• Tidak ada hasil yang ditemukan

LUPUS CEREBRAL PADA PASIEN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) : SEBUAH LAPORAN KASUS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "LUPUS CEREBRAL PADA PASIEN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) : SEBUAH LAPORAN KASUS."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LUPUS

CEREBRAL

PADA PASIEN

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS

(SLE) :

SEBUAH LAPORAN KASUS

Bambang Tutuko

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Pendahuluan:

SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai

negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara

2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina,

dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua

usia, tetapi paling banyak pada usia 14 – 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita

dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang

disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 – 1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan antara

tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.

Kasus:

Pasien perempuan, berusia 43 tahun, Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD

dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan

dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD

RSUD Tabanan Pasien memiliki riwayat panas badan hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan

berat badan yang berangsur-angsur, dan penurunan nafsu makan. Pasien menyangkal dirinya merasa

nyeri pada badan, tulang, ngilu pada sendi. Pasien mengaku wajahnya terasa gatal dan dirasakan

memerah lalu mulai berubah warna menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah dirasakan

mengikuti panas badan. Pasien juga mengaku dirinya sering merasa silau ketika membantu suami di

sawah saat berada di bawah terik matahari.

Kata Kunci:

penyakit reumatik, SLE, Lupus Cerebral.

LUPUS CEREBRAL IN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) PATIENT

ABSTRACT

Introduction:

SLE was one of the major rheumatic diseases in the world. The prevalence of SLE in

different countries varies greatly. The prevalence of the various different populations varies between

2.9 / 100000-400 / 100,000. SLE is more common in certain races like the Negro nation, China, and

possibly also the Philippines. There is also a familial tendency. This disease can be found at any age,

but most at the age of 14-40 years (reproductive period). The frequency in women than in men with

a frequency range from 9: 1. In the drug-induced lupus erythematosus (drug-induced LE), this ratio is

lower, which is 3: 2. Incidence in Yogyakarta between the years 1983 - 1986 was 10.1 per 10,000

treatments. In the field between the years 1984 - 1986 found an incidence of 1.4 per 10,000

treatments.

(2)

and reddened felt following the body heat. Patients were also admitted he often felt the glare while

helping her husband in the fields while in the sun.

Keywords:

rheumatic disease, SLE, lupus Cerebral.

PENDAHULUAN

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi

salah satu penyakit reumatik utama di dunia.

1,2

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat

bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang

berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 –

400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras

tertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin

juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial.

Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi

distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan

pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 14

– 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada

wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria

berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang

disebabkan obat

(drug induced LE)

, rasio ini lebih

rendah, yaitu 3:2.

1

Beberapa data yang ada di Indonesia

diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit.

Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Dr

Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan

penelitian pada periode yang berbeda diperoleh

data sebagai berikut: antara tahun 1969 – 1970

ditemukan 5 kasus SLE: selama periode 5 tahun

(1972 – 1976) ditemukan 1 kasus LES dari setiap

666 kasus yang dirawat (insiden sebesar 15 per

10.000 perawatan): antara tahun 1988 – 1990 (3

tahun) insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per

10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan

kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut

kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan

kriteria ARA yang telah diperbaiki.

1

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 –

1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan

antara tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi

sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.

2

KASUS

Pasien perempuan, berusia 43 tahun,

Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD

dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam

sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan

dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh

menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD

RSUD Tabanan. GCS saat datang E2V2M4.

Pasien memiliki riwayat panas badan

hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan berat

badan yang berangsur-angsur, dan penurunan

nafsu makan.

Pasien mengatakan dirinya berulang kali

merasa panas badan mendadak tetapi sering

sembuh dengan pemberian Paracetamol yang

dibeli sendiri. Terkadang panas tidak turun

sehingga pasien berobat ke klinik.

Pasien menyangkal dirinya merasa nyeri

pada badan, tulang, ngilu pada sendi.

Pasien mengaku wajahnya terasa gatal

dan dirasakan memerah lalu mulai berubah warna

menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah

dirasakan mengikuti panas badan. Pasien juga

mengaku dirinya sering merasa silau ketika

membantu suami di sawah saat berada di bawah

terik matahari. Pasien mengaku rambutnya sering

rontok lalu menggunakan obat rambut berupa

sampo untuk menangani kerontokannya.

Dari keluarga pasien dikatakan bahwa

pasien sering mengeluh nyeri ketika berkemih,

merasa ingin kecing namun urin keluar sedikit

bahkan tidak ada.

Pasien sering merasa nyeri pada ulu hati.

Pertama datang dengan muntah darah. Pasien

mengaku keluhan bertambah parah jika ia makan

sehingga pasien memilih hanya minum air dan saat

lapar terpaksa makan bubur. Saat ini pasien hanya

merasa mual dan tidak ada muntah.

Keluhan buang air besar hitam pada saat

pasien pertama kali datang. Saat diperiksa, pasien

mengaku belum pernah buang air besar lagi.

(3)

kejang dikatakan bengong dan pasien setengah

sadar.

Riwayat pusing satu hari sebelum masuk

rumah sakit. Pasien memiliki riwayat opname dan

baru pulang 2 hari sebelum datang ke UGD karena

SLE dan pansitopenia. Pasien memiliki riwayat

terdiagnosis SLE sejak 1 tahun yang lalu di RSUP

Sanglah Denpasar. Pasien pernah dirawat di RSUD

Tabanan 6 bulan yang lalu karena keluhan kejang.

Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat

maupun makanan. Riwayat asma, kencing manis,

hipertensi, dan stroke disangkal oleh pasien. Tidak

ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga

pasien.

Pasien sempat meminum Paracetamol jika

timbul keluhan panas badan. Meminum

Lanzoprazole 1 x 1 tab dan Sucralfat 3 x 1 sendok

makan untuk mual perut. Serta metilprednisolon

untuk pengobatan SLE.

Dari riwayat sosial, pasien merupakan

seorang petani dan sering berada di sawah sambil

membantu suami bekerja.

Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak

sakit sedang, kesadaran kompos mentis, Tekanan

darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi

20 kali/menit, suhu aksila 36,6 °C, tinggi badan 160

cm, berat badan 50 kg, BMI 19,5 kg/m

2

.

[image:3.612.114.294.488.708.2]

Pada pemeriksaan generalis, pada wajah

pasien tampak ruam pada hidung serta pipi kiri dan

kanan. Jantung dan paru dalam batas normal.

Tungkai hangat dan tidak ada edema.

Gambar 1

CT scan (Dokumentasi Penulis)

Pada pemeriksaan penunjang darah

lengkap, didapatkan hasil WBC 4,9 10

3

/μL

(rendah), RBC 3,45 10

6

/μL (rendah), hemoglobin

11,8 g/dL (rendah), hematocrit 35,0 % (rendah),

MCV 101 fL (tinggi), MCH 34,1 Pg (tinggi), Platelet

85,2 10

3

/μL.

Pada hasil kimia darah, didapatkan hasil

SGOT 41 U/L, SGPT 54 U/L, BUN 45 mg/dL,

Creatinin 0,8 mg/dL, Natrium 133 mmol/L

(rendah), 4,1 mmol/L, glukosa darah acak 86

mg/dL, dan albumin 3 gr/dL (rendah).

Pasien didiagnosis dengan lupus serebral

+ observasi hematemesis dan melena et causa

peptic ulcer + systemic lupus eritematosus +

trombositopenia.

Pasien ditata laksana rawat inap dengan

infus Ringer Laktat 20 tetes per menit, Paracetamol

2 x 500mg jika demam, Antasida 3 x 1 sendok

makan, Lanzoprazole 2 x 40 mg intra vena,

Sucralfat 3 x 1 sendok makan, metilprednisolon 2 x

126 mg, diazepam 5mg bila kejang, dan Brain act 2

x 500 mg. selanjutnya diobservasi tanda vital serta

keluhan lainnya.

DISKUSI

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau

lebih dikenal dengan nama

Systemic Lupus

Erythematosus

(SLE) merupakan penyakit kronis

progresif autoimun yang ditandai oleh produksi

antibodi terhadap komponen-komponen inti sel

yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang

luas. Etiologinya tidak jelas, diduga berhbungan

dengan gen respon imun spesifik pada kompleks

histokompatibilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2

dan HLA-DR3.

1,3

Faktor genetik memegang peranan

penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit.

Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat

dekat

(first degree relative)

yang juga menderita

SLE.

4
(4)

Autoantibodi yang terbentuk ditujukan

terhadap antigen yang terutama terletak pada

nukleoplasma. Ciri khas autoantigen ini ialah

mereka tidak

tissue-spesific

dan merupakan

komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini

secara bersama-sama disebut ANA (

anti nuclar

antibody

). Dengan antigen yang spesific, ANA

membentuk kompleks imun yang beredar dalam

sirkulasi. Gangguan ini menyebabkan terbentuknya

deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap

pada berbagai macam organ dengan akibat

terjadinya fiksasi komplomen pada organ tersebut

sehingga timbul reaksi radang yang menyebabkan

terjadinya keluhan seperti pada ginjal, sendi,

pleura, pleksus, koroideus, kulit dan sebagainya.

1,5

Gejala klinis SLE sangat bervariasi, tidak

ada gejala yang spesifik yang dipakai dalam

diagnosis.

3

Beberapa penyakit atau kondisi di

bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat

gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes

laboratorium yang serupa, yaitu:

6

Undifferentiated

connective tissue disease

,,

Sindroma

Sjogren

,

Sindroma

antibodi

antifosfolipid

(APS),

Fibromialgia

(ANA

positif),

Purpura

trombositopenik idiopatik, Lupus imbas obat,

Artritis reumatoid dini, Vaskulitis.

Penyakit SLE dapat ringan atau berat

sampai mengancam nyawa.

7

Kriteria untuk

dikatakan SLE ringan adalah: Secara klinis tenang,

tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam

nyawa, fungsi organ normal atau stabil, yaitu:

ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan

saraf pusat, sendi, hematologi, dan kulit,7 Tidak

ditemukan tanda efek samping atau toksisitas

pengobatan.

7

Penegakan diagnosis dengan 4 dari 11

kriteria yang terjadi bersamaan maupun tidak

bersamaan. Antara lain (1) ruam malar; (2) ruam

discoid; (3) fotosensitifitas; (4) ulkus mulut; (5)

arthritis non-erosif; (6) pleuritis atau perikarditis;

(7) gangguan renal; (8) gangguan neurologi; (9)

gangguan hematologi; (10) gangguan imunologik;

(11) hasil pemeriksaan

antinuclear antibody

positif.

Diagnosis SLE (sensitifitas 85% dan

spesifisitas 95%) bila dijumpai 4 atau lebih kriteria

di atas terjadi secara bersamaan atau tidak

bersamaan. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin

SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan

klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA

positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.

4

Pada pasien ini ditemukan ruam malar,

fotosensitif, gangguan neurologi berupa kejang,

gangguan hematologi berupa leucopenia dan

trombositopenia pada dua kali pemeriksaan. Tidak

dilakukan

antinuclear antibody

(ANA)

test

pada

pasien ini. Memenuhi 4 kriteria sudah dapat

menegakkan diagnosis SLE.

Pasien dikategorikan menderita SLE berat

dan mengancam nyawa karena terdapat gejala

kejang-kejang, trombositopenia (trombosit <

100.000/mm

2

, riwayat demam tinggi tanpa adanya

bukti infeksi.

7

Perjalanan penyakit dan efek pengobatan

memerlukan pemantauan yang tepat dan

dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE.

8

Baik

untuk SLE ringan

atau sedang dan berat,

diperlukan gabungan strategi pengobatan yang

disebut pilar pengobatan yang dilakukan secara

bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan

pengobatan tercapai.

1,3,5

Terutama pada penderita dengan febris,

keluhan sendi dan nyeri otot. Dapat diberikan

Aspirin 3 x 500mg peroral sehari atau OAINS

lainnya. Paracetamol 3 x 500mg tidak lebih dari

4000mg/hari.

9

Pada pasien ini diberikan terapi

medikamentosa dengan steroid metilprednisolon

dan simptompatik paracetamol, lanzoprazole,

sucralfat, diazepam,. Serta pemberian citicolin.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir Yoga I, Setiyohadi B.

Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI; 2006. p. 1214-21.

2.

Siregar FA. Epidemiologi Lupus Eritematosus

Sistemik di Indonesia. Sumatera Utara : FKM

Universitas Sumatera Utara [diunduh Mei

2010].

Dalam

:

library/usuacid/

download/fkmfazidah3.com

3.

Kristina, Isminah, Wulandari L. Lupus

Eritematosus Sistemik. Jakarta : Depkes

[diunduh Mei 2010]. Dalam : litbang.

depkes.go.id/maskes/lupuseritematosussistemi

k1.com

(5)

Lab/SMF Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah ;

1994. p.113-121.

5.

Suseno U, Rosita R, Lebang Y, Pohan HT,

Suhendro. Pedoman Tata Laksana Klinis Lupus

Eritematosus Sistemik Sarana Pelayanan

Kesehatan. Jakarta : Direktorat Depkes RI; 2005.

6.

Hadinegoro, Satari HI. Lupus Eritematosus

Sistemik : Naskah Lengkap Pelatihan bagi

Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam

Tatalaksana Kasus LES. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI ; 2000.

7.

Arif M, Suprohaita, Wahyu IW, Setiowulan W.

Kapita Selekta Kedokteran FK UI Jilid II. Edisi III.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001 p.430-1.

8.

Rani, A. Azis. Lupus Eritematosus Sistemik.

Dalam

:

Panduan

Pelayanan

Medik

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Indonesia. Jakarta ; Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.

9.

Widodo D. Lupus Eritematosus Sistemik pada

(6)

LUPUS

CEREBRAL

PADA PASIEN

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS

(SLE) :

SEBUAH LAPORAN KASUS

Bambang Tutuko

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Pendahuluan:

SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai

negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara

2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina,

dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua

usia, tetapi paling banyak pada usia 14 – 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita

dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang

disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 – 1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan antara

tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.

Kasus:

Pasien perempuan, berusia 43 tahun, Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD

dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan

dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD

RSUD Tabanan Pasien memiliki riwayat panas badan hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan

berat badan yang berangsur-angsur, dan penurunan nafsu makan. Pasien menyangkal dirinya merasa

nyeri pada badan, tulang, ngilu pada sendi. Pasien mengaku wajahnya terasa gatal dan dirasakan

memerah lalu mulai berubah warna menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah dirasakan

mengikuti panas badan. Pasien juga mengaku dirinya sering merasa silau ketika membantu suami di

sawah saat berada di bawah terik matahari.

Kata Kunci:

penyakit reumatik, SLE, Lupus Cerebral.

LUPUS CEREBRAL IN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) PATIENT

ABSTRACT

Introduction:

SLE was one of the major rheumatic diseases in the world. The prevalence of SLE in

different countries varies greatly. The prevalence of the various different populations varies between

2.9 / 100000-400 / 100,000. SLE is more common in certain races like the Negro nation, China, and

possibly also the Philippines. There is also a familial tendency. This disease can be found at any age,

but most at the age of 14-40 years (reproductive period). The frequency in women than in men with

a frequency range from 9: 1. In the drug-induced lupus erythematosus (drug-induced LE), this ratio is

lower, which is 3: 2. Incidence in Yogyakarta between the years 1983 - 1986 was 10.1 per 10,000

treatments. In the field between the years 1984 - 1986 found an incidence of 1.4 per 10,000

treatments.

(7)

and reddened felt following the body heat. Patients were also admitted he often felt the glare while

helping her husband in the fields while in the sun.

Keywords:

rheumatic disease, SLE, lupus Cerebral.

PENDAHULUAN

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi

salah satu penyakit reumatik utama di dunia.

1,2

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat

bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang

berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 –

400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras

tertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin

juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial.

Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi

distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan

pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 14

– 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada

wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria

berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang

disebabkan obat

(drug induced LE)

, rasio ini lebih

rendah, yaitu 3:2.

1

Beberapa data yang ada di Indonesia

diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit.

Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Dr

Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan

penelitian pada periode yang berbeda diperoleh

data sebagai berikut: antara tahun 1969 – 1970

ditemukan 5 kasus SLE: selama periode 5 tahun

(1972 – 1976) ditemukan 1 kasus LES dari setiap

666 kasus yang dirawat (insiden sebesar 15 per

10.000 perawatan): antara tahun 1988 – 1990 (3

tahun) insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per

10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan

kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut

kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan

kriteria ARA yang telah diperbaiki.

1

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 –

1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan

antara tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi

sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.

2

KASUS

Pasien perempuan, berusia 43 tahun,

Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD

dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam

sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan

dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh

menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD

RSUD Tabanan. GCS saat datang E2V2M4.

Pasien memiliki riwayat panas badan

hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan berat

badan yang berangsur-angsur, dan penurunan

nafsu makan.

Pasien mengatakan dirinya berulang kali

merasa panas badan mendadak tetapi sering

sembuh dengan pemberian Paracetamol yang

dibeli sendiri. Terkadang panas tidak turun

sehingga pasien berobat ke klinik.

Pasien menyangkal dirinya merasa nyeri

pada badan, tulang, ngilu pada sendi.

Pasien mengaku wajahnya terasa gatal

dan dirasakan memerah lalu mulai berubah warna

menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah

dirasakan mengikuti panas badan. Pasien juga

mengaku dirinya sering merasa silau ketika

membantu suami di sawah saat berada di bawah

terik matahari. Pasien mengaku rambutnya sering

rontok lalu menggunakan obat rambut berupa

sampo untuk menangani kerontokannya.

Dari keluarga pasien dikatakan bahwa

pasien sering mengeluh nyeri ketika berkemih,

merasa ingin kecing namun urin keluar sedikit

bahkan tidak ada.

Pasien sering merasa nyeri pada ulu hati.

Pertama datang dengan muntah darah. Pasien

mengaku keluhan bertambah parah jika ia makan

sehingga pasien memilih hanya minum air dan saat

lapar terpaksa makan bubur. Saat ini pasien hanya

merasa mual dan tidak ada muntah.

Keluhan buang air besar hitam pada saat

pasien pertama kali datang. Saat diperiksa, pasien

mengaku belum pernah buang air besar lagi.

(8)

kejang dikatakan bengong dan pasien setengah

sadar.

Riwayat pusing satu hari sebelum masuk

rumah sakit. Pasien memiliki riwayat opname dan

baru pulang 2 hari sebelum datang ke UGD karena

SLE dan pansitopenia. Pasien memiliki riwayat

terdiagnosis SLE sejak 1 tahun yang lalu di RSUP

Sanglah Denpasar. Pasien pernah dirawat di RSUD

Tabanan 6 bulan yang lalu karena keluhan kejang.

Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat

maupun makanan. Riwayat asma, kencing manis,

hipertensi, dan stroke disangkal oleh pasien. Tidak

ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga

pasien.

Pasien sempat meminum Paracetamol jika

timbul keluhan panas badan. Meminum

Lanzoprazole 1 x 1 tab dan Sucralfat 3 x 1 sendok

makan untuk mual perut. Serta metilprednisolon

untuk pengobatan SLE.

Dari riwayat sosial, pasien merupakan

seorang petani dan sering berada di sawah sambil

membantu suami bekerja.

Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak

sakit sedang, kesadaran kompos mentis, Tekanan

darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi

20 kali/menit, suhu aksila 36,6 °C, tinggi badan 160

cm, berat badan 50 kg, BMI 19,5 kg/m

2

.

[image:8.612.114.294.488.708.2]

Pada pemeriksaan generalis, pada wajah

pasien tampak ruam pada hidung serta pipi kiri dan

kanan. Jantung dan paru dalam batas normal.

Tungkai hangat dan tidak ada edema.

Gambar 1

CT scan (Dokumentasi Penulis)

Pada pemeriksaan penunjang darah

lengkap, didapatkan hasil WBC 4,9 10

3

/μL

(rendah), RBC 3,45 10

6

/μL (rendah), hemoglobin

11,8 g/dL (rendah), hematocrit 35,0 % (rendah),

MCV 101 fL (tinggi), MCH 34,1 Pg (tinggi), Platelet

85,2 10

3

/μL.

Pada hasil kimia darah, didapatkan hasil

SGOT 41 U/L, SGPT 54 U/L, BUN 45 mg/dL,

Creatinin 0,8 mg/dL, Natrium 133 mmol/L

(rendah), 4,1 mmol/L, glukosa darah acak 86

mg/dL, dan albumin 3 gr/dL (rendah).

Pasien didiagnosis dengan lupus serebral

+ observasi hematemesis dan melena et causa

peptic ulcer + systemic lupus eritematosus +

trombositopenia.

Pasien ditata laksana rawat inap dengan

infus Ringer Laktat 20 tetes per menit, Paracetamol

2 x 500mg jika demam, Antasida 3 x 1 sendok

makan, Lanzoprazole 2 x 40 mg intra vena,

Sucralfat 3 x 1 sendok makan, metilprednisolon 2 x

126 mg, diazepam 5mg bila kejang, dan Brain act 2

x 500 mg. selanjutnya diobservasi tanda vital serta

keluhan lainnya.

DISKUSI

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau

lebih dikenal dengan nama

Systemic Lupus

Erythematosus

(SLE) merupakan penyakit kronis

progresif autoimun yang ditandai oleh produksi

antibodi terhadap komponen-komponen inti sel

yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang

luas. Etiologinya tidak jelas, diduga berhbungan

dengan gen respon imun spesifik pada kompleks

histokompatibilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2

dan HLA-DR3.

1,3

Faktor genetik memegang peranan

penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit.

Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat

dekat

(first degree relative)

yang juga menderita

SLE.

4
(9)

Autoantibodi yang terbentuk ditujukan

terhadap antigen yang terutama terletak pada

nukleoplasma. Ciri khas autoantigen ini ialah

mereka tidak

tissue-spesific

dan merupakan

komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini

secara bersama-sama disebut ANA (

anti nuclar

antibody

). Dengan antigen yang spesific, ANA

membentuk kompleks imun yang beredar dalam

sirkulasi. Gangguan ini menyebabkan terbentuknya

deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap

pada berbagai macam organ dengan akibat

terjadinya fiksasi komplomen pada organ tersebut

sehingga timbul reaksi radang yang menyebabkan

terjadinya keluhan seperti pada ginjal, sendi,

pleura, pleksus, koroideus, kulit dan sebagainya.

1,5

Gejala klinis SLE sangat bervariasi, tidak

ada gejala yang spesifik yang dipakai dalam

diagnosis.

3

Beberapa penyakit atau kondisi di

bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat

gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes

laboratorium yang serupa, yaitu:

6

Undifferentiated

connective tissue disease

,,

Sindroma

Sjogren

,

Sindroma

antibodi

antifosfolipid

(APS),

Fibromialgia

(ANA

positif),

Purpura

trombositopenik idiopatik, Lupus imbas obat,

Artritis reumatoid dini, Vaskulitis.

Penyakit SLE dapat ringan atau berat

sampai mengancam nyawa.

7

Kriteria untuk

dikatakan SLE ringan adalah: Secara klinis tenang,

tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam

nyawa, fungsi organ normal atau stabil, yaitu:

ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan

saraf pusat, sendi, hematologi, dan kulit,7 Tidak

ditemukan tanda efek samping atau toksisitas

pengobatan.

7

Penegakan diagnosis dengan 4 dari 11

kriteria yang terjadi bersamaan maupun tidak

bersamaan. Antara lain (1) ruam malar; (2) ruam

discoid; (3) fotosensitifitas; (4) ulkus mulut; (5)

arthritis non-erosif; (6) pleuritis atau perikarditis;

(7) gangguan renal; (8) gangguan neurologi; (9)

gangguan hematologi; (10) gangguan imunologik;

(11) hasil pemeriksaan

antinuclear antibody

positif.

Diagnosis SLE (sensitifitas 85% dan

spesifisitas 95%) bila dijumpai 4 atau lebih kriteria

di atas terjadi secara bersamaan atau tidak

bersamaan. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin

SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan

klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA

positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.

4

Pada pasien ini ditemukan ruam malar,

fotosensitif, gangguan neurologi berupa kejang,

gangguan hematologi berupa leucopenia dan

trombositopenia pada dua kali pemeriksaan. Tidak

dilakukan

antinuclear antibody

(ANA)

test

pada

pasien ini. Memenuhi 4 kriteria sudah dapat

menegakkan diagnosis SLE.

Pasien dikategorikan menderita SLE berat

dan mengancam nyawa karena terdapat gejala

kejang-kejang, trombositopenia (trombosit <

100.000/mm

2

, riwayat demam tinggi tanpa adanya

bukti infeksi.

7

Perjalanan penyakit dan efek pengobatan

memerlukan pemantauan yang tepat dan

dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE.

8

Baik

untuk SLE ringan

atau sedang dan berat,

diperlukan gabungan strategi pengobatan yang

disebut pilar pengobatan yang dilakukan secara

bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan

pengobatan tercapai.

1,3,5

Terutama pada penderita dengan febris,

keluhan sendi dan nyeri otot. Dapat diberikan

Aspirin 3 x 500mg peroral sehari atau OAINS

lainnya. Paracetamol 3 x 500mg tidak lebih dari

4000mg/hari.

9

Pada pasien ini diberikan terapi

medikamentosa dengan steroid metilprednisolon

dan simptompatik paracetamol, lanzoprazole,

sucralfat, diazepam,. Serta pemberian citicolin.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir Yoga I, Setiyohadi B.

Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI; 2006. p. 1214-21.

2.

Siregar FA. Epidemiologi Lupus Eritematosus

Sistemik di Indonesia. Sumatera Utara : FKM

Universitas Sumatera Utara [diunduh Mei

2010].

Dalam

:

library/usuacid/

download/fkmfazidah3.com

3.

Kristina, Isminah, Wulandari L. Lupus

Eritematosus Sistemik. Jakarta : Depkes

[diunduh Mei 2010]. Dalam : litbang.

depkes.go.id/maskes/lupuseritematosussistemi

k1.com

(10)

Lab/SMF Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah ;

1994. p.113-121.

5.

Suseno U, Rosita R, Lebang Y, Pohan HT,

Suhendro. Pedoman Tata Laksana Klinis Lupus

Eritematosus Sistemik Sarana Pelayanan

Kesehatan. Jakarta : Direktorat Depkes RI; 2005.

6.

Hadinegoro, Satari HI. Lupus Eritematosus

Sistemik : Naskah Lengkap Pelatihan bagi

Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam

Tatalaksana Kasus LES. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI ; 2000.

7.

Arif M, Suprohaita, Wahyu IW, Setiowulan W.

Kapita Selekta Kedokteran FK UI Jilid II. Edisi III.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001 p.430-1.

8.

Rani, A. Azis. Lupus Eritematosus Sistemik.

Dalam

:

Panduan

Pelayanan

Medik

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Indonesia. Jakarta ; Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.

9.

Widodo D. Lupus Eritematosus Sistemik pada

(11)

LUPUS

CEREBRAL

PADA PASIEN

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS

(SLE) :

SEBUAH LAPORAN KASUS

Bambang Tutuko

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Pendahuluan:

SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai

negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara

2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina,

dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua

usia, tetapi paling banyak pada usia 14 – 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita

dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang

disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 – 1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan antara

tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.

Kasus:

Pasien perempuan, berusia 43 tahun, Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD

dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan

dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD

RSUD Tabanan Pasien memiliki riwayat panas badan hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan

berat badan yang berangsur-angsur, dan penurunan nafsu makan. Pasien menyangkal dirinya merasa

nyeri pada badan, tulang, ngilu pada sendi. Pasien mengaku wajahnya terasa gatal dan dirasakan

memerah lalu mulai berubah warna menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah dirasakan

mengikuti panas badan. Pasien juga mengaku dirinya sering merasa silau ketika membantu suami di

sawah saat berada di bawah terik matahari.

Kata Kunci:

penyakit reumatik, SLE, Lupus Cerebral.

LUPUS CEREBRAL IN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) PATIENT

ABSTRACT

Introduction:

SLE was one of the major rheumatic diseases in the world. The prevalence of SLE in

different countries varies greatly. The prevalence of the various different populations varies between

2.9 / 100000-400 / 100,000. SLE is more common in certain races like the Negro nation, China, and

possibly also the Philippines. There is also a familial tendency. This disease can be found at any age,

but most at the age of 14-40 years (reproductive period). The frequency in women than in men with

a frequency range from 9: 1. In the drug-induced lupus erythematosus (drug-induced LE), this ratio is

lower, which is 3: 2. Incidence in Yogyakarta between the years 1983 - 1986 was 10.1 per 10,000

treatments. In the field between the years 1984 - 1986 found an incidence of 1.4 per 10,000

treatments.

(12)

and reddened felt following the body heat. Patients were also admitted he often felt the glare while

helping her husband in the fields while in the sun.

Keywords:

rheumatic disease, SLE, lupus Cerebral.

PENDAHULUAN

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi

salah satu penyakit reumatik utama di dunia.

1,2

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat

bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang

berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 –

400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras

tertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin

juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial.

Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi

distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan

pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 14

– 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada

wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria

berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang

disebabkan obat

(drug induced LE)

, rasio ini lebih

rendah, yaitu 3:2.

1

Beberapa data yang ada di Indonesia

diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit.

Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Dr

Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan

penelitian pada periode yang berbeda diperoleh

data sebagai berikut: antara tahun 1969 – 1970

ditemukan 5 kasus SLE: selama periode 5 tahun

(1972 – 1976) ditemukan 1 kasus LES dari setiap

666 kasus yang dirawat (insiden sebesar 15 per

10.000 perawatan): antara tahun 1988 – 1990 (3

tahun) insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per

10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan

kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut

kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan

kriteria ARA yang telah diperbaiki.

1

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 –

1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan

antara tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi

sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.

2

KASUS

Pasien perempuan, berusia 43 tahun,

Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD

dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam

sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan

dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh

menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD

RSUD Tabanan. GCS saat datang E2V2M4.

Pasien memiliki riwayat panas badan

hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan berat

badan yang berangsur-angsur, dan penurunan

nafsu makan.

Pasien mengatakan dirinya berulang kali

merasa panas badan mendadak tetapi sering

sembuh dengan pemberian Paracetamol yang

dibeli sendiri. Terkadang panas tidak turun

sehingga pasien berobat ke klinik.

Pasien menyangkal dirinya merasa nyeri

pada badan, tulang, ngilu pada sendi.

Pasien mengaku wajahnya terasa gatal

dan dirasakan memerah lalu mulai berubah warna

menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah

dirasakan mengikuti panas badan. Pasien juga

mengaku dirinya sering merasa silau ketika

membantu suami di sawah saat berada di bawah

terik matahari. Pasien mengaku rambutnya sering

rontok lalu menggunakan obat rambut berupa

sampo untuk menangani kerontokannya.

Dari keluarga pasien dikatakan bahwa

pasien sering mengeluh nyeri ketika berkemih,

merasa ingin kecing namun urin keluar sedikit

bahkan tidak ada.

Pasien sering merasa nyeri pada ulu hati.

Pertama datang dengan muntah darah. Pasien

mengaku keluhan bertambah parah jika ia makan

sehingga pasien memilih hanya minum air dan saat

lapar terpaksa makan bubur. Saat ini pasien hanya

merasa mual dan tidak ada muntah.

Keluhan buang air besar hitam pada saat

pasien pertama kali datang. Saat diperiksa, pasien

mengaku belum pernah buang air besar lagi.

(13)

kejang dikatakan bengong dan pasien setengah

sadar.

Riwayat pusing satu hari sebelum masuk

rumah sakit. Pasien memiliki riwayat opname dan

baru pulang 2 hari sebelum datang ke UGD karena

SLE dan pansitopenia. Pasien memiliki riwayat

terdiagnosis SLE sejak 1 tahun yang lalu di RSUP

Sanglah Denpasar. Pasien pernah dirawat di RSUD

Tabanan 6 bulan yang lalu karena keluhan kejang.

Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat

maupun makanan. Riwayat asma, kencing manis,

hipertensi, dan stroke disangkal oleh pasien. Tidak

ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga

pasien.

Pasien sempat meminum Paracetamol jika

timbul keluhan panas badan. Meminum

Lanzoprazole 1 x 1 tab dan Sucralfat 3 x 1 sendok

makan untuk mual perut. Serta metilprednisolon

untuk pengobatan SLE.

Dari riwayat sosial, pasien merupakan

seorang petani dan sering berada di sawah sambil

membantu suami bekerja.

Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak

sakit sedang, kesadaran kompos mentis, Tekanan

darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi

20 kali/menit, suhu aksila 36,6 °C, tinggi badan 160

cm, berat badan 50 kg, BMI 19,5 kg/m

2

.

[image:13.612.114.294.488.708.2]

Pada pemeriksaan generalis, pada wajah

pasien tampak ruam pada hidung serta pipi kiri dan

kanan. Jantung dan paru dalam batas normal.

Tungkai hangat dan tidak ada edema.

Gambar 1

CT scan (Dokumentasi Penulis)

Pada pemeriksaan penunjang darah

lengkap, didapatkan hasil WBC 4,9 10

3

/μL

(rendah), RBC 3,45 10

6

/μL (rendah), hemoglobin

11,8 g/dL (rendah), hematocrit 35,0 % (rendah),

MCV 101 fL (tinggi), MCH 34,1 Pg (tinggi), Platelet

85,2 10

3

/μL.

Pada hasil kimia darah, didapatkan hasil

SGOT 41 U/L, SGPT 54 U/L, BUN 45 mg/dL,

Creatinin 0,8 mg/dL, Natrium 133 mmol/L

(rendah), 4,1 mmol/L, glukosa darah acak 86

mg/dL, dan albumin 3 gr/dL (rendah).

Pasien didiagnosis dengan lupus serebral

+ observasi hematemesis dan melena et causa

peptic ulcer + systemic lupus eritematosus +

trombositopenia.

Pasien ditata laksana rawat inap dengan

infus Ringer Laktat 20 tetes per menit, Paracetamol

2 x 500mg jika demam, Antasida 3 x 1 sendok

makan, Lanzoprazole 2 x 40 mg intra vena,

Sucralfat 3 x 1 sendok makan, metilprednisolon 2 x

126 mg, diazepam 5mg bila kejang, dan Brain act 2

x 500 mg. selanjutnya diobservasi tanda vital serta

keluhan lainnya.

DISKUSI

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau

lebih dikenal dengan nama

Systemic Lupus

Erythematosus

(SLE) merupakan penyakit kronis

progresif autoimun yang ditandai oleh produksi

antibodi terhadap komponen-komponen inti sel

yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang

luas. Etiologinya tidak jelas, diduga berhbungan

dengan gen respon imun spesifik pada kompleks

histokompatibilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2

dan HLA-DR3.

1,3

Faktor genetik memegang peranan

penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit.

Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat

dekat

(first degree relative)

yang juga menderita

SLE.

4
(14)

Autoantibodi yang terbentuk ditujukan

terhadap antigen yang terutama terletak pada

nukleoplasma. Ciri khas autoantigen ini ialah

mereka tidak

tissue-spesific

dan merupakan

komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini

secara bersama-sama disebut ANA (

anti nuclar

antibody

). Dengan antigen yang spesific, ANA

membentuk kompleks imun yang beredar dalam

sirkulasi. Gangguan ini menyebabkan terbentuknya

deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap

pada berbagai macam organ dengan akibat

terjadinya fiksasi komplomen pada organ tersebut

sehingga timbul reaksi radang yang menyebabkan

terjadinya keluhan seperti pada ginjal, sendi,

pleura, pleksus, koroideus, kulit dan sebagainya.

1,5

Gejala klinis SLE sangat bervariasi, tidak

ada gejala yang spesifik yang dipakai dalam

diagnosis.

3

Beberapa penyakit atau kondisi di

bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat

gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes

laboratorium yang serupa, yaitu:

6

Undifferentiated

connective tissue disease

,,

Sindroma

Sjogren

,

Sindroma

antibodi

antifosfolipid

(APS),

Fibromialgia

(ANA

positif),

Purpura

trombositopenik idiopatik, Lupus imbas obat,

Artritis reumatoid dini, Vaskulitis.

Penyakit SLE dapat ringan atau berat

sampai mengancam nyawa.

7

Kriteria untuk

dikatakan SLE ringan adalah: Secara klinis tenang,

tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam

nyawa, fungsi organ normal atau stabil, yaitu:

ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan

saraf pusat, sendi, hematologi, dan kulit,7 Tidak

ditemukan tanda efek samping atau toksisitas

pengobatan.

7

Penegakan diagnosis dengan 4 dari 11

kriteria yang terjadi bersamaan maupun tidak

bersamaan. Antara lain (1) ruam malar; (2) ruam

discoid; (3) fotosensitifitas; (4) ulkus mulut; (5)

arthritis non-erosif; (6) pleuritis atau perikarditis;

(7) gangguan renal; (8) gangguan neurologi; (9)

gangguan hematologi; (10) gangguan imunologik;

(11) hasil pemeriksaan

antinuclear antibody

positif.

Diagnosis SLE (sensitifitas 85% dan

spesifisitas 95%) bila dijumpai 4 atau lebih kriteria

di atas terjadi secara bersamaan atau tidak

bersamaan. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin

SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan

klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA

positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.

4

Pada pasien ini ditemukan ruam malar,

fotosensitif, gangguan neurologi berupa kejang,

gangguan hematologi berupa leucopenia dan

trombositopenia pada dua kali pemeriksaan. Tidak

dilakukan

antinuclear antibody

(ANA)

test

pada

pasien ini. Memenuhi 4 kriteria sudah dapat

menegakkan diagnosis SLE.

Pasien dikategorikan menderita SLE berat

dan mengancam nyawa karena terdapat gejala

kejang-kejang, trombositopenia (trombosit <

100.000/mm

2

, riwayat demam tinggi tanpa adanya

bukti infeksi.

7

Perjalanan penyakit dan efek pengobatan

memerlukan pemantauan yang tepat dan

dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE.

8

Baik

untuk SLE ringan

atau sedang dan berat,

diperlukan gabungan strategi pengobatan yang

disebut pilar pengobatan yang dilakukan secara

bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan

pengobatan tercapai.

1,3,5

Terutama pada penderita dengan febris,

keluhan sendi dan nyeri otot. Dapat diberikan

Aspirin 3 x 500mg peroral sehari atau OAINS

lainnya. Paracetamol 3 x 500mg tidak lebih dari

4000mg/hari.

9

Pada pasien ini diberikan terapi

medikamentosa dengan steroid metilprednisolon

dan simptompatik paracetamol, lanzoprazole,

sucralfat, diazepam,. Serta pemberian citicolin.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir Yoga I, Setiyohadi B.

Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI; 2006. p. 1214-21.

2.

Siregar FA. Epidemiologi Lupus Eritematosus

Sistemik di Indonesia. Sumatera Utara : FKM

Universitas Sumatera Utara [diunduh Mei

2010].

Dalam

:

library/usuacid/

download/fkmfazidah3.com

3.

Kristina, Isminah, Wulandari L. Lupus

Eritematosus Sistemik. Jakarta : Depkes

[diunduh Mei 2010]. Dalam : litbang.

depkes.go.id/maskes/lupuseritematosussistemi

k1.com

(15)

Lab/SMF Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah ;

1994. p.113-121.

5.

Suseno U, Rosita R, Lebang Y, Pohan HT,

Suhendro. Pedoman Tata Laksana Klinis Lupus

Eritematosus Sistemik Sarana Pelayanan

Kesehatan. Jakarta : Direktorat Depkes RI; 2005.

6.

Hadinegoro, Satari HI. Lupus Eritematosus

Sistemik : Naskah Lengkap Pelatihan bagi

Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam

Tatalaksana Kasus LES. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI ; 2000.

7.

Arif M, Suprohaita, Wahyu IW, Setiowulan W.

Kapita Selekta Kedokteran FK UI Jilid II. Edisi III.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001 p.430-1.

8.

Rani, A. Azis. Lupus Eritematosus Sistemik.

Dalam

:

Panduan

Pelayanan

Medik

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Indonesia. Jakarta ; Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.

9.

Widodo D. Lupus Eritematosus Sistemik pada

Gambar

Gambar 1 CT scan (Dokumentasi Penulis)
Gambar 1 CT scan (Dokumentasi Penulis)
Gambar 1 CT scan (Dokumentasi Penulis)

Referensi

Dokumen terkait