• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuliah Berharap Pintar atau Bejo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kuliah Berharap Pintar atau Bejo"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Kuliah, Berharap Pintar atau Bejo ? Oleh : Nurohmat

Harus kita akui bahwa semenjak zaman kemerdekaan bila kita bicara dunia pendidikan nasional, bangsa ini jauh lebih berhasil dalam hal pemerataan pendidikan. Meskipun masih saja ada sisi kurangnya, namun hal itu dapatlah diabaikan jika kita melihat begitu hebat aspek keberhasilannya. Sekarang kita bisa menyaksikan hampir tidak ada satu desapun yang tidak terjamah oleh sekolah. Sekurang-kurangnya di setiap desa ada satu atau dua sekolah setingkat TK dan sekolah dasar. Bahkan saat ini tidaklah sulit mencari sekolah setingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA karena di setiap kecamatan ada saja sekolah setingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA baik yang berstatus negeri ataupun swasta. Menghitung perguruan tinggipun tidaklah semudah zaman dulu. Dahulu perguruan tinggi dapatlah dihitung dengan bilangan jari tapi kini banyak kampus-kampus baru bermunculan di daerah setingkat kota dan kabupaten sampai-sampai agak malas juga untuk mengingat-ingat namanya.

Sekarang zamannya orang ngerti sekolah. Tanpa dipropagandakan, masyarakat berkehendak sendiri untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah sudah menjadi kebutuhan bersama supaya kelak anak-anak bangsa ini bisa menghadapi sengit dan tengiknya tantangan arus zaman. Dahulu orang-orang tua kita besar harapan anaknya bersekolah supaya bisa merubah nasib. Menjadi orang yang tidak sengsara, menjadi orang yang bisa merasakan bahagia dunia akherat atau setidak-tidaknya nasibnya lebih baik dari kedua orangtuanya. Menurut mereka tidak ada jalan lain untuk memutus lingkaran nasib sengsara itu selain melalui sekolah setinggi-tingginya meskipun harus jual sawah ladang bahkan tempat tinggal sekalipun.

Dahulu masih sedikit orang yang menyandang gelar sarjana, masih susah payah memperolehnya harus pergi ke rantau untuk mendapatkan gelar tersebut. Untuk sekedar memperoleh gelar sarjana saja perjuangan dan pengorbanannyapun jauh lebih berat bila dibandingkan dengan pergi naik haji ke Baitullah. Namun memang terbukti benar bahwa sesudah mereka bersusah payah memperoleh gelar sarjana hampir seluruhnya berhasil menjadi orang sukses atau orang bejo bila meminjam istilah zaman sekarang. Memang terbukti benar diantara mereka banyak yang memenuhi harapan kedua orang tuanya, mampu memutus warisan kesengsaraan yang telah diturunkan turun temurun itu, meminjam istilah Umar Khayam, mereka berhasil meningkatkan status sosialnya menjadi para priyayi.

(2)

tidaklah seangker dan sekeramat zaman dahulu. Karena konon saat ini banyak kasus perguruan tinggi yang begitu mudahnya mengeluarkan ijazah sarjana, magister, dan doktor. Cukup sekedar berangkat kuliah mengisi absensi asalkan tagihan lunas di bayar, ijazahpun pasti didapat. Urusan nilai hasil study bisa diatur yang penting tagihan lunas dibayar. Gelar pun bisa dipakai di depan atau dibelakang namanya supaya tampil lebih intelektual atau lebih gagah dan percaya diri dalam mencalonkan diri sebagai ketua perkumpulan profesi, kepala sekolah, anggota DPR, bupati atau walikota atau paling tidak bisa digunakan untuk mengikuti tes seleksi CPNS di daerah-daerah.

Itulah sebagian potret “kaum intelektual” kita, yang mungkin saja saat ini diantara mereka sekarang menjadi wartawan bodrek, guru di kelas-kelas, kepala sekolah, pejabat-pejabat teras, anggota DPR, bupati atau walikota. Inilah hasil pemeretaan pendidikan kita. Bagi kalangan awam sangat susah membedakan mana yang genuine dan mana yang abal-abal. Toh, kalangan awam juga tidak begitu memperdulikan soal yang genuine dan abal-abal itu.

Sekarang mari kita lihat yang genuine namun bernasib sial karena trend di banyak daerah tidak berpihak pada mereka. Berapa banyak putra daerah yang saat sekolah mereka anak pintar berbakat dan kuliah di perguruan tinggi ternama, masuknyapun melalui seleksi yang teramat ketat namun saat ini banyak yang hanya menjadi penonton dan kacung-kacung arus zaman. Saat ini zamannya demokrasi, di banyak daerah yang abal-abalpun bisa jadi apa saja yang penting bejo. Inilah sebuah ironi pemerataan pendidikan di negeri kita. Keberhasilan pemerataan pendidikan senantiasa berbanding terbalik dengan peningkatan kualitas pendidikan. Keduanya teramat susah untuk dipadupadankan ibarat bumi dan langit atau seperti siang dan malam.

(3)

lebih banyak? Ini sebuah ironi bukan ? Menggantungkan pada nasib bejo. Nasib bejo siapa yang tahu ?

Begitulah potret pemerataan pendidikan kita. Satu sisi kita patut berbangga kampus-kampus masuk kampung sampai ke pelosok- pelosok daerah tapi disisi yang lain miris melihatnya ketika kualitas pendidikan tinggi kita mesti dipertaruhkan. Tak ubahnya seperti lulusan SMA plus saja. Mau dibawa kemana arah pendidikan kita ? Untuk soal kualitas dan penghargaan terhadap pendidikan masih lebih baik era penjajahan Belanda dibandingkan era sekarang. Konon zaman belanda dulu orang pintar pasti bejo. Tapi saat ini orang pintar belum tentu bejo dan orang bejo belum tentu pintar. Bejo milik semua orang Bung ! Siapa saja yang bermental D3 (dulur, dekat, duit) dan S3 (sowan, sungkem, suap) hampir pasti bejo. Dia bisa jadi kepala apa saja. Mulai dari kepala desa, kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah dan kepala-kepala lainnya. Sekali lagi, ini era demokrasi langsung bung! Dan pertanyaanya adalah kita hendak menjadi orang pintar atau bejo ?

*) Penulis adalah Guru SMAN 1 Pabedilan, Alumni Universitas Negeri Jakarta

Identitas Penulis

Nama : Nurohmat, S.Pd No. KTP : 3209050404820017 Pekerjaan : PNS

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun jumlah tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel (Tabel 1 dan 2) serta viabilitas serbuk sari (Tabel 3) meningkat dengan aplikasi BAP sampai konsentrasi tertentu,

Hasil analisis slope morphology memperlihatkan bahwa daerah yang sangat rawan terjadi longsor adalah daerah Cibitung dengan analisis kemiringan lereng memiliki slope terjal

melibatkan seluruh anggota kelas yang memiliki karakter yang berbeda sering kali menuntut kepekaan dan kesiapan guru untuk mengantisipasi, memahami, menghadapi dan mengatasi

Program ini dilaksanakan dalam mata kuliah yang wajib tempuh bagi mahasiswa yang akan mengambil PPL pada semester berikutnya. Persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti mata kuliah

Berdasarkan uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran NHT-CTL memberikan prestasi belajar yang lebih baik daripada NHT dan pembelajaran langsung,

Berdasarkan penemuan tersebut guru tertarik mengkaji permasalahan ini kedalam sebuah penelitian tindakan kelas dengan formulasi judul “ Upaya Meningkatkan Motorik

Hal ini karena (1) penelitian yang berkaitan dengan morfologi khususnya kelas kata yaitu nomina belum pernah dilakukan penelitian jadi peneliti ingin

anak sangat antusias dalam mengikuti kegiatan tersebut. Pelatihan