• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

37

TENTANG PERKAWINAN

A. Asas-Asas Hukum Perkawinan

Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasarkan adanya sesuatu norma hukum.67 Sedangkan prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir.68 Berdasarkan kedua pengertian ini pada hakikatnya asas dan prinsip adalah sama saja tetapi asas lebih tinggi daripada prinsip, misalnya ketika disebut asas legalitas, maka prinsipnya adalah penundukan pada suatu aturan tertentu.

Prinsip hukum menurut Sudikno Mertokusumo bukanlah sebagai aturan hukum kongkrit melainkan merupakan pikiran dasar umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari perumusan aturan hukum kongkrit.69 Oleh karena itu asas dan prinsip adalah sama, bedanya hanya pada tingkatan penyebutannya saja. Mahadi, mengatakan bahwa “asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan

67

M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 57.

68 Ibid., hal. 514.

69 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),

(2)

sesuatu hal yang hendak dijelaskan”.70 Pandangan ini juga mengatakan bahwa asas sama dengan prinsip karena dihubungkannya dengan kata “atau”.

Satjipto Rahardjo, mengatakan, “asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, sehingga asas-asas tersebut menjadi jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya, melalui asas hukum peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis”.71 Dari pandangan ini tampaklah bahwa asas itu lebih tinggi daripada prinsip di mana bahwa aspek yang terkandung di dalam asas adalah nilai-nilai etika.

Ronald Dworkin mengatakan, asas-asas hukum diperlukan guna menafsirkan aturan-aturan sejalan dengan asas-asas yang mendasari aturan-aturan hukum.72 Asas-asas sangat penting peranannya dalam menafsirkan dan memaknai aturan-aturan yang tidak pernah dapat secara lengkap melingkupi semua masalah yang mungkin muncul. Asas hukum turut berperan, tidak saja tatkala menghadapi penerapan aturan pada umumnya, sekalipun hanya untuk sekedar menegaskan kembali makna yang terkait pada aturan tersebut. Suatu kriterium harus dapat ditemukan, beranjak dari mana fakta dapat diuji relavansinya terhadap hukum.73 Sehingga esensi dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mesti dilaksanakan berdasarkan asas-asas perkawinan.

70 Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 119. 71 Satjipto Rahardjo, Op. cit., hal. 45.

72

Ronald Dworkin dalam Efemia Surjawati Salim, Kedewasaan Sebagai Salah Satu Faktor

Penentu Keabsahan Perjanjian Dalam Bidang Bisnis Serta Pengaturannya Dalam Sistim Hukum Nasional, (Bandung: Tesis Magister, 1997), hal. 31.

(3)

Asas-asas atau prinsi-prinsip perkawinan Islam yang dimaksud sebagai ketentuan perkawinan yang menjadi dasar berpijak dalam berbuat atau tidak berbuat berdasarkan syaria’t Islam khususnya tentang perkawinan.74 Asas-asas hukum perkawinan Islam menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku bagi orang Islam di Indonesia terdiri dari 7 (tujuh) asas yaitu: asas personalitas, asas persetujuan, asas kebebasan memilih pasangan, asas kesukarelaan, asas kemitraan suami istri, asas monogami terbuka, dan asas untuk selama-lamanya.75

Kata perkawinan disamakan dengan pernikahan. Dalam istilah hukum Islam kata nikah sama kawin, atau nikah dengan kata zawaj. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya yaitu dham yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Nikah memiliki arti kiasan yakni wathaa artinya setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih banyak dipakai sedangkan dalam arti sebenarnya jarang digunakan.76

1. Asas-Asas Hukum Perkawinan Islam

Banyak asas-asas dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum perkawinan dalam Islam, di antara banyak asas tersebut, beberapa asas penting sehubungan dengan penelitian, diuraikan sebagai berikut.

74 Mardani, Op. Cit., hal. 6. 75

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, Menurut Hukum

Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 94.

76 Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,

(4)

a. Asas personalitas keislaman

Asas personalitas keislaman memandang bahwa perkawinan hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada syaria’t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam.77 Asas ini jelas sekali difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa MUI Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Dalam fatwa ini, jika terjadi perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam, maka perkawinan itu haram dan tidak sah.

Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Jika tidak sah, maka anak hasil perkawinan yang dilahirkan merupakan anak hasil zina yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Jika asas-asas hukum perkawinan (asas-asas yang lain) tidak terpenuhi, yaitu asas persetujuan, asas kesukarelaan, asas kebebasan memilih, asas kemitraan suami istri, atau asas monogami terbuka, maka akibat hukum perkawinan tersebut dapat dibatalkan.78

Asas personalitas keislaman merupakan salah satu asas hukum perkawinan Islam dan juga menjadi asas yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas ini terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UU

77 Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 93.

78 Asroun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elasas,

(5)

Perkawinan) dan Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (disingkat KHI).79

Pasal 1 UU Perkawinan menentukan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dasar penentuan asas ini terkandung di dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menentukan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari rumusan ini berarti bahwa perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan hukum agama yang dipeluk oleh orang yang melakukan perkawinan berarti perkawinan itu tidak sesuai dengan asas personalitas dalam UU Perkawinan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka asas ini menghendaki bahwa masalah perkawinan lebih menjurus pada urusan yang hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada syaria’t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam.80 Dikatakan asas ini sebagai asas personalitas keislaman sehubungan dengan masalah perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, sebagaimana di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa sahnya perkawinan jika dilakukan menurut

(6)

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Jadi, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan masing-masing orang.

Menurut Hazairin, tidak ada kemungkinan bagi orang Islam untuk melakukan perkawinan dengan melanggar hukum agamanya sendiri, termasuk untuk semua agama (Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu di Indonesia.81 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berlaku khusus bagi warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam.

Pasal 40 huruf c KHI melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Pasal 44 KHI melarang perkawinan antara wanita Islam dengan laki-laki non muslim. Dengan demikian asas personalitas keislaman di bidang hukum perkawinan di Indonesia dianut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan junto Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 KHI. Asas personalitas keislaman sebagai satu di

antara banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum yang berperkara di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.82

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (selanjutnya disingkat UU Peradilan Agama) terdapat dasar berlakunya asas personalitas keislaman. Asas personalitas keislaman dalam UU Peradilan Agama terdapat pada Pasal 1 angka 1,

81 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor: 1-1974, (Jakarta:

Tintamas, 1986), hal, 2.

(7)

Pasal 2, Pasal 13, Pasal 27, Pasal 39, Pasal 49, Pasal 66 ayat (1) UU Peradilan Agama.

Pasal 1 angka 1 UU Peradilan Agama, menentukan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Kewenangan peradilan agama dimaksud di sini menunjukkan bahwa perkawinan dalam Islam menganut asas personalitas keislaman. Selanjutnya pada Pasal 2 UU Peradilan Agama diatur fungsi Peradilan Agama sebagai suatu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.

Kemudian dalam Pasal 13 UU Peradilan Agama diatur syarat sebagai hakim Peradilan Agama wajib beragama Islam. Selanjutnya Pasal 27 UU Peradilan Agama mengatur syarat bagi panitera Peradilan Agama juga wajib beragama Islam. Dalam Pasal 39 UU Peradilan Agama terdapat ketentuan syarat bagi juru sita di Pengadilan Agama wajib beragama Islam, syarat bagi sekretaris dan wakil sekretaris Pengadilan Agama wajib beragama Islam sebagaimana ditentukan pada Pasal 45 UU Peradilan Agama.

Pada Pasal 49 UU Peradilan Agama, ditentukan kompetensi absolut bagi peradilan agama bertugas, berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang yang beragama Islam di bidang perkawinan dan bidang-bidang lainnya.83 Bahkan untuk perceraian ditentukan pada Pasal 66 UU Peradilan Agama

83 Bidang-bidang lainnya seperti: waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan

(8)

bagi orang yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Peradilan Agama untuk sidang ikrar talak.

Asas personalitas keislaman ini hematnya dapat dikatakan sebagai asas pemenuhan atau pelaksanaan perintah agama Islam yang menurut Abdul Rahman Ghozali, bahwa melaksanakan perkawinan itu merupakan perintah agama dalam hal ini agama Islam. Oleh sebabnya, jika perkawinan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam, maka pernikahan tersebut adalah haram atau batal atau tidak sah secara Islam.84

Berdasarkan beberpara pendapat para pakar, dan fatwa MUI, KHI, serta ketentuan-ketentuan dalam UU Peradilan Agama, jelas sekali terkandung didalamnya terdapat asas personalitas keislaman dalam hal perkawinan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan dan perceraian yang diharamkan oleh agama Islam. Secara hukum nasional jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, dapat dibenarkan, akan tetapi jika tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan ketentuan dalam Hadits Rasulullah SAW bisa berpotensi menimbulkan dosa dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT di hari pembalasan (hari akhirat).

b. Asas kesukarelaan

Asas kesukarelaan dipandang sebagai wujud dari itikad baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Asas suka rela tidak hanya dipenuhi oleh kedua calon mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kedua belah pihak orang tua si calon

(9)

mempelai tersebut.85 Orang tua para pihak merupakan salah satu rukun nikah dalam Islam. Oleh karena itu, kesukarelaan wali pihak perempuan merupakan hal yang sangat wajib dan terpenting, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 KHI bahwa yang menentukan rukun nikah terdiri atas: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi laki-laki, dan adanya ijab kabul.

Kewajiban adanya wali nikah didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW (Rasullah SAW) yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Aisyah bahwa: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Kemudian jika mereka berselisih, maka penguasalah yang menjadi wali bagi mereka yang tidak ada walinya”.86 Selain itu, terdapat Hadits lain yang menentukan kedudukan wali merupakan unsur terpenting dalam pernikahan Islam yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali Nasai, dari Sulaiman bin Musa dan Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwa:

“Siapa saja perempuan yang kawin tanpa izin walinya, maka perkawinannya batal. Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, bagi perempuan itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah ia anggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”.87

Berdasarkan Hadits tersebut di atas, demikian pentingnya peran wali perempuan dalam perkawinan Islam, oleh sebab itu, diperlukan asas kesukarelaan bagi wali dalam menikahkan anak-anaknya. Wali tidak dibenarkan maksa diri untuk

85

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 139-141.

(10)

menikahkan anaknya, dan juga sebaliknya bagi anak tidak boleh dipaksakan oleh orang tua untuk menikah, atau orang tua (wali) tidak dibenarkan untuk menghalang-halangi anaknya untuk menikah jika telah memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam.

c. Asas persetujuan

Asas persetujuan identik dengan asas kesukarelaan.88 Segala syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melakukan perkawinan itu tidak dipaksa atau harus dibarengi dengan kerelaan dari calon suami dan istri. Oleh sebab asas persetujuan inilah makanya diadakan peminangan (khitbah) suatu upaya untuk memberikan pertimbangan bagi pihak yang dipinang (pihak istri).89

Asas kesukarelaan menghendaki adanya itikad baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun, demikian pula asas persetujuan dibarengi dengan itikad baik bersamaan dengan persetujuan dari masing-masing pihak dan walinya. Sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Bukhari, Ahmad, Nasa’i, Muslim, dan Abu Daud dari Ibnu Abbas bahwa Rasullah SAW bersabda: “Perempuan janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya”.90

Kemudian dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’I, Muslim dan Abu Daud, yaitu: “Dan gadis hendaknya ayahnya meminta izin kepadanya (maksudnya sebelum dilangsungkan akad nikah, ia ditanya persetujuannya terlebih

88 Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal. 32. 89 Ibid., hal. 33.

(11)

dahulu)”. Berdasarkan kedua Hadits tersebut jelaslah bahwa asas persetujuan menempati peranan yang sangat penting dalam perkawinan seseorang laki-laki dan perempuan dalam hukum Islam.

Persetujuan dalam hukum Islam diartikan dalam makna ijab. Menurut hukum Islam yang sesungguhnya perkawinan itu harus didasarkan pada adanya persetujuan calon mempelai wanita, jika wanita itu masih gadis, maka seharusnya yang menyampaikan ijab itu adalah bapak kandung atau walinya, jika wanita itu janda atau tidak gadis lagi, maka ijabnya diserahkan kepada walinya.91

d. Asas kebebasan memilih pasangan

Asas kebebasan memilih pasangan merupakan rangkaian dari asas persetujuan dan kesukarelaan. Hal ini dapat dilihat dari Hadits yang diriwayatkan Jamaah kecuali Muslim dari Khansa binti Khidman Al-Anshariyah, sebagaimana telah disebutkan pada asas persetujuan bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedangkan ia janda, tetapi ia tidak menyukai perkawinan itu, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW, akhirnya Rasulullah membatalkan pernikahan itu.92

Selain itu, dalam Hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Daruquthni, sebagaimana telah dikemukakan juga pada asas persetujuan, yaitu Hadits dari Ibnu Abbas bahwa seseorang gadis datang kepada Rasulullah SAW, lalu gadis tersebut menceritakan kepada Rasulullah SAW tentang ayahnya yang

91 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

dan Hukum Negara, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 44-45.

(12)

mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak disukai oleh gadis tersebut, maka Rasulullah menyuruh gadis tersebut memilih, menerima atau menolaknya.93

Dalam kedua Hadits tersebut di atas, terkandung asas kebebasan memilih pasangan hidup dalam perkawinan, setiap orang berhak untuk memilih pasangan perkawinannya secara bebas asalkan sesuai dengan syari’at Islam yakni tidak melanggar larangan perkawinan dalam Islam karena perkawinan merupakan lembaga yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai sendi pokok masyarakat dan bangsa.

e. Asas kemitraan

Asas kemitraan dalam perkawinan Islam menghendaki pasangan tersebut layaknya sebuah bangunan utuh yang tidak dapat dipisahkan antara suami istri beserta anak-anaknya ibarat bangunan yang kokoh. Dalam pergaulan hidup rumah tangga tersebut, suami dan istri dituntut bekerja sama dalam saling membantu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui bahwa makna mitra identik dengan teman bekerja atau teman satu profesi. Sehingga selain statusnya sebagai suami, maka suami tersebut juga berperan sebagai teman dari istri, demikian sebaliknya, selain statusnya sebagai istri, sang istri tersebut sekaligus menjadi teman bagi suami.

Asas kemitraan ini menurut Ahmad Rofiq diletakkan pada tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suami istri harus

93 Sayyid Sabiq, Fiqih Islam (Fiqhussunnah), diterjemahkan oleh Muhammad Nabhan

(13)

saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan mental.94 Beliau mendasarkan asas kemitraan ini pada Alqur’an Surat Ar-Rum ayat 21 yang pada intinya bahwa esensi dari perkawinan untuk saling berkasih sayang.95

Untuk memperkuat argumentasi asas kemitraan ini, terutama penting untuk diperhatikan dari subjek hukum atau orang yang akan berakad nikah tersebut (calon suami dan calon istri), dan halalnya hubungan yang diakadkan dalam perkawinan serta segala hal yang diakibatkan dari hasil perkawinan seperti keturunan dan harta kekayaan setelah perkawinan. Kedua hal tersebut merupakan wujud kemitraan sehubungan dengan perkawinan dalam Islam adalah sebagai ibadah dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah yang terlebih dahulu diikat dengan sighat berupa ijab dan kabul.96

Bertolak dari sighat ijab kabul ini tersirat sebuah asas kemitraan yang berarti bahwa setelah ijab kabul bukan berarti terjadinya penguasaan sewenang-wenang suami terhadap istri atau sebaliknya, istri yang menguasai suami.97 Dengan kata lain tanggung jawab tetap berada pada suami kendatipun istri lebih banyak membawa harta yang direlakan dalam keluarga, tetapi suami tetap bertanggung jawab atas segala urusan dalam rumah tangga, tanpa kesewenang-wenangannya terhadap istri.98 Makna lain bahwa dalam akad tersebut terkandung amanah dari Allah SWT dan

94 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 56. 95

Ibid., hal. 57-58.

96 Neng Djubaidah, Op. cit., hal. 103.

(14)

kedua orang tua mempelai perempuan (istri) kepada mempelai laki-laki (suami) agar dalam penyelenggaraan rumah tangga dan dalam pembinaan rumah tangga dihindari dari kesengsaraan lahir dan batin selama di dunia dan terhindar pula dari api neraka.

Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim disebutkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”. Kemudian dalam Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Muslim berkata bahwa: “Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah SWT dalam menggauli wanita (istri) sesungguhnya kamu mengawininya dengan amanat Allah SWT dan kamu menghalalkan kehormatannya dengan kalimat Allah SWT (ijab kabul).99

Berdasarkan amanah dalam Al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas, maka sesungguhnya dalam ajaran Islam, pembagian tugas antara suami dan istri, bukan dalam makna yang satu menguasai yang lain, tetapi dalam rangka mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah agar terwujud keturunan yang soleh dan solihah sebagai penerus amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT.

f. Asas monogami terbuka

Sebagaimana arti monogami adalah suami beristri satu orang perempuan sedangkan poligami, suami yang beristrikan lebih dari satu orang perempuan.100 Hukum perkawinan Islam menganut monogami terbuka, artinya Islam memberikan kesempatan kepada para suami untuk berpoligami dan paling banyak 4 (empat) orang

99 Neng Djubaidah, Loc. cit.

100 T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:

(15)

istri. Asas monogami terbuka ini terkandung di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (4) dan ayat (3), yaitu:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Asas monogami terbuka atau dibolehkannya melakukan poligami dalam Islam konsekuensi bagi suami dalam hal ini adalah dalam kondisi darurat, artinya ada hal-hal menjadi pertimbangan suami untuk melakukan poligami bukan untuk kesenangan semata melainkan pertimbangan-pertimbangan yang disyaratkan dalam ajaran Islam misalnya untuk membantu perempuan dari kesengsaraan, dan lain-lain.

Hal ini didasarkan bahwa poligami dalam perkawinan Islam bukanlah sebuah asas perkawinan, bahwa dalam KHI telah diatur sebagai syarat alternatif dan kumulatif bagi suami yang akan melakukan poligami. Sedangkan dalam Pasal 27 KUH Perdata sangat bertentangan dengan asas poligami, yakni memberlakukan asas monogami mutlak dalam pasal ini. Tentu saja pemberlakuan asas monogami mutlak bertentangan dengan hukum Islam.101

Perlu diketahui dan digaris bawahi di sini adalah bahwa poligami bukanlah bertujuan untuk menyakiti kaum wanita atau membuat derita bagi istri-istri yang satu dengan yang lain, itu sebabnya dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (3) disebutkan sebagai sebagai alternatif jika dapat dilakukan berbuat adil. Satu hal menjadi pertimbangan diberlakukannya poligami dalam Islam untuk mencegah perbuatan

(16)

maksiat suami yang jauh lebih banyak membawa kemudaratan.102 Adil dimaksud berarti suami dapat memenuhi segala kebutuhan rohaniah maupun jasmaniah, lahir dan batin istri-istri dan anak-anaknya.103

Asas monogami terbuka ini ternyata dianut juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 ayat (1) menganut asas monogami tertutup, “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Sedangkan pada ayat (2) menganut asas monogami terbuka yakni, “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.104

g. Asas untuk selama-lamanya

Asas untuk selama-lamanya dalam hal ini identik dengan perkawinan yang abadi. Hal ini sebagai konsekuensi dari tujuan perkawinan itu sendiri untuk selam-lamanya, bukan untuk sementara waktu atau untuk bersenang-senang atau rekreasi semata. Sebagaimana asas ini terkandung dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW, berkata: “perkara halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak (cerai).105 Asas untuk selama-lamanya dalam konteks ini dengan demikian dikenal pula degan asas perceraian dipersulit.106

102 Ibid., hal. 104.

103

Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal. 37.

104 Ibid., hal. 32.

(17)

Argumentasi asas selama-lamanya ini dianut dalam perkawinan Islam didasarkan pada tujuan perkawinan itu sendiri. Tujuan perkawinan dalam Islam antara lain untuk memperoleh keturunan, ketenangan, ketenteraman, cita kasih dan sayang. Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip perkawinan yang bertahan lama atau selama-lamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Hanya karena atas dasar kerelaan hati, prinsip ini dapat dilaksanakan. Peminangan juga turut berperan penting di sini agar tidak ada penyelesalan di kemudian hari, maka seharusnya dilakukan peminangan dalam rangka meminta pertimbangan pihak wanita.107

Asas untuk selama-lamanya juga terkandung di dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat (2) tentang larangan menikah kembali setelah dilakukan perceraian yang ketiga kalinya (talak ba’in qubra). Larangan ini berarti Islam sama sekali tidak menghendaki perkawinan yang berlangsung secara putus-sambung atau cerai-rujuk, hanya sampai tiga kali syarat cerai-rujuk dibenarkan dalam Islam.

Asas selama-lamanya sangat bertentangan dengan perkawinan sementara (mut’ah) atau sering dikenal dengan perkawinan satu hari, dua hari, atau satu minggu, atau satu bulan. Perkawinan sementara semata-mata bertujuan untuk kesenangan, atau rekreasi belaka, dan mut’ah sebenarnya melecehkan kaum perempuan karena perempuan dinilai sebagai barang yang dapat diperjualbelikan. Dengan demikian perkawinan sementara adalah haram, jelas sangat tidak sesuai dengan tujuan perkawinan sebagai ibadah, dan ibadah itu dilaksanakan selama-lamanya.

(18)

Dalam dunia Islam modern karangan Mardani dikenal beberapa asas-asas hukum perkawinan Islam menurut hukum Islam diantaranya asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas perceraian dipersulit, poligami dibatasi secara ketat, kematangan calon mempelai, memperbaiki derajat kaum wanita. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perkawinan Islam antara lain: kebebasan dalam memilih jodoh, prinsip saling melengkapi, prinsip memperlakukan istri dengan cara-cara yang baik, dan prinsip mawaddah, warahmah, dan sakinah.108

Pandangan lain menyebutkan ada 3 (tiga) asas dalam perkawinan Islam antara lain adalah: asas absolut abstrak, asas selektivitas, dan asas legalitas. Asas absolut abstrak maksudnya adalah suatu asas dalam hukum perkawinan Islam di mana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah SWT atas permintaan manusia yang bersangkutan ketika masih di dalam alam rahim. Sedangkan asas selektivitas maksudnya adalah suatu asas perkawinan dalam Islam di mana yang hendak menikah tersebut harus telebih dahulu meyeleksi dengan siapa dirinya akan menikah apakah dilarang atau tidak, dan terakhir asas legalitas yang maksdunya adalah suatu asas perkawinan Islam yang menghendaki perkawinan itu harus dicatatkan.109

2. Asas-Asas Hukum Perkawinan Nasional

Adakalanya asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan dalam hukum Islam sebagaimana dijelaskan di atas, juga dianut dalam hukum nasional khususnya dalam

108 Mardani, Op. cit., hal. 7-8.

109 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang

(19)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana ditentukan dalam Intstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tetapi ada pula asas-asas dan prinsip-prinsip tersebut hanya dianut dalam hukum nasional saja yang berarti hukum Islam tentang perkawinan yang berlaku khusus bagi umat Islam diatur pula oleh negara sebagai tugas dan tanggung jawab negara dalam mengatur warga negaranya.

a. Asas personalitas untuk setiap agama

Selain asas personalitas keislaman, asas personalitas untuk setiap agama juga dianut dalam hukum Islam, juga ternyata dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Asas ini terdapat di dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan serta terdapat dalam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 KHI. Sebagaimana bahwa asas personalitas keislaman memandang bahwa perkawinan hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam mulai dari syarat pengantin laki-laki dan perempuan, syarat perwalian dan bahkan lembaga perkawinan harus didasarkan pada syaria’t Islam, selain itu dinyatakan batal demi hukum Islam.110

Asas personalitas untuk setiap 5 (lima) agama (Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan dan Kristen Katolik terdapat pada muatan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing agama. Berarti perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agamanya masing-masing atau sesuai dengan ajaran agama yang dianut calon mempelai adalah sah

(20)

menurut agamanya, tetapi diperlukan oleh negara untuk dicatatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.

b. Asas emansipasi kaum wanita

UU Perkawinan tidak menempatkan kaum wanita pada posisi yang lemah dalam hal perkawinan, di mana bahwa UU Perkawinan tidak mengenal perkawinan di bawah tangan, karena perkawinan di bawah tangan dinilai memposisikan kaum wanita kurang dihargai jika terjadi masalah dalam perceraian. Ketentuan pencatatan dalam UU Perkawinan menandakan bahwa dengan pencatatan perkawinan pada Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil berarti perkawinan itu dianggap ada dan diakui oleh negara.111

Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Tetapi sahnya perkawinan boleh saja diakui secara agama masing-masing, oleh sebabnya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menentukan tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Asas saling membantu/kemitraan/keseimbangan

Suami istri diharuskan berperan sebagai mitra, saling membantu satu sama lain, serta saling melengkapi. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itulah makanya esensi dari perkawinan diharuskan saling bantu-membantu. Dasar pertimbangan ini berpedoman pada tujuan

111 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan,

(21)

perkawinan, sesungguhnya yang dikejar dari perkawinan adalah keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan material.112

Hakikat tujuan perkawinan sesungguhnya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil.113 Dalam spritual dan materil tercakup fitrah kemanusiaan, baik dari segi batin kerohaniaan manusia sebagai makhluk Tuhan maupun manusia itu dari segi psikhis dan bilogis.114

Asas saling membantu identik dengan dengan asas kemitraan dan asas keseimbangan (equilibrium)115 antara hak-hak istri dan hak suami tanpa mengenyampingkan hak suami sebagai pimpinan dalam rumah tangga. Walaupun asas ini tidak terkandung di dalam UU Perkawinan, tetapi pada norma dasar yakni pada falsafah Pancasila terkandung nilai saling tolong menolong, bekerjasama, dan bermusyawarah sebagai ciri kepribadian bangsa Indonesia, termasuk dalam hal membenahi kehidupan dalam rumah tangga, nilai-nilai ini dapat diterapkan.

Kedudukan suami dan istri di dalam rumah tangga dikehendaki oleh undang-undang secara berimbang atau sederajat tanpa menghilangkan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam konteks ini dikatakan berimbang dalam konteks pengambilan keputusan atau kebijakan rumah tangga harus didudukkan atau

112

Ibid., hal. 7.

113 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 7. 114 M. Yahya Harahap, Loc. Cit.

(22)

dimusyawarahkan bersama. Selain itu, walaupun statusnya sebagai istri, tetapi istri berhak mencapai kedudukan sosial di luar lingkungan rumah tangganya misalnya berkarir bagi istri tidak bisa dihalang-halangi oleh suami dalam perspektif UU Perkawinan.116

d. Asas perkawinan dicatatkan

Asas perkawinan dicatatkan maksudnya adalah bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan harus dicatatkan atau didaftarkan pada lembaga yang berwenang seperti KUA atau pada KCS. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan terkandung asas ini yang mengharuskan setiap perkawinan harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi syarat administratif Pemerintah dan pencatatan itu sebagai akta resmi yang termuat di dalam daftar catatan resmi Pemerintah.117

Pencatatan atau pendaftaran perkawinan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tersebut akan memperoleh legalisasi dari Pemerintah, baru kemudian perkawinan itu dapat dianggap ada, sebab konsekuensi dengan pencatatan ini berarti diperolehnya akta perkawinan (akta nikah) dari KUA atau KCS sebagai bukti otentik bahwa perkawinan itu benar adanya, bukan dibuat-buat.118

116 Ibid., hal. 9-10.

117 Ibid., hal. 8.

(23)

e. Asas monogami, monoandri tertutup, dan monogami terbuka

Asas monogami menghendaki bahwa suami hanya boleh menikahi seorang perempuan saja. Asas ini terkandung dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, demikian pula asas monoandri terdapat di dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang mana seorang istri hanya dibolehkan memiliki satu orang suami. Asas bersuami satu orang saja diatur secara ketat dan tertutup dalam UU Perkawinan, sebab dalam pasal lain tidak ditemukan ketentuan alternatif bagi istri untuk melakukan poliandri (bersuami banyak).

Asas monogami terbuka terkandung dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, dengan ketentuan bahwa Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Asas monogami berlaku bagi warga negara yang beragama Islam sedangkan asas monogami tertutup dianut dalam agama kristen.

f. Asas kematangan jiwa

Asas keseimbangan jiwa menurut UU Perkawinan menghendaki bagi laki-laki dan perempuan calon suami istri harus memenuhi syarat kematangan jiwa dipandang dari sisi usianya.119 Asas ini sangat berbeda dengan asas baligh dalam hukum Islam yang memandang bahwa kedewasaan bukan diukur dari usia, tetapi diukur dengan baligh. Makna baligh itu sendiri diartikan bagi laki-laki telah pernah mimpi basah

(24)

(keluarnya sperma tanpa disengaja) sedangkan perempuan ditandai dengan keluarnya haid, menstruasi, dan beberapa organ tubuhnya yang menunjukkan perkembangan.120

g. Asas dispensasi kawin (pengecualian)

Sebagai wujud pelaksanaan asas personalitas keislaman, sehubungan dengan ajaran Islam yang mengharuskan hukum perkawinan orang Islam hanya berlaku bagi umat Islam, maka UU Perkawinan memberikan peluang sebagai pengecualian pembatasan usia perkawinan. Sebagaimana pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, pembatasan usia kawin dapat dikecualikan dengan cara minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

Pada asas dispensasi atau asas pengecualian ini dibolehkan bagi calon suami dan istri untuk menikah pada usia muda jika masing-masing pihak dapat mengajukan alasan-alasan yang sangat penting untuk melangsungkan perkawinan meskipun belum mencapai usia bagi laki-laki harus sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Beberapa pertimbangan dalam hal ini misalnya, karena soal tanggung jawab atas hamil di luar nikah padahal keduanya masih di bawah umur, atau karena salah satu calon mempelai akan pergi ke

120 Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Child Marriage) Perspektif

Fiqih Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 20. istilah

(25)

luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang demikian ini dimungkinkan untuk berlakunya asas dispensasi dari pengadilan yang berwenang.121

B. Pengaturan Perkawinan Anak di Bawah Umur Tanpa Izin Orang Tua

1. Pengaturan Berdasarkan Fiqih Islam

Sebagaimana yang telah diuraikan pada sub bab pertama dalam bab ini, maka fiqih Islam yang dimaksud adalah fiqih munakahat (fiqh munakahat) atau fiqih tentang perkawinan dalam Islam. Dalam hal ini dibahas khusus mengenai dasar hukum atau pengaturan yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam. Dalam Fiqih Islam tidak ditemukan kaidah atau aturan hukum yang sifatnya menentukan batasan usia kawin. Karenanya, menurut Fiqih Islam semua tingkatan umur (usia) dapat melangsungkan perkawinan.122

Dikatakan anak dewasa atau tidak di bawah umur dalam Islam tidak didasarkan pada batasan usia tetapi berdasarkan baligh-nya seorang anak tersebut. Makna baligh atau bulugh dalam Fiqih Islam untuk menyebut fase kedewasaan seseorang tidak berdasarkan usia, tetapi didasarkan pada mimpi basah (hulum) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Jadi, tidak dapat diprediksi pada usia kapan seseorang itu dikatakan dewasa atau datangnya mimpi basahnya.123

(26)

Secara lebih spesifik, dewasa (baligh) bagi anak laki-laki ditandai dengan datangnya mimpi basah. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 59 menentukan: “Jika anak-anak kalian telah mencapai (usia kedewasaan dengan) mimpi basa…”. Ketentuan mimpi basah ini khususnya bagi anak laki-laki, yang kemudian ditandai dengan bentuk fisiknya mulai tumbuh jakun pada lehernya serta perilakunya yang semakin menunjukkan puberitas.

Berdasarkan Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat (6), “..sampai mereka cukup umur untuk kawin”. Ibun Syubramah, Abu Bakar al-Ashamm, dan Utsman al-Bukti berpendapat tentang ayat ini, bahwa anak kecil laki-laki dan perempuan tidak boleh kawin sampai keduanya mencapai umur baligh. Pandangan ini dapat diterima sebab jika dibolehkan kawin sebelum mencapai umur baligh, maka tidak ada manfaatnya ayat ini, di mana keduanya tidak membutuhkan pernikahan pada umur baligh.124

Kemudian Al-qur’an Surat Al-Isra’ ayat 34, ditentukan, “janganlah kamu mendekati (mempergunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik, sampai ia mencapai usia kedewasaan…”. Tetapi kedewasaan itu sama sekali tidak ditentukan karena batasan usia (umur) seseorang melainkan dewasa itu adalah baligh-nya seseorang anak perempuan.

Khusus untuk gadis (anak perempuan), dikatakan dewasa selain ditandai dengan mimpi basah, juga diidentikkan dengan menstruasi. Para pakar hukum Islam (Fuqaha’) sepakat menyatakan bahwa mimpi basah merupakan indikator yang paling

124 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Pernikahan, Talak, khulu, Meng-iila’ Istri

(27)

jelas bahwa seseorang anak laki-laki (ghulam) maupun anak perempuan (jariyah) telah mencapai wajib menjalankan hukum agama (taklif) termasuk dalam urusan perkawinan.125

Banyak pendapat dari para ahli agama maupun aliran (mazhab) memandang masalah kedewasaan anak dalam hal melaksanakan perkawinan, tetapi dari semua itu, Al-Qur’an sendiri dan Hadits tidak pula menentukan batasan usia dewasa bagi anak berdasarkan usianya kecuali baligh-nya si anak tersebut. Hal itu menandakan bahwa berdasarkan hukum Islam dan fiqih Islam, syarat baligh untuk melaksanakan pernikahan merupakan syarat mutlak. Jadi bukan berdasarkan usia.

Dewasa bagi wanita hendaknya jangan diartikan berdasarkan hanya pada konteks berakal sehat saja. Memang benar bahwa seorang wanita yang belum berakal sehat tidak dapat menentukan pendapatnya dalam persoalan perkawinan126, akan tetapi masalah kedewasaan bagi wanita harus dilihat dari sisi baligh-nya wanita tersebut. Sebab terdapat kecenderungan bahwa terkadang ada wanita yang telah memiliki akan sehat tetapi sebenarnya wanita atau gadis tersebut belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya sudah baligh misalnya datangnya haidh atau menstruasi pada dirinya.

Rasulullah SAW menikahi Aisyah pada usia 6 (enam) tahun dan baru mulai mencampurinya (tinggal serumah) setelah Aisyah berusia 9 (sembilan) tahun.127 Hadits yang menentukan usia Aisyah menikah dengan Rasulullah SAW dinyatakan

125 Yusuf Hanafi, Op. cit., hal. 20. 126 T. Jatifzhan, Op. Cit., hal. 259.

(28)

cukup sahih sebab diucapkan oleh Aisyah itu sendiri. Dijelaskan dalam Hadits tersebut adalah: ”Rasulullah SAW menikahiku ketika diriku berusia 6 tahun, dan mulai hidup serumah denganku saat aku telah berumur 9 tahun”. Hadits ini dikatakan shaih karena diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim,128 dan termasuk kesepakatan para ahli Hadits.129

a. Pandangan para mazhab dalam menentukan dewasa

Semua mazhab (Hanafi, Safi’i, Hambali, dan Maliki) atau disebut dengan Jumhur Fuqaha, berpendapat boleh menikahkan anak kecil perempuan. Keempat mazhab sunni ini hanya berbeda paham masalah siapa yang berhak menikahkan anak kecil. Keempat mazhab ini hanya saling berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak mengawinkan anak perempuan yang masih kecil tersebut.130

Dalam menentukan dewasa (baligh) tersebut, umumnya seluruh ulama mazhab berpendapat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki.131 Tetapi empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i) dan satu mazhab Ja’fari (Imamiyah)132 berbeda pandangan dalam menentukan baligh tersebut.

Maliki, Syafi’i, dan Hambali, mengatakan, baligh ditandai dengan tumbuhnya bulu-bulu ketiak, merupakan bukti dewasanya seseorang. Sedangkan Hanafi

128 Ibid., hal. 3.

129 Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal. hal. 51. 130

Wahbah Az-Zuhaili, Op. cit., hal. 172-173.

131 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan

Hambali), (Jakarta: Lentera, 2011), hal. 317.

(29)

menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi’i dan Hambali mengatakan, usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 (tujuh belas) tahun, sedangkan Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan anak perempuan 17 (tujuh belas) tahun.133

Adapun pandangan dari mazhab Ja’fari (Imamiyah) menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan anak perempuan adalah 9 (sembilan) tahun, yang didasarkannya pada Hadits Ibnu Sinan berikut: ”Apabila anak perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka hartanya diserahkan kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas haknya dan terhadap dirinya secara penuh”. Sementara Muhammad Jawad Mughniyah, berdasarkan pengalaman membuktikan bahwa kehamilan bisa terjadi pada anak gadis pada usia 9 (sembilan) tahun, sedangkan kemampuan untuk hamil dipandang sepenuhnya sama dengan hamil itu sendiri.134

Sebagaimana pandangan Hanafi di atas yang menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan anak perempuan 17 (tujuh belas) tahun merupakan batas usia maksimal. Sedangkan usia minimalnya adalah 12 (dua belas) tahun untuk anak laki-laki dan 9 (sembilan) tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat mengalami mimpi basah (mimpi mengeluarkan sperma) atau sudah mampu menghamili, atau mengeluarkan

(30)

mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan sudah mengalami haidh, atau menstruasi, dan sudah bisa hamil.135

b. Pandangan para mazhab dalam menentukan boleh tidaknya izin orang tua Pandangan para mazhab dalam menentukan boleh tidaknya izin orang tua bagi anak perempuan untuk melangsungkan pernikahan, berbeda-beda satu sama lain. Para ulama mazhab sependapat bahwa wali untuk anak gadis (anak kecil) adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak memiliki hak perwalian (sebagai wali) kecuali menurut mazhab Syafi’i. Selanjutnya para ulama mazhab hanya berbeda pendapat dalam menentukan wali yang bukan ayah (selain ayah).136

Menurut pandangan Syafi’i dan Hambali bagi ayah boleh menikahkan anaknya atau cucunya yang masih gadis tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu dari gadis tersebut, baik gadis itu sudah dewasa maupun masih kecil, dan pendapat ini satu pandangan dengan mazhab Hambali.137

Tetapi Syafi’i dan Maliki hanya sependapat untuk wali ayah saja, sedangkan untuk wali seorang kakek, Hambali dan Maliki berpendapat bahwa kakek tidak memiliki hak untuk memaksa. Berarti selain ayah tidak diperbolehkan menikahkan perempuan yang masih kecil hingga anak tersebut baligh dan memberi izin. Sedangkan Hanafi berpendapat, bagi semua ashabah (ahli waris) diperbolehkan untuk menikahkan anak masih kecil (belum baligh), tetapi anak tersebut baru

135

Ibid.

136 Abdul Rahman Ghozali, Op. cit., hal. 166.

137 Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab,

(31)

memiliki hak pilih jika ia sudah dewasa antara meneruskan atau membatalkan pernikahan tersebut.138

Sedangkan Hanafi berpendapat, menikahkan gadis yang sudah baligh dan berakal tanpa ada kerelaan si gadis tersebut, maka tidak diperbolehkan bagi siapapun. Sedangkan Hambali berpendapat, jika gadis tersebut sudah berumur 9 (sembilan) tahun, maka sah izinnya, baik yang ada hubungannya dengan pernikahan, maupun dengan yang lainnya.139

Sehubungan dengan batas usia kawin dan masalah pemberian izin dari orang tua (wali) bagi anak perempuan, dalam Fiqih Islam tidak ditemukan pengaturan yang menentukan batas usia kawin. Kendatipun berpendapat berbeda-beda dan ada yang menentukan berdasarkan usia dan berdasarkan baligh, akan tetapi dalam Al-Qur’an sendiri sebagai sumber hukum yang utama bagi umat Islam tidak menentukan hal itu. Berdasarkan pendapat para mazhab (jumhur ulama) tersebut di atas, para Fuqaha’ hanya menyatakan bahwa tolak ukur kebolehan untuk menggauli atau

digauli (saghirah) adalah terletak pada kesiapannya untuk melakukan aktivitas seksual. Islam memandang aktivitas seksual bagi laki-laki dan perempuan baru dapat terjadi jika ia telah baligh yang diartikan hingga si gadis tersebut harus mencapai kesempurnaan dan kematangan fisik.140

138 Ibid., hal. 341-342, 139 Ibid., hal. 315.

(32)

2. Pengaturan Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak/perjanjian keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan dalam konsep Islam lebih diarahkan pada pelaksanaan nilai-nilai ibadah yang berkonsekuensi pada pahala di sisi Allah SWT, maka dengan itu, amatlah tepat jika kompilasi (Kompilasi Hukum Islam) menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqaan gholiidhan) yang semata-mata mentaati perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.141

Syarat bagi kedua calon mempelai pada Pasal 15 ayat (1) KHI ditentukan, untuk calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan ini dimaksudkan dengan pertimbangan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, sehingga perkawinan hanya boleh dilakukan oleh kedua calon mempelai (laki-laki dan perempuan) jika telah mencapai umur sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 UU Perkawinan.142

Ketentuan dalam KHI mengenal batasan umur untuk melaksanakan perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 KHI ini, dikatakan anak di bawah umur berarti laki-laki (calon suami) yang usianya berada di bawah 19 (sembilan belas)

141

Ahmad Rofiq, Op. cit., hal. 69.

142 Tim Pustaka Yustisia, Hukum Keluarga, Kumpulan Perundang-Undangan Tentang

Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT, dan Anak, (Yogyakarta:

(33)

tahun dan usia calon istri berada di bawah 16 (enam belas) tahun.143 Untuk semua usia anak di bawah tahun ini adalah dikatakan sebagai anak di bawah umur. Oleh sebabnya menurut KHI tidak boleh melaksanakan perkawinan.

Jika dari usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan usia 16 (enam belas) tahun untuk perempuan hingga mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka tahap usia ini diperbolehkannya kawin, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) KHI harus memperoleh izin dari kedua orang tuanya. Pada Pasal 15 ayat (2) KHI ditetapkan syarat izin kedua orang tua.144 Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU Perkawinan. Pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur, jika tidak ada kedua orang tua khususnya orang tua calon istri, maka yang berwenang untuk memberi izin pernikahannya adalah wali nasab (kelompok kerabat) yang kedua, ketiga, dan keempat. Jika wali nasab tidak terpenuhi, maka yang memberikan izin pernikahan bagi calon istri adalah wali hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 KHI.145

143 Mohd. Idris Ramulyo, Op. cit., hal. 73. 144

Tim Pustaka Yustisia, Loc. cit.

145 Pasal 20 ayat (2) KHI menentukan yang berhak menjadi wali nikah adalah wani nasab dan

(34)

3. Pengaturan Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Sebagaimana dalam KHI, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan batasan usia bagi laki-laki dan bagi perempuan untuk bisa melangsungkan perkawinan. Penentuan batasan usia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih menjamin asas kepastian hukum mengenai usia boleh kawin, sehingga tidak ada keragu-raguan bagi warga negara jika sudah ditentukan dengan jelas batas-batas usia boleh kawin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.

a. Batasan Umur

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan batasan usia boleh kawin tampak pada ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”

Kemudian terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan:

1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. 2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi

kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

(35)

Kemudian terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan:

1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Kemudian terdapat dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan: “Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”.

Selanjutnya terdapat dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan:

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

(36)

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tidak perlu ada izin dari orang tua untuk melangsungkan perkawinan.146

Kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) ditentukan, “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. Konsekuensi pasal ini berarti yang perlu memperoleh izin dari orang tua untuk melangsungkan perkawinan adalah umur 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan umur 16 (enam belas) tahun bagi wanita.147

Tujuan pembatasan usia dalam perkawinan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak, agar pemuda-pemudi yang akan menjadi suami istri benar-benar telah masuk jiwa dan raganya dalam membentuk rumah tangga/keluarga yang bahagia dan kekal.148 Begitu pula dimaksudkan untuk dapat mencegah terjadinya perceraian muda dan agar dapat membenihkan keturunan yang baik dan sehat, serta tidak berakibat laju kelahiran yang lebih tinggi sehingga mempercepat pertambahan penduduk yang berpotensi menimbulkan masalah nasional.149

Bertolak ukur pada ketentuan batas umur perkawinan laki-laki dan perempuan pada pada Pasal 6 UU Perkawinan junto Pasal 15 KHI sebagaimana di atas, jika terjadi perkawinan di bawah batasan umur dimaksud tersebut, maka terpenuhinya rukun perkawinan tersebut tetap sah, tetapi para pihak dapat mengajukan permohonan

146 Hilman Hadikusuma, Op. cit., hal. 47.

147 Ibid. Lihat juga: Linda Rahmita Panjaitan, Perkawinan Anak di Bawah Umur dan Akibat

Hukumnya, Tesis, (Medan: Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hal.

48.

(37)

pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama dengan alasan syarat usia minimal dari laki-laki dan atau perempuan dari yang menikah tersebut tidak terpenuhi.150

Pencantuman batas umur untuk kawin dalam UU Perkawinan, secara eksplisit telah terkandung apa yang dimaksudkan oleh Yahya Harahap sebagai langkah penerobosan hukum Islam dan hukum adat yang dikenal dengan istilah exepressip verbis, hal ini lazim dijumpai dalam masyarakat bangsa Indonesia. Pembatasan umur

kawin ini menimbulkan kekaburan penafsiran batas umur baik yang terdapat pada hukum Islam, maupun hukum adat dapat dihindari.151

b. Izin Kawin

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan batasan usia boleh kawin dengan memerlukan izin dari orang tua tampak pada ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan:

1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(38)

menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) di atas, yang perlu memperoleh izin untuk kawin adalah laki-laki yang berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita berumur 16 (enam belas) tahun. Sedangkan di bawah umur 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan di bahwa umur 16 (enam belas) tahun bagi wanita dilarang kawin menurut UU Perkawinan. Pertimbangan alasan batasan perkawinan ini didasarkan pada usia kawin yang rendah berpotensi mengakibatkan laju kelahiran yang cukup tinggi dan berpotensi mengakibatkan kematian bagi ibu hamil relatif tinggi, serta dapat berpengaruh pada reproduksi ibu yang melahirkan menjadi terganggu.152 Kemudian terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Jafizhan mengatakan izin itu diperoleh dari kedua orang tua calon mempelai atau sebagai penggantinya, jika penggantinya sebagaimana yang ditentukan dalam UU Perkawinan tidak terpenuhi, maka dapat dilakukan melalui dispensasi untuk memperoleh izin dari Pengadian setempat.153 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa batasan usia menjadi ukuran untuk pemberian izin bagi orang tua kedua calon mempelai. Tetapi izin kedua orang tua itu terbatas sampai

152 Ibid., hal. 15-17.

(39)

pada batas umur sampai umur 21 (dua puluh satu) tahun ke bawah. Sedangkan di atas 21 (dua puluh satu) tahun tidak perlu memperoleh izin dari orang tua.

Pentingnya ketentuan izin tersebut ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, bahwa Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU Perkawinan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. Bukti izin ini sangat diperlukan oleh Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan.

Tujuannya di dalam Pasal 12 PP ini tampak ketentuan yang mempersyaratkan izin tersebut dimasukkan dalam Akta Perkawinan antara lain memuat: nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri; nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua calon mempelai, izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) undang; dispensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) undang-undang; izin Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang-undang; dan persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) undang-undang.154

Jika kedua calon mempelai tidak memperoleh kedua orang tuanya lagi atau kedua orang tuanya tidak mampu menyatakan kehendaknya, kalau tidak ada juga izin diperoleh dari wali, atau orang yang memelihara atau keluarga yang memiliki hubungan darah dengan kedua calon mempelai dalam garis ke atas selama masih

(40)

hidup, maka izin diperoleh pertama, dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya, dan kedua dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

Jika terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang berhak memberikan izin tersebut, di antara orang tua, atau di antara orang tua yang masih hidup, atau orang tua yang mampu menyatakan kehendak, atau wali, atau orang yang memelihara, atau keluarga dalam hubungan darah, atau salah satu atau lebih diantaranya tidak menyatakan pendapatnya, maka setelah mendengar orang-orang tersebut dan berdasarkan permintaan dari kedua calon mempelai, maka izin dapat diberikan oleh Pengadilan yang berada dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan itu.

Andaikata terjadi hal yang tidak terduga, misalnya bagi calon mempelai laki-laki belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun atau bagi calon mempelai wanita belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun disebabkan oleh pergaulan bebas, kumpul kebo, dan sebagainya sehingga wanita tersebut sudah hamil sebelum perkawinan, maka Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memberikan peluang dalam kondisi darurat demikian.

(41)

perempuan, hal ini ditentukan pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Jika orang tua dari kedua calon tidak ada lagi, maka dapat diwakili oleh wali, atau orang yang memelihara atau keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke atas, hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Perkawinan.

Ketentuan tentang batasan umur yang terdapat di dalam UU Perkawinan tidak berlaku bagi umat Islam, sebab hukum Islam tidak menganut batasan usia dimaksud kecuali berdasarkan ukuran baligh. Sehingga pada kenyataannya jika terjadi perkawinan darurat biasanya dilangsungkan saja oleh pihak keluarga kedua calon mempelai atau salah satu pihak saja, yaitu dari pihak wanita, dengan memenuhi hukum perkawinan Islam yang dilaksanakan bersama-sama dengan petugas agama terutama petugas pencatatan nikah di tempat kediaman yang bersangkutan.155

Referensi

Dokumen terkait

Demokra- si pada dirinya bersifat tidak sempurna, dan ia akan tercederai bila kita me ngatakan bahwa rongak (gap) antara hukum dan ke­ adilan dapat diatasi (bdk.

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan

[r]

System Reliability Berpengaruh Positif dan System Quality berpengaruh positif tetapi tidak signifikan Terhadap Individual Peformance melalui variabel Task Technology Fit

Keenam partisipan tidak pernah mengira bahwa dirinya akan terdiganosis HIV positif sehingga pada saat pertama kali dinyatakan positif oleh tenaga kesehatan respon diri

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah

Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Terdapat pada Pasal 6 yaitu persetujuan kedua calon mempelai; izin orang tua atau

Suasana yang baik dalam keluarga tergantung pada bapak dan ibu (kedua orangtua) sebagai pengatur keluarga. Dasar dari pendidikan keluarga ialah perasaan