• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang berupaya

untuk mencapai tujuan pembangunan di segala bidang kehidupan. Dengan

potensi alam dan manusia yang begitu berlimpah, maka sangat wajar jika

harapan agar terwujudnya kesejahteraan sosial selalu ada.

Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa

“ bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Amanat tersebut mengisyaratkan bahwa negara memiliki tanggungjawab

untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya dengan melakukan

pengelolaan sumber daya yang dimilikinya secara adil.

Selama ini pembangunan selalu diukur semata dengan angka

pertumbuhan ekonomi. Terjadi kemunduran di sektor tempat bernaung

penduduk miskin yang berbanding lurus degan kesenjangan ekonomi.1

1

“Dampak Abaikan Pertanian. Perlu Sikap Revolusioner untuk Ciptakan Lapangan Kerja”. Kompas, Jumat, 4 April 2014. Hal 1

. Hal

ini kian menajam akibat praktek korupsi ditambah dengan krisis ekonomi

berkepanjangan yang telah membuka peluang bagi setiap potensi konflik

(2)

Hak Asasi Manusia (HAM). Persebaran kondlik di Indonesia dewasa ini

(2008-2010) tercatat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1. Distribusi Jumlah Konflik dan Kekerasan di Indonesia

Tahun 2008-2010

Isu Konflik Jumlah Presentase

Konflik Berbasis Agama/Etnis 90 2,2

Konflik Politik 559 13,9

Konflik Antaraparat Negara 31 0,8

Konflik Sumber Daya Alam 313 7,8

Konflik Sumber Daya Ekonomi 332 8,3

Tawuran 1.089 27,1

Penghakiman Massa 1.107 27,5

Pengeroyokan 302 7,5

Lain-lain 198 4,9

Total 4.021 100

Sumber : Institut Titian Perdamaian. Dinamika Konflik & Kekerasan Di

Indonesia 2011.

Varian konflik yang berumur panjang dan mengandung komposisi

pelanggaran HAM yang sangat banyak dengan grafik yang meningkat dari

waktu ke waktu adalah konflik agraria. Hal ini selaras dengan keberadaan

sumber daya alam yang melimpah sebagai karakteristik utama

(3)

tanah yang berkembang seiring dengan kebutuhan pengelolaan tanah untuk

kepentingan pembangunan nasional dan industri.

Keberadaan konflik agraria sebagai konflik sosial dalam kehidupan

bangsa Indonesia diawali sejak masa kolonial, dimana perkebunan besar

menjadi sistem agraria yang berperan langsung sebagai hulu dari proses

memasukkan rakyat dan tanah Indonesia ke dalam ekonomi pasar global.

Namun pada 24 September 1960, Presiden Soekarno secara resmi

mengesahkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Agraria (UUPA 1960). Pada awalnya, UU ini dimaknai sebagai kulminasi

usaha untuk meruntuhkan dominasi modal asing sebagai bagian utama

politik agraria, sekaligus sebagai bentuk upaya pembangunan dengan

membagikan tanah secara merata kepada petani yang tidak mempunyai

tanah.

Pada tahun 1967, orientasi politik agraria dan pembangunan diganti

drastis dan dramatis oleh Presiden Soeharto, semula ideologi yang anti

dengan kapitalisme diubah menjadi ideologi kapitalisme yang pro modal

asing. Penggantian ini merupakan kelanjutan upaya pembasmian

orang-orang komunis, keberhasilan kudeta atas presiden Soekarno, dan

kepemimpinan rezim militer di arus politik nasional pada periode

1965-1966.2

2

Koalisi Untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran(KKPK). Menemukan Kembali Indonesia :

Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. KKPK. 2014. Hal 157

(4)

Pola konflik agraria di Indonesia sudah bergeser dari konflik secara

horizontal di masa Orde Lama menjadi konflik yang bersifat vertikal di

masa Orde Baru, yang artinya bahwa pada masa Orde Lama konflik agraria

lebih di dominasi antara rakyat dengan rakyat, akan tetapi pada masa Orde

baru konflik agraria tidak hanya antara rakyat dengan rakyat tetapi terdapat

kecenderungan lebih didominasi konflik antar rakyat dengan pemodal yang

sering di dukung oleh intervensi pemerintah. Pengambilan tanah-tanah

rakyat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran dengan

menggunakan kekerasan, penaklukan, dan manipulasi ideologis dengan

cara-cara yang melanggar hak asasi manusia. 3

Kebijakan pemerintahan Orde Baru Jenderal Soeharto yang

meletakkan prioritas pembangunan nasional dalam proses-proses ekonomi

(investasi), menjadikan politik sebagai kegiatan sekunder. Akibatnya ialah

pelemahan daripada politik penyelesaian konflik-konflik secara damai

terkhusus konflik agraria, yang karenanya memperbesar potensi timbulnya

kekerasan dalam masyarakat, juga dalam hubungan-hubungan antara

negara/pemerintah dengan rakyat. Dampaknya ialah rentannya penegakan

Hak Asasi Manusia (HAM), yang menjadi penyebab pokok pelanggarannya

ialah ekses dari kekerasan.4

Setelah jatuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998 hingga sekarang,

bangsa Indonesia belum mampu melepaskan diri dari belenggu kekerasan.

3

Noer Fauzi, dalam M. Mas’oed, Tanah dan pembangunan, Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 9.

4

(5)

Kesenjangan sosial ekonomi yang semakin menguat akibat praktek korupsi

ditambah dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan telah membuka

peluang bagi setiap potensi konflik agraria melahirkan beragam pelanggaran

HAM.

Kuatnya jaminan perlindungan HAM yang diberikan konstitusi,

tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan

pemenuhan hak asasi. Lengkapnya instrumen hukum nasional yang secara

khusus mengatur mengenai bagaimana negara harus memajukan,

melindungi dan memenuhi hak asasi, pun nampak tidak memiliki makna.

Sehari-hari bisa dengan mudah kita saksikan terjadinya pelanggaran, baik

secara langsung (by commision), maupun tindakan pembiaran (by

ommision), dan kegagalan negara untuk bertindak secara layak (failure to

act) dalam melindungi HAM.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan selama tahun

2013 mencatat 369 kasus konflik agraria yang luasannya mencakup 1,2 juta

hektare, dengan banyak korban sebanyak 21 orang meninggal dunia, 30

orang menjadi korban penembakan, 130 orang mengalami penganiayaan

dan 239 orang ditahan oleh pihak keamanan.5

Seirama dengan KPA, data yang disuguhkan Perkumpulan untuk

Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mencatat

konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, terjadi menyebar

5

(6)

di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik mencapai

2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi alias setara

separuh Sumatera Barat. Penyumbang konflik terbesar sektor perkebunan

dan kehutanan, mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan

hutan dan non kebun. Sektor perkebunan 119 kasus, dengan luasan area

mencapai 413.972 hektar, sedang sektor kehutanan 72 kasus, dengan luas

area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.6

Salah satu konflik agraria yang melibatkan masyarakat dan

pemerintah yang terjadi di perkotaan adalah sengketa tanah yang terjadi di

kelurahan Sari Rejo, kecamatan Medan Polonia, Sumatera Utara. Sejak Buruknya situasi pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) sepertinya

belum menjadi refleksi dan pertimbangan utama pemerintahan Republik

Indonesia untuk segera mengambil langkah perbaikan. Situasi ini tergambar

dari masih tingginya praktik pelanggaran HAM masa lalu yang belum

menemukan titik terang, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang belum

mendapat perlindungan memadai, konflik masyarakat melawan perusahaan

maupun negara untuk memperebutkan lahan terus berkecamuk dan semakin

lengkap dengan masih tingginya peristiwa kekerasan di berbagai daerah.

Terkhusus pada konflik agraria kita melihat bahwa lemahnya upaya

penyelesaian konflik tersebut mengakibatkan semakin tingginya praktek

konflik agraria yang kemudian tidak hanya menjadikan masyarakat

pedesaan (petani) sebagai korban tetapi juga terjadi di perkotaan.

6

(7)

tahun 1984, tanah seluas 260 hektar yang telah dikuasai oleh masyarakat

yang dihuni sekitar 30 ribu jiwa (4724KK) ini memang belum memiliki

sertifikat.

Awal dari sengketa lahan di kelurahan Sari Rejo adalah putusan

gugatan dari 87 warga (penggarap) terhadap Tentara Nasional

Indonesia-Angkatan Udara (TNI-AU) sebagai tergugat pada register IKN No.

50506001 yang terdapat di kelurahan Sari Rejo kecamatan Medan Polonia.

Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 310/Pdt G/1989/PN-Mdn tanggal 8

Mei 1990, mengabulkan gugatan para penggarap. Perbuatan tergugat yang

melarang para penggugat untuk membangun rumah atau mengharuskan para

penggugat agar terlebih dahulu memperoleh izin dari tergugat untuk

membangun rumah diatas tanah sengketa adalah perbuatan melanggar

hukum. Tidak hanya sampai disitu, tergugat TNI-AU banding ke Pengadilan

Tinggi (PT) Medan melalui putusan PT Medan No.

294/PDT/1990/PT-MDN tanggal 8 mei 1990 yang dimohonkan banding. Pihak TNI-AU

melakukan kasasi atas keputusan Pengadilan Tinggi Medan ke Mahkamah

Agung. Kemudian, putusan Mahkamah Agung (MA) RI No.229 K/Pdt/1991

tanggal 18 Mei 1995 menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi,

pemerintah RI di jakarta c/q Panglima ABRI di jakarta c/q Komandan

Pangkalan TNI-AU Polonia Medan.

Keputusan Mahkamah Agung yang menyebutkan tindakan

pelarangan mendirikan bangunan yang dilakukan TNI-AU kepaada 56 persil

(8)

merupakan bentuk pelanggaran hukum dan secara otomatis menganulir

batas-batas wilayah yang tercantum pada keputusan KSAP No.

023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950. Tetapi, keputusan Mahkamah Agung

tidak serta merta memberikan kejelasan atas penyelesaian konflik di

Kelurahan Sari Rejo pada register IKN No. 50506001. Keputusan

Mahkamah Agung yang hanya memenangkan 56 persil juga tidak serta

merta membuat masyarakat puas, karena dari tanah yang bersengketa (260

ha) hanya sebagian kecil yang bisa dimenangkan.

Kebuntuan hukum dalam penyelesaian konflik tanah Kelurahan Sari

Rejo yang berlarut-larut menimbulkan sepekulasi dari masyarakat bahwa

konflik ini merupakan bagian dari skenario politik pemerintah . Hal ini

muncul seiring dengan isu pemindahan Bandara Polonia Medan yang dinilai

tidak lagi kondusif sebagai Bandara yang melayani Penerbangan Komersil.

Akan tetapi, masyarakat merasa adanya kejanggalan dengan melihat

semakin pesatnya pertumbuhan perumahan elit dan pembangunan Central

Business District (CBD). Padahal aset tersebut masih termasuk dalam

register IKN No.50506001 yang sampai saat ini masih dalam area sengketa

tanah dengan masyarakat Kelurahan Sari Rejo. Hal ini berbanding terbalik

dengan keadaan masyarakat yang belum dapat memaksimalkan asetnya

(tempat tinggal dan membuka usaha) karena belum adanya kepastian hukum

tentang kepemilikan tanah.

Puncaknya, pada 24 Februari 2011 masyarakat Kelurahan Sari Rejo

(9)

mengakomodir aktivitas pembelaan hak-hak masyarakat Sari Rejo dalam

memperjuangkan hak atas tanahnya dengan nama Forum Masyarakat Sari

Rejo (FORMAS).

Masyarakat menilai bahwa perjuangan yang dilakukan selama ini

terlalu bergantung pada tokoh-tokoh tertentu dalam menyelesaikan konflik

ini. Masyarakat menginginkan semua kepentingannya dapat ditampung

dalam satu institusi yang sama untuk menghindari munculnya faksi-faksi

baru yang akan mengurangi semangat perjuangan masyarakat Sari Rejo

karena mengingat sebagian kecil tanah yang bersengketa telah mendapatkan

sertifikat sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung.

Selain perjuangan di jalur perdata yang masih mengalami kebuntuan,

masyarakat juga melakukan aksi-aksi demonstrasi. Berbagai aksi

demonstrasi dilakukan oleh FORMAS sendiri maupun beraliansi dengan

berbagai elemen masyarakat. Maka, konflik ini semakin menemui

klimaksnya saat 1 Mei 2012 yang bertepatan dengan perayaan Hari Buruh

Internasional (MAYDAY), FORMAS bergabung dengan berbagai elemen

masyarakat dan membentuk Aliansi bernama Dewan Buruh Sumatera Utara

(DBSU) untuk melakukan aksi unjuk rasa dengan menghentikan aktivitas

Bandara Polonia sebagai bentuk protes terhadap seluruh masalah sektoral

yang tidak kunjung dapat diselesaikan oleh pemerintah termasuk konflik

(10)

Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

terkait fenomena”Konflik Agraria di Perkotaan dalam Perspektif HAM

(Studi Deskriptif terhadap kasus di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan

Medan Polonia).”

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun perumusan masalah

dalam penelitian ini, yaitu

1. Mengapa konflik agraria terjadi di Kelurahan Sari Rejo,

Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara?

1.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha-usaha bagaimana untuk

menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Dimana

batasan masalah berfungsi untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang

masuk ke dalam ruang penelitian dan faktor mana yang tidak masuk ke

dalam ruang penelitian, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut

1. Apa sebab-sebab terjadinya Konflik Agraria di Kelurahan Sari

Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan?

2. Bentuk pelanggaran apa yang dialami oleh masyarakat

(11)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui penyebab Konflik Agraria yang terjadi di Kelurahan

Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.

2. Memahami dan menganalisa bagaimana keterkaitan Konflik Agraria

dalam perspektif HAM.

1.5. Signifikansi Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang

diharapkan mampu memberikan sebuah sumbangsih pemikiran

mengenai konflik agraria di perkotaan dalam perspektif HAM.

2. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan

sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

Ilmu Politik, khususnya dalam Konflik Agraria di perkotaan dalam

perspektif HAM dan menjadi referensi/kepustakaan Departemen

Ilmu Politik FISIP USU

3. Bagi masyarakat luas, kiranya hasil penelitian ini juga diharapkan

dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang konflik

(12)

1.6. Kerangka Teori

1.6.1. Hak Asasi Manusia (HAM)

Istilah HAM pada hakekatnya memiliki pengertian yang hampir

sama, meskipun masing-masing negara menggunakan bahasa yang

berbeda-beda. Misalnya, HAM dalam bahas Inggris dikenal sebagai humanrights

atau fundamental rights, sedangkan bahasa Perancis disebut sebagai des

droits de I’Homme. Hak asasi manusia dalam hal ini merupakan seperangkat

hak yang melekat pada keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi

manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan

kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau

kebebasan, hak milik, dan hak-hak dasar lain yang melekat pada diri

manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain.7

Dalam salah satu dokumen yang diterbitkan oleh PBB, dapat

ditemukan defenisi HAM yang lebih singkat, sebagaimana dikutip

Baharrudin Lopa dalam menegaskan, yaitu: “Human Rights could be

generally defined as those rights which are inherent in our nature and

without which we cannot live as human beings”. Dalam konteks ini, HAM

dapat didefenisikan sebagai hak-hak yang melekat (inherent), yang secara

alamiah manusia tidak dapat hidup tanpa adanya hak-hak tersebut.

7

(13)

Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak

yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak

kodrat. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat

mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup

dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrat yang tidak bisa terlepas

dari dan dalam kehidupan manusia.8

Berbagai instrumen Hak Asasi Manusia yang dimiliki Negara

Republik Indonesia, yakni:9

•Undang – Undang Dasar 1945, yang diuraikan dalam pembukaan

UUD 1945 pada alinea pertama, yaitu dinyatakan tentang kemerdekaan

yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia maka oleh sebab itu penjajahan di

atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan

dan perikeadilan.

•Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi

Manusia, yang diuraikan dalam lampiran ketetapan ini berupa naskah HAM

pada angka I huruf D butir 1 menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia

adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada

diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat

dan martabat manusia.

•Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dalam Pasal 1 Ayat (1) bahwa Hak Asasi Manusia

8

Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Penerbit Tim ICCE UIN, 2003, hal. 130.

9

(14)

adalahseperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang

wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum,

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia.Lalu menurut pasal 1 Ayat (6) dijelaskan bahwa

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau

kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak atau

kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,

membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok

orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan

benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Berikut adalah beberapa ciri pokok hakikat HAM, yaitu: 10

a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM

adalah bagian dari manusia secara otomatis.

b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis

kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul

sosial, dan bangsa.

c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak

untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap

10

(15)

mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum

yang tidak melindungi atau melanggar HAM

Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia

itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut:11

a. Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi

kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama,

dan kebebasan bergerak, dan sebagainya.

b. Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak

untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta

memanfaatkannya.

c. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam

hukum dan pemerintahan (rights of legal equality).

d. Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut

serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam

pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik, dan sebagainya.

e. Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture

rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk

mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya.

f. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan

perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal

penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan dan

sebagainya.

11

(16)

Menurut ajaran Hak Asasi Manusia, penyelenggara Negara

sesungguhnya memiliki kewajiban untuk (i) menghargai hak asasi manusia

rakyatnya; (ii) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; dan (iii) memenuhi

hak asasi manusia rakyatnya. Kewajiban pertama, untuk menghargai,

mensyaratkan penyelenggara negara sendiri tidak melanggar hak-hak asasi

rakyatnya. Hal ini mencakup tindakan negara untuk memberlakukan

hukum-hukum baru yang berlaku surut yang diperkirakan dapat

mengakibatkan terjaminnya hak-hak korban pelanggaran HAM di masa

lampau pada masakini, dan dengan demikian dapat menyelesaikan

pelanggaran hak di masa lampau itu. Kewajiban kedua, untuk melindungi,

mempersyaratkan penyelenggara negara mencegah dan menindak

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak bukan-negara dengan

menegakkan aturan-aturan hukum yang diberlakukan pada pelanggar itu.

Kewajiban ketiga, untuk memenuhi, mempersyaratkan penyelenggara

negara mengkaji ulang prioritas kerjanya, membuat perubahan-perubahan

aturan, administrasi, anggaran, peradilan dan hal yang diperlukan lainnya

untuk mewujudkan hak-hak tertentu dari rakyatnya.12

1.6.2. Teori Konflik menurut Karl Marx

Karl Marx adalah tokoh utama yang mengaitkan filsafat dengan

ekonomi. Pemikiran Karl Marx tersebut dikenal dengan Materialisme

12

Stephen A. Hansen, Thesaurus of Economic, Social and Cultral Rights: Terminology and Potential

Violation, Washington: American Association for Advancement of Science, 2000. Halaman 6-7

(17)

historis dan materialisme dialektika. Diantara pakar sosialis, pandangan Karl

Heindrich Marx (1818-1883) dianggap paling berpengaruh. Marx

mengungkapkan dasar dari timbulnya konflik adalah faktor ekonomi.

Tekanan Marx pada peranan konflik dalam hubungan sosial dimana ia

melihat konflik sosial lebih terjadi di antara kelompok-kelompok atau

kelas-kelas daripada di antara individu-individu. Atas dasar tersebut maka

pihak-pihak yang berkonflik dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas (kelompok),

kelas borjuis, yaitu para tuan tanah dan para pemilik modal dan kelas

proletar, yaitu kelas pekerja, buruh, dan petani. Kedua kelas ini dibedakan

atas dasar dari kepemilikan alat-alat produksi, dimana kelas borjuis/para

tuan tanah mempunyai kuasa atas modal dan alat-alat produksi sedangkan

kelas proletar tidak memilikinya. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan

yang sangat timpang antara kelas borjuis dengan kelas petani/proletar. Kelas

proletar selalu menjadi pihak yang tertindas karena kekuasaan kelas borjuis

yang sangat besar khususnya dalam bidang ekonomi. Perbedaan kelas inilah

merupakan faktor kunci dari konflik kelas yang dikemukakan oleh Marx.

Konflik kelas dari Marx digambarkan sebagai perjuangan kelas (class

struggle) dari kelas proletar untuk melawan penindasan dari kelas borjuis.

Akhir dari konflik ini menurut Marx adalah munculnya revolusi kelas yang

menurut ramalannya dimenangkan oleh kelas proletar.13

Kelahiran Ideologi sosialisme menuju komunisme berawal dari

pengaruh amat buruk kapitalisme di eropa pada abad ke-19 terasa semakin

13

(18)

nyata dirasakan. Imperialisme merajalela, sumber daya dan sarana produksi

dimiliki oleh segelintir orang. Individualisme tertanam kuat di dalam

tatanan bermasyarakat, ditambah sikap gereja yang bersekutu dengan

kapitalis untuk menguasai dan menggasak kekayaan rakyat. regulasi yang

dilahirkan, dibuat untuk kepentingan kelas borjuis. Kondisi inilah yang

memicu kelahiran gerakan anti-kapitalis yakni sosialisme, termasuk

sosialisme komunisme (sosialisme marxis). Istilah komunis tidak bisa

dipisahkan dari Karl marx. Sebagai seorang revolusioner, ia menekankan

segi filsafat, ia merumuskan sebuah teori ilmiah untuk kemudian

dipublikasikan sebagai karyanya fenomenal yang berjudul “Das Capital”.

Dalam buku ini Marx menjelaskan, bahwa kapitalisme akan digulingkan

secara revolusioner dan ia akan diganti oleh masyarakat tanpa kelas yang

hanya terdiri dari para pekerja atau proletar yang memiliki dan mengelola

alat-alat produksi untuk kepentingan masyarakat. Keniscayaan sejarah ini

disebut-sebuah sebagai komunisme. Bagi Karl Marx, sosialisme komunis

adalah gerakan sosialisme yang sebenarnya.14

Kritik Marx terhadap kapitalisme didasarkan pada analisisnya

terhadap teori nilai lebih dan upah, di mana terdapat nilai surplus pekerja

yang dirampas dan dicuri oleh kelas pemilik modal. Kondisi tersebut

menyebabkan lahirnya pertentangan antar kelas yang ditindas atau kelas

proletar (kelas pekerja) dengan kelas yang menindas (borjuis). Di dalam

konteks yang akan saya analisis bahwa kelas proletar yaitu para buruh/tani

14

(19)

sedangkan kelas borjuis adalah para tuan tanah atau para pemilik modal.

Marxis teori berpendapat bahwa akan selalu terjadi konflik antar kelas.

Teori ini lebih menekankan pada hubungan antar kelas baik dalam suatu

Negara ataupun lintas batas Negara, Marx tidak memandang hubungan

antar Negara berdaulat itu merupakan suatu hal yang penting. Dari sini

Marx tidak menginginkan adanya batas-batas negara karena Marx

beranggapan negara adalah wujud dari keterwakialn borjuis. Adanya

determinasi ekonomi Marx menciptakan istilah “super value” atau lebih

dikenal dengan teori nilai lebih, yaitu pertukaran yang tidak proporsional

antara nilai pakai dan nilai tukar.15 Dalam hal ini keuntungan yang lebih

besar dimiliki oleh para kapitalis, dan buruh tidak berkuasa atas nilai lebih

yng telah dihasilkannya sebagai tenaga kerja, dalam artian dengan contoh

kasus ini Indonesia diibaratkan sebagai para pekerja atas majikannya yang

tidak dapat berkuasa atas hasil-hasil sumber daya alam yang tidak dapat

diolah Indonesia sendiri sehingga menciptakan adanya para kapitalis itu

sendiri mengeruk sumber-sumber daya, seperti apada teorinya Kaum Marx

menciptakan pembagian kerja secara sosial kemudian melengkapi

pembagian kerja dengan secara ekonomi16

(b) produk surplus sosial, yaitu surplus yang dihasilkan oleh para pekerja

dan diambil oleh kelas-kelas pemilik. :

(a) produk kebutuhan, dengan kata lain kebutuhan untuk bertahan hidup

bagi para produsen yang tanpanya seluruh masyarakat akan runtuh

15

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid 1, edisi terjemahan, Jakarta: Gramedia, 1994, hal 110.

16

(20)

Marx memprediksi, bahwa kemelaratan dan kemiskinan para pekerja

yang kian meningkat akan merangsang kaum proletariat untuk

menggulingkan kapitalisme, dan menggantikannya dengan sosialisme, yang

menghantarkan lahirnya masyarakat tanpa kelas, komunis. Masyarakat

borjuis modern yang muncul dari keruntuhan masyarakat feudal tidak

menyingkirkan antagonisme kelas itu. Malah ia memunculkan kelas-kelas

baru, kondisi baru untuk melakukan tekanan, bentuk-bentuk baru persaingan

dengan menggantikan yang lama. Borjuis menempatkan negeri ditangan

penguasa kota. Ia telah menciptakan kota-kota besar, telah banyak

menambah penduduk kota dibanding penduduk pedesaan dan dengan

demikian menyelematkan keterbelakangan penduduk di pedesaan dari

hubungan produksi feodal. Persis yang berlaku pada setiap negeri dengan

ketergantungan pada kota, borjuis itu telah membuat pula negeri-negeri

jajahan dan setengah jajahan, bangsa petani bergantung pada bangsa borjuis,

timur pada barat.

Pandangan Karl Marx secara garis besar dapat dilihat sebagai

berikut: Manusia menurut Marx adalah manusia yang kongkrit, yakni

orang-orang yang hidup pada jaman tertentu dan sebagai anggota masyarakat

tertentu. Manusia ditentukan oleh keadaan masyarakat di mana mereka

hidup. Maka manusia disebut sebagai mahluk sosial, karena ia hanya bisa

hidup dan dapat bekerja dalam suatu tatanan masyarakat yang ia jumpai

waktu ia lahir dan dibesarkan. Untuk dapat mempertahankan dan

(21)

menciptakan lembaga sosial, dan melalui lembaga sosial itu mereka

dibentuk. Maka manusia dan alam, manusia dan keadaan sosial harus

dihubungkan satu dengan yang lainnya secara dialektik. Yang satu tidak

dapat dilepaskan dari yang lainnya, harus terdapat suatu keseluruhan, di

mana unsur-unsurnya tidak berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus bekerja mengubah

alam. Maka pekerjaan adalah tanda bahwa manusia berbeda dengan

binatang, ia adalah mahluk bebas dan universal. Bebas karena dia berpikir,

tidak langsung member reaksi terhadap objek. Universal, bahwa manusia itu

tidak terikat oleh lingkungan alamnya. Alam ditaklukkan, dijadikan bahan

pekerjaan dan untuk dan untuk menaklukkan alam atau mngubah alam

diperlukan alat. Manusia mampu menciptakan alat. Maka, pekerjaan dapat

disebut sebagai keunggulan dari manusia.

Dalam pekerjaan manusia dapat merealisasikan dirinya, dalam

pekerjaan itu pula manusia disebut sebagai mahluk sosial, karena hasil

kerjanya diakui oleh orang lain dan berarti pula ia manusia yang berguna.

Dengan demikian seharusnya manusia harus puas dan senang dengan

pekerjaan, maka dapat disimpulkan bahwa pekerjaan itu merupakan

jembatan emas antar manusia. Dalam pekerjaan manusia mendapatkan hasil

kerja. Hasil kerja tersebut diwariskan dari regenerasi ke generasi berikutnya,

ini berupa sejarah. Jadi, sejarah adalah hasil dari pekerjaan berjuta-juta

massa, yaitu akibat suatu kegiatan dari suatu serangkaian generasi ke

(22)

itu pekerjaan memberi bentuk baru kepada alam sesuai dengan kebutuhan

hidup manusia. Seharusnya manusia merasa bahagia dalam pekerjaannya.

Karena manusia mempunyai sebuah sumbangan besar bagi pembentukan

sebuah sejarah. Akan tetapi, dari zaman masyarakat kepemilikan budak

sampai zaman masyarakat kapitalisme, pada kenyataannya manusia terasing

dari pekerjaan, karena dia bersaing dengan manusia lainnya. Di satu sisi itu

pula keterasingan manusia dalam pekerjaan itu juga diakibatkan oleh watak

dari penindas yakni ekspansi, eskploitasi dan akumulasi modal.17

Dalam pekerjaan sistem ekonomi kapitalisme, manusia bekerjaa itu

terdiri dari dua kelas, yaitu pemilik alat-alat produksi atau kaum kapitalis

dan kelas buruh dan tani. Kedua kelas itu memiliki kepentingan yang saling

berbeda. Kaum kapitalis ini ingin medapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnya. Sedangkan kaum buruh dan tani sebagai kelas pekerja,

menginginkan upah yang layak dan tanah sebagai salah satu alat produksi.

Perbedaan kepentingan tersebut melahirkan pertentangan kelas. Dengan

demikian keterasingan manusia disebabkan karena adanya hak milik pribadi

atas alat-alat produksi, sistem kerja upahan dan adanya perbedaan

kepentingan. Proses perkembangan kelas kapitalis selanjutnya membuat

kelas buruh lebih berat lagi penderitaannya. Mereka tambah miskin, melarat

dan jumlahnya tambah banyak. Selama kapitalisme masih bercongkol, kelas

buruh dan tani akan tetap menjadi budak atau hamba saja. Maka mereka

ingin menjadi manusia yang bebas dari penghisapan dan penindasan, atau

17

(23)

mereka ingin mengakhiri keterasingannya. Mereka harus membebaskan

dirinya sendiri, yaitu melawan kapitalisme, Inilah oleh Karl Marx disebut

dengan Perjuangan kelas.

Pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalisme antara kelas

kapitalis dengan kelas buruh dan tani tidak dapat diselesaikan dengan jalan

damai. Pertentangan tersebut bersifat antagonis, yakni pertentangan yang

tidak dapat dikompromikan, karena kepentingan masing-masing

bertolak-belakang. Kapitalis yang mempunyai kekuasaan ekonomi, social dan politik,

tidak akan rela menyerahkan kekuasaannya kepada kelas buruh dan tani.

Dan kelas buruh dan tani juga tidak akan dapat mengubah nasibnya kecuali

harus melawan kelas kapitalis dengan serentak, untuk merebut kekuasaan

ekonomi, sosial dan politik. itulah oleh Karl Marx disebut Revolusi, yakni

revolusi kelas buruh terhadap kelas kapitalis. Kemenangan revolusi kelas

buruh dan tani terhadap kelas kapitalis menempatkan kelas buruh

mempunyai dan menguasai negara. Kelas buruh membentuk pemerintahan

dikatator proletariat sebagai dan bertindak menindas kelas kapitalis.

Dengan demikian hanya melalu revolusi politik, kelas buruh dan tani

dapat mempunyai dan meguasai negara. Berarti kelas buruh dan tani dapat

melepaskan diri dari penghisapan dan penindasan dari kelas kapitalis. Kelas

kapitalis yang dikalahkan dalam revolusi kelas buruh dan tani, tidak begitu

saja lenyap dari masyarakat. Sisa-sisanya masih hidup dan masih bisa

tumbuh dalam negara diktator proletariat. Oleh karena itu dalam negara

(24)

ada dalam masyarakat, negara harus tetap masih ada, demikian Marx

menandaskan.18 Negara akan lenyap bilamana kelas-kelas dalam masyarakat

sudah tidak ada lagi. Masyarakat tanpa kelas itulah yang disebut-sebut

sebagai masyarakat komunis.19

1.7. Metodologi Penelitian

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun

kerangka teori di atas, penelitian ini memiliki metodologis yaitu deskriptif

(melukiskan), dimana penelitian deskriptif merupakan suatu cara yang

digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang

berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini memberikan

gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.20

18

Ken Rudha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme: Sanggahan Terhadap Franz

Magnis-Suseno, Yogyakarta: Resist Book, 2006, hal. 132-144.

19

Masyarakat Komunis adalah suatu sistem masyarakat di mana setiap manusia bekerja sesuai dengan kemampuannya dan setiap orang memperoleh keperluan hidup menurut kebutuhannya. 20

Bambang Prasetyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hal 42.

Tujuan

dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau

lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,

sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini

tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada,

tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan

variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan social, karenanya

pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan

(25)

tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan

teori.21

1.7.1. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat

diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang,

lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan

fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian deskriptif

melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara

sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.22

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat

penggambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta

dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk

mengungkapkan bagaimana basis Konflik Agraria di Perkotaan yang terjadi

di Kelurahan Sari Rejo dari bab ke bab dan akan menggambarkan Konflik

Agraria di perkotaan ini keterkaitannya dalam perspektif HAM. Disamping

itu juga penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan

konsep-konsep sebagai sebuah kerangka acuan dari pengamatan langsung yang

diperoleh di lapangan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan

21 Sanafiah Faisal, Format Penulisan Sosial Dasa-Dasar Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 20.

22

(26)

sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karenanya jenis penelitian

ini adalah penelitian kualitatif.

1.7.2. Lokasi penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi yang menjadi sumber penelitian yaitu

Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia dimana terdapat organisasi

kemasyarakatan Forum Masyarakat Sari Rejo (FORMAS) yang mempunyai

fokus terhadap penyelesaian sengketa tanah masyarakat dengan pemerintah

atau dalam hal ini TNI-AU.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka

penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik

pengumpulan data primer dan data sekunder.23

1. Data primer

Teknik pengumpulan data

tersebut yakni sebagai berikut:

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini yakni melalui metode

wawancara (interview). Teknik pengumpulan data melalui wawancara ialah

dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang

dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan tanya jawab

secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian ini. Dalam

hal ini peneliti mengambil informan yang berkaitan dengan konflik sebagai

23

(27)

key informan dalam penyusunan skripsi yang terjadi di Kelurahan Sari Rejo

seperti ketua Forum Masyarakat Sari Rejo dan tokoh masyarakat didaerah

tersebut, dan dari pihak aktivis HAM dan aktivis Reforma Agraria.

2. Data sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah mencari data

dan informasi melalui buku-buku, internet, jurnal, dan lainnya yang

berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu penulis juga mencari informasi

dan referensi tambahan melalui perundang-undangan, artikel-artikel dalam

majalah, koran dan sebagainya. Nantinya teori-teori dan referensi dari

sumber-sumber data sekunder tersebut dapat dijadikan panduan dalam

melakukan penelitian ini.

1.7.4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini mencoba menganalisis konflik agraria yang terjadi di

Kelurahan Sari Rejo dalam perspektif HAM dimana terjadi sengketa lahan

antara masyarakat dengan pemerintah (TNI-AU) dan varian pelanggaran

HAM yang didapat masyarakat Sari Rejo dalam memperjuangkan tanahnya.

Metode analisa dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode

analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun

dan kemudian diinterpretasikan. Sehingga memberikan

(28)

yang terkumpul dari penelitian. Selanjutnya, dalam penelitian ini

(29)

1.8. Sistematika Penelitian

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan Latar belakang masalah, perumusan

masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian,

kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum dari Lokasi penelitian

di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Medan.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian berupa apa yang menjadi

penyebab konflik agraria di perkotaan yang terjadi di Kelurahan Sari

Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Medan dan menganalisnya dengan

kajian teori marx tentang konflik dan mengungkapkan bentuk

pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat Kelurahan Sari

Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran – saran yang diperoleh dari

Gambar

Tabel 1. Distribusi Jumlah Konflik dan Kekerasan di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Dari data tersebut basis formula maupun ke 3 formula dengan ditambahkan ekstrak kulit buah naga merah nilai bobot zat tidak ada yang mencapai persyaratan yaitu

Tata cara pemasukan dokumen penawaran agar dilakukan sesuai dengan tahapan sebagaimana tercantum dalam dokumen pengadaan Bab III Bagian D tentang Pemasukan Dokumen

[r]

83 Perbaikan saluran irigasi Dukuh Saw ahan Desa Som opuro Kecam at an Jogonalan (Eks.. 90 Pem bangunan Ruang/ Gedung

Pendaftaran/pengambilan Dokumen Lelang dilakukan per Paket Pekerjaan langsung ke Pokja Pengadaan Barang ULP Kabupaten Klaten.. Pendaftaran/Pengambilan Undangan dengan

The authors organized the literature into five major areas of interest: The Physical and the Virtual: Libraries and Collections in Transition; Mass Digitization and Its Impact

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama tanah timbul pada sungai Kluet gampong Kedai Runding Kecamatan Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan dikuasai oleh

Pengumpulan data merupakan tahapan dalam proses penelitian yang penting, karena hanya dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan berlangsung