20 g/cm3. Makin rendah kematangan gambut, maka makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik < hemik < saprik. Kerapatan lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu tanah gambut (Noor, 2007). Kadar air tanah gambut merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi oleh porositas total dan tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun demikian, kapasitas air maksimum untuk gambut fibrik 850-3000 persen, gambut hemik 450-850 persen, dan gambut saprik < 450 persen (Andriesse 1998). Di lapangan kadar air yang bervariasi ini tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar (Sabiham 2003).
Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60 persen. Kisaran besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi, dan kemungkinan juga metode pengukurannya (Andriesse 1998). Kadar abu pada gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Kadar abu gambut Indonesia berkisar 2,4 persen-16,9 persen. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu sangat dalam (lebih dari 3 m) sekitar 5 persen, gambut dalam dan tengahan (1-3 m) berkisar 11-12 persen dan gambut dangkal sekitar 15 persen (Noor 2007).
Di Indonesia, gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh penggenangan yang cukup lama (Sabiham 2003). Kesuburan alamiah lahan
gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi; (b) komposisi tanaman penyusun gambut; (c) tanah mineral yang berada di bawah lapisan tanah gambut. Gambut digolongkan ke dalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abu yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang; (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah (Andriesse 1974).
2.3. Pengertian Tanah Sulfat Masam
Widjaya et al. (1992) mendefinisikan tanah sulfat masam adalah tanah yang memiliki lapisan pirit atau bahan sulfidik pada kedalaman kurang dari 50 cm dan semua tanah yang memiliki horison sulfurik, walaupun keberadaan bahan sulfidiknya lebih dalam dari 50 cm. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan horison sulfurik adalah lapisan tanah yang terbentuk oleh adanya proses oksidasi bahan sulfidik yang pada umumnya dicirikan oleh terdapatnya jarosit dan pH tanah kurang dari 3,5. Dent (1986) mendefinisikan tanah sulfat masam terbatas pada tanah-tanah yang memiliki horison sulfurik saja. Dengan demikian pengertian tanah sulfat masam adalah tanah yang dalam proses pembentukannya akan, sedang atau telah menghasilkan asam sulfat dalam jumlah banyak dari proses oksidasi senyawa belerang tereduksi yang akhirnya akan mempengaruhi sifat-sifat utama tanah.
Soil Survey Staff (1990) mendefinisikan bahan sulfidik sebagai bahan tanah mineral atau organik yang tergenang mengandung belerang sama atau lebih besar dari 0,75 persen berdasarkan bobot kering dan sebagian besar dalam bentuk sulfida. Belerang yang berada dalam bentuk unsur sulfur (S) memiliki tidak lebih dari tiga kali kandungan karbonat dalam bahan tersebut. Widjaya Adhi et al. (1992) mendefinisikan bahan sulfidik sebagai bahan tanah yang mengandung pirit (FeS2) lebih besar dari 2 persen. Soil Survey Staff (1999) mendefinisikan bahan sulfidik sebagai bahan tanah baik mineral atau organik yang mengandung belerang, dapat teroksidasi, memiliki pH lebih dari 3,5. Apabila suatu lapisan setebal 1 cm diinkubasi dalam kondisi aerobik dan lembab (pada kapasitas lapang) pada suhu kamar selama 8 minggu maka akan menunjukkan suatu penurunan pH
sebesar 0,5 unit atau lebih hingga mencapai pH 4,0 atau kurang (diukur dalam rasio air dan tanah 1:1, atau menggunakan jumlah air lebih sedikit yang memungkinkan pengukuran). Horizon sulfurik memiliki ketebalan 15 cm atau lebih dan tersusun dari bahan tanah mineral atau bahan tanah organik yang mempunyai pH 3,5 atau kurang (diukur dalam rasio air dan tanah 1:1 atau menggunakan air lebih sedikit yang memungkinkan pengukuran), serta menunjukkan tanda-tanda bahwa rendahnya nilai pH disebabkan oleh asam sulfat yang dibuktikan dengan salah satu atau lebih kriteria berikut : (1) konsentrasi jarosit atau; (2) secara langsung berada di atas bahan sulfidik atau; (3) mengandung sulfat larut sebesar 0,05 persen atau lebih (Soil Survey Staff 1999; van Breemen, 1979).
Pons et al. (1982) mengatakan bahwa berdasarkan tingkat kemasaman dan tingkat kematangannya, tanah sulfat masam dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) tanah sulfat masam potensial dan (2) tanah sulfat masam aktual. Tanah sulfat masam potensial digolongkan dalam great group Sulfaquent, yang dicirikan oleh warna kelabu, tanahnya tergolong masih mentah (n lebih dari 0,7) dan tingkat kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Sub grup lain dari tanah sulfat masam potensial adalah Sulfic Fluvaquent, Sulfic Hydraquent, Sulfihemist, dan
Sulfisaprist. Adapun tanah sulfat masam aktual digolongkan dalam great group
Sulfaquent, yang dicirikan oleh warna agak kecoklatan, tanahnya cukup matang (n kurang dari 0,7), dan sangat masam (pH kurang dari 3,5). Subgrup lain dari tanah sulfat masam aktual adalah Sulfohemist dan Sulfosapris.
2.4. Pembentukan Pirit
Menurut Pons et al. (1982), FeS2 terbentuk bila; (1) reduksi sulfat menjadi sulfida dalam kondisi anaerob oleh bakteri pereduksi sulfat, (2) adanya oksidasi sulfat menjadi poli sulfida atau bahan sulfat lainnya, (3) pembentukan Fe (II)- monosulfida (dari Fe(III)-Oksida atau Fe-Silika dan melarutkan sulfida) dan akhirnya membentuk pirit (FeS2). Sebagai bahan utama dalam pembentukan pirit adalah SO4-2, mineral yang mengandung besi dan bahan organik, bakteri pereduksi sulfat dengan kondisi anaerob atau aerasi terbatas.
Selanjutnya Dent (1986) menjelaskan proses pembentukan pirit (FeS2) memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai yaitu keadaan tergenang dan kaya
bahan organik serta tersedianya SO4-2 dan besi. Bahan organik yang terdekomposisi dalam keadaan tergenang anaerob menciptakan kondisi tanah menjadi sangat reduktif atau tereduksi tinggi. Bahan organik merupakan sumber energi bagi bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat berperan sebagai penerima elektron hasil respirasi bakteri pereduksi sulfat sehingga tereduksi menjadi sulfida. Sulfida yang terbentuk bereaksi cepat dengan besi ferro atau ferri oksida membentuk besi sulfida. Jika pada lingkungan tersebut terdapat senyawa atau ion yang berperan sebagai oksidator seperti O2 atau Fe+3, sebagian sulfida dapat teroksidasi menjadi unsur S atau ion polisulfida. Selanjutnya unsur S atau ion polisulfida tersebut bereaksi dengan FeS membentuk pirit (FeS2). Proses terbentuknya pirit yang dapat terukur memerlukan waktu yang cukup lama yaitu beberapa bulan atau beberapa tahun. Namun di daerah rawa pasang surut (Tidal Salt Marsh), pembentukan pirit dapat berlangsung dalam waktu 48 jam (Howarth 1979, diacu dalam Pons et al. 1982).
Proses dekomposisi bahan organik menyebabkan kandungan oksigen sangat rendah sehingga mengaktifkan bakteri belerang anaerob obligat (Desulfovibrio dan Desulfotomaculum genera) untuk mempercepat dekomposisi dan memanfaatkan sejumlah sulfat dari air laut untuk proses respirasi yang akan menghasilkan kondisi reduktif dan menghasilkan sulfida. Sulfida terakumulasi dalam sedimen sebagai gas hidrogen sulfida atau dengan besi untuk membentuk besi sulfida tidak larut (FeS). Kalpage (1974) dalam Golez (1995) menjelaskan reaksi pembentukan pirit sebagai berikut :
SO4-2 + 2CH2O 2H2CO3 + H2S H2S + 2Fe(OH)3 2FeS + S0 + 6H2O
Van Breemen (1979) menyatakan bahwa di bawah kondisi tertentu, unsur S dapat dihasilkan dalam jumlah besar oleh reaksi oksidasi kimia dan oksidasi mikroba dari hidrogen sulfida (H2S). Unsur S dapat dihasilkan dari oksidasi ferro monosulfida (FeS) dan pirit (FeS2) tapi hanya pada konsentrasi sangat rendah. Perubahan besi monosulfida dengan reaksi kimia murni dengan unsur sulfur (S0) dan selanjutnya ditransformasi menjadi pirit (FeS2) (Berner, 1963 dalam Golez, 1995)
2.5. Reaksi Oksidasi-Reduksi pada Tanah Sulfat Masam
Reaksi oksidasi pirit memerlukan adanya O2 dalam kondisi aerobic (Dent, 1986). Adapun persamaannya sebagai berikut :
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O → Fe(OH)3 + 2SO4-2 + 4H+
Proses oksidasi FeS2 secara kimiawi akan berlangsung lambat dan bila dibantu oleh bakteri pengoksidasi besi Thiobacillus ferrooxidans akan berlangsung lebih cepat.
FeS2 + Fe+3 + 8H2O → 2Fe+2 + 16H+ + 2SO4-2
Pada proses oksidasi pirit dengan Fe+3 akan berlangsung lebih cepat dari pada oksidasi pirit dengan O2, juga lebih cepat dibandingkan oksidasi pirit melalui Fe+2 menjadi Fe+3. Pada proses reaksi inilah yang menyebabkan kemasaman lebih tinggi dengan melapaskan 16 H+ dan melepaskan 2Fe+3.
Dalam proses oksidasi awal pirit terjadi perubahan pirit menjadi jarosit berwarna kuning dengan reaksi sebagai berikut :
FeS2 + 15/4 O2 + 5/2 H2O + 1/3 K+ → 1/3 KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3 SO4-2 + 3 H+
Kemasaman yang dihasilkannya dalam proses pembentukan jarosit adalah 3 mol H+.
Kelarutan Fe+2 melebihi 500 mg/l dan H2S melebihi 1 mg/l akan meracuni tanaman, tetapi hal ini tidak bisa menjadi patokan, karena variasinya cukup besar tergantung pada varietas dan status hara tanah. Ion-ion berdifusi ke permukaan tanah atau terbawa oleh aliran air dalam pipa kapiler tanah ke permukaan. Ion Fe+2 yang berdifusi mengalami oksidasi ferri atau mengendap sebagai ferri oksida di permukaan tanah selama ada perbedaan konsentrasi air di permukaan tanah dan di dalam tanah.
Persyaratan tidak adanya suplai oksigen dapat dipenuhi jika tanah jenuh air karena laju difusi gas yang sangat lambat di dalam air. Reduksi oksigen yang tersisa akan terjadi terlebih dahulu, diikuti oleh unsur-unsur lain. Unsur-unsur tersebut tereduksi menurut urutan termodinamika sebagai berikut : nitrat, senyawa mangan, senyawa besi ferri, senyawa antara perombakan bahan organik, sulfat dan sulfit. Pada keadaan tergenang nitrat menjadi tidak mantap dan mengalami denitrifikasi. Setelah semua nitrat terpakai, jasad renik anaerob mereduksi