• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi TBC pada Anak Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi TBC pada Anak Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI TBC PADA ANAK KONTAK SERUMAH DENGAN PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI PUSKESMAS KAWANGU KABUPATEN SUMBA TIMUR

Oleh

DORCE DAMALERO NIM. 1302115016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(2)

ii

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI TBC PADA ANAK KONTAK SERUMAH DENGAN PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI PUSKESMAS KAWANGU KABUPATEN SUMBA TIMUR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh

DORCE DAMALERO NIM. 1302115016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi TBC pada Anak Kontak

Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan

kepada:

1. Prof. Dr .dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. Ketut Tirtayasa MS, AIF, sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. N.L.K. Sulisnadewi, M.Kep. Ns.Sp.Kep.An, sebagai pembimbing utama

yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.M.Kes, sebagai pembimbing pendamping

yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara

Timur yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan studi pendahuluan di

Puskesmas Kawangu dan membantu dalam menyediakan data sekunder yang

(7)

vii

6. Kepala Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur yang telah membantu

dalam penyediaan data sekunder yang diperlukan dan menyediakan tempat

untuk melakukan penelitian ini.

7. Pengelola Program TB Paru Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur

yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

8. Teman-teman seperjuangan yang telah banyak membantu serta memberikan

dorongan moril kepada penulis dalam menyelesaian penulisan skripsi.

9. Keluarga tercinta, Papa (alm), Mama, ketiga saudari saya Iche, Debi, Nita,

serta keponakan tersayang Jheremy, Christian dan Meychena yang telah

memberi semangat dan dukungan, pengertian dan kasih sayang selama ini.

10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan

yang membangun.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Februari 2015

(8)

viii

ABSTRAK

Damalero, Dorce. 2015. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi TBC pada Anak Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru

Dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur. Tugas Akhir,

Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) N.L.K. Sulisnadewi, M.Kep. Ns.Sp.Kep.An; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.M.Kes

TBC anak sebagian besar berasal dari penderita dewasa. Selama penderita dewasa masih menjadi permasalahan, maka TBC anak tetap menjadi permasalahan karena penderita dewasa akan menjadi sumber penularan bagi lingkungannya. Risiko penularan tergantung dari derajat sputum Basil Tahan Asam (BTA) dewasa, lamanya kontak, dan status gizi anak. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan derajat sputum BTA dewasa, lamanya kontak, status gizi anak dengan infeksi TBC anak serta faktor risiko yang dominan berhubungan dengan infeksi TBC anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan sampel 36 orang penderita TBC paru dewasa kontak serumah dengan anak usia ≤ 14th. Pengumpulan data dengan kuisioner untuk mengetahui lamanya kontak, lembar observasi untuk mengetahui infeksi TBC anak, mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mengetahui status gizi anak, Register TB-01 untuk mengetahui derajat sputum BTA dewasa. Hasil penelitian didapatkan 12 orang BTA negatif dan 24 orang BTA positif, 9 orang kontak < 8jam dan 27 orang kontak > 8jam, 21 orang gizi baik dan 15 orang gizi kurang, 20 anak tidak terinfeksi TBC dan 16 anak terinfeksi TBC. Uji chi-square mendapatkan hubungan yang bermakna antara derajat sputum BTA dewasa dengan infeksi TBC anak (p=0,018), tidak ada hubungan yang bermakna antara lamanya kontak dengan infeksi TBC anak (p=0,439), ada hubungan yang bermakna antara status gizi anak dengan infeksi TBC anak (p=0,025). Faktor risiko yang dominan berhubungan dengan infeksi TBC anak adalah derajat sputum BTA dewasa (OR=7,5) artinya derajat sputum BTA positif lebih berisiko menyebabkan infeksi TBC anak dibandingkan dengan derajat sputum BTA negatif. Derajat sputum BTA dewasa dan status gizi anak mempengaruhi infeksi TBC anak sebesar 69,4% dan 30,6% dipengaruhi oleh faktor lain.

(9)

ix

ABSTRACT

Damalero, Dorce.2015. The Risk of Factor Related Tubercolosis Infection in Children Household Contacts with Adult Pulmonary Tubercolosis Patients on Kawangu Health Centre, East Sumba. Final Project, Study Program of Nursing Science, Faculty of Medicine, Udayana University Denpasar. Supervisor (1) N.L.K. Sulisnadewi, M.Kep.Ns.Sp.Kep.An; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep.M.Kes

Almost all tubercolosis in children derives from spreading of adult pulmonary tubercolosis. During the adult pulmonary tubercolosis is still being a problem, then the children tubercolosis remains a problem because them will be a source of spreading for their environment. The risk of spreading depends on degree of adult sputum acid-resistant bacilli, length of contact and children’s nutrient status. This research aims not only to know the relation between degree of adult sputum acid-resistant bacilli, length of contact, children’s nutrient status with tubercolosis infection in children but also to know the dominant risk factors related with tubercolosis infection in children. This research is including the type of corelational analysis with cross section approach. The sample amount to 36 pulmonary tubercolosis patients household contact with children age ≤ 14 years that selected by total sampling. The collection of data by questionnaire to knowing length of contact; observation sheet to knowing tubercolosis infection in children, measure of weight and height to knowing children’s nutrient status; and register TB-01 to knowing degree of adult sputum acid-resistant bacilli. The research results from 36 samples was obtained the 12 person negative acid-resistant bacilli and 14 person positive acid-acid-resistant bacilli, the 9 person contact < 8 hours and 27 person contact > 8 hours, the 21 children in good nutrition and 15 children in decrease nutrition, the 31 children not infected tubercolosis and 5 children infected tubercolosis. The result of chi-square test obtained that strength relation between degree of adult sputum acid-resistant bacilli and tubercolosis infection in children (p=0,018), there was not strenght relation between length of contact and tubercolosis infection in children (p=0,439), that strenght relation between nutrient status and tubercolosis infection in children (p=0,025). The result of multiply regretion obtained the dominant risk factors which related with tubercolosis infection in children that is degree of adult sputum acid-resistant bacilli (OR-7,5), it means positive degree of sputum acid-resistant bacilli more at risk to causes tubercolosis infection in children than negative. The degree of adult sputum acid-resistant bacilli and children’s nutrient status influence tubercolosis infection in children as big as 69,4% and 30,6% influenced by other factors.

(10)

x

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 38

4.2 Kerangka Kerja ... 39

(11)

xi

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian ... 40

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 40

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ... 45

4.7 Etika Penelitian ... 48

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 49

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 54

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 63

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 64

6.2 Saran ... 65

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang

TBC di Fasyankes ... 22

Tabel 2. Paduan OAT ... 30

Tabel 3. Dosis Kombinasi pada TB Anak ... 32

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat Sputum BTA Dewasa, Lamanya Kontak, Status Gizi Anak dan Infeksi TBC Anak .. 51

Tabel 6. Hubungan Derajat Sputum BTA Dewasa dengan Infeksi TBC Anak ... 52

Tabel 7. Hubungan Lamanya Kontak dengan Infeksi TBC Anak ... 53

Tabel 8. Hubungan Status Gizi Anak dengan Infeksi TBC Anak... 53

Tabel 9. Hasil Uji Interaksi ... 54

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian ... 35

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Penelitian

Lampiran 2 : Pengantar Kuesioner

Lampiran 3 : Surat Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 4 : Kuesioner Pengumpulan Data

Lampiran 5 : Rencana Anggaran Dana Penelitian

Lampiran 6 : Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Lampiran 7 : Surat Permohonan Ijin Melakukan Pengambilan Data Penelitian

Lampiran 8 : Surat Izin Penelitian

Lampiran 9 : Surat Keterangan Selesai Penelitian

Lampiran 10 : Lembar Konsultasi

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

BB : Berat Badan

BPMPP : Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan

BTA : Basil Tahan Asam

DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse Chemoterapy

GF : Global Fund

IDAI : Ikatan Dokter Anak Indoneisa

INH : Isoniazid

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

OAT-KDT : Obat Anti Tuberkulosis-Kombinasi Dosis Tetap

P2M : Program Pemberantasan Penyakit Menular

PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini

PMO : Pengawas Menelan Obat

PRM : Puskesmas Rujukan Mandiri

PS : Puskesmas Satelit

SD : Sekolah Dasar

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SPS : Sewaktu Pagi Sewaktu

TB : Tinggi Badan

TBC : Tuberkulosis

TK : Taman Kanak-Kanak

UPK : Unit Pelayanan Kesehatan

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja

(laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

2006). Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil

tuberkulosis dan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet dapat tinggal

di udara dalam waktu lebih lama. Basil tuberkel dapat mati dengan cepat di bawah

sinar matahari langsung tetapi dalam ruangan yang gelap dan lembab dapat

bertahan sampai beberapa jam. Faktor penentu keberhasilan pemaparan

tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet dalam udara dan

panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di

samping daya tahan tubuh yang bersangkutan (Wahid dan Suprapto, 2014).

Sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa TBC

merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi Directly

Observed Treatment Shortcourse Chemoterapy (DOTS) telah terbukti sangat

efektif untuk pengendalian TBC, tetapi beban penyakit TBC di masyarakat masih

sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003,

diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TBC, dan sekitar 0,5 juta

orang meninggal akibat TBC di seluruh dunia (Kepmenkes RI, 2009).

(17)

2

dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita

yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (Wahid &

Suprapto, 2014). Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara dengan risiko

tinggi, menempati urutan ketiga setelah India dan China (Kepmenkes RI, 2009).

India, Cina dan Indonesia berkontribusi lebih dari 50% dari seluruh kasus TBC

yang terjadi di 22 negara. Tahun 2010 Indonesia turun ke peringkat ke-5 dunia

dalam hal jumlah penderita TBC (WHO, 2010).

Jumlah kasus baru Basil Tahan Asam (BTA) positif yang ditemukan di Indonesia

pada tahun 2012 sebanyak 202.301 kasus. Jumlah tersebut sedikit lebih tinggi bila

dibandingkan kasus baru BTA (+) yang ditemukan tahun 2011 yang sebesar

197.797 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di propinsi

dengan jumlah penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa

Timur. Kasus baru di tiga propinsi tersebut sekitar 40% dari jumlah seluruh kasus

baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2013).

Proporsi kasus TBC Anak di antara semua kasus TBC di Indonesia yang tercatat

dalam program TBC berada dalam batas normal yaitu 8-11%, tetapi apabila

dilihat pada tingkat propinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan

variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8-15,9%. Data TBC anak di Indonesia

menunjukkan proporsi kasus TBC Anak di antara semua kasus TBC pada tahun

2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun

(18)

3

kasus TBC anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012

menjadi 6% (Kemenkes RI, 2013).

Tuberkulosis anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun

dan merupakan masalah khusus yang berbeda dengan TBC pada orang dewasa.

Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena

jumlah anak berusia kurang dari 14 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh

populasi. Sekurang-kurangnya ada 500.000 anak di dunia yang menderita TBC

setiap tahunnya dan 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TBC (Kemenkes

RI, 2013). Tuberkulosis anak hampir selalu berasal dari penularan tuberkulosis

paru orang dewasa, dimana selama tuberkulosis paru dewasa masih menjadi

permasalahan, maka tuberkulosis anak akan tetap menjadi permasalahan karena

penderita tuberkulosis dewasa akan menjadi sumber penularan bagi keluarga dan

lingkungannya (Kuswantoro, 2002). Anak usia di bawah lima tahun mempunyai

risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC karena imunitas

selulernya belum berkembang sempurna (Ajis, 2009).

Faktor risiko penularan TBC pada anak berdasarkan banyak penelitian yang sudah

dilakukan diantaranya dipengaruhi oleh kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi,

kelembaban udara, kontak erat, status gizi, perilaku pencegahan, status imunisasi

BCG, status sosial ekonomi, kebiasaan merokok, dan pengetahuan (Diani, 2011).

(19)

4

paling mendasar tergantung dari tingkat penularan (derajat sputum BTA penderita

dewasa), lamanya kontak, dan status gizi anak.

Pasien TBC dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih

besar dari pada pasien TBC dengan BTA negatif, meskipun masih memiliki

kemungkinan menularkan penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA

positif adalah 65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%

sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur negatif dan foto thoraks positif adalah

17% (Kemenkes RI, 2013). Semakin sering terpajan dan lama kontak, makin

besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak

yang disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang

sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung.

Penularan TBC pada anak juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh anak. Daya

tahan tubuh adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang yaitu kemampuan

yang dimiliki tubuh kita untuk melindungi diri dari berbagai serangan penyakit

dan serangan kuman. Akan tetapi yang membedakannya dari setiap orang adalah

daya tahan tubuh yang satu dengan yang lainnya berbeda dipengaruhi oleh nutrisi,

lingkungan, pola hidup dan genetik. Status gizi seseorang sangat erat kaitannya

dengan permasalahan individu, karena merupakan faktor predisposisi yang dapat

memperparah penyakit infeksi, juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan

(20)

5

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, vitamin, protein, zat besi, dan

lain-lain akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap

penyakit termasuk tuberkulosis. Keadaan ini merupakan faktor penting yang

berpengaruh, baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Berat badan

adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh

sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena

infeksi. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur

digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Gizi buruk akan

berpengaruh terhadap menurunnya daya tahan tubuh seseorang yang akhirnya

akan mempengaruhi seseorang menderita tuberkulosis (Depkes RI, 2000).

Program penanggulangan TBC dengan strategi DOTS di Kabupaten Sumba Timur

sudah dimulai sejak tahun 1995, namun pengelolaan program dengan dukungan

dana yang memadai baru dikembangkan pada tahun 2004 dengan bantuan Global

Fund (GF) yang menetapkan 6 Puskesmas Rujukan Mandiri (PRM) dan 15

Puskesmas Satelit (PS). Berdasarkan data 4 tahun terakhir (tahun 2010-2013),

ditemukan kasus TBC Paru sebanyak 1.521 orang dengan kasus TBC Anak

sebanyak 122 orang. Tahun 2012 ditemukan sebanyak 375 kasus TBC Paru dan

TBC anak sebanyak 31 kasus, tahun 2013 sebanyak 456 kasus TBC Paru dan

kasus TBC anak sebanyak 24 kasus. Kasus TBC anak tertinggi tahun 2013

terdapat di wilayah kerja Puskesmas Kawangu yaitu sebanyak 5 kasus dari total

24 kasus TBC anak Kabupaten dengan kasus TBC Paru dewasa sebanyak 49

(21)

6

41 orang dan kasus TBC anak sebanyak 16 orang (Dinas Kesehatan Kabupaten

Sumba Timur, 2014).

Melihat masih tingginya angka kejadian TBC Paru dewasa dan kejadian infeksi

TBC anak yang tinggal serumah dengan penderita dan faktor risiko yang

mempengaruhi terjadinya infeksi tersebut maka sangat diperlukan penanganan

yang tepat terkait dengan program penanggulangan infeksi TBC anak pada tinggal

serumah. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk

meneliti “Faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak yang

tinggal serumah dengan pasien Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas Kawangu

Kabupaten Sumba Timur Nusa Tenggara Timur”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka masalah penelitian dapat

dirumuskan yaitu “Faktor risiko apa yang berhubungan dengan infeksi TBC pada

anak kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas

Kawangu Kabupaten Sumba Timur?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak

kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas

(22)

7

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi derajat sputum BTA penderita tuberkulosis paru dewasa.

b. Mengidentifikasi lamanya kontak penderita tuberkulosis paru dewasa dengan

anak yang terinfeksi kuman TBC.

c. Mengidentifikasi status gizi anak yang terinfeksi kuman TBC yang kontak

serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

d. Menganalisis hubungan derajat sputum BTA terhadap infeksi TBC anak yang

kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

e. Menganalisis hubungan lamanya kontak penderita tuberkulosis paru dewasa

yang kontak serumah terhadap infeksi TBC anak.

f. Menganalisis hubungan status gizi terhadap infeksi TBC anak yang kontak

serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

g. Menganalisis faktor risiko yang dominan berhubungan dengan infeksi TBC

anak kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran pada keluarga tentang gejala TBC pada anak serta

faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya TBC pada anak.

b. Memberikan gambaran kepada pengelola program TBC Puskesmas dalam

(23)

8

c. Sebagai dasar pengambilan keputusan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten

Sumba Timur dalam mencegah dan memberantas penyakit TBC di

Kabupaten Sumba Timur.

1.4.2. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan dibidang penyakit infeksi menular.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan

penelitian lebih lanjut.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang faktor risiko yang yang berhubungan dengan infeksi TB pada

anak yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa belum

pernah dilakukan di Puskesmas Kawangu, namun ada beberapa penelitian sejenis

yang pernah dilakukan:

1.5.1. Penelitian oleh Yulistyaningrum dan Dwi Sarwani Sri Rejeki (2010)

Hubungan riwayat kontak penderita Tuberkulosis paru (TB) dengan kejadian TB

paru anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Purwokerto. Penelitian

ini mencari hubungan riwayat kontak TB dengan kejadian TB paru anak dan

hubungan antara variabel perancu (status ekonomi, status imunisasi BCG dan

keberadaan perokok di dalam rumah) dengan variabel bebas (riwayat kontak TB)

dan variabel terikat (kejadian TB paru anak). Penelitian ini menggunakan metode

survei analitik dengan pendekatan Case Control Study. Penelitian dilakukan di

(24)

9

berjumlah 76 orang yaitu 38 sampel kasus dan 38 sampel kontrol. Analisis data

meliputi analisis bivariat dengan uji Chi-Square dan analisis berstrata dengan uji

Mantel Haenszel. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara riwayat kontak TB dengan kejadian TB paru anak di BP4

Purwokerto dan tidak dipengaruhi oleh variabel status ekonomi, status imunisasi

BCG dan keberadaan perokok di dalam rumah.

1.5.2. Nur Lina, Lilik Hidayanti, Eti Rahmawati (2008)

Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis pada anak di

kota Tasikmalaya (studi di Puskesmas Cigeureung, Cipedes, Bantarsari kota

Tasikmalaya). Penelitian ini mencari hubungan antara status imunisasi BCG,

status gizi, luas ventilasi rumah, adanya kontak dengan penderita, dan

pengetahuan ibu dengan kejadian tuberkulosis pada anak. Penelitian dilakukan

dengan metode survei, jenis penelitian adalah explanatory dengan pendekatan

cross sectional. Populasi penelitian adalah anak usia 3 bulan sampai dengan 14

tahun yang berobat ke Puskesmas Bantarsari, Cigeureung, Cipedes Kota

Tasikmalaya dari bulan April sampai dengan bulan September 2008 sebanyak 56

orang. Sampel penelitian merupakan total populasi. Analisis data dengan analisis

univariat dan analisis bivariat dengan uji statistik chi-square. Hasil penelitian

didapatkan ada hubungan bermakna antara status imunisasi BCG, status gizi, luas

ventilasi rumah, kontak dengan penderita batuk lama dan tingkat pengetahuan ibu

(25)

10

1.5.3. Anwar Musadad (2002)

Hubungan faktor lingkungan rumah dengan penularan TB paru kontak serumah.

Penelitian ini merupakan studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh

rumah tanggga yang didalamnya terdapat penderita TB paru dewasa dengan

sampel adalah seluruh rumah tangga yang didalamnya terdapat penderita TB paru

dan mempunyai balita. Analisis data dilakukan uji beda proporsi dengan

menggunakan chi-square. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa angka kejadian

penularan TB paru kontak serumah sebesar 13%. Faktor yang berperan dalam

penularan kontak serumah tersebut adalah masuknyasinar matahari langsung ke

dalam rumah.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di atas, terdapat perbedaan dengan

penelitian yang akan dilakukan diantaranya variabel bebas yang akan diteliti yang

mana lebih difokuskan pada sumber penularan dan transmisinya (darajat sputum

BTA dan lamanya kontak) serta daya tahan tubuh anak (status gizi). Terdapat

perbedaan pula pada sampel yang diteliti serta waktu dan tempat penelitian yang

akan dilakukan. Mengingat keterbatasan peneliti dalam masalah kepustakaan,

tidak menutup kemungkinan bahwa variabel dan teknik pengukuran yang diteliti

(26)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah

penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Sebagian besar

kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002).

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada

jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas yang diperantarai sel (

cell-mediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014).

2.2. Penyebab Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA)

(Depkes RI, 2008). Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan

pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013),

tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa tahun

(Depkes RI, 2008). Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human

(27)

12

tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara

yang berasal dari penderita TBC terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013).

2.3. Cara Penularan Tuberkulosis

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang ke

orang oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa

atau bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percian dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar menetap,

sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang

rentan (Smeltzer & Bare, 2002). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan

di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau

droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.

Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman

TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui saluran

peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke

bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan

oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat

positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut (Depkes RI,

2008). Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat penularan,

(28)

13

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler,

sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang

bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila

jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TBC akan

meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan meningkat pula.

2.4. Pathogenensis Tuberkulosis 2.4.1. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC.

Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem

pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus

dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak

dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam

paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus

paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi

sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi

dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif

menjadi positif (Depkes RI, 2008).

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk

dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi

daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC.

(29)

14

atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang

bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang

diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan

(Depkes RI, 2008). Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita

TBC akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi,

dan 25% sebagai “kasus kronik” yang tetap menular (WHO, 1999).

2.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun

sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat

terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca

primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi

pleura (Depkes RI, 2008).

2.5. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis 2.5.1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru (parenkim

paru) tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak,

menurut Depkes RI (2008), TBC paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Satu

spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan

(30)

15

biakan kuman TBC positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif

setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto rontgen dada

menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen positif

dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.

Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan

paru yang luas dan/atau keadaan umum penderita buruk (Depkes RI, 2008). Tidak

ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Ditentukan

(dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.5.2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar

lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan

lain-lain.

TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :

a. TBC Ekstra Paru Ringan

Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang (kecuali tulang

(31)

16

b. TBC Ekstra Paru Berat

Misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex,

TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes

RI, 2008).

2.6. Gejala Tuberkulosis

Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga

minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau

dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise),

berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang lebih dari

sebulan.

Gejala umum TBC anak adalah sebagai berikut:

a. Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau

berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam satu bulan

setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

b. Demam yang lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas

(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam

umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik

TBC pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum

(32)

17

c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau

intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat

disingkirkan.

d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel,

paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh

(failure to thrive).

f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

g. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan

baku diare.

2.7. Diagnosis Tuberkulosis

2.7.1. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.

Diagnosis pasti TBC seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan

menemukan kuman penyebab TBC yaitu kuman Mycobacterium Tuberculosis

pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura

ataupun biopsi jaringan (Kemenkes RI, 2013). Diagnosis tuberkulosis ditegakkan

dengan mengumpulkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap

BTA, kultur sputum, dan tes kulit tuberkulin (Smeltzer & Bare, 2002).

Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan 3 spesimen dahak

Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) yaitu:

a. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita pertama kali berkunjung ke

(33)

18

b. Pagi (P): pengambilan dahak pada keesokan harinya, yaitu pada pagi hari

segera setelah bangun tidur.

c. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita mengantarkan dahak pagi ke

tempat pengobatan.

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen

dahak SPS hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan

pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS

diulang. Bila hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis

menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak mendukung TBC,

maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan, maka

dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur. Pemeriksaan biakan/kultur

memerlukan waktu yang cukup lama serta tidak semua unit pelaksana

memilikinya, sehingga jarang dilakukan (Depkes RI, 2008).

Saat ini di Indonesia, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan

diagnosis TBC pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah

terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC.

Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah

terpapar dengan Mycobacterium Tuberculosis. Dilain pihak, hasil uji tuberkulin

dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis, misalnya pada

penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, TBC milier dan morbili (Depkes RI, 2008).

2.7.2. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak.

TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Diagnosis

(34)

19

dari penderita. Tetapi pada anak hal ini sangat sulit dan jarang didapat, sehingga

sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran

foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Selain melihat gejala umum TBC anak,

seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis bila mempunyai sejarah

kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif dan terdapat reaksi

kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) (Depkes RI, 2008).

a. Uji Tuberkulin (Mantoux)

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan intrakutan) dengan

semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah

tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah

penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran

dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi

baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan

adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji

tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit

sangat berat pemberian imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan

dilakukan uji ulang (Depkes RI, 2008).

b. Reaksi Cepat BCG

Saat penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan

indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium

(35)

20

c. Foto Rontgen dada

Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya

sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling

mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilus atau kelenjar

paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah milier,

atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau

paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi pleura, kalsifikasi,

bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila ada diskongruensi antara gambar

klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya

dilakukan PA (postero-anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja

(Depkes RI, 2008).

d. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan

dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA

secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi

kuman TBC dengan cara Polymery Chain Reaction (PCR) atau Bactec masih

belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis

seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih

lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis (Depkes RI, 2008).

e. Diagnosis TB anak dengan Sistem Skoring

Pada waktu menegakkan diagnosis TBC anak, semua prosedur diagnostik dapat

dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,

(36)

21

Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian

oleh Ikatan Dokter Anak Indoneisa (IDAI), Kemenkes dan didukung oleh WHO

dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis

TBC anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini

membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis

maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat

mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:

parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TBC menular mempunyai

nilai tertinggi yaitu 3, uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk

menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring, pasien

dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.

Diagnosis TB Anak ditegakkan oleh Dokter. Jika dijumpai skrofulderma, maka

langsung didiagnosis TBC. Setelah dinyatakan sebagai pasien TBC anak dan

diberikan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan pemantauan

hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon

klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila

didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke

(37)

22

Tabel 1. Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TBC di Fasyankes

Faktor risiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan suatu

risiko dalam hal ini penyakit tertentu. Faktor risiko di sebut juga faktor penentu,

yaitu menentukan seberapa besar kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit.

Faktor penentu kadang-kadang juga terkait dengan peningkatan dan penurunan

risiko terserang suatu penyakit. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam

(38)

23

2.8.1. Faktor Predisposisi

a. Umur.

Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak dan pada

usia remaja. Kejadian infeksi TBC pada anak usia dibawah 5 tahun mempunyai

risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Di Indonesia diperkirakan 75%

penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes,

2008).

b. Pendidikan dan Pengetahuan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang

diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan

penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang

akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat (Lina, 2009).

c. Perilaku

Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah perilaku yang

mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular kuman

TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk

atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur

ataupun bantal. Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

Pengetahuan penderita TBC Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan

cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang

sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang disekelilingnya

(39)

24

d. Imunisasi

Proses terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh faktor imunitas seseorang.

Anak merupakan kelompok rentan untuk menderita tuberkulosis, oleh karena itu

diberikan perlindungan terhadap infeksi kuman tuberkulosis berupa pemberian

vaksinasi BCG pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Pemberian vaksinasi

BCG belum menjamin 100% seseorang tidak akan terkena infeksi TBC namun

setidaknya dapat menghindarkan terjadinya TBC berat pada anak (Misnadiarly,

2006).

e. Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian

TBC Paru, tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lainnya seperti

ada tidaknya kuman TBC pada paru. Kuman TBC merupakan kuman yang dapat

“tidur” bertahun-tahun dan apabila memiliki kesempatan “bangun” dan

menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian penyakit TBC Paru. Oleh sebab

itu salah satu upaya menangkalnya adalah dengan status gizi yang baik (Achmadi,

2005).

f. Kontak Penderita

Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada orang

disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Semakin

sering seseorang melakukan kontak dengan penderita BTA positif maka semakin

besar pula risiko untuk tertular kuman tuberkulosis, apalagi ditunjang dengan

(40)

25

g. Status Sosial Ekonomi

WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang kelompok

sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara langsung

namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi

memburuk, perumahan tidak sehat, dan ekses terhadap pelayanan kesehana juga

menurun kemampuannya. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan

kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TBC Paru.

Menurut perhitungan rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai empat bulan

waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara

total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2005).

2.8.2. Faktor Pendukung

a. Kepadatan Hunian

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam

m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum

10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang.

Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur

yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak

dihuni oleh lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2

tahun (Depkes RI, 2001).

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,

(41)

26

penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab

disamping menyebabkankurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota

keluarga terkena penakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota

keluarga yang lain ( Notoatmodjo, 2003).

b. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu

banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama

cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat

yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit enyakit. Sebaliknya, terlalu

banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat

merusakkan mata (Notoatmodjo, 2003). Cahaya ini sangat penting karena dapat

membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, seperti basil TBC, karena itu

sangat penting rumah untuk mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

c. Ventilasi dan Kelembaban Udara

Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran udara

didalam rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang

diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi juga

menyebabkan kelembaban di dalam ruangan meningkat. Kelembaban ini akan

menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/bakteri

penyebab penyakit, misalnya kuman TBC. Kuman TBC Paru akan cepat mati bila

terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam

(42)

27

2.8.3. Faktor Pendorong

a. Ketinggian Wilayah

Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap

kenaikan 100 meter, selisih udara dengan permukaan air laut sebesar 0,5 oC.

Selain itu berkaitan juga dengan kerapatan oksigen, mycobacterium tiberculosis

sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan pegunungan akan mempengaruhi

viabilitas kuman TBC (Achmadi, 2005).

Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko penularan TBC pada anak yang

paling mendasar tergantung dari:

a. Tingkat penularan

Faktor risiko infeksi TBC anak salah satunya dipengaruhi oleh tingkat penularan

(derajat sputum BTA). Pasien TBC dewasa dengan BTA positif memberikan

kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pada pasien TBC dengan BTA

negatif, meskipun masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC.

Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif

dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur

negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2013).

b. Lamanya kontak

Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TBC paru dewasa dan

orang dewasa yang menderita TBC paru dengan kavitas (lubang pada paru-paru).

Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk,

(43)

28

pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang

disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering

berkunjung dan sering berinteraksi langsung (Kemenkes RI, 2013).

c. Daya tahan tubuh anak.

Menurut WHO (1999), pencetus infeksi TBC anak yang berat adalah daya tahan

tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC menjadi

sakit TBC. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh

seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic)

seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

bisa mengakibatkan kematian. Kekurangan gizi pada seseorang juga akan

berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik

terhadap penyakit.

TBC menyebabkan keadaaan gizi anak memburuk dan merupakan salah satu

penyebab lingkaran sebab akibat dari kurang gizi dan infeksi. Pemenuhan gizi

yang seimbang berkorelasi langsung dengan pembentukan sistem imun tubuh

anak. Makin baik gizinya, makin baik pula imunitas tubuhnya. Berat badan adalah

salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat

sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena infeksi.

Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur digunakan

(44)

29

2.9. Pengobatan Penderita Tuberkulosis

Tujuan pemberian pengobatan menurut Kemenkes RI (2013) adalah:

menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien,

mencegah kematian akibat TBC aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan

TBC, menurunkan tingkat penularan TBC kepada orang lain, mencegah

perkembangan dan penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT).

Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol

(E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap

intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap

hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar

penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman

persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

(45)

30

Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat

kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat

dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan

OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai

selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket

kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,

Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini

disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang

mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 2. Paduan OAT

Kategori Rumus Indikasi Tahap intensif Tahap lanjutan

I 2HRZE/

4H3R3

• Penderita baru TB paru BTA

positif.

setelah putus berobat (default)

Satu bulan

Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita

(46)

31

dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat

sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan (Depkes, 2008).

2.9.1. Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi

minimal tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk

membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada

anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman

juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan TBC

pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama dua bulan pertama.

Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat, tergantung hasil

pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap Lanjutan, selama

4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat

ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk

mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak

diminum setiap hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik

pulmonal maupun ekstra pulmonal seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC

tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus

TBC tertentu yaitu TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis TBC, TBC

endobronkial, meningitis TBC, dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid

(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis

(47)

2-32

4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang

sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan

mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat:

2HRZ/4HR dan kategori anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR. Paduan

OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis

Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat

dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini

dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus

disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan

pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel 3. Dosis kombinasi pada TB anak Berat badan

Cat: BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa Sumber: Kemenkes RI, 2013

2.10. Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas

Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas

menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah Program

(48)

33

Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada

tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi

DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi

DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK)

terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar

(Depkes RI, 2008).

Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah penemuan

dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC tipe

menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC dan dengan demikian

menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan

penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TBC. WHO

telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan

TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu

intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan

dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2008).

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:

a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.

b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat

(49)

34

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian

terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

2.11. Pencegahan Tuberkulosis

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara:

a. Terapi pencegahan.

b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah

penularan.

c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk meningkatkan

daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis.

Pemberian proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak dengan

pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan

tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.

Terapi pencegahan:

Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang

digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg BB

Gambar

Gambaran -
Tabel 2. Paduan OAT
Tabel 3. Dosis kombinasi pada TB anak

Referensi

Dokumen terkait

Tinggi letak tongkol tertinggi pada pemupuk- an N 400 kg/ha dicapai oleh varietas lokal B Ku- ning, Lamuru, dan galur X01904 serta yang teren- dah dicapai oleh

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa penggunaan media pembelajaran fisika dengan e-learning berbasis Edmodo Blog Education pada materi pokok Alat Optik, sangat kuat untuk

Dwi Rahmawati, Tanggung Jawab Wanita Karir terhadap Pendidikan Agama Anak dalam Perspektif Islam.. (Tulungagung: Skripsi tidak diterbitkan,

Pada daerah HAZ dari ketiga sampel spesimen pengujian dengan variasi arus 70 A, 90 A dan 110 A struktur yang terbentuk berupa butiran austenit yang relatif lebih

data yang akan dijadikan sebagai bahan laporan yaitu dari mana data itu diperoleh,. sehingga peneliti akan lebih mudah untuk mengetahui masalah yang

Saat ini menjalani isolasi mandiri dalam pengawasan RSUD Sumbawa dan Puskesmas Unit I Labuhan

bahwa orang dengan pendidikan yang cukup tentang orang dengan gangguan jiwa.. juga masih memiliki stereotipe negatif terhadap orang dengan gangguan

Pejabat Pengadaan Kegiatan Penyelenggaraan Penyehatan Lingkungan, Program Upaya Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan Kota Magelang Tahun Anggaran 2012