• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IDEOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IDEOLOGI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IDEOLOGI PANCASILA, KOMUNISME, LIBERALISME, SOSIALISME, FASISME DAN FAHAM

AGAMA

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Pendidikan Pancasila

Disusun Oleh:

Supriyadi ( 135080600111011 ) Tomi Aris ( 135080600111012 ) Anas Nurhidayah ( 135080600111019 ) Rangga Pangestu ( 135080600111023) Aldi Silalahi ( 135080600111041 )

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...i

KATA PENGANTAR...iii

BAB I. PENDAHULUAN...iv

A. Latar Belakang...iv

B. Rumusan Masalah...iv

C. Tujuan Pembahasan...v

BAB II. PEMBAHASAN...1

2.1 Ideologi Pancasila...1

2.1.1 Syarat- Syarat Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka...1

2.1.2 Dimensi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka...1

2.1.3 Ciri-Ciri Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka...2

2.1.4 Faktor Pendorong Pemikiran Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.....2

2.1.5 Arti Ideologi Pancasila...3

2.2 Ideologi Komunis...7

2.2.1 Pengertian Ideologi Komunisme...7

2.2.2 Ciri-ciri Ideologi Komunisme...8

2.3 Ideologi Sosialisme...9

2.3.1 Pengertian sosialisme...9

2.3.2 Prinsip Dasar Sosialisme...11

2.3.3 Konsep Tokoh Sosialisme...11

2.4 Ideologi Liberalisme...17

2.4.1 Sejarah ideologi Liberal...17

2.4.2 Prinsip Ideologi Liberalis...19

2.5 Ideologi Fasisme...21

(3)

2.5.2 Fasisme di Abad Ke-20...23

2.6 Ideologi Pancasila dan Agama...26

2.6.1 Pengertian Ideologi pancasila dan Agama...26

2.6.2 Perkembangan Paham Agama Pasca Kemerdekaan...29

2.7 Perbedaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain...34

2.7.1 Bidang Politik Hukum...34

2.7.2 Bidang Ekonomi...35

2.7.3 Agama...35

2.7.4 Pandangan Terhadap Individu Dan Masyarakat...35

2.7.5 Ciri Khas Ideologi...36

2.8 Persamaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain...36

(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita haturkan kepada Tuhan yang maha Esa karena dengan Rakmat dan Hidayahnya, kita semua diberikan kemudahan dan kelancaran untuk menyelesaikan tugas menyusun makalah mata kuliah Pendidikan Pancasila dengan Judul “Makalah Persamaan dan Perbedaan Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama”.

Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila karena telah memberikan pengajaran, hal yang berkaitan dengan Pendidikan Pancasila sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu.

Selanjutnya semoga dengan penyusunan Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, umumnya bagi seluruh civitas Akademika universitas Brawijya dan khususnya seluruh Mahasiswa Fakultas perikanan dan Ilmu kelautan Universitas Brawijaya. Mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terjadi banyak kekuraangan atau kesalahan yang disengaja ataupun tidak disengaja.

Malang, 14 September 2014

(5)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara, Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai-nilai-nilai kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Dengan kata lain, unsur-unsur yang merupakan materi Pancasila diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri. Ideologi pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok seperti ideologi-ideologi lain di dunia. Pancasila diambil dari nilai-nilai luhur budaya dan nilai religius bangsa Indonesia. Pancasila berkedudukan sebagai ideologi bangsa dan negara. Dengan demikian, pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari negara lain.

Ideologi erat sekali hubungannya dengan filsafat. Karena filsafat merupakn dasar dari gagasan yang berupa ideology. Filsafat memberikan dasar renungan atas ideologi itu sehingga dapat dijelmakan menjadi suatu gagasan untuk pedoman bertindak. Dari sudut etimologinya, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua buah kata, yaitu (filos) berarti cinta dan (Sophia) berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadifilsafat berarti cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Arti kata inilah yang kemudian dirangkumkan menjadi suatu makna bahwa filsafat adalah suatu renungan atau pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran.

(6)

B. Rumusan Masalah

Beberapa Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana konsep dari Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama?

2. Bagaimanakah persamaan dana perbedaan Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama?

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui konsep dari Ideologi Pancasila, Komunisme, Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama

(7)

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Ideologi Pancasila

Pancasila sebagai ideologi terbuka karena pancasila dapat menyesuaikan dan diterapkan dari dinamika di Indonesia dan didunia. Tetapi tidak merubah nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri. Sehinga pancasila dapat digunakan dan diterapkan dalam berbagai zaman.

2.1.1 Syarat- Syarat Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Pancasila dikatakan sebagai ideologi terbuka, karena telah memenuhi syarat-syarat sebagai Ideologi terbuka antara lain sebagai berikut...

Nilai Dasar, adalah nilai dasar yang terdapat dalam pembukaan UUD

1945 yang tidak berubah

Nilai Instrumen, ialah nila-nilai dari nilai dasar yang dijabarkan lebih

kreatif dan dinamis ke bentuk UUD 1945, ketetapan MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya

Nilai Praktis, adalah nilai-nilai yang dilaksanakan di kehidupan

sehari-hari, baik di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai praktif bersifat abstrak, seperti mengormati, kerja sama, dan kerukunan. Hal ini dapat dioperasionalkan ke bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari.

2.1.2 Dimensi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Ideologi Pancasila memiliki 3 dimensi penting yaitu sebagai berikut...

Dimensi Realitas adalah mencerminkan kemampuan ideologi untuk

mengadaptasika nilai-nilai hidup dan berkembang dalam masyarakat  Dimensi Idealisme adalah idealisme yang ada dalam ideologi mampu

menggugah harapan para pendukugnya

Dimensi Pendukung adalah mencerminkan atau menggambarkan

(8)

2.1.3 Ciri-Ciri Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Dalam fungsinya sebagai Ideologi, pancasila menjadi dasar seluruh aktivitas bangsa Indonesia. Sehingga pancasila tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ciri-ciri pancasila sebagai Ideologi terbuka adalah sebagai berikut;

 Pancasila mempunyai pandangan hidup, tujuan dan cita-cita masyarakat

Indonesia yang berasal dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri.  Pancasila memiliki tekat dalam mengembangkan kreatifitas dan dinamis

untuk mencapai tujuan nasional

 Pengalaman sejarah bangsa Indonesia Terjadi atas dasar keinginan

bangsa (masyarakat) Indonesia sendiri tanpa dengan campur tangan atau paksaan dari sekelompok orang.

 Isinya tidak operasional

 Dapat menginspirasi masyarakat untuk bertanggung jawab sesuai

nilai-nilai Pancasila

 Menghargai pluralitas, sehingga diterima oleh semua masyarakat yang

berlatakng belakang dan budaya yang berbeda.

2.1.4 Faktor Pendorong Pemikiran Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.

Menurut Moerdiono bahwa terdapat faktor-faktor atau bukti yang mendorong pemikiran Pancasila sebagai ideologi terbuka antara lain sebagai berikut;

 Proses pembagunan nasional berencana, dinamika mayarakat indonesia

yang berkembang sangat cepat. Sehingga tidak semua permasalahan kehidupan dapat ditemukan jawabannya secara ideologis.

 Runtuhnya Ideologi tertutup, seperti marxisme-leninisme/komunisme.  Pengalaman sejarah politik terhadap pengaruh komunisme sangat

(9)

 Tekad untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam

kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.1.5 Arti Ideologi Pancasila

Arti rumusan akhir Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam sidang PPKI merumuskan sebagai berikut :

Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagai hasil refleksi terhadap hidup manusia Indonesia sejak zaman kumo, khususnya dalam hidup masyarakat desa, para pendiri negara kita sampai pada kesimpulan: manusia Indonesia mengakui Tuhan yang satu adanya, entah dengan adanya, entah dengan sebutan Tuhan, Widi, Widi, Wasa, Sang Hyang Hana, Gusti atau Allah. Adanya dunia dengan segala isinya mendorong manusia ke dalam keyakinan: ada suatu realitas, yang tertinggi, yang menjadi sumber adanya seluruh realitas di dunia sebagai sebab yang pertama, sebagai causa prima. Bagaimana orang-orang menghayati keyakinannya, bagaimana mereka bertaqwa, mengabdi kepada Tuhan, tergantung pada pribadi masing-masing. Maka di Indonesia ada kebebasan beragama. Indonesia bukan negara “teokratis”, bukan negara agama yaitu negara yang dalam penyelenggaraan kehidupan berpemerintahan

berdasarkan kekuasaan (kratia) Tuhan (Theos) menurut ajaran agama tertentu. Para pemeluk agama dan para penganut kepercayaan bebas dalam menghayati dan melaksanakan keyakinan mereka, saling menerima serta saling menghargai dengan penuh toleransi dan dengan semangat kerjasama yang serasi.

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Bangsa Indonesia mempunyai gambaran atau citra manusia sendiri. Setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi budi dan karsa merdeka, dihargai dan dihormati sesuai dengan martabatnya. Semua manusia adalah sama derajatnya sebagai manusia. Semua manusia sama hak dan

(10)

jasmani, adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial. Hal ini disebut untuk mempergunakan istilah Prof. Notonagoro: monodualitas. Setiap manusia

diharapkan mendapat apa yang menjadi haknya. Maka dirumuskan:

“Kemanusiaan yang adil”.124 Di sini kita menemukan dasar hak-hak asasi manusia dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. Disadari pula bahwa dunia dengan isinya itu merupakan obyek bagi manusia. Dunia ini merupakan obyek bagi pancaindera manusia: bagi mata, untuk dinikmati keindahan alamnya; bagi telinga, dinikmati bermacam-macam suaranya. Manusia dapat menangkap itu semua sehingga timbul getaran-getaran dalam jiwanya, dengan bermacam-macam perasaan. Apa yang dialami dalam jiwanya dapat diekspresikan dan

dimanifestasikan dalam bermacam-macam bentuk kesenian; umpamanya dalam bentuk lagu, tari-tarian, atau lukisan. Tetapi dunia ini terutama merupakan obyek untuk budinya dan karsanya. Manusia dengan jiwanya yang rohani bersifat transenden, mengatasi struktur dan kondisi alam jasmani. Manusia dapat

mengenal hukum-hukum alam dapat menemukan potensi yang terkandung dalam alam; manusia mampu mengolah dan mengubah alam dalam batas-batas tertentu. Transendensinya relatif dan terbatas. Dengan demikian manusia mampu

menciptakan kebudayaan. Ia mengolah tanah, air, api dan logam yang didapatnya dalam alam. Hal ini dirumuskan dalam istilah “yang beradab”.

Persatuan Indonesia

Ketika Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tampil pada sidang paripurna BPUPKI atas permintaan ketuanya, dr. Radjiman Wedyodiningrat, ia menegaskan:

(11)

Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian!”

Persatuan Indonesia atau kebangsaan Indonesia diilhami oleh kata-kata pujangga Empu Tantular pada jaya-jayanya Majapahit dahulu, yang sekarang tercantum dalam lambang negara; “Bhineka Tunggal Ika”: walaupun beraneka ragam adalah satu! Indonesia memang terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnik: orang Jawa, Timor, Madura, Batak, Aceh, Bali, Bugis dan seterusnya, masing-masing dengan bahasa daerah, adat, kesenian, dan watak kebiasaan mereka masing-masing. Terdapat bermacam-macam agama dan kepercayaan. Tetapi sukusuku atau kelompok-kelompok etnik, yang selama berabad-abad telah mengalami nasib yang sama, bertekad hendak bersatu.

Bersama-sama sudah menderita dijajah oleh kaum kolonialis; hasrat keinginannya hanya satu; tetap bersatu. Nasionalisme ini tidak boleh menjadi satu

chauvinisme.127 Oleh karena itu sila II ini tidak boleh lepas dari sila III. Artinya, sila Kebangsaan atau Persatuan Indonesia dijiwai oleh sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; kebangsaan yang ingin berhubungan secara serasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan

Sejak dahulu, bahkan pada zaman Majapahit (1293-1517) orang mengenal adat kebiasaan cara khusus mengadakan perundingan, yang disebut “musyawarah untuk mufakat”. Cara melakukan segala sesuatu bersama di desa-desa Indonesia juga terungkap dalam prosedur, yang ditempuh oleh para sesepuh dalam

(12)

memutuskan secara bersama - sama, kepala desa memegang pimpinan. Keputusan terakhir disebut mufakat yaitu konsensus, kesepakatan bersama.128 Jadi

keputusan mufakat adalah langkah terakhir dari musyawarah yang berlangsung lama. Pada waktu mempertimbangkan dan bersepakat kepala desa tidak

dibenarkan bertindak selaku pembesar dalam arti selaku orang yang mendikte, akan tetapi sebagai kepala sosial suatu keluarag besar, seorang bapak bagi seluruh persekutuan.

Cara berunding musyawarah untuk mufakat ini dilaksanakan bukan hanya dalam rapat dan rembug desa, tetapi juga dalam forum sidang MPR, DPR pusat sampai dengan DPRD tingkat II. Musyawarah untuk mufakat merupakan suatu bentuk dan proses berunding yang tidak mengenal adanya usaha untuk saling menghantam atau saling menjebak dengan akal muslihat supaya akhirnya dapat tampil sebagai pemenang yang unggul dalam perdebatan. Musyawarah untuk mufakat merupakan suatu metode dengan tukar pikiran, menyumbangkan

gagasan-gagasan berusaha untuk bersama-sama dapat menemukan kebenaran dan kebaikan.

Dalam musyawarah orang boleh saja adu argumentasi dan berdiskusi. Hal ini oleh Sukarno dikemukakan juga ketika ia berbicara tentang asas musyawarah mufakat dalam sidang paripurna BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang dikenal dengan sebutan “Lahirnya Pancasila”:

“Dalam perwakilan, nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada suatu staat yang hidup betul-betul jikalau dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya.”

(13)

memaksakan kehendaknya sendiri, melainkan supaya berbicara dengan bijaksana. Kebebasan memang dijunjung tinggi, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.

Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

Di dekat kota Palembang ada sebuah batu dengan prasasti “Kedukan Bukit” (683). Menurut Prof. Muhammad Yamin batu itu merupakan peninggalan Gründungsakt kerajaan Sriwijaya. Tulisannya berbunyi: “Marwuat wanua Sriwijaya jaya siddhayatra subbiksa”. Oleh M. Yamin diterjemahkan: “Mereka mendirikan negara Sriwijaya agar jaya sejahtera sentosa”. Jadi negara Sriwijaya didirikan bukan untuk keagungan dinasti Syailendra, melainkan untuk

kesejahteraan rakyatnya.130 Kata siddhayatra adalah “sejahtera” dalam bahasa Indonesia. Ideologi Pancasila jelas bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Prof. Djojodiguno menulis:

“Kita ini rakyat yang terikat secara sosial dan tradisional; kita masing-masing bertindak atau bertingkah laku seperti semua orang lain, tiap orang bersifat komunal.”

Rumusan inilah yang kemudian dijadikan dasar negara, hingga sekarang bahkan hingga akhir perjalanan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bertekad bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat dirubah oleh siapapun, termasuk oleh MPR hasil pemilu. Jika merubah dasar negara Pancasila sama dengan

membubarkan negara hasil proklamasi (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966).

2.2 Ideologi Komunis

2.2.1 Pengertian Ideologi Komunisme

Ideologi komunis atau komunisme merupakan perlawanan besar pertama dalam abad ke-20 terhadap sistem ekomomi yang kapitalis dan liberal.

(14)

ekomomi dan sekularisme yang radikal tatkala agama digantikan dengan ideologi komunias yang berseifat doktriner. Jadi, menurut ideologi komunis, kepentingan-kepentingan individu tunduk kepada kehendak partai, negara dan bangsa

(kolektivisme).

2.2.2 Ciri-ciri Ideologi Komunisme

 Ajaran komunisme adalah sifatnya yang ateis, tidak mengimani Allah.

Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada, kalau ia berpikir Tuhan tidak ada. Akan tetapi, kalau ia berpikir Tuhan ada, jadilah Tuhan ada. Maka, keberadaan Tuhan terserah kepada manusia.

 Sifatnya yang kurang menghargai manusia sebagai individu. terbukti dari

ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-alat produksi.  Komunisme mengajarkan teori perjuangan (pertentangan) kelas, misalnya

proletariat melawan tuan tanah dan kapitalis.

 Salah satu doktrin komunis adalah the permanent atau continuous

revolution (revolusi terus-menerus). Revolusi itu menjalar ke seluruh dunia. Maka, komunisme sering disebut go international.

 Komunisme memang memprogramkan tercapainya masyarakat yang

makmur, masyarakat komunis tanpa kelas, semua orang sama. Namun, untuk menuju ke sana, ada fase diktator proletariat yang bertugas

membersihkan kelas-kelas lawan komunisme, khususnya tuan-tuan tanah yang bertentangan dengan demokrasi.

 Dalam dunia politik, komunisme menganut sistem politik satu partai, yaitu

partai komunis. Maka, ada Partai Komunis Uni Soviet, Partai Komunis Cina, PKI, dan Partai Komunis Vietnam, yang merupakan satu-satunya partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis tidak ada partai oposisi. Jadi, komunisme itu pada dasarnya tidak menghormati HAM.

No Komunisme Pancasila Liberalisme

1. Atheis Monotheisme Sekuler

2. HAM diabaikan

HAM dilindungi tanpa melupakan kewajiban asasi

HAM dijunjung secara mutlak

(15)

No Komunisme Pancasila Liberalisme

ditolak dijunjung tinggi diabaikan

4. Keputusan ditangan pimpinan partai Keputusan melalui musyawarah mufakat dan voting (pemungutan suara) Keputusan melalui voting (pemungutan suara)

5. Dominasi partai Tidak ada dominasi Dominsi mayoritas

6. Tidak ada oposisi Ada oposisi dengan

alasan Ada oposisi

7. Tidak ada perbedaan Ada perbedaan pendapat-pendapat Ada perbedaan pendapat 8. Kepentingan negara-negara Kepentingan seluruh rakyat Kepentingan mayoritas

2.3 Ideologi Sosialisme

2.3.1 Pengertian sosialisme

Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar tahun 1830, yakni adanya keinginan agar alat-alat produksi dimiliki secara bersama untuk melayani semua kebutuhan masyarakat, bukan monopoli atas kaum kapitalis. Sosialisme atau sosialism (Inggris) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis, yaitu berarti kemasyarakatan. Dalam arti di atas ada empat macam aliran yang dinamakan sosialisme: pertama, sosial demokrasi; kedua, komunisme; ketiga anarkhisme; dan keempat sindikalisme (Elisa,2009).

(16)

penganut sosial demokrat, masyarakat harus dikepalai oleh satu pemerintah yang dipilih bersama-sama secara demokratis, tidak hanya pada lingkup politik tetapi termasuk di bidang ekonomi karena semua proses dalam sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari diperlukannya ketertiban ekonomi.

Menurut asas sosial demokrat klasik, assosiasi-assosiasi sukarelawan di luar negara cenderung dicurigai dan dianggap keburukannya lebih banyak dibandingkan kebaikannya. Asosiasi-asosiasi sukarelawan cenderung tidak professional, serampangan, serta merendahkan pihak yang berhubungan dengannya. Dalam perkembangannya, sosial demokrat klasik direvisi oleh Anthony Giddens dengan "Jalan Ketiga" (demokrasi sosial), berusaha mempertahankan inti kepedulian pada keadilan sosial dan lepas dari sekedar perbedaan antara aliran "kiri" maupun "kanan". Persamaan dan kebebasan individual bagi Giddens memang bertentangan, namun langkah-langkah egaliter dapat memperluas serta membuka rentang kebebasan setiap individu. Kebebasan dalam aliran ini berarti adanya otonomi atas tindakan yang dilakukan manusia disertai tuntutan keterlibatan komunitas sosial yang lebih luas. Lebih jelasnya dapat dilihat dari mottonya: tak ada hak tanpa tanggung jawab dan tak ada otoritas tanpa demokrasi.

Perbedaaan sosialisme dgn komunisme (Marx) :

(17)

2.3.2 Prinsip Dasar Sosialisme

Menurut Elisa (2009), Walaupun banyak terdapat aliran atau pengertian sosialisme, tetapi ada sejumlah prinsip dasar dari sosialisme itu sendiri, yaitu :

1. Semua bentuk Marxisme dapat diketegorikan sosialisme, tetapi tidak sebaliknya.

2. Meskipun tidak mudah merumuskan dengan persis apa itu sosialisme, paling tidak ada dua hal yang mempersatukan segala macam aliran

revolusioner, egalitarian, anarkis, utopis, reformis, teknokrat, religius, dan sebagainya itu yang dinamakan dirinya sosialis.

3. Keyakinan etis bahwa perekonomian harus diarahkan pada kesejahteraan segenap orang, bukan untuk keuntungan segelintir orang.

4. Sumber ketidakadilan sosial adalah hak milik pribadi (atas alat-alat produksi).

5. . Sosialisme adalah cita-cita etis tentang masyarakat yang solider dan tuntutan penghapusan hak milik pribadi .

2.3.3 Konsep Tokoh Sosialisme Sosialisme Karl Marx.

Cita-cita kolektivitas, kepemilikan bersama, atau apa yang dikenal saat ini dengan nama sosialisme kurang lebih di abad ke-5 SM sebenarnya sudah ada sebagaimana dideskripsikan oleh Jambulos, yakni adanya sebuah "negeri matahari" di mana disana segala-galanya dimiliki bersama, tak terkecuali para istri. Secara historis, pelbagai aliran sosialis sering dikaitkan ke era sebelum Karl Marx (18181883), bahkan kepada filosof yunani kuno, Plato (427-347).

(18)

Dalam Sosialisme Karl Marx, paling tidak ada 3 (tiga) pemikiran yang mempengaruhi Karl Marx, yaitu ajaran Hegel, filsafat materialisme Feuerbach, dan teori revolusioner Perancis (terutama gagasan-gagasan para sosialisme utopis)

Ajaran G.W.F Hegel (1770-1831) : Metode untuk mendekati, memahami, dan mempelajari gejala alam, Marx mengambil dari materialisme, dialektika Hegel. Materialisme dialeketika Hegel menjadi inspirasi materialisme dialektika Marx yang dikembangkan menjadi materialisme historis sebagai puncak prestasi ilmiahnya. Bagi Hegel, alam adalah proses mengelar pikiran-pikiran yang menimbulkan proses alam, sejarah manusia, organisme, dan kelembagaan masyarakat. Materi baginya kurang rill dibandingkan jiwa. Pikiran atau jiwa menurut Hegel esensi alam. Marx menolak idealisme Hegel tersebut dengan membalikkan filsafatnya dan mengatakan materi pokok dari alam, bukan jiwa atau pikiran. Pada organisasi ekonomi masyarakat misalnya, disini jelas menurut Marx bahwa cara-cara produksi (materi) menentukan kelembagaan politik dan sosial yang ada.

Dalam dialektika Hegel, dunia berada pada sebuah proses perkembangan atau perubahan yang bersifat dialektika. Perubahan-perubahan tersebut

berlangsung melalui tahap afirmasi (tesis), pengingkaran (anti tesis), dan akhirnya sampai pada tahap integrasi (sintesis). Marx kemudian menggagas materialis dialektikanya berdasarkan materi dari materialisme dialektika Hegel. Jika bagi Hegel dan kaum idealis pada umumnya alam merupakan buah hasil dari roh, sedangkan bagi Marx dan Engels semua yang bersifat rohani merupakan hasil dari materi.

Bagi Marx, kekuatan material (modal) menentukan dalam masyarakat, termasuk perkembangan evolusi serta fenomena lain, onorganik, organic atau manusia; kebiasaan dan tradisi politik, sosial dan agama. Yang menentukan sejarah menurut Marx adalah produksi dan kelahiran manusia. Keterpesonaan terhadap filsafat Hegel, Marx kemudian mencari jawaban atas

(19)

Secara filosofis, rakitan dari materialisme dialektika Hegel tersebut ditemukan persepsi yang sama pada literatur kaum Marxist, yaitu ada tiga dalil (1) dalil perubahan pada kuantitas dapat menimbulkan perubahan kualitas, (2) dalil kesatuan dan pertentangan dari lawannya, atau hukum kontradiksi yang lazim disebut dengan hukum "interpenetration of opposities", kelanjutan bagian dari dalil pertama sebelumnya, dan (3) pengingkaran terhadap pengingkaran (the law of the negation of negation).

Ludwig Feuerbach : Pemikiran Marx semakin berkembang setelah berkenatan dengan filsafat klasik Jerman, yaitu materialisme Ludwig Feuerbach. Menurut Feuerbach, manusia merupakan sesuatu yang abstrak. Adapun gagasan menurut Feuerbach adalah "renungan" dari "kenyataan material" yang

menentukan kegiatan manusia.

Menurut Marx, dengan memposisikan manusia sebagai yang abstrak, Feuerbach tidak hanya menurunkan manusia menjadi orang saleh tetapi juga gagal melihat bahwa hal itu sendiri merupakan produk sosial. Filsafat Feuerbach

berhenti pada menempatkan gagasan sebagai renungan dari kenyataan material, padahal antara kesadaran dan praksis manusia terdapat suatu hubungan timbal batik. Ketika Feuerbach memperlakukan "kenyataan materil" sebagai yang menentukan kegiatan manusia, Feurbach menurut Marx tidak melakukan analisis modifikasi dunia "obyektif dan subyektif yaitu terhadap kegiatan manusia.

Revolusi Perancis : Kendatipun Marx banyak mengkritik materialisme Feuerbach, namun dipertahankannya (juga Engels) dan dijadikan teori filsafatnya. Ketika menjelaskan hal-hal yang rohani dari jasmani serta mencurahkan segala perhatian kepada pembebasan manusia dari keterasingan dirinya sendiri, antara Marx dengan Feuerbach tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi Marx tidak hanya sampai di situ ia kemudian melacak asal keterasingan tersebut hingga

(20)

sebagaimana pertama tumbuh dan berkembang di Amerika dan hampir di semua negara Eropa Barat.

Kapitalisme sendiri memiliki karakteristik antara lain pekerjaan yang seharusnya sebagai wujud perealisasian diri menjadi de-realisasi diri, manusia tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pekerjaannya, sehingga "kehilangan dirinya sendiri", dan manusia berada di bawah kekuasaan kekuatan obyektif asing (kekuasaan, sosial, dan politik), Oleh karena itu, menurut Marx, manusia hanya dapat dibebaskan dari jerat kapitalisme, bila hak milik pribadi atas alat-alat produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh. Inilah yang merupakan substansi dari sosialisme klasik.

Dalam sosialisme klasik ini, Karl Marx mengemukakan bahwa untuk mencapai masyarakat komunis tanpa klas, dapat dicapai melalui 5 (lima) tahap dalam Sistem Produksi, yaitu :

1. Sistem komunisme primitive sebagai tingkatan ekonomi awal yang bercirikan, kepemilikan secara kolektif. Pada tahap ini teknologi belum ada dan masyarakat hidup damai.

2. Sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan serta bercirikan telah lahirnya hak milik pribadi. Disinilah sistem pertanian dan

pengembalaan menggantikan perburuan sebagai sarana hidup. Akibatnya, ketika kelompok minoritas mengusasi sarana hidup, maka pertarungan kepentinganpun mulai timbul.

3. Tahap dimana kelompok-kelompok feodal sudah menguasai penduduk. Seluruh kelebihan hasil yang dimiliki penduduk dikuasai oleh para feudal. Masyarakat hanya dapat hidup secara sangat sederhana.

4. Lahir sistem borjuis/kapitalis dengan ciri meningkatnya perdagangan, produksi, dan pembagian kerja. Sistem pabrik ini akhirnya melahirkan industrialis kapitalis yang menjadi sebagai pemilik modal sekaligus pengontrol alat-alat produksi.

5. Sistem sosialisme.

(21)

1. Berdasarkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, pilihan revolusi kaum buruh merupakan kesimpulan yang tidak terelakkan

(sosilisme ilmiah: tidak hanya bersandar dan didorong oleh cita-cita moral, tetapi juga berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum

perkembangan masyarakat.

2. Manusia tidak akan dapat mengembangkan dirinya secara utuh karena terpecah ke dalam kelas-kelas sosial. Penyebab keterpecahan tersebut adalah sistem struktur, bukan sekadar masalah kehendak buruk

sekelompok orang yang membeku dalam modal dengan hukum-hukum yang menguasainya. (sistem kapitalis).

3. Bukan kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial, tapi sebaliknya. Adapun factor determinannya adalah produksi, sebab keadaan ekonomi seseorang sangat menentukan cara pandangnya terhadap persoalan-persoalan hidupnya.

Menurut Karl Marx, ada 2 (dua) tingkatan revolusi dalam masyarakat yang terdiri dari :

1. Tingkatan peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Di masa ini orang mengadakan perubahan yang revolusioner. Kelas - kelas di dalam masyarakat hilang dengan sendirinya seiring dihilangkannya hak milik pribadi atas sarana produksi, distribusi, dan pertukaran. 2. Tingkat kedua adalah tingkat kelima atau tipe terakhir dari sistem

produksi, yaitu terciptanya "masyarakat tanpa kelas" atau komunisme murni. Alat-alat produksi telah manjadi milik masyarakat, yaitu negara, di mana sejarah umat manusia telah ditutup dengan suatu negara bahagia, sintesa dari dua zaman sebelumnya yaitu sosilisme (tesa) dan kapitalisme (antitesa).

(22)

meraka agama adalah sesuatu yang tidak realistis, berwujud material.

Bahkanagama sesungguhnya adalah rekayasa kelompok yang berkuasa untuk memperkokohkepentingan mereka sendiri. Salah satu ungkapan Marx yang popular adalah ;”Kritikterhadap agama adalah syarat yang pertama atas segala kritik” (Hendrie Anto, 2003: 356)dan Marx sendiri memandang agama adalah sebagai candu bagi rakyat, jika terhadapTuhan saja mereka berpendirian begitu kejamnya apalagi terhadap agama. (AbdullahZakiy, 2002: 51).

Seiring dengan perkembangan kapitalisme di Eropa barat dan Amerika, dibelahan dunia lain (Rusia, China dan Eropa Timur) juga berkembang sosialisme, padaabad ke-19, di mana orang-orang sosialis mati-matian memerangi pandangan alirankapitalis yang memakai sistem liberalis. Aliran ini disebut sistem Ekonomi Sosialis.Munculnya sosialisme ini adalah akibat kezaliman yang diderita oleh masyarakat karenasistem ekonomi kapitalis serta berbagai kekeliruan yang terjadi didalamnya. Merekamelihat bahwa kezaliman ini terjadi karena tidak meratanya kepemilikan individu diantara manusia. Oleh karena itu, mereka berpendapat perlunya persamaan secara riildalam kepemilikan.

Mazhab sosialis ini berpendapat bahwa terjadinya kezaliman akibat adanya (hak)kepemilikan, sehingga hak kepemilikan harus dihapus, baik secara mutlak (sosialismekomunis) atau hanya penghapusan kepemilikan terhadap kekayaan produktif, yang biasadisebut kapital, seperti tanah, pabrik, lintasan kereta api, pertambangan, dan lainnya.Artinya, seseorang dilarang memiliki secara individu setiap barang yang mengahasilkansesuatu. Tidak boleh memiliki rumah untuk disewakan, begitu juga dengan pabrik, tanahdan sebagainya. Namun mereka memberikan kepemilikan kepada individu terkait denganbarang-barang konsumsi (consumer goods) seperti mobil untuk dipakai sendiri, tidakboleh disewakan. Tanah boleh dimiliki jika hasil pertanian tersebut untuk

dikonsumsisendiri. Ini adalah doktrin sosialis kapitalis. Doktrin ini diterapkan di Rusia menurutkonsep Karl Marx (1818-1883) dalam bukunya ‘Das Capital’ tahun 1848, yangditerapkan kemudian oleh Nikolai Lenin dan Joseph Stalin lalu Nikita Khrushchev.Mengenai kapitalis dan sosialisme ini, Nabhani mengatkan :

(23)

penganutnya, Rusia telah runtuh, Jerman Timur (sekarang Jerman) akan kembali menerapkan sistem kapitalis, meninggalkansistem sosialis. Sistem ekonomi sosialis, termasuk di antarnya komunisme, mempunyaipandangan yang bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalis” (Gus Fahmi, 2002:47-48 dalam Septyo 2008).

Sosialisme sebagai falsafah hidup yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan individu, sama tuanya dengan aliran klasik bahkan lebih tua lagi.Tetapi kalau yang dimaksudkan sosialisme yang mendasarkan suatu doktrin ekonomiserta politik tertentu maka tidak lain yang dimaksudkan ialah sistem ekonomi sosialis.Seperti dikemukakan oleh Jakob Oser bahwa aliran ini adalah aliran yang menentangprinsip-prinsip ekonomi klasik yaitu: menolak ide laissef dan menolak adanya pernyataanbahwa akan terjadi kepentingan yang harmonis di antara kelas-kelas yang berbeda. Disamping itu aliran ini menjadi pembela dan pelopor tindakan-tindakan yang mengarahpada kepemilikan perusahaan yang bersifat publik untuk memperbaiki kondisimasnyarakat, pemilikan ini bisa

diselenggarakan oleh pemerintah pusat ataupunpemerintah daerah atau perusahaan yang bersifat koperatif.

2.4Ideologi Liberalisme

2.4.1 Sejarah ideologi Liberal

(24)

Kant kemudian berkembang dan mempengaruhi perkembangan apa yang disebut dengan liberalisme dalam ilmu Hubungan Internasional saat ini (Avianto,2013).

Inti dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan bisa membangun 'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian tersebut, dibutuhkan perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum internasional, dan pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant menekankan liberalisme pada kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi. Pemikiran-pemikiran Kant tersebut kemudian berkembang dan dipakai oleh Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia Pertama. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemikiran liberal yang pertama kali dalam dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Wilson berpendapat bahwa penyebab terjadinya ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic nature of international politics .‖

Inti dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan bisa membangun 'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian tersebut, dibutuhkan perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum internasional, dan pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant menekankan liberalisme pada kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi. Pemikiran-pemikiran Kant tersebut kemudian berkembang dan dipakai oleh Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia Pertama. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemikiran liberal yang pertama kali dalam dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Wilson berpendapat bahwa penyebab terjadinya ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic nature of international politics .28 Ide tentang bagaimana dunia harus berkembang yang tampaknya ‖ telah terinspirasi oleh Immanuel Kant ‘Perpetual Peace‘. Kant menyarankan bahwa ketika negara menjadi republik dan warga negara mereka diberi

(25)

2.4.2 Prinsip Ideologi Liberalis

Menurut Avianto (2013), liberalisme memiliki pandangan positif terhadap sifat dasar manusia. Individu bisa mengendalikan dirinya, sehingga untuk

mencapai kepentingannya individu akan saling bekerja sama tanpa perlu terlibat dalam konflik. Kerja sama yang dilakukan akan memberikan kemajuan bagi kualitas individu itu sendiri. Kaum liberalis sangat percaya bahwa konflik dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dapat disatukan dengan cara saling berkomunikasi atau adanya pertukaran informasi yang jelas. Dengan saling berkomunikasi tersebut, dapat menciptakan tatanan sosial, politik, dan ekonomi untuk menguntungkan semua orang dan menjamin kebebasan individu dan material economic prosperity. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme memandang hubungan internasional lebih bersifat kooperatif yang memungkinkan adanya kerjasama, bukanlah cenderung konfliktual.

Menurut Hosang (2011), liberalisme memandang kooperasi sebagai suatu hal yang penting dandiperlukan. Hal ini bila dipadukan dengan pendekatan pilhan rasional akanmembentuk sebuah premis ‘tujuan akan lebih mudah dan lebih baik dicapaibersama-sama daripada dilakukan sendiri’. Pendekatan seperti itulah yangkemudian mendasari analisis APSC melalui teori neoliberal

institusionalismedengan pendekatan pilihan rasional. Jadi, pertama-tama akan dikaji apakah benarbahwa APSC merupakan pilihan rasional bila dibandingkan dengan usaha soliter masing-masing negara atau entitas collective defense.

Negara bukanlah satu-satunya aktor dalam hubungan internasional

(26)

pengambilan kebijakan suatu negara. Hal ini tentu bertolak belakang dengan asumsi realisme yang hanya menganggap adanya satu suara saja (yaitu suara pemerintah) yang mewakili suara negara. Dengan demikian aktor non-negara dalam suatu negara juga turut berperan di sini.

Liberalisme menginginkan perubahan ke arah yang positif

Asumsi ini didasari oleh kepercayaan bahwa setiap manusia itu pada dasarnya mempunyai pandangan yang positif atau progresif. Pandangan progresif tersebut dalam artian bahwa ada kemungkinan untuk mencapai perubahan yang positif dalam hubungan internasional. Dengan kondisi seperti ini, maka secara rasional, manusia atau yang dalam hal ini negara akan memikirkan kebijakan yang rasional dengan cost yang paling minim. Karena perang dan konflik bukanlah kondisi yang ideal dan akan memakan biaya yang sangat besar, maka tentunya kaum liberal akan menghindari hal ini. Sebagai gantinya, kaum liberal

memandang bahwa dengan adanya kerjasama maka akan lebih menguntungkan satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‗ideal‘ di sini bukanlah kondis ideal yang sesempurna kaum utopis yang terdapat perdamaian abadi dan tidak adanya konflik.

Adanya ketergantungan dan keterkaitan antar-negara

(27)

2.5 Ideologi Fasisme

2.5.1 Sejarah Ideologi Fasisme

Fasisme adalah sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali berkembang di Italia setelah tahun 1919 dan kemudian di berbagai negara di Eropa, sebagai reaksi atas perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Nama fasisme berasal dari kata Latin ‘fasces’, artinya kumpulan tangkai yang diikatkan kepada sebuah kapak, yang melambangkan pemerintahan di Romawi kuno.

Istilah “fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintahan yang berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini dan gambar tangkai-tangkai yang diikatkan pada kapak menjadi lambang partai fasis pertama. Setelah Italia, pemerintahan fasis kemudian berkuasa di Jerman dari 1933 hingga 1945, dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah Perang Dunia II, rezim-rezim diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan negara-negara belum berkembang lain umumnya digambarkan sebagai fasis.

Untuk memahami falsafah fasisme, kita dapat cermati deskripsi yang ditulis Mussolini untuk Ensiklopedi Italia pada tahun 1932:

(28)

Garis pemikiran serupa diungkapkan oleh Vladimir Jabotinsky, yang dikenal luas sebagai wakil terpenting Yahudi Zionis, dan pendukung hak radikal Israel, yang menyimpulkan ideologi fasistik dalam pernyataannya pada tahun 1930-an:

“Sangatlah bodoh orang yang mempercayai tetangganya, sebaik dan sepenuh kasih apa pun tetangga itu. Keadilan hanya ada bagi orang-orang yang memungkinkannya terwujud dengan kepalan tangan dan sikap keras kepala mereka…. Jangan mempercayai siapa pun, senantiasa berhati-hatilah, bawalah selalu tongkatmu—inilah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup dalam pertarungan bagai serigala antara semua melawan semua ini.”

Ciri lainnya untuk diingat adalah bahwa fasisme merupakan ideologi nasionalistik dan agresif yang didasarkan pada rasisme. Nasionalisme semacam ini sama sekali berbeda dari sekadar kecintaan pada negara. Dalam nasionalisme agresif pada fasisme, seseorang mencita-citakan bangsanya menguasai bangsa-bangsa lain, menghinakan mereka, dan tidak menyesali timbulnya penderitaan hebat terhadap rakyatnya sendiri dalam prosesnya. Selain itu, nasionalisme fasistik menggunakan peperangan, pendudukan, pembantaian, dan pertumpahan darah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut.

Sebagaimana halnya yang mereka lakukan untuk menguasai bangsa-bangsa lain, rezim fasis juga menggunakan kekuatan dan penindasan terhadap bangsa mereka sendiri. Dasar kebijakan sosial fasisme adalah pemaksaan gagasan, dan keharusan rakyat menerimanya. Fasisme bertujuan membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak seragam. Untuk mencapai tujuan ini, fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda. Fasisme menyatakan siapa pun yang tidak mengikuti gagasan-gagasannya sebagai musuh, bahkan sampai melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan atau bangsa), seperti dalam kasus Nazi Jerman.

(29)

hewan yang telah berkembang sempurna”, “beberapa ras telah tertinggal dalam proses evolusi”, dan “melalui seleksi alam, yang kuat akan bertahan dan yang lemah tersingkir”, telah menjadi sumber bagi banyak ideologi berbahaya sepanjang abad ke-20, terutama fasisme.

2.5.2 Fasisme di Abad Ke-20

Segera setelah akhir Perang Dunia I, rezim fasis pertama di abad ke-20 dibangun di Italia oleh Benito Mussolini. Ia diikuti oleh Hitler di Jerman dan Franco di Spanyol. Pada tahun 1930-an, fasisme menjadi sebuah ideologi politik yang populer, partai-partai fasis baik besar ataupun kecil didirikan di banyak negara, dan kaum fasis berkuasa di Austria dan Polandia, sehingga seluruh Eropa dipengaruhi oleh fasisme.

Ada banyak kesamaan antara fasisme di Eropa, di mana contoh fasisme yang paling jelas terlihat, dengan fasisme di Amerika Latin dan Jepang, yang gerakannya juga mengakar dan tumbuh subur. Secara umum, fasisme

memanfaatkan kondisi kekacauan dan ketidakstabilan dalam sebuah negara untuk menunjukkan diri kepada rakyat sebagai ideologi penyelamat. Begitu

pemerintahan fasis terbentuk, rakyat dikendalikan dengan kombinasi ketakutan, penindasan, dan teknik-teknik cuci otak.

Krisis Sosial: Lahan Subur bagi Fasisme

Pada dasarnya, kemiskinan Italia akibat perang Dunia I adalah faktor terpenting dalam perkembangan kekuasaan fasisme. Lebih dari 600.000 orang Italia tewas akibat perang itu, dan hampir setengah juta orang menjadi cacat. Bagian terbesar dari populasi terdiri dari para janda yatim piatu. Negara itu tertekan oleh resesi ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Walau bangsa Italia menderita kerugian besar dalam perang, mereka hanya mencapai sebagian kecil dari tujuan mereka. Seperti halnya negara-negara lain yang lelah akibat perang, bangsa Italia merindukan untuk memiliki kembali kehormatan dan keagungan mereka sebelumnya.

(30)

Romawi, dan merasa berhak atas wilayah Romawi dahulu. Lagi pula, Italia merasa bersaing dengan kekuatan-kekuatan utama di dunia dan berharap untuk mengangkat dirinya ke kedudukan mereka, atau, ke "posisi yang selayaknya". Karena pengaruh cita-cita ini, bangsa Italia berharap untuk menjadi sekuat Inggris Raya, Prancis dan Jerman.

Krisis sosial, politik, dan ekonomi juga berperan penting dalam pembentukan Nazisme di Jerman, yang telah kalah dalam Perang Dunia I. Pengangguran dan krisis keuangan menambah kekecewaan akibat kekalahan itu. Inflasi meningkat hingga tingkat yang jarang dapat disamai. Anak-anak kecil bermain dengan uang kertas bernilai jutaan mark, karena uang, yang merosot nilainya dalam hitungan jam, menjadi tak lebih dari selembar kertas nilainya. Bangsa Jerman ingin memulihkan harga diri mereka yang hilang dan kembali ke taraf hidup yang lebih baik. Dengan janji untuk memenuhi harapan-harapan seperti ini, Nazisme muncul dan memperoleh dukungan.

Negara lain yang sangat dipengaruhi oleh fasisme adalah Jepang. Pada masa Jepang pra-fasis, lapisan masyarakat yang lebih tinggi sangat kuatir dengan perkembangan Marxisme di kalangan anak muda. Tetapi mereka tak mampu menentukan bagaimana menyingkirkan ideologi yang merusak itu. Selain itu, perubahan-perubahan sosial seperti itu sangat membingungkan bagi masyarakat yang begitu terikat dengan tradisinya. Ikatan kekeluargaan melonggar, angka perceraian meningkat, rasa hormat kepada kaum tua terkikis, adat dan tradisi ditinggalkan, kecenderungan individualis mulai muncul, kemerosotan di kalangan pemuda mencapai tingkat yang menyedihkan, dan angka bunuh diri mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, stabilitas masyarakat Jepang di masa depan dianggap dalam bahaya. Semua hal di atas membawa mereka kepada kenangan masa lalu. Kerinduan akan masa-masa kejayaan dahulu dan usaha-usaha untuk membangkitkannya, merupakan jebakan awal bagi rakyat yang membawa mereka terjerat sepenuhnya oleh rezim fasis.

(31)

Faktor lain yang membuka jalan bagi fasisme adalah kebodohan dan rendahnya pendidikan dalam banyak masyarakat. Pendidikan mengalami

kemunduran hebat selama kekacauan Perang Dunia I. Banyak sekali kaum muda terpelajar yang tewas dalam medan perang. Pada umumnya, hal ini

mengakibatkan kemunduran tingkat kebudayaan dalam masyarakat. Sebagian besar pendukung fasisme adalah kaum tak terpelajar, mereka berjuang atas nama fasisme, dan menjadi pion bagi kebijakan-kebijakan chauvinistiknya. Karena, ide-ide fundamental yang mendasari fasisme (yakni rasisme, nasionalisme romantik, chauvinisme, dan fantasi) hanya dapat diterima luas oleh kalangan tak terpelajar, yang mudah terbujuk oleh slogan-slogan mentah dan sederhana.

Orang-orang seperti itu, karena menganggap diri mereka terperangkap, mencari jalan keluar yang mudah. Mereka merangkul para pemimpin fasis, seakan-akan mereka adalah sabuk pengaman, sebagaimana diungkapkan Eric Hoffer dalam bukunya The True Believer:

Tentang orang-orang yang terjun tanpa pikir panjang ke dalam usaha

perubahan besar, mereka pastilah mengalami ketidakpuasan yang sangat selain kemiskinan, dan mereka pastilah memiliki perasaan bahwa dengan memegang suatu doktrin yang kuat, pemimpin yang sempurna, atau teknik-teknik baru, mereka memiliki akses ke sumber kekuatan yang menarik. Mereka pastilah juga mempunyai gambaran yang berlebih-lebihan tentang kemungkinan dan

kemampuan di masa depan. Akhirnya, mereka pastilah tidak mengetahui sama sekali kesulitan-kesulitan yang tersimpan dalam usaha perubahan besar mereka.”

Teknik-Teknik Pencucian Otak

Ada sebuah kekhasan yang sangat buruk pada fasisme dan Nazi Jerman: usaha untuk mencuci otak rakyatnya. Program ini dibangun dengan dua unsur dasar, yakni edukasi dan propaganda.

Dalam Mein Kampf, Hitler menulis, "Propaganda adalah sebuah alat, dan karenanya harus dinilai dengan melihat tujuannya… Propaganda dalam Perang ini merupakan suatu alat untuk mencapai sebuah tujuan, dan tujuan itu adalah

(32)

dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku untuk perjuangan ini. Dalam hal ini, senjata-senjata yang paling kejam menjadi beradab bila mereka mampu membawa kemenangan yang lebih cepat… Semua propaganda haruslah bersifat umum dan tingkat intelektualnya harus disesuaikan dengan kecerdasan terendah di antara sasaran propaganda. Maka dari itu, semakin besar massa yang ingin diraih, harus semakin rendah tingkat intelektual."

Hitler memang sangat efektif dalam memanfaatkan propaganda. Sebagai contoh, sutradara terkenal Leni Riefenstahl diminta untuk membuat sebuah film propaganda Nazi, Olympia. Dalam Triumph of Will, film lain karya Riefenstahl, Hitler digambarkan hampir seperti dewa. Ideologi pagan Nazi diagung-agungkan dalam film-film ini, dan akhirnya memesona masyarakat. Olympia adalah salah satu pusat dalam budaya pagan Yunani kuno. Kota Olympia, dengan patung Zeus-nya yang terkenal, adalah simbol yang tepat bagi ideologi pagan Nazisme.

2.6 Ideologi Pancasila dan Agama

2.6.1 Pengertian Ideologi pancasila dan Agama

Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan agama merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui The Founding Fathers Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara yang tertuang dalam Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis merupakan local genius bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012). Begitu pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun mengisyaratkan bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).

(33)

masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen (Latif, 2011: 57). Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda, satu jua, sebab tak ada agama yang mempunyai tujuan berbeda (Hartono, 1992: 5).

Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas cultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67). Secara lengkap pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara

mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi

(34)

Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).

Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari - atau

sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir. Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan

keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran para anggota yang berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting. Komentar Roem, “Pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan sebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999: 63).

(35)

2.6.2 Perkembangan Paham Agama Pasca Kemerdekaan Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun, dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi 6 agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) secara resmi, negara Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga negara.

Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler yang menganut agama tersebut, tapi tidak

memasukkan kalangan sekuler yang tidak menganutnya. Seperti yang telah ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang mengatur masyarakat di tingkat nasional maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).

Gagasan asas tunggal menimbulkan pro dan kontra selama tiga tahun diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengharuskan mendaftar ulang bagi semua ORMAS dan sekaligus mengharuskan semua ORMAS menerima asas tunggal yang diberi batas akhir sampai tanggal 17 Juli 1987. Golongan yang kontra bukan menolak

Pancasila dan UUD 1945, melainkan ada kekhawatiran bahwa dengan

menghapuskan asas “Islam”, Pancasila akan menjadi“agama baru” (Moesa, 2007: 123-124).

(36)

Arifin menegaskan bahwa sebagian besar kyai dan umat Islam Indonesia berpendapat bahwa menerima Pancasila hukumnya wajib (Moesa, 2007: 124) .

Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiyai Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010: 79).

Agama-agama dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua golongan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara terus-menerus dan bersamasama meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila (Soetarman, 1996: 64). Dalam konteks pelaksanaan mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara formal sudah tidak berlaku tapi spirit hubungan agama dan pembangunan masih sesuai), maka agama-agama harus mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka menghadapi masalah-masalah yang dihadapi bersama (Soetarman, 1996: 65).

Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring sejalan dan saling mendukung. Agama dapat mendorong aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula Pancasila memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama (Eksan, 2000). Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi untuk melihat apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agamaagama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang akan menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990: 167-168).

(37)

nilainilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya bantuan dari nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena secara de facto nilai-nilai Pancasila berasal dari agama-agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja nilai-nilai yang hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi memberikan bantuan dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177). Sejalan dengan pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam Sambutan pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2005.

Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu, setiap umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan

menempatkan falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan sedalam-dalamnya bahwa lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita dapat menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan

mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan (ed.),2010: 172).

Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari

(38)

Kaelan (dalam Wahyudi (ed.), 2009: 243-246) memetakan persoalan yang menyangkut hubungan agama dengan Pancasila, yang dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu:

 Pertama, terjadi ketika kaum “nasionalis” mengajukan Pancasila sebagai

dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendiri negara dari kelompok nasionalis Islam dan nasionalis terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi Negara Indonesia yang akan didirikan kemudian.

 Kedua, respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978

pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun kemudianmenerimanya. Ketiga, ketika tahun 1985 pemerintah

mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organsiasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijakan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam bahkan terdapat beberapa ormas yang

dibekukan karena asas tersebut. Namun untuk menengahi permasalahan tersebut, Abdurrahman Wahid (Oesman dan Alfian (ed), 1990: 167-168) secara gamblang menyatakan bahwa “agama tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali”. Sejalan dengan pendapat tersebut, tokoh Masyumi, Muhammad Roem, berpendapat bahwa kita sepakat tentang dasar negara mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan Negara yang kuat sentosa karena esensi dari agama, ialah hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih saying terhadap sesama makhluk (Roem dan Salim, 1977: 116).

Bilamana dirinci, maka hubungan negara dengan agama menurut NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):

(39)

 Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber- Ketuhanan yang

Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing.  Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya

manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.

 Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan

inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.

 Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketakwaan itu bukan

hasil peksaan bagi siapapun juga.

 Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama

dalam negara.

Segala aspek dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara harus sesuai dengan nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.

Negara pda hakikatnya adalah merupakan “…berkatrahmat Allah yang Maha Esa”.

Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama di Indonesia.

(40)

merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi tersebut mensyaratkan hadirnya ideology negara yang dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa.

Implikasinya, fungsi ideologi negara bagi bangsa Indonesia amat penting dibandingkan dengan pentingnyaideologi bagi negara-negara lain terutama yang bangsanya homogen. Bagi bangsa Indonesia, ideologi sebagai identitas nasional merupakan prasyarat kestabilan negara, karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen. Hadirnya ideologi Pancasila tersebut, paling tidak akan berfungsi untuk: 1) menggambarkan cita-cita bangsa, kearah mana bangsa ini akan bergerak; 2) menciptakan rasa kebersamaan dalam keluarga besar bangsa Indonesia sesuai dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika; dan 3) menggairahkan seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara Republik Indonesia. Ada ha-hal yang amat penting dalam melaksanakan ideologi negara Pancasila, agar ideologi tidak disalahgunakan terutama dijadikan alat untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan oleh elit politik. Maka untuk itu, bangsa Indonesia harus melaksanakan nilai-nilai instrumental ideologi

Pancasila yaitu taat asas terhadap nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada pada Pembukaan UUD 1945 dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.

2.7 Perbedaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain

Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhuk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu dalam ideologi Pancasila mengakui atas kebebasan atas hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa manusia menurut Pancasila mempunyai kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga nilai-nilai ketuhanan senantasa mnjiwai kehidupan manusia dalam hidup Negara dan masyarakat. Dengan demikian ideologi Pancasila mempunyai perbedaan-perbedaan dengan ideologi lainnya. Berikut ini akan disampaikan perbedaan-perbedaanya dari berbagai aspek antara lain sebagai berikut:

2.7.1 Bidang Politik Hukum

 Pancasila : Demokrasi Pancasila, Hukum untuk menjunjung tinggi

(41)

 Sosialisme: Demokrasi untuk kolektivitas, diutamakan kebersamaan,

masyarakat sama dengan Negara.

 Komunisme: Demokrasi rakyat, berkuasa mutlak satu parpol, hukum

untuk melanggengkan komunis.

 Liberalisme : Demokrasi Liberal, Hukum untuk melindungi

individu,dalam politik mementingkan individu.  Fasisme : Hukum untuk melindungi penguasa.

2.7.2 Bidang Ekonomi

 Pancasila : Peran Negara ada untuk tidak terjadi monopoli dan lain-lain

yang merugikan rakyat.

 Sosialisme : Peran Negara kecil, kapitalisme, monopolisme.

 Komunisme : Peran Negara dominan, demi kolektivitas berarti demi

Negara, monopoli Negara.

 Liberalisme : Peran Negara kecil, swasta mendominasi, kapitalisme,

monopolisme, persaingan bebas.

 Fasisme : Peran Negara sangat kecil, Kapitalisme dan Monopolisme.

2.7.3 Agama

 Pancasila : Bebas memilih agama, Agama harus menjiwai dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 Sosialisme : Agama harus mendorong berkembangnya kebersamaan,

diutamakan kebersamaan.

 Komunisme : Agama harus dijauhkan dari masyarakat, atheis.  Liberalisme : Agama urusan pribadi, bebas beragama ( memilih

agama/atheis).

 Fasisme : Menolak konsep persamaan tradisi yahudi kristen (dan juga

Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan.

2.7.4 Pandangan Terhadap Individu Dan Masyarakat  Pancasila : Individu diakui keberadaanya, hubungan individu dan

masyarakat dilandasi 3s ( selaras, serasi, dan seimbang).  Sosialisme : Masyarakat lebih penting daripada individu.

 Komunisme : Individu tidak penting- masyarakat tidak penting,

(42)

 Liberalisme : Individu lebih enting dariada masyarakat, masyarakat

diabdikan bagi individu

 Fasisme : Masyarakat tidak penting, sosial budaya ditentukan oleh

propaganda penguasa sehingga daya kritis masyarakat menjadi mundur.

2.7.5 Ciri Khas Ideologi

 Pancasila : Demokrasi Pancasila, bebas memilih agama.  Sosilisme: Kebersamaan, Akomodasi.

 Komunisme : Atheisme, dogmatis, otoriter, ingkar HAM.

 Liberalisme : Penghargaan atas HAM, demokrasi, Negara hokum,

menolak dogmatis.

 Fasisme : Pemerintahan bersifat otoriter dan totaliter, Sistem pemerintahan

satu partai, negara dijadikan alat permanen untuk mencapai tujuan negara, mempercayai adanya perbedaan antara orang yang memerintah dan yang diperintah, antara elite dan massa, membenci kemerdekaan berbicara dan berkumpul.

2.8 Persamaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain

Pengertian ideologi secara umum adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan seperti:

1. Bidang politik, termasuk bidang hokum, pertahanan, dan keamanan. 2. Bidang sosial.

3. Bidang kebudayaan. 4. Bidang keagamaan.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Avianto,Dicky . 2013 . Pandangan Realisme, Liberalisme Dan Konstruktivisme Terhadap Mercosur Sebagai Institusi Perdagangan Regional Di Amerika Selatan . Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional . Depok

Elisa,2009 . Teori Politik Sosialisme – Komunis . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Jogjakarta .

Hosang,Christian . 2011 . Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme,Dan Konstruktivisme Terhadap Asean Politicalsecurity Community 2015 Sebagai Kerjasamakeamanan Di Kawasan Asia Tenggara . FISIP UI . Depok

Septyo, Boris . 2008 . Pemikiran Karl Marx Tentang Ekonomi Perspektif Islam . Fakultas Agama Islam UMS . Surakarta.

Syarbani, H. Syahrial. 2012. Pancasila Dan Liberalisme, Komunisme Serta Agama. Modul Ajar Pancasila.

Referensi

Dokumen terkait

Menyadari pentingnya pengawasan penerapan manajemen risiko di PT Jamsostek (Persero), khususnya untuk mengkaji dan mengevaluasi risiko yang ada dan terjadi saat ini

ditingkatkan dari nol ke suatu nilai kritis Kcr, disini mula-mula keluaran memiliki osilasi yang berkesinambungan. 3) Dari keluaran yang berosilasi secara

Menu unit usaha jabon dapat memberikan informasi potensi kayu hasil budidaya jabon yang akan dikembangkan oleh KPH serta informasi volume kayu yang dapat dipanen sesuai

Secara implementatif penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang Selatan yang telah diundangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 masih belum

subjek memiliki motif utama berupa kebutuhan akan kasih sayang yang dalam pemenuhannya terdapat motif penyerta yaitu pekerjaan yang lebih berat dari pada yang dikerjakan

Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja termasuk wilayah Kesultanan Pasir itu sendiri dan bekas kerajaan Tanah

Variabel bebas adalah faktor pasien mencakup usia dan jenis kelamin, intervensi yang diberikan meliputi tindakan pembedahan dan terapi obat, dan faktor pembedahan

Penulis memilih penelitian tindakan kelas melalui serangkaian siklus dalam kegiatan dalam upaya mengembangkan kreativitas anak melalui menggambar dengan melihat