• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKOMENDASI IDAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKOMENDASI IDAI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tata Laksana Syok

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA

REKOMENDASI

No.: 004/Rek/PP IDAI/III/2014 tentang

Tata Laksana Syok

1. Kecepatan dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama dimulainya tindakan resusitasi makin memperburuk prognosis.

2. Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi, stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan

resusitasi cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.

3. Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit. 4. Pemberian cairan dapat diulang untuk memperbaiki tekanan darah dan perfusi

jaringan. Pada syok septik mungkin diperlukan cairan 60 mL/kg dalam 30-60 menit pertama.

5. Pemberian cairan hanya dibatasi bila diduga penyebab syok adalah disfungsi jantung primer.

6. Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih diperlukan cairan, pertimbangkan pemberian koloid. Darah hanya direkomendasikan sebagai pengganti volume yang hilang pada kasus perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang tidak adekuat meskipun telah mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus kristaloid.

7. Pada syok septik, bila refrakter dengan pemberian cairan, pertimbangkan pemberian inotropik.

8. Dopamin merupakan inotropik pilihah utama pada anak, dengan dosis 5-10 μgr/kg/menit. Apabila syok resisten dengan pemberian dopamin, tambahkan epinefrin (dosis 0,05-0,3 μgr/kg/menit) untuk cold shock atau norepinefrin (dosis 0,05-1 μgr/kg/menit) untuk warm shock.

9. Syok resisten katekolamin, dapat diberikan kortikosteroid dosis stres (hidrokortison 50 mg/m2/24jam).

10. Dobutamin dipergunakan apabila setelah resusitasi cairan didapatkan curah jantung yang rendah dengan resistensi vaskular sistemik yang meningkat, ditandai dengan ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, dan produksi urin berkurang tetapi tekanan darah normal.

(2)

11. Pada syok septik, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam setelah diagnosis ditegakkan, setelah sebelumnya diambil darah untuk pemeriksaan kultur dan tes resistensi.

12. Sebagai terapi awal dapat digunakan antibiotik berspektrum luas sampai didapatkan hasil kultur dan antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.

13. Target akhir resusitasi yang ingin dicapai merupakan petanda perfusi jaringan dan homeostasis seluler yang adekuat, terdiri dari: frekuensi denyut jantung normal, tidak ada perbedaan antara nadi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas hangat, status mental normal, tekanan darah normal, produksi urin >1 mL/kg/jam, penurunan laktat serum.

14. Tekanan darah sebenarnya bukan merupakan target akhir resusitasi, tetapi perbaikan rasio antara frekuensi denyut jantung dan tekanan darah yang disebut sebagai syok indeks, dapat dipakai sebagai indikator adanya perbaikan perfusi.

Referensi :

1. Schwarz A. Fluids and electrolytes. Dalam: Schwarz A, penyunting. Blueprints pocket pediatric ICU. Philadelphia: Lippincott; 2007. h. 31-42.

2. Wilhelm M, Schleien C. Electrolyte and metabolic disorders. Dalam: Nichols DG, Yaster M, Schleien CL, Paidas CN, penyunting. Golden hour: the handbook of advanced pediatric life support. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2011. h. 143-59. 3. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam:

Nichols DG, penyunting. Rogers textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 372-83.

4. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, parker MM, Jaeschke R, et al. Surviving sepsis campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008. Crit Care Med, 2008;36:296-327.

Jakarta, 14 Maret 2014

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Ketua Umum Sekretaris Umum

Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K) Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)

(3)

Pemantauan Ukuran Lingkar Kepala dan Ubun-Ubun Besar

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA REKOMENDASI

No.: 003/Rek/PP IDAI/I/2014 tentang

Pemantauan Ukuran Lingkar Kepala dan Ubun-Ubun Besar

Pengukuran lingkar kepala dan ubun-ubun besar perlu dilakukan untuk menilai pertumbuhan dan ukuran otak anak.

Pemantauan lingkar kepala

1. Lingkar kepala anak diukur dengan menggunakan grafik lingkar kepala Nelhaus (1968).

2. Grafik bayi laki-laki cukup bulan dimulai dengan ukuran 32-38 cm, sedangkan grafik bayi perempuan cukup bulan dimulai dari ukuran 31-37 cm.

3. Lingkar kepala di bawah -2 SD disebut mikrosefali dan bila ukurannya di atas +2 SD disebut makrosefali.

4. Lingkar kepala diukur setiap bulan pada tahun pertama, setiap 3 bulan pada tahun ke dua, dan setiap 6 bulan pada usia 3 sampai 5 tahun.

Pemantuan ubun-ubun besar

1. Pengukuran ubun-ubun besar (fontanel anterior) juga memegang peranan penting. 2. Ukuran ubun-ubun besar normal pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 2 cm x 2

cm, dengan permukaan agak cekung.

3. Ukuran ubun-ubun besar ini dapat membesar dalam 3 bulan pertama, kemudian akan mengecil dan menutup dengan bertambahnya umur bayi.

4. Ukuran ubun-ubun besar yang sangat kecil atau lebih besar dari 4 cm harus dicurigai adanya gangguan perkembangan jaringan otak selama kehamilan.

5. Ubun-ubun besar bayi normal umumnya telah menutup pada usia 19 bulan.

(4)

1. Ziai M, Penyunting. Pediatrics: evaluation of the child. Boston: Little, Brown and Company; 1983. h. 17-31.

2. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, Penyunting. Diagnosis fisis pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2000. h. 48-66.

3. Swaiman KF. Neurologic examination of the term and preterm infant. Dalam:

Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric Neurology: Principle and Practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier 2006. h. 47-64.

4. Haslam, RHA. The nervous system. Dalam: Kliegman RM, Behrman R, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadephia: Saunders Elsevier 2007. h. 2433-43.

5. Demyer W. Small, large, or abnormally shaped head. Dalam: Maria BL, penyunting. Current Management in Child Neurology. Edisi ke-4. Shelton: People’s Medical Publishing House 2009. h. 413-20.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

(5)

Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA

REKOMENDASI

No.: 002/Rek/PP IDAI/I/2014 tentang

Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak

1. Anak adalah manusia sejak pembuahan sampai berakhirnya proses tumbuh kembang yang secara operasional diterjemahkan menjadi dari saat awal kehamilan sampai dengan usia 18 tahun. Anak merupakan investasi generasi suatu bangsa, sehingga kualitas anak sangat menentukan keberlangsungan generasi dan kualitas bangsa. 2. Kualitas anak sangat ditentukan oleh keberlangsungan proses tumbuh-kembangnya

sejak periode di dalam kandungan dan periode awal kehidupannya selama masa kritis pada 3 tahun pertama.

3. Proses tumbuh kembang anak selama masa kritis 3 tahun pertama kehidupannya harus terpantau dan tercatat dengan baik, yang bertujuan menemukan adanya gangguan tumbuh kembang secara dini sehingga dapat dilakukan penanganan sedini mungkin sebelum anak melewati masa kritisnya.

1. Pemeriksaan untuk pemantauan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih dengan baik untuk pemeriksaan dasar tumbuh-kembang anak.

2. Pemantauan dilakukan untuk semua anak tanpa kecuali baik anak yang terlahir dengan risiko rendah maupun risiko tinggi.

3. Pemantauan dilakukan secara reguler dan kontinyu dengan jadwal

1) Usia lahir sampai 12 bulan setiap 1 bulan; 2) Usia 12 bulan sampai 3 tahun setiap 3 bulan; 3) Usia 3 tahun sampai 6 tahun setiap 6 bulan; 4) Usia 6 tahun sampai 18 tahun setiap 1 tahun.

4. Pemantauan tumbuh-kembang anak hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip utama sebagai berikut:

5. Setiap institusi pelayanan kesehatan anak diharuskan mempunyai pelayanan

pemantauan tumbuh-kembang anak yang dibina oleh dokter spesialis anak setempat. 6. Setiap dokter spesialis anak di Indonesia harus terlatih untuk melakukan skrining

dasar tumbuh-kembang anak dalam pelayanan kesehatan anak sehari-hari.

(6)

Referensi :

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anggaran dasar Anggaran Rumah Tangga BAB I pasal 1(4). Jakarta: IDAI. 2011.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. 4. Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh

Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta. 2010.

5. Buku tumbuh Kembang Anak dan Remaja edisi pertama. Jakarta : CV Sagung Seto. 2002.

6. American Academy of Pediatrics. Identifying infants and young children with developmental disorders in the medical home: An algorithm for developmental surveillance and screening. council on children with disabilities, section on

developmental behavioral pediatrics, bright futures steering committee and medical home initiatives for children with special needs project advisory committee.

Pediatrics. 2006;118: 405-20.

Jakarta, 14 Maret 2014

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Ketua Umum Sekretaris Umum

Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K) Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)

(7)

Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA REKOMENDASI

No.: 001/Rek/PP IDAI/2010 tentang

Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi 1. Untuk bayi dengan ASI ekslusif:

o Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu selama 2-4 minggu.

o Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu

dipertimbangkan diagnosis lain.

o Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.

2. Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula standar:

o Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan 2-4 minggu.

o Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi. bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu

dipertimbangkan diagnosis lain.

o Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrosilat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.

3. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu penghindaran protein susu sapi dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI).

(8)

4. Apabila susu formula terhidrosilat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya, maka formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan dengan

penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap kedelai. Pemberian susu kedelai tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia 6 bulan.

5. Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung penegakan diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE.

Referensi :

1. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, dkk. Guideline for the diagnosis and the management cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child. 2007;92;902-8.

2. Scurlock AM, Lee LA, Burks AW. Food allergy in children. Immunol Allergy Clin N Am. 2005;25:369-88.

3. Host A. Frequency of cow’s milk allergy in childhood. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002;89Supl 1:33–7.

4. Burks W, Ballmer-Weber BK. Food allergy review. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2000;30:1-26.

5. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reactions to foods. Med Clin N Am. 2006;90:97-127.

6. Sullivan PB. Cows’ milk induced intestinal bleeding in infancy. Arch Dis Child. 1993;68:240-5.

7. Osborn DA, Sinn JKH. Formulas containing hydrolysed protein for prevention of allergy and food intolerance in infants. Cochrane Database of Systematic Reviews 2006, Issue 4. Art. No.: CD003664. DOI: 10.1002/14651858.CD003664.pub3. 8. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GP, Day AS, dkk. Guidelines

for the use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion. MJA. 2008;188:109- 12.

9. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician 2008;54:1258-64.

10. Committee on Nutrition American Academy of Pediatrics. Hypoallergenic infant formula. Pediatrics. 2000;106:346-9.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: UKK Alergi-Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI

Referensi

Dokumen terkait