• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Oleh Perusahaan Mlm Produksi Air Mineral An-Organik Dalam Kemasan (Studi Lapangan PT. Central Java Daya Wiguna)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Oleh Perusahaan Mlm Produksi Air Mineral An-Organik Dalam Kemasan (Studi Lapangan PT. Central Java Daya Wiguna)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

“Konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai

negara sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau

peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk

penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan tersebut, berbagai

negara telah menetapkan hak-hak konsumen. Disamping itu, telah berdiri

organisasi konsumen internasional, yaitu International Organization of Consumer

Union (IOCU). Di Indonesia telah berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta dan organisasi lainnya

yang tersebar di seluruh kota di Indonesia.14

Istilah “konsumen” berasal dari alih bahasa dari kata “consumer”

(Inggris-Amerika), atau “consument/konsument” (Belanda). Pengertian dari consumer atau

consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.15

14

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal.22.

15

Ibid.

Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa nantilah yang menentukan termasuk

konsumen kelompok mana pengguna barang dan/atau jasa tersebut. Begitu pula

Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau

(2)

Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna atau

pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu sedangkan menurut Pasal 1

angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Berdasarkan pengertian di atas, subyek yang disebut sebagai konsumen

berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah

“orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang

lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht person).

Menurut Az. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukanlah

badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan

barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau

manusia.16

Ada hal lain yang juga perlu dikritisi dari pengertian “konsumen” dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Batasan

pengertian “konsumen” dalam UUPK tersebut adalah batasan sempit. Yang dapat

dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada

subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain

yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi

16

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan

(3)

barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat

bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan/atau

jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak

ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tersebut.17

Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen”

yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika

Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk

yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan

juga korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati

pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.18

Upaya perlindungan terhadap konsumen dari pemakaian produk-produk

yang cacat di negara-negara anggota European Economic Community (EC/MEE)

dilakukan dengan cara menyusun Product Liability Directive yang nantinya harus

diintegrasikan ke dalam instruktur hukum masing-masing negara anggota EC,

maupun melalui Statutory Orders yang berlaku terhadap warga negara seluruh

anggota EC. Ketentuan-ketentuan dalam Directive harus diimplementasikan ke

dalam hukum nasional dulu sebelum dapat diterapkan, sedangkan Statutory

Orders dapat langsung berlaku bagi semua warga negara dari negara-negara

anggota EC. Directive ini mengedepankan konsep “Liability Without Fault”.19

17

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.5.

18

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.23.

19

(4)

Az. Nasution dalam bukunya menegaskan beberapa batasan tentang

konsumen20

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu; , yakni:

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau

jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu

produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang

dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat

melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan

kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan

dan saling membutuhkan.21

Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah

sangat sering terdengar. Dalam berbagai literatur hukum pun sering digunakan Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling

berhubungan, akan lebih menerbitkan keserasian dan keselarasan materiil, tidak

sekedar formil, dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki

oleh falsafah bangsa dan negara Indonesia.

20

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2002), hal.13.

21

(5)

dua istilah hukum ini. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam

materi keduanya dan apakah kedua cabang hukum tersebut identik.22

Pengertian hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen

ternyata belum dibakukan menjadi suatu pengertian yang resmi, baik dalam

peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Fakultas

Hukum Universitas Indonesia mempergunakan hukum perlindungan konsumen,

tetapi Hondius, ahli hukum konsumen dari Belanda menyebutnya dengan hukum

konsumen (konsumen-tenrecht).23

M.J.Leder menyatakan “in a sense there is no such creature as consumer

law”. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni:

“….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”.24

22

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2004), hal.11.

23

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta : Panta Rei, 2005), hal.30.

24

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.9.

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh

hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan

perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum

konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang

(6)

Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut berbeda, yakni

bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen.

Menurut Az. Nasution, hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu

sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan

hidup”, sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan beliau sebagai

“keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi

konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang

dan/atau jasa konsumen”.25

Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Keseluruhan perangkat hukum tersebut termasuk didalamnya, baik aturan

hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi negara, maupun hukum

internasional. Cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara

pemenuhannya dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya, yaitu bagi

konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen,

meliputi informasi, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna

kebutuhan tersebut, misalnya dalam mendapatkan penggantian kerugian

sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi,

penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian

produk tersebut.

25

(7)

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut

antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta

membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan

mengembangkan sikap pelaku usaha bisnis Multi Level Marketing (MLM) yang

jujur dan bertanggung jawab. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen

diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan

hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum

perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur upaya-upaya untuk

menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen dalam 2 (dua) kelompok,

yakni:

a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha khususnya bisnis Multi Level

Marketing (MLM).

b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Adanya pengelompokkan tersebut bertujuan untuk memberikan

perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan

pelaku usaha bisnis Multi Level Marketing (MLM). berkenaan dengan

perlindungan konsumen dapat diklasifikasikan bidang-bidang yang harus

dilindungi, yaitu:

a. Keselamatan fisik;

b. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen;

(8)

d. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;

e. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan

ganti rugi;

f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi;

g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman,

obat-obatan dan kosmetik.

Janus Sidabalok mengemukakan 4 (empat) alasan pokok konsumen harus

dilindungi26

a. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa

sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD RI 1945;

, yaitu:

b. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak

negatif penggunaan teknologi;

c. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang

sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

d. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan

yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Membuat batasan tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan

konsumen tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana hukum meletakkan asas-asas

untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa. Pasal 2 UU

No. 8 Tahun 1999 menetapkan asas bahwa perlindungan konsumen berasaskan

manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta

kepastian hukum. Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan

pengertian tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa

26

(9)

serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas

pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

B. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk

undang-undang, terdapat sejumlah asas atau prinsip yang mendasari

diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi

suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Bila asas-asas

dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang tersebut dan seluruh

peraturan pelaksanaannya.27

Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum bukan merupakan hukum

kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau

merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di

belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan

dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit

tersebut.28

Tan Kamello mengatakan bahwa “cita-cita hukum suatu undang-undang

yang merupakan refleksi normatif dari keinginan masyarakatnya terletak kepada

jantungnya hukum tersebut”. Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas

27

Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2006), hal.3.

28

(10)

dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas

bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan

peraturan-peraturan hukum tersebut dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua,

karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan

sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan

pandangan etis masyarakatnya.29

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional

Di dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat

asas-asas yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangannya. Dalam

penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK) pada alinea delapan menyebutkan bahwa undang-undang

tersebut mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan

hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang

berlandaskan kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 yang terkandung dalam

ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999.

30

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

, yaitu:

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

29

Tan Kamello, Hukum Perdata, Hukum Orang, Keluarga dan Hukum Benda, (Medan : USU Press, 2012), hal.77.

30

(11)

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Jika diperhatikan pada substansi pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, terlihat bahwa

perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan

manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik

Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 UUPK tersebut, bila

diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yakni:

a. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen,

b. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

c. Asas kepastian hukum.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum

sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering

menjadi sorotan utama adalah masa keadilan, dimana Friedman menyebutkan

bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga

menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.31

31

(12)

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang

menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun

dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan

konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist

menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik

Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan

secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum

sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam

kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Pada kasus

tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka

akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula

sebaliknya.32

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha bisnis Multi Level

Marketing (MLM) dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Kepentingan pemerintah dalam hubungan tersebut tidak dapat dilihat

dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha bisnis

Multi Level Marketing (MLM) dan konsumen. kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di

antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan

yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

32

(13)

Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan

menyeimbangkan kepentinga-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau

dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial. Keseimbangan perlindungan

hukum terhadap pelaku usaha bisnis Multi Level Marketing (MLM) dan

konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan

hukum yang terjadi antara para pihak.

Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang

bersifat publik maupun pivat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas

kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan,

subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh

keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau

asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam

hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum

memberikan perlakuan yang sama terhadap individu.33

Prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas

kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah

kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan

kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia. Melalui

prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri

urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya

kehidupan bersama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana

dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas, yang sekaligus sebagai

33

(14)

karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum perdata dan hukum

ekonomi.

Agar segala upaya untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan

pihak pelaku usaha bisnis Multi Level Marketing (MLM) dan memberikan

hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana harusnya, maka asas-asas

perlindungan konsumen tersebut harus dipadankan dengan tujuan dari

perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK menetapkan 6 tujuan dari

perlindungan konsumen, yakni:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha bisnis Multi Level Marketing

(MLM) mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 2 UUPK sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang

ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan

(15)

Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan

khusus. Hal itu juga terlihat dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen,

sekaligus membedakan dengan tujuan umum yang berkenaan dengan ketentuan

Pasal 2 tersebut.34

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan

sebagaimana yang telah di cita-citakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999,

maka kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam

undang-undang tersebut harus diperkuat dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang

memadai.

Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka kita harus

kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam hukum perdata, selain

dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan

dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang

lainnya. Baik perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun

undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang, keduanya itu

membentuk perikatan di antara para pihak yang membuatnya. Perikatan tersebut

34

(16)

yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau

yang tidak boleh dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan.35

Hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh

Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres (US Congres) pada

tanggal 15 Maret 1962 dengan judul A Special Massage of Protection the

Consumer Interest, menjabarkan 4 (empat) hak konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian

dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau

jasa yang dapat dikonsumsi dan memperluas ruang gerak arus transaksi barang

dan/atau jasa. Akibatnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik

produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu

pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau

jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya

kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai

dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Tetapi, disisi lain dapat

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang

dan konsumen berada pada posisi yang lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis

untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui

berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang

merugikan konsumen.

36

35

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.25.

36

Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal.32.

(17)

1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety);

2. Hak memilih (the right to choose);

3. Hak mendapat informasi (the right to be informed);

4. Hak untuk didengar (the right to be heard).

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi

Manusia yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948,

masing-masing pada pasal 3, 8, 19, 21, dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen

Sedunia (International Organization of Consumer Union-IOCU) ditambahkan

empat hak dasar konsumen lainnya37

1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

, yaitu:

2. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; dan

4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap

atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen38

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn

gezendheid en veiligheid);

sebagai berikut:

2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn

economische belangen);

3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);

4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);

5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 39/248 Tahun 1985 tentang

Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan

berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi39

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

, yang meliputi:

2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

37

Ibid., hal.34.

38

Ibid., hal.35.

39

(18)

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

4. Pendidikan konsumen;

5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak

hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen,

melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun, hak

yang diberikan kepada konsumen (yang diatur dalam pasal 4) lebih banyak

dibandingkan dengan hak pelaku usaha khususnya pelaku usaha khususnya pelaku

bisnis Multi Level Marketing (MLM) (yang dimuat dalam pasal 6) dan kewajiban

pelaku usaha (dalam pasal 7) lebih banyak dari kewajiban konsumen (yang

termuat dalam pasal 5).

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

(19)

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak-hak konsumen harus dikaitkan dengan kewajibannya. Berbicara

tentang konsumen hendaknya membahas pula masalah produsen beserta hak-hak

dan kewajibannya. Kewajiban konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPK,

yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Kewajiban-kewajiban konsumen ini diatur dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dianggap sangat tepat, karena

kewajiban ini bertujuan untuk mengimbangi hak-hak konsumen untuk

mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya

penyelesaian sengketa secara patut dan sistematis. Hanya saja kewajiban

konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh

kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha bisnis Multi Level Marketing

(MLM).40

40

(20)

Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, memberikan pengertian Pelaku Usaha, sebagai berikut:

“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Penjelasan “Pelaku Usaha” yang termasuk dalam pengertian ini adalah

perusahaan bisnis Multi Level Marketing (MLM), korporasi, BUMN, koperasi,

importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha dalam pasal

1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan

luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memilih persamaan

dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara

Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk

jadi (finished product); penghasilan bahan baku; pembuat suku cadang; setiap

orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan

namanya , tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan

produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk

dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain

dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari

produsen atau importir tidak dapat ditentukan.41

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan

konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan

41

(21)

produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan,

karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya

UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi

negara Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk

menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat

penggunaan produk.42

a. Produsen berarti pembuat pembuat produk akhir, produsen dari setiap

bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

Dalam pasal 3 Directive ditentukan bahwa:

b. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang

mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

c. Dalam hal produsen atau suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka

setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak begitu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang atau produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan.

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang

dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya

digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan

tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut43

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut

jika berdomisili di dalam negeri dan domisilnya diketahui oleh konsumen yang dirugikan;

:

42

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.27.

43

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara

(22)

b. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri;

c. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui,

maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan

sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada

para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUPK. Hak

pelaku usaha adalah:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan

nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku

usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang

diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang

berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang

sering terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada

barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.

(23)

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha

dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUPK,

sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam undang-undang ini terlihat jelas bahwa itikad baik lebih ditekankan

kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan

usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad

baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna

penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan

oleh kemungkinan terjadinya kerugian konsumen dimulai sejak barang

(24)

kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan

transaksi dengan produsen.44

1. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) adalah air baku yang telah diproses,

dikemas, dan aman diminum mencakup air mineral dan air demineral. Pengertian/definisi air menurut SNI 01-3553-2006, yaitu :

2. Air Baku adalah air yang telah memenuhi persyaratan kualitas air bersih

sesuai peraturan yang berlaku.

3. Air Mineral adalah air minum dalam kemasan yang mengandung mineral

dalam jumlah tertentu tanpa menambahkan mineral.

4. Air Demineral/Air Murni/Non Mineral adalah air minum dalam kemasan

yang diperoleh melalui proses pemurnian seperti destilasi, deionisasi, reverse osmosis dan proses setara.

44

Referensi

Dokumen terkait

[r]

BAGI PELANGGAR YANG NAMANYA TIDAK TERCANTUM ATAU ADA KENDALA LAINNYA DALAM PENGUMUMAN DENDA TILANG YANG DIUMUMKAN PADA HARI INI DAPAT MENGHUBUNGI PETUGAS TILANG DARI POLRES ATAS

Ada lima langkah dalam penelitian kualitatif (Fraenkel & Wallen, 2010): (1) identifikasi fenomena yang akan dipelajari - siswa kesulitan dalam menyelesaikan

SINTESIS PATI TERMODIFIKASI DARI PATI SUKUN (Artocarpus communis) MELALUI METODE IKAT SILANG.. MENGGUNAKAN

1) Keempat subjek penelitian memiliki pemaknaan yang berbeda dalam memaknai konstruksi wajah cantik dan tubuh ideal menurut mereka serta dalam memaknai segala

Adapun preferensi dari mahasiswa tahun pertama yang melanjutkan pendidikan tinggi X pastinya sudah mengalami berbagai macam terpaan promosi ini dapat menjadi acuan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan mengenai Persepsi Pengguna Terhadap Layanan Ruang Baca Perpustakaan Umum (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Pengguna

Hal ini dikarenakan konsentrasi pemberian pupuk sudah cukup mempercepat pertumbuhan daun tanaman tomat akan tetapi hasil masih lebih rendah jika dibandingkan