Definisi
Penyakit akut yang mengancam nyawa
Penyebab
Bakteri Corynebacterium diphtheriae
Dikenal 2 macam Corynebacterium diphtheriae
:
Toxigenic
Empat tipe strain virulen yg berhubungan dg
manusia:
Strain gravis :
Di Eropa. Bentuk yang ganas, penyebab kematian terbanyak.
Strain mitis
Jarang fatal. Umumnya hanya mengenai saluran nafas.
Strain intermedius
Merupakan penyebab yg agak berat.
Strain minimus
Non Toxigenic Corynebacterium diphtheriae
Sering dijumpai pada nasofaring, telinga & kotoran
mata
Harus dibedakan dari strain yg menghasilkan toxin. Mikroskopis & morfologi kultur tak bisa bedakan tipe
toxigenik dg non toxigenik.
Metoda lama dg inokulasi pada guinea pig perlu waktu
beberapa hari
Metoda baru dg invitro identifikasi "skin toxin
Patofisiologi
Bakteri ini : organisme yang minimal melakukan invasi Secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi
berkembang lokal pada membrana mukosa atau
jaringan yg rusak & menghasilkan exotoxin paten, yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah & sistem limpatik.
Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 06 ug, telah bisa
Patofisiologi
Saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan
lokal, menyebabkan timbulnya kematian & kerusakan jaringan, lekosit masuk bersamaan dg penumpukan fibrin & elemen darah lain, disertai jaringan yg rusak membentuk membrane
Akibat kerusakan jaringan, edema & sering terjadi
pembengkakan sekitar membran.
Mengakibatkan penyumbatan jalan nafas
Patofisiologi
Warna membran difteri dapat bervariasi :
putih, kuning, atau abu-abu
Kadang sulit dibedakan dg "simple tonsillar
exudate".
Karena membran terdiri dari jaringan mati atau
sel rusak, dasar membran rapuh, dan mudah
Patofisiologi
Kematian umumnya disebabkan efek exotoxin.
Exotoxin berjalan melalui aliran darah ke jaringan lain,
berefek pada metabolisme seluler.
Toxin terikat pada membran sel melalui porsi toxin yg
disebut “fragmen B“, dan membantu transportasi toxin lain "fragmen A“, ke dalam sitoplasma.
Dalam beberapa jam saja setelah terexpose toxin difteri,
Patofisiologi
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan
jaringan saraf.
Pada miokardium, toxin menyebabkan
pembengkakan & kerusakan mitochondria, dengan
fatty degeneration, edema dan interstitial fibrosis.
Setelah kerusakan miokardium, akan terjadi
peradangan setempat, kmd perivascular akan terbalut oleh lekosit [cuffing].
Patofisiologi
Kerusakan oleh toxin pada myelin saraf
perifer terjadi pada kedua saraf sensorik & motorik.
Saraf motorik lebih sering terlibat & lebih
Gejala klinik
Masa inkubasi pendek 2-4 hari, jarak 1-5 hari. Klinis tergantung pd lokasi anatomi yg dikenai. Sakit tenggorokan, demam, sulit bernapas dan
menelan.
Gejala klinik
Membran tebal terbentuk menutupi belakang
kerongkongan. Jika menutup saluran pernapasan, menyebabkan kekurangan oksigen.
Gejala klinik
Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi :
1. Nasal diphtheria
2. Tonsillar [faucial] diphtheria
3. Pharyngeal diphtheria
4. Laryngeal atau laryngotracheald iphtheriad
5. Non respiratory diphtheria.
Nasal diphtheria
Gejala awal sulit dibedakan dari common cold.
Karakteristik : dijumpai pengeluaran sekresi hidung
tanpa diikuti gejala lain. Demam bila ada biasanya rendah.
Nasal diphtheria
Pengeluaran sekresi hidung mula-mula serous,
kemudian serosanguinous, pada beberapa kasus
terjadi epistaksis.
Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal dari
salah satu lubang hidung atau pun dari
keduanya.
Nasal diphtheria
Pada akhirnya sekret makin mucopurulent & terjadi
exkoriasi pada lubang hidung luar dan bibir atas, sepert impetigo.
Sekret mengaburkan membran putih pada sekat hidung.
Karena absorpsi toxin jelek pada lokasi, menyebabkan
gejala ringan tanpa ada yg menonjol.
Pada pasien yg tak diobati, sekresi berlangsung beberapa
Tonsillar & pharyngeal diphtheria
Penyakit timbul secara perlahan dg tanda-tanda, malas,
anorexia, sakit tenggorokan dan demam tak tinggi.
Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau membran
dijumpai pada daerah tonsil.
Berikutnya terjadi perluasan membran, yang bervariasi
dari hanya melibatkan sebagian tonsil sampai menjalar ke kedua tonsil, uvula, palatum molle & dinding dari
Tonsillar & pharyngeal diphtheria
Membran ini rapuh, lengket dan berwarna putih atau
abu-abu, dan bila dijumpai perdarahan bisa berwarna hitam. Pengangkatan dari membran akan mudah
Tonsillar & pharyngeal diphtheria
Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat
Tonsillar & pharyngeal diphtheria
Berat ringannya penyakit tergantung pada beratnya
toxemia.
Suhu bisa normal atau sedikit meninggi, tetapi pols cepat
dan tak teratur.
Pada kasus ringan, membran akan lepas pada hari ke
7-10, sembuh tanpa gejala berarti,
Pada kasus sangat berat,ditandai gejala akibat
peningkatan toxemia : sangat lemah, sangat pucat , pols halus & cepat, stupor, koma & meninggal dalam 6-10 hari.
Kasus sedang, penyembuhan terjadi perlahan & biasanya
Laryngeal diphtheria
Lebih sering merupakan lanjutan pharyngeal diphtheria, jarang
dijumpai berdiri sendiri.
Demam, suara serak dan batuk.
Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh membran
menimbulkan gejala; inspiratory stridor, retraksi suprasternal, supraclavicular dan subcostal.
Pada keadaan berat belanjut sampai ke percabangan
tracheobronchial.
Pada keadaan ringan, biasanya diakibatkan pemberian antitoxin,
saluran nafas tetap baik, dan membran dikeluarkan dengan batuk pada hari ke 6-10.
Laryngeal diphtheria
Pada kasus sangat berat, penyumbatan semakin berat,
anoxia dan, sianosis, sangat lemah, koma dan kematian.
Kematian mendadak pada kasus ringan disebabkan oleh
penyumbatan tiba-tiba oleh bagian membran yang lepas.
Gambaran klinik dari laryngeal diphtheria, serupa dengan
gambaran mekanikal obstruksi saluran nafas, biasanya
Laryngeal diphtheria
Sedang tanda toxemia minimal saat pemulaan terinfeksinya
laring
Ini disebabkan absorpsi toxin di daerah laring kecil sekali.
Terlibatnya laring biasanya bersamaan dengan tonsil dan
pharyngeal diphtheria, dengan konsekwensi gejala klinik gambaran obstruksi dan toxemia yang berat, yang dijumpai secara serentak.
Tipe difteri yang jarang
Cutaneous diphtheria : khas, berbentuk ulkus, dengan
batas tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya
Tipe difteri yang jarang
Pada conjunctival diphtheria, mula-mula kelopak mata
menjadi merah, edema & dijumpai membran.
Terlibatnya liang telinga luar biasanya ditandai
keluarnya cairan purulent terus menerus.
Lesi vulvo vaginal biasanya berbentuk ulkus yang
Diagnosis
Berdasar gejala klinik & lab.
Klinis merupakan pegangan utama
Setiap keterlambatan terapi akan menimbulkan risiko Klinis, Dx dapat ditegakkan dg melihat membran tipis &
keabu-abuan, mirip sarang laba-laba & mudah berdarah bila diangkat
Diagnosis Banding
1. Nasal diphtheria, DDnya:
Common cold
Bila sekret yang dihasilkan serosanguinous atau
purulent harus dibedakan dari benda asing hidung
Sinusistis
Adenoiditis
Diagnosis Banding
2. Tonsillar dan atau pharyngeal diphtheria, Ddnya adalah:
Pharyngitisolehstreptococcus
Pada keadan ini biasanya diikuti rasa sakit hebat saat
menelan, temperatur tinggi, & membran yg tidak lengket pada lesi.
Infeksi mononucleosis
Biasanya diikuti limfadenopati & splenomegali
Blood dyscrasia
Diagnosis Banding
3. Laryngeal diphtheria, DDnya :
Spasmodik dan non spasmodik croup
Acute epiglotitis
Laryngo-tracheo bronchitis
Aspirasi benda asing .
Pharyngeal dan retropharyngeal abscess
Laryngeal papiloma
Tata Laksana
1. Antibiotika
Penicillin digunakan bagi penderita yg tidak sensitif Bila sensitif : erythromycin.
Lama terapi 7 hari, golongan erithromycin 7 -10 hari. Antibiotika bukan bertujuan untuk memberantas toxin,
atau membantu kerja antitoxin, tetapi untuk
membunuh kuman penyebab, sehingga produksi toxin oleh kuman berhenti.
Tata Laksana
2. Antitoxin [ ADS]
Berasal dari serum kuda. Skin test dulu !
Cara test sensitivitas :
0,1ml antitoxin yg telah diencerkan 1:1000 dalam
larutan garam, diberikan ic & diteteskan pada mata.
Reaksi positif bila dalam 20 menit dijumpai eritema dg
diameter > 10 mm pada bekas tempat suntikan, atau pada test mata dijumpai adanya conjunctivitis dan pengeluaran air mata
Tata Laksana
Bila alergi, dapat dilakukan metoda desensitisasi :
0,05 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi sc 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:20 diberi sc 0,1 ml dari larutan pengenceran 1:10 diberi sc 0,1 ml tanpa pengenceran diberi sc
0,3 ml tanpa pengenceran diberi im. 0,5 ml tanpa pengenceran diberi im. 0,1 ml tanpa pengenceran diberi iv
Tata Laksana
Bila tidak dijumpai reaksi, sisa dari antitoxin dapat
diberikan secara perlahan melalui infus.
Bila terdapat reaksi, segera beri epinephrine [1:1000] iv Pada mulanya ADS diberikan im dg dosis 20.000 unit,
selama 2 hari berturut-turut. Cara ini ditinggalkan.
Sekarang ADS digunakan iv pd penderita yg tidak
sensitif, dosis 20.000-40.000 u, dilarutkan NaCl fisiologis dg perbandingan 1:20, kecepatan 15 tetes / menit dan harus sudah selesai dalam waktu 30-45 menit.
Tata Laksana
Sejak periode Maret 1984 cara yang digunakan bagi penderita difteri yang tidak sensitif adalah sbb :
ADS diberikan dg dosis 40.000 u dalam larutan 200 ml
NaCl fisiologis
Tata Laksana
3.Kortikosteroid
Beberapa penulis menganjurkan penggunaan
kortikosteroid pada keadaan tertentu, seperti bila ada tanda miokarditis, dan pada laryngeal atau pun
Tata Laksana
4.Rawatanpenunjang
Istirahat karena risiko miokarditis > minggu ke 2-3 Serial EKG untuk deteksi miokarditis.
Cukup cairan untuk cegah dehidrasi Kalori tinggi dg makanan cair.
Pada laryngeal diphtheria tindakan tracheostomi perlu. Digitalis boleh diberikan bila ada tanda gagal jantung,
tetapi kontra indikasi bila ada aritmia.
Bila ada paralise palatum molle & faring, pasang
Pencegahan
Penanganan kontak
Isolasi pasien, untuk cegah penyebaran
Pasien adalah infectious sampai basil difteri tidak
dijumpai pada kultur dari tempat infeksi.
Tiga kali berulang kultur negatif dibutuhkan sebelum
penderita dibebaskan dari isolasi.
Immunized carriers : injeksi ulangan
difteri toxoid, dan diobati dengan :
Procaine penicillin 600.000 u/hari
selama 4 hari.
Benzathine penicillin 600.000 u, I.M.
dosis tunggal atau
Erythromycine, 40 mg/kg BB/24 jam,
Nonimmunized asymptomatic carriers : difteri toxoid & penicillin.
Pemeriksaanoleh dokter setiap hari
Bila tidak dapat : ADS 10.000 u !
Bila kontak telah menunjukkan gejala, terapi
Profilaksis dengan difteritoxoid, penicillin, dan bila ada indikasi, diberikan antitoxin harus
dilaksanakan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu menunggu hasil kultur.