• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang Ahmad Darsa, Kunto Sofianto, dan Elis Suryani NS Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Undang Ahmad Darsa, Kunto Sofianto, dan Elis Suryani NS Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

57 TINJAUAN FILOLOGIS TERHADAP FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN:

NASKAH SUNDA KUNO ABAD XVI TENTANG GAMBARAN SISTEM PEMERINTAHAN MASYARAKAT SUNDA

Undang Ahmad Darsa, Kunto Sofianto, dan Elis Suryani NS Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran

Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRAK

Fragmen Carita Parahyangan merupakan salah satu naskah Sunda dari abad XVI Masehi yang berbahan lontar dan ditulis dalam bahsa serta aksara Sunda Kuno. Sebagai naskah Sunda Kuno, Fragmen Carita Parahyangan merupakan salah satu naskah Sunda dari abad XVI Masehi yang berbahan lontar dan ditulis dalam bahasa serta aksara Sunda Kuno. Sebagai naskah Sunda Kuno, Fragmen Carita Parahyangan ini memilki teks yang bernuansa histories. Di dalamnya menggambarkan sebuah system pemerintahan masyarakat Sunda pada masa lampau. Dalam upaya ke arah suntingan teks, penggarapan naskah Fragmen Carita Parahyangan ini didasarkan atas kajian secara filologi dengan menerapkan metode edisi tunggal yang distandarisasi seseuai dengan pedoman ejaan bahasa Sunda yang berlaku saat ini. Sedangkan untuk memahami isinya dilakukan tinjauan berdasarkan konsep-konsep kajian historiografi tradisional. Penelitian ini mengacu pada teori yang antara lain pernah diterapkan oleh Atja (1968), Ayatrohaedi (1975), Darsa dan Ekadjati (1955), Noorduyn (1962, 1965), dan Moertono (1985). Adapun sumber data yang digunakan berasal dari Kropak 406 yang kini merupakan koreksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Berdasarkan suntingan teks Fragmen Carita Parahyangan yang berhasil disajikan dalam penelitian ini diperoleh gambaran tentang system pemerintahan kerajaan Sunda sebagai berikut. Pertama, sistem pembagian kekuasaan didasarkan atas Tri Tangtu di Buana yang terdiri atas Prĕbu sebagai pemegang lembaga eksekutif, Rama sebagai pemegang lembaga legislatif, dan Rĕsi sebagai pemegang lembaga yudikatif; Kedua, sistem birokrasi kerajaan didasarkan atas sistem disentralisasi yang terbagi menjadi sebelas penguasa wilayah, yang diatur melalui pangwĕrĕg dan pamwatan yang didasarkan atas prinsip-prinsip otonomi.

(2)

58

A PHYLOLOGICAL STUDY OF THE FRAGMENTS OF CARITA PARAHYANGAN THE OLD SUNDANESE MANUSCRIPT XVI ON DESCRIPTION OF THE GOVERNMENT OF SUNDANESE SOCIETY ABSTRACT

Carita Parahyangan Fragment constitutes one of a Sundanese manuscript from

16th century written on lontar and in old the Sundanese characters and language.

The content of manuscript describes the administration system of Sundanese society in the past. The manuscript is based on philological study by means of a single edition method. To understand its content the study uses the concepts of traditional historiography. This research refers to the theory, among other things, used by Atja (1968), Ayatroadi (1975), Darsa and Ekadjati (1955), Noordijnk (1962, 1965), and Moertono (1985). The data are taken fom Kropak 406 belonging to Perpustakaan Nasional Jakarta. This research shows that power system sharing is based on two systems. Firstly, Tri Tangtu di Buana which comprises of Prĕbu as the executive holder, Rama as the legislative holder, and Resi as the judicial holder; secondly, the system of kingdom bureaucracy based on decentralization which is divided into eleven regional authorities arranged through Pangwĕrĕg and Pamwatan based on autonomy principles.

Keywords : Carita Parahiyangan, the old sundanese manuscript XVI.

PENDAHULUAN

Naskah Fragmen Carita Parahyangan (FCP) termasuk salah satu naskah

Sunda Kuno dari masa abad ke-16 Masehi yang berada dalam kropak 406 bersama dengan naskah Carita Parahyangan (CP) dan kini tersimpan di Bagian Koleksi Naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Jumlah lempir halaman keseluruhan terdiri atas 47 buah yang masing-masing berukuran 21 x 3 cm, tetapi pada setiap lempir halaman tidak bernomor meskipun dalam system tata tulis aksara Sunda Kuno dikenal adanya lambang-lambang angka. Penomoran terhadap setiap lempir halaman baru diberikan kemudian oleh Cohen Stuart (Pleyte, 1911:196; Atja, 1968:7) menggunakan angka Arab yang ditulis memakai tinta pada margin sebelah kanan. Pencantuman angka 1 sampai dengan 47 oleh Cohen Stuart ternyata dilakukan tanpa memperhatikan susunan cerita menurut lempiran naskah secara seksama sehingga jalan cerita menjadi kacau. Bahkan, pengurutan angka-angka itu tidak ditempatkan secara konsisten. Ada yang ditulis pada lempir recto “halaman muka”, ada pula yang ditulis pada lempir verso “halaman belakang”

Berkenaan dengan isi kropak 406, Holle (1882:94) menyatakan bahwa, Dat ms. Is gegriffeld op lontar en heet Tjarita Parahijangan ‘Naskah itu ditulis pada lontar dan dinamai Carita Parahyangan’. Dikatakan selanjutnya bahwa naskah

(3)

59 tersebut tidak lengkap dan lempirannya tercampur dalam dua buah naskah, yang salah satu teksnya pendek dan fragmentaris. Mengenai hal ini dikatakan, Daar de lontarbladen niet genummerd zijin en de tekst kort en fragmentarisch is het mijin niet gelukt al de bladen te scheiden en aan elkaar te lezen ‘Pada lempirandaun lontar yang tidak dinomiri, yang memuat teks pendek dan fragmentaris itu belum dapat saya dipisahkan lempiran-lempirannya serta belum mampu membaca urutannya’ Holle; 1882:94). H. ten Dam menamakan lempiran-lempiran naskahini sebagai Tjarita Parahjangan Eerste Fragment (1957:308).

REKONTRUKSI TEKS FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN

Lempir-lempir halaman naskah yang memuat teks FCP terdiri atas 13 buah atau 25 halaman yang menempati sepuluh nomor awal ditambah nomor 25, 26, dan 29. Mungkin, itulah sebabnya lempiran-lempiran tadi dinamakan oleh Dam (1957:308) sebagai bagian pertama dari Carita Parahyangan. Akan tetapi transliterasi teks FCP tidak ada, baik dalam karya Poerbatjaraka (1919;1921), Dam (1957), maupun Noorduyn (1962;1965). Sementara itu, Pleyte (1911:172-184) memuat hasiltransliterasi teks dari sebagian lempir naskah FCP sebanyak 5 halaman, yaitu, 3b, 4b, 5a, 7b, dan 8b.

Berhubung tidak adanya hasil transliterasi dari lempir halaman lab, 2ab, 3a, 5b, 6ab, 7a, 8a, 9ba, 10ab, 25ba, dan 29a maka ketiga belas lempir halaman

naskah FCP itu diusahakan disusun agar diperoleh sebuah rangkaian teks sesuai

dengan urutannya, sebagaimana tampak berikut ini.

Lab – 25b – 29a – 25a – 26ba – 10ab – 2ab – 3ab – 4ab – 5ab – 6ab - 7 ab – 8ab – 9ab

Di antara ketiga belas lempir halaman FCP itu terdapat satu lempir yang bolehdikatakan unik, yakni lempiran nomor 29a. Uniknya karenanya karena hanya teks pada halaman muka, yaitu lempir 29a yang termasuk ke dalam susunan teks FCP, sedangkan lempir 29b termasuk ke dalam penutupan teks naskah CP. Bahkan, penempatan teks 29a ini pun harus diselipkan di anatara teks yang terdapat dalam lempir nomor 25, yakni di antara 25(b) dan 25(a). Baranbgkali, itulah yang menyebabkan Holle mengemukakan pernyataan sebagaimana telah disinggung di muka.

ISI TEKS FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN

Secara garis besar, teks naskah FCP berisi mengenai gambaran system pemerintah kerajaan Sunda yang berpusat di Ibu kota Pakuan Pajajaran. Ada tiga kisah utama para penguasa krajaan Sunda yang terpenting disebut-sebut dalam teks FCP ini, yakni (1) Tiga orang pendahulu MaharajaTarusbawa sebagai perintis berdirinya kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran, masing-masing adalahBagawat Angga Sunyia dari Windupepet, Bagawat Angga Mrewasa dari Hujung Galuh, dan

(4)

60

Bagawat Angga Brama dari Pucunbg. Bagian kisah ini tertuang dalam teks lempir halaman 1ab; (2) Maharaja Tra rusbawa pengusaha Pakuan Pajajaran yang bertakhta di keraton “Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati”. Kisah ini menempati sebagian besar teks FCP yang tertuang dalam 20 lempir halaman (25b sampai dengan 8a); dan 3) Rakeyan Darmasiksa penguasa dari Saunggalah yang mewarisi keraton di Pakuan Pajajaran. Bagian ini tertuang dalam teks FCP sebanyak tiga halaman (8b samapai dengan 9a).

Trarusbawa merupakan tokoh sentral yang dikisahkan dalam teks FCP. Dialah yang memperbaiki sekaligus memindahkan lokasi keraton “Sri-Bima PuntaNarayana Madura Suradipati” dari sekitar Rancamaya ke sebuah perbukitan di hulu Cipakancilan atas saran Bujangga Sedamanah. Semenjak itu, Pakuan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda di bawah Maharaja Trarusbawa. Trarusbawa sendiri sebagai prĕbu ‘pemimpin roda pemerintahan pusat’ membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan pihak rama ‘tokoh masyarakat wakil rakyat’ dan pihak rĕsi ‘penentu kebijakan hukum’. Tercatat ada sebelas wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda, masing-masing wilayah adalah Galunggung, Denuh, Mandala Cidatar, Geger Gadung, Kandangwesi, Puntang, Mandala Pucung, MandalaUtama Jangkar, Windupepet, lewa, dan Galuh.

Pada bagian lain teks FCP ini disebutkan bahwa Maharaja Trarusbawa sebagai prĕbu, atas kesepakatan pihak rama dan resi mengatur persoaaln yang berkaitan dengan pangwĕrĕg ketentuan berupa hak ‘bagi para penguasa wilayah di kerajaan Sunda, serta pamwatan ‘kewajiban mempersembahkan produk potensi alam’ dari penguaa wilayah ke ibukota Pakuan setiap tahun. Produk tersebut adalah berupa hasil pertanian dan peternakan, serta hasil industri masyarakat.

Maharaja Trarusbawa disebutkan dalam teks FCP berkuasa cukup lama. Pemerintahan selanjutnya diteruskan secara bergantian mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang, Tamperan, Rahyang Banga, Rahyang Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhir kepada Rakean Darmasiksa. Disebutkan bahwa Rakeyan Darmasiksa merupakan penjelmaan dari Patanjala Sakti yang semula menjadi penguasa wilayah di Saunggalah. Berkat kepemimpinannya yang bijak sehingga ngertakeun urang rea ‘ menyejahterakan kehidupan rakyat banyak’, Rakeyan Darmasiksa selanjutnya berakhta di keraton Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati di Pakuan Pajajaran mewarisi para pendahulunya.

PENUTUP

Teks Fragmen Carita Parahyangan yang tertuang dalam naskah lontar yang berbahasa dan beraksara Sunda Kuno isinya cenderung sangat bernuansahistoris. Didalamnya memperlihatkan gambaran system pemerintahan dalam kerajaan

(5)

61 Sunda pada masa lampau. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hal penting yang tersirat di dalam teks Fragmen Carita Parahyangan ini, yakni gambaran konsep sebagai sarana untuk melaksanakan kekuasaan raja secara berkesinambungan serta untuk melindungi keutuhan wilayah kerajaan.

Konsep yang dimaksud, antara lain ialah konsep kosmologis yang cenderung bersifat magis-religius. Hal ini tampak dalam pribadi raja yang dilegitimasi sebagai keturunan para leluhur yang dianggap suci atau dewa. Peranan demikian tidak hanya menentukan dalam pembenaran dan pengukuhan kekuasaan raja, tetapi juga dalam memperjelas hubungan antara raja dengan rakyatnya. Konsep lainnya adalah yang bersifat praktis sebagai sarana untuk untuk mencapai tujuan raja. Dalam teks Fragmen Carita Parahyangan, hjal ini terlihat dalam teknis birokrasi kerajaan yang terdisentralisasi ke dalam wilayah-wilayah kerajaan yang terkait oleh pangwĕrĕg. Tampak pula adanya system aturan yang bersifat materiil guna menjamin kelangsungan kesejahteraan kerajaan yang tertuang dalam pamwatan, yang didasarkan atas prinsip-prinsip otonomi.

Di samping itu, kelangsungan kerajaan didasarkan kepada sistem pembagian kekuasaan yang disebut Tri Tangtu di Buana ‘tiga unsur penentu kehidupan di dunia’, terdiri atas prĕbu, rama dan rĕsi . Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif) yang harus ngagurat batu ‘berwatak teguh’. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif) yang harus ngagurat lemah ‘berwatak menentukan hal yang mesti dipijak’. Resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama dan darigama ‘negara’ (yudikatif) yang harus ngagurat cai ‘berwatak menyejukkan dalam peradilan’.

Berdasarkan uraian tadi ternyata isi teks Fragmen Carita Parahayangan ini telah mampu memberikan sebagian gambaran bahwa masyarakat Sunda di masa lampau telah memiliki satu taraf kehidupan sosial yang cukup teratur, seperti juga sebagian masyarakat lainnya yang ada di Nusantara. Masyarakat lama telah mewariskan sesuatu yang mungkin sama sekali di luar perhitungan dan perkiraan kita saat ini. Masalahnya, antara lain, kurangnya pengetahuan dan pengenalan kita terhadap khazanah pernaskahan bangsa kita sendiri. Terbukti, banyak hal yang saat ini sedang menjadi urusan besar, namun telah terbiasa bagi masyarakat masa silam. Apalagi pada saat seluruh sistem politik tampaknya berada dalam perputaran perkembangan baru dengan adanya era globalisasi, suatu penelaahan mengenai dasar-dasar filosofis dari sistem pemerintahan tradisional bukanlah tidak pada tempatnya. Malahan mungkin saja akan merupakan penarik perhatian yang melebihi minat teoritis semata-mata. Keyakinan historis ini secara psikologis tak hanya akan memberikan kebanggaan, tetapi keteguhan untuk memelihara dan mengolah nilai-nilai luhur dari tradisi besar bangsa.

(6)

62

DAFTAR PUSTAKA Atja,.

1968. Tjarita Parahijangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi.

Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.

1970. Tjarita Ratu Pakuan: Tjarita Sunda Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.

1986. Carita Purwakarta Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber

Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat

Atja dan Sakeh Danasasmita,

1981, Carita Parahyangan: Transliterasi, Terjemahan dan Catatan. Bandung:

Proyek Pengembangan Permusieuman Jawa Barat.

1981, Sanghyang Siksakanda ng Karesian: Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi. Bandung: Proyek Permusieuman Jawa Barat.

1981, Amanat Dari Galunggung: Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy,

Bayongbong-Garut. Bandung: LKUP.

Ayatrohaedi, 1975. “ Masyarakat Sunda Sebelum Islam”, BJ. 86:412-423.

Bachtiar, Warsja W. 1974. “Filologi dan Pengembangan Kebudayaan Nasional” dalam Budaja Djaja No. 68, Tahun VII.

Dam, H . ten, 1957 “Verkenningen rondom Padjadjaran”, Indonesie 10:290-310. Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati, 1995. Fragmen Carita Parahyangan dan

Carita Parahyangan (Kropak-406): Pengantar dan Transliterasi. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusantara.

Holle, K.F. 1982 “DeBatoe-Toelis te Buitenzorg “, TBG XXVIII.

Fox, James 1971 “A Rotinese Dynastic Genealogy: Structure and Event”, The Translation of Culture:33-77’ London.

Juynboll, H.H,

1899 Catalogus van Maleische en Soendaneeche Handschriften der leidsche

Universitteits Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.

1912 Suplement op den Catalogus de Soendaneesche Handscriften der Leidsche

Universiteits Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.

Kern, R.A..., Catalogus der Soendaneesche Handacriften van Snouck Hurgronje (belum diterbitkan). Tersimpan di bagian koleksi naskah kamar Oosterse Handschriften UBL negeri Belanda dalam bentuk kartu (dua bundel) dan dalam bentuk naskah: Lor. 8923/Mal.3366.

(7)

63 Moertono, Soemarsaid, 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa

Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Molen, J. van der,

1981 “Aims and Method of Javanese Philology”, Indonesia Cyrcle 26: 5-12. 1983 “Javaanse Tekstkritiek: Een overzicht en een nieuwe benadering geillustreed

aan de Kunjarakarna”. VKI 102. Dordrecht/Cinnaminson N.J. Foris Publications Holland/USA.

Noorduyn, J.,

1962 “Over het Eerste Gedeelte van de Oud-Soendase Tjarita Parahjangan”, BKI 118: 374-383.

1965. “Enige Nadere Gegeven over Tekst en Inhoud van de Tjarita Parahjangan”, BKI 122: 366-374.

Pigeud, Th. G. 1967-1980. Literature of Java. Vol. I-IV. KITLV the Hague, Martinus Nijhoff.

Pleyte, C.M. 1911. “Het Jaartal op den Batoe-Toelis nabij Buitenzorg”, (Een Bijdrage tot de Kennis van het Oud Soenda),” TBG 53: 155-220.

Poerbatjaraka, R,M.Ng. 1919-1921. “De Batoe-Toelis bij Buetenzorg”, TBG LIX. Robson, S.O., 1978. Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia. Jakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Soebadio, Haryati, 1975. “Penelitian Naskah Lama Indonesia”, Bulletin Yaperna: Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan. No.7 Tahun II, Juni. Jakarta. Sutrisno, Sulastin, 1981. Relevansi Studi Filologi (Pidato Pengukuhan Jabatan

Guru Besar dalam Ilmu Filologi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada). Yogyakarta.

Teew, A.,

1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Worsley, P.J. 1972. Babad Buleleng: A Balinese Dynastic Genealogy. The Hague:

Martinus-Nijhoff.

Referensi

Dokumen terkait