• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Perempuan di Parlemen dan S (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Representasi Perempuan di Parlemen dan S (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Representasi Perempuan di Parlemen dan Sistem Kuota:

Studi Perbandingan di Parlemen Indonesia dan India

Niken Larasati Kusuma Hapsari

Departemen Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Indonesia

E-mail: nkenkusuma@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini mencoba untuk menjabarkan mengenai keterwakilan perempuan di parlemen dua

negara, yaitu Indonesia dan India. Bagaimana kebijakan Affirmative Action untuk representasi perempuan di Indonesia dan India memiliki sistem yang berbeda, karena perbedaan masalah yang

dimiliki kedua negara. Dalam konteks representasi politik perempuan di parlemen, tulisan ini akan

melihat praktek representasi tersebut melalui tiga pendekatan teori, yaitu teori feminism

eksistensialis, teori sistem yang mempertimbangkan output dan input dari David Easton dan yang

terakhir adalah teori Affirmative Action dari Lovenduski. Kata kunci: Perempuan, Parlemen, Representasi Politik, Sistem Kuota

Pendahuluan

Tulisan ini akan dibuka dengan pernyataan dari Pandit Jawaharal Nehru, yaitu “If you want

me to tell you what a nation is like, tell me the position of women in that country”1. Perempuan, di

banyak negara di dunia, seringkali dijadikan sebagai warga kelas dua dan dibatasi perannya hanya

seputar urusan domestik, mereka berkutat di dapur, mengurus anak serta mengurus rumah tangga

saja. Kaum perempuan, memiliki akses terbatas dan atau dibatasi aksesnya terhadap

masalah-masalah yang lebih besar yang bahkan menjadi penentuan kehidupan kaum mereka sendiri.

Padahal, seperti yang dikatakan oleh Nehru, peran perempuan di suatu negara sangatlah penting.

Tingkat kemajuan suatu negara dapat dilihat dari adanya kesetaraan peran dan kesempatan yang

dimiliki oleh perempuan dan laki. Dengan kata lain, perempuan sama berhaknya dengan

laki-laki untuk terjun ke politik dan ikut merumuskan serta menentukan kebijakan-kebijakan yang

berkaitan dengan negara, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan nasib kaumnya. Oleh karena

(2)

itu, perempuan berhak memiliki perwakilan di parlemen atau mengajukan dirinya untuk menjadi

parlemen, dan keterwakilan perempuan ini harus dilindungi oleh konstitusi dan negara.

Namun, keterwakilan perempuan di dunia politik, khusunya di parlemen, masih sangat rendah,

jumlah keterwakilan perempuan di parlemen, masih jauh dibawah keterwakilan laki-laki. Penyebab

keterwakilan kaum perempuan tidak setinggi keterwakilan kaum laki-laki adalah adanya sebuah

pemikiran dari budaya patriarki yang telah membuat perempuan berpikir bahwa mereka harus

menerima dominasi dari kaum lelaki.

Untuk itu, perjuangan-perjuangan dari kelompok perempuan secara terus-menerus dilakukan

agar posisi perempuan dapat sejajar dengan laki-laki, dan segala kepentingan perempuan dapat

diaspirasikan dan diwakilkan oleh sesama perempuan. Tuntutan pemberlakuan kuota atau

strategi-strategi afirmatif lainnya adalah bagian dari sebuah tuntutan mengenai hak-hak perempuan dalam

dunia politik. Sehingga sistem kuota menjadi sebuah mekanisme yang sangat penting dan dianggap

dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam bidang politik, khususnya dalam parlemen.

Tuntutan ini ada karena kebijakan-kebijakan yang selama ini dibuat, tidak merepresentasikan

kebutuhan perempuan secara keseluruhan, karena yang membuat kebijakan-kebijakan ini

kebanyakan adalah laki-laki yang tentu saja tidak mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan.

Satu hal yang harus disadari, bahwa, dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan tidak

seragam di setiap negara. Setiap perempuan mengalami dominasi yang berbeda-beda tergantung

dari lokasi geografis, etnis, kelas dan kelompok agama yang mereka miliki.2

Di Indonesia, walaupun kuota untuk keterwakilan perempuan di parlemen sudah termaktub

dalam Undang-Undang, namun tetap saja keterwakilan perempuan di parlemen belum pernah

mencapai presentase 30%. Hal ini disebabkan karena partai-partai yang ada hanya menganggap

syarat keterwakilan perempuan sebagai syarat administrative. Selain itu lemahnya sosialisasi dan

sistem pengkaderan yang dilakukan partai, membuat tidak banyaknya calon anggota legislative

perempuan yang muncul. Hal ini sangat disayangkan, karena sebagai sebuah negara yang

demokratis dan mayoritas penduduknya merupakan masyarakat modern yang sudah cukup paham

mengenai kesetaraan gender, Indonesia seharusnya bisa memiliki lebih banyak keterwakilan

perempuan di politik, khusunya di parlemen.

2 Louise Edwards, Mina Roces. (2000). Women in Asia: Tradition, modernity and globalization. Australia: Allen Unwin

(3)

Hampir sama dengan Indonesia, India memiliki sebuah konstitusi negara yang menjamin hak

perempuan untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan politik. Sistem reservasi atau kuota di India

berkembang seiring dengan berkembangnya gerakan perempuan India yang menuntut jatah kursi

bagi perempuan di lembaga-lembaga lokal, sebab konstitusi India telah menetapkan bahwa harus

ada keterlibatan kaum perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan tingkat lokal desa.3

Akhirnya tuntutan-tuntutan tersebut membuahkan hasil dan tercantum dalam Amandemen

Konstitusi India yang Ke 73 dan 74 mengenai 33% reservation seats bagi perempuan India di pedesaan (panchayat) yang kemudaian amandemen ini menjadi Undang-Undang pada tahun 2010

ketika disetujui baik oleh Majelis Rendah (Lok Sabha) dan juga Majelis Tinggi (Raj Sabha)

parlemen India. Tetapi undang-Undang tersebut kurang berjalan dengan baik karena adanya

kesenjangan sosial dan ekonomi. Kesenjangan disebabkan oleh sistem kasta, perbedaan kelas

masyarakat, subordinasi wanita terhadap pria, kemiskinan dan dominasi orang tua terhadap anak

perempuannya. Akibatnya, mayoritas perempuan yang duduk di dalam parlemen merupakan

perempuan-perempuan dengan kasta tinggi atau mereka yang memiliki hubungan relative dengan

pemangku kekuasaan.

Padahal, keterwakilan perempuan di parlemen, seperti yang telah disinggung di atas,

sangatlah penting, karena dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen, itu berarti dalam

setiap perumusan-perumusan kebijakan akan ada suara kepentingan perempuan yang hadir.

Kepentingan serta aspirasi-aspirasi tersebut, datang bukan hanya melalui daya pikir, tetapi juga

melalui pengalaman dan fakta empirik berupa diskriminasi, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan

yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-harinya.

Berdasarkan pemaparan di atas, saya tertarik kepada konteks affirmative action yang diberlakukan kedua negara dalam menghadapi persoalan represetasi perempuan dalam parlemen.

Sehingga, dalam tulisan ini juga akan membandingkan sistem kuota yang berlaku di Indonesia dan

India, apa pengaruhnya dan bagaimana apabila sistem affirmative action dalam bentuk kuota dan reservation seat tersebut ditinjau oleh beberapa teori.

3 Kurniaty E.Y., (2015). Affirmative Action: Reservation Seats untuk Perempuan di Parlemen India, Jurnal Ilmu

(4)

Metode Penelitian

Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan mengulas mengenai angka

keterwakilan perempuan Indonesia dan India di dalam parlemen, sistem apa yang digunakan

pemerintah kedua negara dalam upayanya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen,

dan bagaimana keterwakilan perempuan dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Data yang

digunakan bersumber dari studi pustaka serta data statistic yang disediakan oleh Inter

Parliamentary Union (IPU) dan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Data

diambil serta dianalisis kembali oleh penulis dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel.

Bagian kedua, membahas komparasi dari fakta yang ditemukan di Indonesia dan India

mengenai keterwakilan perempuan dalam parlemen dengan teori politik perbandingan yaitu teori

sistem dari David Easton, Affirmative Action dari Mona Lena Krook dan juga teori Feminisme dari Simone de Beaouvir, data yang digunakan adalah data hasil studi pustaka.

Representasi Politik Perempuan di Parlemen Indonesia dan India

Perempuan di Parlemen Indonesia

Sepanjang sejarah, perempuan Indonesia dapat dikatakan memiliki peran terbatas di parlemen.

Hal ini bisa dilihat di table yang memperlihatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen

Indonesia yang pasang surut. Walaupun sebenarnya gerakan-gerakan perempuan di Indonesia

memiliki keterlibatan yang aktif di bidang politik, tetapi tetap saja belum bisa menutupi

kesenjangan yang ada dalam hal keterwakilan perempuan di struktur formal seperti parlemen.

Tabel Data Keterwakilan Perempuan di DPR RI4

4 Dessy Saummarliaty. (2013). Peran Perempuan Parlemen Dalam Mendorong Kesetaraan Gender. Jakarta:

(5)

Jumlah perwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selain terus mengalami

pasang surut, juga tidak pernah mencapai angka 30%. Dewan Perwakilan Rakyat selalu didominasi

oleh laki-laki. Atas dasar keadaan yang mengkhawatirkan ini, setelah masa orde baru tahun 1999,

munculah tuntutan-tuntutan serta kolaborasi dari gerakan-gerakan perempuan yang ternyata

mampu menciptakan sebuah agenda politik yang menghasilkan Undang-Undang yang berpihak

kepada kepentingan perempuan, salah satunya adalah Undang-Undang mengenai kuota

representasi perempuan di parlemen. Memang, salah satu solusi untuk meningkatkan partisipasi

politik perempuan agar menghasilkan instrument hukum yang mendukung kemajuan perempuan

dan reponsif gender adalah adanya tindakan affirmative action yang berupa kuota.

Oleh karena itu, keterwakilan perempuan dalam legislative diatur sebanyak 30% melalui

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, yaitu dalam pasal 65 ayat 1

yang berbunyi: setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan umum dengan memperhatikan

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%, lalu keterwakilan perempuan dalam parlemen

ini juga dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang

berbunyi: kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun

dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan.

Berdasarkan aturan ini, Pemilu 2014 telah memberlakukan aturan bahwa setiap partai politik yang

tidak memenuhi pencalonan minimal 30% perempuan di suatu dapil maka tidak diperbolehkan

mengikuti pemilu pada dapil tersebut sehingga pada Pemilu 2014 seluruh partai politik di tiap

daerah pemilihan mampu memenuhi aturan pencalonan minimal 30%. Selain itu, Komisi

Pemilihan Umum juga menerapkan mekanisme Zipper, yaitu daftar selang-seling antara lelaki dan

perempuan. Ringkasnya, mekanisme ini menerapkan bahwa dalam setip pencalonan 3 orang,

minimal harus ada 1 orang calon anggota perempuan.

Sebagai sebuah tahapan, kuota pencalonan perempuan minimal 30% di Indonesia adalah suatu

langkah yang tepat dalam konteks menghadirkan keterwakilan perempuan yang diraih dari hasil

menghadirkan identitas dan kepentingannya dalam antagonisme politik yang ada. Artinya,

kehadiran perempuan melalui proses pertarungan dan kontestasi elektoral melalui dorongan

(6)

maupun di dalam partai politik5. Drude Dahlerup menjelaskan bahwa sistem kuota ada sebagai

upaya untuk merekrut perempuan dalam posisi politik dan menjamin bahwa perempuan tidak

diisolir dalam kehidupan politik, juga menjamin perempuan berhak paling tidak critical minority

dari 30%-40%.6 Walaupun belum memperlihatkan kenaikan jumlah representasi perempuan di

DPR secara signifikan, tetapi dapat dikatakan, sistem kuota yang diterapkan oleh pemerintah

negara Indonesia ini cukup berhasil, karena, pada 1 Januari 2017, Indonesia menempati peringkat

ke 99 dalam statistic yang dilakukan oleh United Nations (UN) mengenai keterwakilan perempuan

dalam parlemen, dengan presentase keterwakilan 19.8%, yaitu 111 kursi dari total 560 kursi di

parlemen.7 Hanya saja dalam pelaksanaannya, pemberlakuan sistem ini harus dikawal karena

seringkali partai politik menganggap kuota perempuan ini hanya sebagai syarat adminsitratif saja.

Perempuan di Parlemen India

Sebelum berbicara mengenai representasi parlemen perempuan di India, tentu saja kita harus

mengenal bagaimana karakteristik serta keadaan perempuan di negara itu. Apabila kita telaah,

ternyata tidak semua perempuan di India mengalami dominasi dari laki-laki. Cukup banyak

perempuan India yang berkuasa dan memiliki pengaruh di segala sector, baik professional,

pebisnis, hingga pejabat birokrasi. Setelah kemerdekaannya dari penjajahan Inggris pada tahun

1947, perempuan-perempuan India memiliki akses untuk merambah pekerjaan yang berkaitan

dengan pelayanan public bahkan menjadi perwakilan di parlemen. Tetapi, kebanyakan mereka

menikmati hak istimewa tersebut karena mereka datang dari kasta kelas tinggi. Bagaimanapun,

mayoritas dari perempuan di India bukan dari kelas tinggi, sehingga kebanyakan dari

perempuan-perempuan di India harus tetap berurusan dengan masalah-masalah ekonomi dan kedudukan

mereka di masyarakat yang dianggap sebagai warga kelas dua.

Selain itu, posisi perempuan di India juga mengalami kontradiksi, khususnya dalam posisi

mereka apabila dipandang secara kepercayaan. Menurut kepercayaan yang dianut oleh sebagian

besar masyarakat India, perempuan merupakan mahluk inferior yang tidak memiliki kekuatan

apa-apa di masyarakat. Tetapi di sisi lain, perempuan dianggap sebagai mahluk kuat yang dapa-apat

5 Dirga Ardiansa. (2016). Jurnal Politik: Menghadirkan Kepentingan Perempuan dalam Representasi Politik di

Indonesia. Vol. 2, No. 1, Agustus 2016. Hlm. 78 . DOI: https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.82.

6 Azza Karan. (1998). Women in Parliament: Beyond Numbers. IDEA.

7 United Nations Women. Women In Politics 2017: Situation on 1 January 2017 and Inter Parliamentary Union:

(7)

memberikan kehidupan serta kekuatan. Perempuan India selalu dihadapkan kepada ketidakadilan

yang disebabkan oleh kasta dan kelas. Walaupun, secara konstitusi mereka dijamin untuk memiliki

kesetaraan.

Peta politik India terbagi menjadi 543 konstituensi parlementer. Setiap konstituensi diwakili

oleh seorang anggota parlemen yang duduk di Lok Sabha. Bentuk dan besarnya konstituensi.

Bentuk dan besarnya konstituensi parlementer ini ditetapkan oleh sebuah komisi independen yang

disebut dengan Delimitation Commission (Komisi Pembatasan) yang memiliki jobdesk

mempertimbangkan faktor-faktor kependudukan, geografi, tapal batas wilayah negara dan daerah

administrative. Secara struktur, meskipun India terdiri dari berbagai negara bagian, keterwakilan

kaum perempuan dalam politik dan pemerintahan baru sampai kepada sistem distrik, belum sampai

ke tingkat pusat dan Lok Sabha. Selain itu, kehidupan politik di India -sama seperti kehidupan

sosialnya- menganut sistem kasta yang sangat kuat. Sehingga mayoritas perwakilan perempuan

dalam parlemen di India adalah perempuan-perempuan kelas elit. Sistem kuota reservation seat,

diharapkan menjadi sebuah solusi atas kesenjangan keterwakilan perempuan di legislative India.

Sistem reservation seat ini tercantum dalam Amandemen Konstitusi India yang Ke 73 dan 74 yang berisikan bahwa 33% reservation seats bagi perempuan India di pedesaan (panchayat) yang kemudaian amandemen ini menjadi Undang-Undang pada tahun 2010 ketika disetujui baik oleh

Majelis Rendah (Lok Sabha) dan juga Majelis Tinggi (Raj Sabha) parlemen India. Sebagai hasil

dari amandemen ini, ratusan bahkan ribuan perempuan berhasil masuk ke kantor-kantor public dan

menaikan akses ke kehidupan politik.8

Walaupun ada upaya dari pemerintah India dalam mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan

posisi perempuan di beberapa tahun terakhir, tetapi pada kenyataannya upaya tersebut hanya

menghasilkan sedikit progress. Lambatnya progress ini juga disebabkan oleh pelemahan yang

dilakukan oleh pemegang otoritas-otoritas kepercayaan di India yang dilakukan terhadap

pergerakan perempuan yang menyuarakan untuk penyetaraan status perempuan. Sama halnya

ketika pergerakan-pergerakan perempuan India ini menyuarakan agar kedudukan wakil perempuan

di parlemen ditingkatkan lagi menjadi 30%. Pada 1 Januari 2017, India menempati peringkat ke

148 dalam statistik yang dilakukan oleh United Nations (UN) mengenai keterwakilan perempuan

8 G.C. Malhotra.

(8)

dalam parlemen, dengan presentase keterwakilan 11.8% berdasarkan komposisi 64 kursi dari 542

kursi di Lok Sabha (Dewan rendah) dan 27 kursi dari 245 kursi di Raj Sabha (Dewan Tinggi).9

Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia dan India Ditinjau dari Teori Sistem, Feminisme Eksistensialis, dan Konteks Affirmative Action.

Apabila kita melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab keterwakilan kaum

perempuan di Indonesia dan India tidak setinggi keterwakilan kaum laki-laki dalam bidang politik,

ada sebuah faktor yang muncul dan cukup menonjol, yaitu perempuan di kedua negara tersebut,

seringkali diperlakukan sebagai warga negara kedua. Mayoritas perempuan memiliki akses terbatas

untuk terjun ke dunia politik, mereka dianggap tidak capable dan hanya ditempatkan di urusan-urusan domestik. Sehingga, perlakuan-perlakuan sebagai warga negara kedua yang terjadi secara

berkesinambungan membuat perempuan-perempuan di Indonesia dan di India, terbelenggu oleh

pemikiran dari budaya patriarki yang menyatakan bahwa mereka harus menerima dominasi dari

kaum lelaki. Pandangan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Simone De Beauvoir dalam

teorinya tentang feminism eksistensialis10, bahwa perempuan dikonstruksi oleh laki-laki, melalui

struktur dan lembaga laki-laki. Jika perempuan ingin menghentikan kondisinya sebagai kelamin

kedua, liyan, perempuan harus dapat mengatasi kekuatan-kekuatan dari lingkungan, perempuan

harus mempunyai pendapat dan cara seperti juga laki-laki.

Menurut penulis, apa yang disampaikan oleh Beauvoir ini dapat diterapkan kepada keadaan

perempuan di Indonesia dan India. Tuntutan-tuntutan akan kesetaraan hak dan kuota agar dapat

memiliki tempat yang sama seperti laki-laki di parlemen yang datang dari kelompok-kelompok

perempuan, merupakan sebuah perwujudan dari keinginan perempuan-perempuan ini agar mereka

berhenti diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Kelompok-kelompok ini juga ingin

menunjukan bahwa perempuan memiliki tempat yang sejajar dengan laki-laki dan aspirasi mereka

berharga. Dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen, perempuan secara konkret

menegaskan bahwa dirinya adalah subjek dan dapat secara aktif menentukan arah nasibnya sendiri.

Lalu, dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen, ini juga memperlihatkan bahwa

perempuan adalah mahluk intelektual, anggota dari kelompok yang akan membangun perubahan

9 United Nations Women. Women In Politics 2017: Situation on 1 January 2017 and Inter Parliamentary Union:

Woman in National Parliament (http://archive.ipu.org/wmn-e/arc/classif011017.htm)

10 Rosemarie Putnam Tong. 1998. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran

(9)

bagi perempuan. Dapat disimpulkan bahwa, kekuasaan politik membuat perempuan mandiri dan

terbebas dari sistem patriarki.

Kekuasaan politik ini yang menurut teori sistem yang dikemukakan David Easton, berhubungan

dengan pembentukan dan pelaksanaan politik kewenangan dalam satu masyarakat. Kekuasaan

bersandar kepada sebuah kemampuan untuk mempengaruhi tindakan pihak lain, dan melaksanakan

keputusan-keputusan yang menentukan kebijakan.11 Sehingga, dengan adanya perwakilan

perempuan dalam parlemen maka dia akan dapat mempengaruhi tahap-tahap perumusan kebijakan,

dan memasukan nilai-nilai serta kebutuhan perempuan. Para wakil-wakil perempuan ini dapat

berpartisipasi dan memberikan sudut pandang mereka disetiap perumusan kebijakan. Karena,

perumusan kebijakan yang ideal adalah ketika perempuan hadir melalui pengalaman dan fakta

empirik berupa diskriminasi, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan yang dialami perempuan dalam

kehidupan sehari-harinya.

Input dalam bentuk permintaan dan dukungan menjadi sebuah masukan dalam sistem politik.

Dukungan juga disebut sebuah tindakan yang mendorong atau menahan sebuah sistem politik.

Sehingga tuntutan-tuntutan yang dilakukan secara terus menerus oleh kelompok perempuan di

India dan Indonesia pada akhirnya membuat mereka mendapatkan hak-hak kesetaraan dan dapat

duduk di kursi parlemen. Selain itu, pemerintah India menambahkan kuota tersebut tentu saja

karena mereka mempertimbangkan reaksi masyarakat, khususnya kaum perempuan apabila

tuntutan-tuntutan tersebut tidak dipenuhi, karena mereka membutuhkan dukungan terhadap

pemerintahan yang sedang mereka jalankan, dan adanya protes dari kaum perempuan hanya akan

membuat keadaan negara dan pemerintahan mereka tidak stabil.

Ada sebuah perbedaan kebijakan tentang keterwakilan perempuan yang berlaku di Indonesia

dan di India. Di Indonesia, pengaturan keterwakilan perempuan diatur dengan kebijakan kuota,

kuota ini berlaku sebagai kuota di parlemen maupun kuota yang ditentukan dalam internal partai

politik untuk memenuhi persyaratan kuota perempuan yang tercantum di undang-undang.

Sedangkan, di India kebijakan untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen adalah

kebijakan reserved seat atau kuris yang memang dikhususkan untuk anggota perempuan agar dapat memenuhi kuota yang telah ditetapkan. Perbedaan kebijakan keterwakilan perempuan di Indonesia

dan di India ini adalah di Indonesia, kebijakan kuota lebih mengintervensi proses memilih karena

11 Ronald H. Chilcote. (2003). Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

(10)

berada dalam ranah proses memilih, dengan menyediakan pilihan yang ‘lebih’ representatif.

Sementara, di India lebih mengintervensi pada hasil agar parlemen dipastikan memiliki wakil yang

‘lebih’ representatif. Kebijakan-kebijakan tersebut diungkapkan Lovenduski sebagai tiga jenis kebijakan kuota yang paling umum yaitu kursi yang dikhususkan (reversed seat), kuota legal di parlemen, dan kuota yang ditentukan dalam internal partai politik.12

Namun, ada hal yang harus digarisbawahi dalam kebijakan keterwakilan perempuan ini, yaitu

kebijakan ini baik di Indonesia dengan sistem kuotanya ataupun di India dengan sistem reserved seat nya, hanya memberikan akses mendorong pencalonan perempuan. Sementara proses-proses diluar itu, seperti strategi politik, akses informasi, serta proses kaderisasinya masih berada pada

kekuasaan partai politik. Sehingga, perlu adanya kesadaran pula dari partai politik mengenai

representasi politik perempuan berarti juga meningkatkan keefektifan mereka dalam

mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang akan berpengerauh terhadap kehidupan dan

peningkatan kesejahteraan bagi perempuan.

Kesimpulan

Representasi parlemen perempuan di Indonesia dan di India, ternyata masih sama-sama rendah

dan belum pernah mencapai tingkat presentase 30%. Walaupun peringkat representasi perempuan

Indonesia di parlemen yang berada di posisi 99 masih lebih tinggi daripada India yang berada di

posisi 148. Namun minimnya representasi perempuan di India hadir karena adanya perbedaan kasta

baik di bidang sosial ataupun ekonomi, dan kebanyakan hanya perempuan-perempuan dari kasta

tinggi yang memiliki akses ke keterlibatan politik. Sedangkan, di Indonesia, tingkat representasi

perempuan di parlemen rendah karena partai politik hanya menganggap adanya kebijakan kuota

30% yang diterapkan pemerintah sebagai syarat administrative.

Untuk meningkatkan tingkat representasi keterwakilan perempuan, khususnya di parlemen,

pemerintah Indonesia membuat undang-undang mengenai sistem kuota, sedangkan pemerintah

India menerapkan sistem reserved seat. Tetapi tampaknya kebijakan ini tidak cukup berhasil karena perempuan masih dianggap tidak capable sebagai anggota parlemen, dan adanya pemikiran yang lahir dari dalam perempuan itu sendiri bahwa mereka harus menerima ketika didominasi oleh

laki-laki.

12 Joni Lovenduski dan Pippa Norris (ed.). (1993). Gender and Party Politics. London, Thousand Oak, New Delhi: SAGE

Gambar

Tabel Data Keterwakilan Perempuan di DPR RI4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam signaling theory , asimetri informasi yang terjadi antara emiten, penjamin emisi, dan antar investor dapat diminimalisir dengan penerbitan prospektus oleh perusahaan

2 Tahun 1992 tentang usaha Perasuransian Bab 1 pasal 1 Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung

Bagaimanakan pengaruh bahan pencemaran limbah-limbah terhadap air tanah, dan bagaimana kualitas airtanah yang berada di lokasi ini dan bagaimana arah aliran

Tujuan penelitian dan penulisan skripsi ini adalah membantu permasalahan yang dihadapi perusahaan dalam hal pendataan dan pengontrolan karyawan yang lebih baik dengan segala

l. • sistem akan mengawasi bilangan minuman dan jenisnya, memaparkan pada pengguna statusnya iaitu ada/ tiada dan harganya. • pengguna memasukkan wang bagi jenis minuman yang

1) Kecamatan Depok merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan dalam kurun waktu selama sepuluh tahun dari tahun 2007 hingga 2017. Perubahan penggunaan lahan yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penerapan model pembelajaran konflik intelektual berdampak pada aspek kognitif mengenai permasalahan pengembangan emosional

Pekerjaan : Pembangunan Rumah Lokasi : Bumi Palir Sejahtera Type Rumah : RSh 27 Melati.. (Dinding Bataco diplester depan,