• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi i dan Imam Hanafi) Qurrotul Ainiyah 1 Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi i dan Imam Hanafi) Qurrotul Ainiyah 1 Abstract"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

107 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i dan Imam Hanafi)

Qurrotul Ainiyah1 Ainiyah.id@gmail.com Abstract

Talking about the position of guardian in marriage is about whether it is included in the pillar of marriage or not. This is important to know because it will affect the validity of the marriage contract. Based on the same text, between Imam Syafi'i and Imam Hanafi have different thoughts. Imam Syafi'i stated that guardian is one of the pillars of marriage that must exist and its legal requirements are met, while Imam Hanafi states that guardian is not a harmonious marriage, so its absence does not affect the validity of a marriage. This literary research tries to reveal the background and results of the thoughts of each of these Madzhab priests.

Keywords : Guardian of Marriage , Imam Syafi’i, Imam Hanafi

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah perjanjian ikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melangsungkan kehidupan sebagai suami istri, menjalani kehidupan berumah tangga, dan dapat melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum agama Islam.

Pernikahan di dalam agama Islam dapat ditinjau dari berbagai segi.

Pertama, dari segi ibadah. Pernikahan dapat dikategorikan sebagai ibadah. Sebab pernikahan merupakan ajaran agama yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an dan banyak Hadith nabi yang mengandung perintah untuk menikah. Oleh sebab itu pernikahan dapat dinilai sebagai penyempurnaan agama seseorang. Dalam salah satu Hadith, rasul pernah menghimbau agar para pemuda segera menikah jika mereka telah mampu. Rasulullah juga menegaskan bahwa nikah adalah salah satu dari sunnahnya, maka barangsiapa yang tidak suka dengan nikah dikategorikan bukan umatnya.

1 Dosen Tetap STIT al-Urwatul Wutsqo Jombang.

(2)

108 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

Kedua, dari segi hukum Islam, pernikahan merupakan perjanjian yang kuat, sebagaimana dalam QS. al-Nisa’ (4) : 21:

.ا ًظيِلَغ اًقاَثيِم ْ ُكُْنِم َن ْذَخَأَو ٍضْعَب َلَ إ ْ ُكُ ُضْعَب َضَْفَأ ْدَقَو ُهَنوُذُخْأَت َفْيَكَو ِ

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.2

Dalam pernikahan terdapat perjanjian yang teguh di antara suami dan istri. Sebagai akibat dari pernikahan, masing-masing pihak terikat oleh hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, bagi suami yang hendak memutuskan hubungan perkawinan, mereka harus melalui beberapa syarat, prosedur dan memberikan alasan-alasan kuat. Ketiga, dari segi sosial, pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling mencintai, menyayangi dan mengasihi antar sesama anggota keluarga. Keluarga adalah bagian dari masyarakat, maka anggota keluarga memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat yang harmonis, saling menyayangi dan lain sebagainya. Dengan berkeluarga, manusia akan mendapatkan keturunan, menjalin hubungan dengan sesama melalui pernikahan dan dapat berintraksi di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu Rasulullah SAW. melarang umatnya menjalani hidup kerahiban, menyendiri dengan tidak mau menikah. Sebab hal tersebut menyebabkan seseorang tidak mendapatkan keturunan, keluarga dan melenyapkan umat manusia dari muka bumi.

Syari’at pernikahan memiliki hubungan yang cukup erat dengan syari’at lainnya, semisal waris, aturan nasab, muhrim, perwalian dan lain sebagainya. Misalnya, seorang istri berhak mendapatkan harta waris dari suaminya jika sang suami meninggal dunia, dan sebaliknya. Sang ayah memiliki hak untuk menjadi wali nikah jika anaknya perempuan. Jika pernikahan tidak diatur dengan baik, maka hal-hal yang sudah dijelaskan di atas tidak dapat diketahui dan ditentukan dengan jelas dan pasti.

Mencermati keluhuran syari’at pernikahan tersebut, agama Islam telah memberikan tata aturan yang cukup jelas. Tata aturan tersebut dijelaskan dalam Islam, misalnya, rukun-rukun pernikahan adalah

2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1995),120

(3)

109 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali mempelai perempuan, sighat akad, dan 2 (dua) orang saksi. Terpenuhi tidaknya rukun-rukun pernikahan tersebut akan dapat mempengaruhi pada sah atau tidaknya suatu pernikahan. Salah satu rukun pernikahan yang masih menjadi perdebatan adalah wali bagi mempelai perempuan.

Wali secara bahasa berarti al-mahabbah (cinta kasih) dan al-nas}rah (penolong) sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Mai’dah (5) : 56,3 dan dalam QS. al-Tabah (9) : 71.4 Wali juga dapat berarti al-sult}ah (kekuasaan) dan al-qudrah (kemampuan). Wali secara istilah adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atas suatu perkara, baik laki-laki ataupun perempuan. Ketika disandarkan kepada pernikahan maka wali nikah adalah seseorang yang berhak melangsungkan akad nikah atas mempelai perempuan.5

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang berkuasa mengurus dan memelihara orang-orang yang berada di bawah perwaliannya atau perlindungannya. Wali nikah juga memiliki pengertian, seseorang yang bertindak atas nama pengantin perempuan pada saat melangsungkan pernikahan. Pada saat itu wali perempuan bertindak sebagai pihak yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. Oleh karena itu, wali dalam pernikahan memiliki tanggung jawab yang besar, sebab telah digariskan dan dikukuhkan oleh Allah dalam nas agama Islam.

Wali nikah bagi mempelai perempuan sebagai rukun dalam pernikahan Islam dipandang sebagai salah satu contoh perlakuan diskriminatif, dikarenakan adanya perlakuan yang berbeda antara laki- laki dan perempuan. Adanya persyaratan wali nikah bagi perempuan menjadikan seorang perempuan seakan tidak cakap hukum atau tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena dibatasi oleh izin sang wali, bahkan wali punya kekuasaan penuh untuk memaksa atas perempuan

3 al-Qur’an, 5: 56.

َنوُبِلاَغْلا ُمُه ِ َّللَّا َب ْز ِح َّنِإَف اوُنَمآ َنيِذَّلا َو ُهَلوُس َر َو َ َّللَّا َّل َوَتَي ْنَم َو Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allahitulah yang pasti menang

4 al-Qur’an, 9: 71.

ضْعَب ُءاَيِل ْوَأ ْمُهُضْعَب ُتاَنِم ْؤُمْلا َو َنوُنِمْؤُمْلا َو ....

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain...

5 Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasit, vol. 2 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), 1058.

(4)

110 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

yang berada dalam perwaliannya, yang dikenal dengan istilah wali mujbir. Tulisan ini meneliti tentang pandangan Imam Syafi’i dan Imam Hanafi tentang kedudukan wali dalam pernikahan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research), artinya meneliti buku-buku yang berasal dari beberapa sumber yang ada relevansinya dengan permasalahan yang diteliti dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok pembicaraan secara sistematis, faktual, dan akurat.6 Sedangkan hasil penelitiannya akan dianalisa dengan Content Analisys Methode yaitu penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam rekaman, baik gambar, suara ataupun tulisan yang bertujuan menjawab fokus yang dirumuskan dalam penelitian ini.7 Proses analisis data dalam prakteknya tidak dapat dipisah-pisahkan dengan proses pengumpulan data. Kedua kegiatan ini berjalan serempak dan dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai.

KAJIAN TEORI

A. Wali Nikah Perspektif Madzhab Shafi’i

Sebelum membahas tentang pandangan Imam Syafi’i tentang kedudukan wali dalam pernikahan, maka terlebih dahulu perlu diketahui tentang dasar pemikiran Ushul Fikih Imam Syafi’i, yaitu:

a. Didasarkan pada Syari’at Islam secara holistik, komprehensip dan universal (kully), bukan didasarkan pada Syariat secara parsial (juz’i).

b. Didasarkan pada ilmu Kalam / Teologi. Perumusan dan penetapan hukum Islam / fikih harus berdasarkan al-Qu’an dan Sunnah.

Seluruh keputusan fikih harus berangkat dari Allah melalui wahyu- Nya, dan seluruh umat Islam wajib mengamalkan keduanya.

c. Didasarkan pada kaidah-kaidah istinbath hukum lughawy (secara bahasa dan sastra Arab) dalam memahami sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dengan jalan memahami bahasa dan

6 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Urwatul Wutsqo, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jombang:

Tim Penyusun, 2015), 33.

7 M. Ikbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Methodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002), 171.

(5)

111 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

sastra Arab seseorang dapat mengetahui maqasyid al-syari’ah (tujuan pembentukan Hukum Islam), mengetahui makna dari berbagai pernyataan, baik yang berbentuk haqiqi atau majazi.

Selain itu juga untuk mengetahui dan membedakan antara bahasa yang syarih dan yang kinayah, antara yang ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, dan dapat memahami manthuq dan mafhum.

Penguasaannya di bidang ilmu Hadith juga menjadikan diri Imam Syafi’i memiliki kemampuan untuk mengetahui perihal Hadith, baik yang masih diperselisihkan (mukhtalaf) maupun Hadith yang sudah disepakati (muttafaq). Selain itu, ia juga mengetahui antara sunnah dan athar para sahabat Rasulullah SAW. Berdasarkan ilmu Hadith tersebut, imam Syafi’i mampu menetapkan posisi sunnah di hadapan al-Qur’an dan mampu menetapkan persesuaian antara Sunnah dan al-Qur’an. Berdasarkan pengetahuannya tentang perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, imam Syafi’i juga berhasil merumuskan ilmu Nasakh dan Mansukh, memahami tujuan syari’at secara umum (al-maqashid al-syari’ah al-

‘ammah) yang terkandung dalam hukum-hukum syari’at.8

Pernikahan merupakan salah satu tuntunan shari’at Islam. Hal itu dibuktikan dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berisi anjuran untuk menikah, dan melarang hidup dalam kerahiban. Pernikahan akan menjadikan kehidupan manusia di muka bumi dapat berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Nahl (16) : 72.

ُْكَُل َلَعَجَو اًجإ َوْزَأ ْ ُكُ ِسُفْنَأ ْنِم ْ ُكَُل َلَعَج ُ هللَّإَو ِ اَاِبي هَلإ َنِم ْ ُكَُقَز َزَو ً َدَفَفَو ََ ِيَب ْ ُكُ ِجإَوْزَأ ْنِم

. َنو ُرُفْكَي ْ ُهُ ِ هللَّإ ِتَمْعِيِبَو َنوُنِمْؤُي ِلِطاَاْلاِبَفَأ

Allah menjadikan bagi kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kalian anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi rizki yang baik-baik.

Maka mengapa mereka beriman pada yang batil dan mengingkari nikmat Allah? 9

8.Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam, Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Shafi’i, (Malang : Intran Publishing, 2015), 101.

9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1995),

412

(6)

112 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

Dalam hal pernikahan, Imam Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan bukan hanya dijadikan sebagai media penyaluran nafsu syahwat (libido) yang mengakibatkan kelahiran generasi penerus manusia. Lebih dari itu pernikahan merupakan perbuatan yang lebih mulia dari itu semua, di dalamnya terdapat media untuk menjalin kasih sayang, mewujudkan kedamaian dan ketentraman. Jika kehidupan suatu keluarga tenteram dan damai, maka akan tercipta juga masyarakat yang damai, aman dan tenteram.

Suatu pernikahan dipandang sah jika memenuhi rukun dan syarat tertentu, yaitu adanya mempelai, wali mempelai wanita, mahar, ijab dan qabul.

Imam Syafi’i mensyaratkan adanya wali nikah bagi pihak calon mempelai perempuan. Wali adalah orang yang berkuasa mengurus dan memelihara orang-orang yang berada di bawah perwaliannya atau perlindungannya. Wali nikah juga berarti seseorang yang bertindak atas nama pengantin perempuan pada saat melangsungkan pernikahan. Pada saat itu wali bertindak sebagai pihak yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. Oleh karena itu, wali dalam pernikahan memiliki tanggung jawab yang besar, sebab telah digariskan dan dikukuhkan oleh Allah dalam nas agama Islam. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali bagi mempelai perempuan merupakan salah satu rukun dan syarat sahnya pernikahan, sehingga pernikahan tanpa ada wali adalah tidak sah.

Mencermati kedudukannya yang urgen, maka kewenangan wali nikah tidak boleh dilimpahkan pada pihak yang tidak memiliki hak. Wali nikah harus dilakukan oleh seorang yang memang memiliki hak untuk itu, yakni seseorang yang memiliki kaitan struktur keluarga (hubungan nasab). Imam Syafi’i berpendapat wali bagi mempelai perempuan adalah salah satu rukun dan syarat sahnya pernikahan, sehingga pernikahan yang tanpa wali adalah tidak sah.10

Dalil yang dijadikan dasar pijakan imam Syafi’i antara lain dalam QS al-Baqarah (2) : 232:

ْيَب إْو َضإَرَت إَذ إ هنُ َجَإ َوْزَأ َنْحِكْيَي ْنَأ هنُهوُل ُضْعَت لاَف هنُهَلَجَأ َنْغَلَبَف َءا َسبِنلإ ُ ُتُْقهل َط إَذ ِ

ِ إَو ْْ ُ َنَه

ْطَأَو ْ ُكَُل َكَ ْزَأ ْ ُكُِلَذ ِرِخآلإ ِمْوَيْلإَو ِ هللَّ ِبِ ُنِمْؤُي ْ ُكُْنِم َن َكَ ْنَم ِهِب ُظَعوُي َ ِلَِذ ِفو ُرْعَمْل ِبِ

ُ هللَّإَو ُرَه

.نوُمَلْعَت لا ْ ُتُْنَأَو َُلَْعَي

Apabila kalian mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.

10 Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5 (Bairut: Dar al-Fikr, 1990), 13.

(7)

113 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

Itulah yang dinasehatkan pada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada Allah dan Akhirat. Hal itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”11

Imam Syafi’i menjelaskan maksud ayat di atas jika seorang suami menceraikan istrinya, lalu masa ‘iddah istri yang ditalak tersebut telah habis, maka para wali dilarang menghalangi jika mereka hendak menikah kembali. Ayat tersebut jelas sekali memberi petunjuk bahwa wali memiliki hak dan kewenangan terhadap pernikahan anak perempuannya. Sebagai bukti, Allah melarang para wali bersikap menghalang-halangi ketika mereka secara suka rela hendak menikah lagi.12

Ayat lain yang dijadikan dasar imam Syafi’i terkait keharusan seorang wali adalah QS. al-Baqarah (2) : 221:

ُحِكْيُت لا َو ْ ُكُْتَاَ ْعَْأ ْوَلَو ٍةَكِ ْشُْم ْنِم ٌ ْيَْخ ٌةَنِمْؤُم ٌةَمأل َو هنِمْؤُي هتََّف ِ َكَِ ْشُْمْلإ إوُحِكْيَت لاَو إو

... ْ ُكَُاَ ْعَْأ ْوَلَو ٍكِ ْشُْم ْنِم ٌ ْيَْخ ٌنِمْؤُم ٌدْاَعَلَو إوُنِمْؤُي هتََّف ََ ِكِ ْشُْمْلإ

Dan janganlah kalian (laki-laki) menikahi perempuan- perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian (laki-laki) menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian…..13

Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa pada lafaz{ اوُحِكْنَت لا َو ِتاَك ِرْشُمْلا (Janganlah kalian -wahai para laki-laki muslim- menikah dengan perempuan-perempuan musyrikat) mengandung pengertian bahwa laki-laki muslim dilarang menikah dengan perempuan musyrik. Lafaz menikah mengandung pengertian menikah untuk dirinya sendiri, yang mana ia tidak membutuhkan orang lain untuk menikahkan dirinya. Sedangkan pada lafaz berikutnya َ ِكِ ْشُْمْلإ إوُحِكْيُت لا (janganlah kalian -wahai para wali- menikahkan -para و perempuan mukminah- dengan laki-laki musyrik). Lafaz ini mengandung pengertian para wali dilarang menikahkan perempuan-perempuan mukminah

11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 56

12 Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5..., 13.

13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 53-54

(8)

114 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

dengan laki-laki Musyrik. Kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa perempuan mukminah itu dinikahkan, dia tidak bisa menikahkan dirinya sendiri, tapi ada sosok lain yang lebih berhak menikahkan mereka, yaitu walinya.

Lebih lanjut Imam Syafi’i menyatakan ayat-ayat di atas dikuatkan Hadith nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA. :

ْتَلاَق َة َشِئاَع ْنَع اَ ِبيِّلَو ِنْذ إ ِ ْيَْغِب ْتَحَكَن ٍ َأَرْمإ اَمُّيَأ :َهلَ َسَو ِهْيَلَع ُ هللَّإ هلَّ َص ِ هللَّإ ُلو ُسَز َلاَق ِ

.ٌلِط َبِ اَ ُحُ َكَِنَف

14

Dari Aisyah Ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Siapapun perempuan yang menikah tanpa mendapatkan izin dari walinya maka pernikahannya batil (tidak sah)”.

Juga hadith yang diriwayatkan oleh Abu Burdah RA:

ُهللَّإ هلَّ َص ِ هللَّإ ُلو ُسَز َلاَق َلاَق َسَوُم ِبَِأ ْنَع َ َدْرُب ِبَِأ ْنَع َقَ ْسْ إ ِبَِأ ْنَع ِ َلا َهلَ َسَو ِهْيَلَع

15

ٍب ِلَوِب هلا إ َح َكَِن ِ

Berdasarkan hadith-hadith di atas, imam Syafi’i menyatakan bahwa siapapun perempuan yang menikah tanpa mendapat izin walinya maka perempuan tersebut tidak bisa dikatakan menikah, sebab nabi bersabda (maka pernikahannya batil). Jika perempuannya terlanjur dicampuri maka suaminya wajib memberikan mahar mithli. Hal ini menunjukkan bahwa mahar tetap wajib diberikan sekalipun pada penikahan yang rusak (fasid) oleh sebab telah terjadi percampuran.16 Oleh karena itu, keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu keharusan, sebab mempelai perempuan termasuk orang yang berada di bawah tanggung jawab walinya.

Wali merupakan orang yang harus mengetahui pria yang akan mempersunting anak perempuannya supaya tidak terjadi fitnah.

Sebab-sebab Wali Nikah dan Implikasinya

a. al-Abuwwah (Ayah dan jalur ke atasnya yang meliputi kakek, ayah kakek dan seterusnya).

b. al-‘Asubah (saudara laki-laki dan paman dari saudara ayah).

c. al-Sulthan (Hakim / Penguasa)

d. al-Mu’taq (orang yang memerdekakan budak perempuan)

14 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 4 (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 2008 ), 124.

15 Al-Thirmizi, al Jami’ al sahih al sunan al Tirmizi, juz 3, (Beirut: Dar Ihya’ a; Turath al Arabiy, tt), 407

16 Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5..., 14.

(9)

115 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm mengemukakan peristiwa pernikahan antara Rasulullah dengan ‘Aisyah dengan menyunting Hadith nabi yang menceritakan tentang pernikahan nabi dengan

‘Aisyah dan Abu Bakar sebagai walinya. Pada saat itu ‘Aisyah baru berumur 6 atau 7 tahun, dan baru melakukan hubungan suami istri pada usia 9 tahun.17 Hadith tersebut cukup menjadi bukti kuat bahwa ayah lebih berhak atas anak perempuannya yang belum baligh. Hadith tersebut juga menunjukkan bahwa ketika wali menikahkan anaknya yang belum baligh, maka wali tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Ia berhak menikahkan anak gadisnya yang belum baligh tanpa harus meminta izin darinya terlebih dahulu. mun demikian jika anak gadisnya sudah baligh, Imam Syafi’i menyatakan bahwa wali harus meminta izin dan meminta kerelaan kepada anak perempuan yang sudah baligh tersebut.

Pendapat tersebut berdasarkan Hadith nabi:

نم اهسفنب قحأ يملأا لاق ملس و هيلع الله ىلص بينلا نأ سابع نبا نع .ملسم هاور .اتهامص انهذإو اهسفن في نذأتست ركبلاو اهيلو

18

Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan seorang gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah dengan diamnya”.

Terkait Hadith di atas, Imam Syafi’i berpendapat rasul membedakan antara gadis dan janda. Rasulullah memposisikan janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya dan memposisikan gadis harus dimintai izin apabila wali hendak menikahkannya. Hadith ini menunjukkan bahwa wali dianjurkan bermusyawarah terlebih dahulu dan meminta izin kepada anak gadisnya.19 Hadith di atas juga menunjukkan bahwa bagi seorang janda ketika hendak menikah maka ia lebih berhak atas dirinya sendiri dibandingkan dengan walinya. Jika wali pada kelompok ini memaksa mereka (janda), maka pernikahannya tidak sah (mafsukh). Begitu juga, ketika ayahnya menikahkan anaknya yang sudah janda tanpa sepengetahuan mereka, maka pernikahannya tidak sah (mafsukh), baik setelah terjadinya

17 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol. 5,., 18.

18 Imam Muslim, Shahih Muslim, vol. 4, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.) 141.

19 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 19.

(10)

116 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

pernikahan anaknya rela ataupun tidak rela. Implikasinya, di antara kedua mempelai tidak ada hak saling mewarisi, thalaq (perceraian) tidak berlaku di antara keduanya dan pernikahannya dihukumi fasid.20

Adapun bagi perawan, ketika walinya hendak menikahkan mereka, maka ia diperintah untuk meminta persetujuan dari anak gadisnya dengan bermusyawarah terlebih dahulu. Persetujuan anak gadisnya adalah sikap diamnya, karena hal itu sudah cukup dapat diartikan sebagai persetujuan darinya. Dalam pada itu, Imam Syafi’i menguatkan pendapat dengan menyatakan wali terlebih dahulu disunnahkan musyawarah dengan anak gadisnya ketika hendak dinikahkan, hal ini berdasar firman Allah QS. Ali

‘Imran (3): 159:

ُفْعاَف َ ِ لِ ْوَف ْنِم إو ُّضَفْن َلا ِبْلَقْلإ َظيِلَغ ا ًّظَف َتْيُك ْوَلَو ْْ ُهَل َتْيِل ِ هللَّإ َنِم ٍةَ ْحَْز اَمِبَف ُّبِ ُيُ َ هللَّإ هن إ ِ هللَّإ َلََّع ْ هكََّوَتَف َتْمَزَع إَذ ِ ِ اَف ِرْمَ ْلإ ِفِ ْ ُهُ ْزِوا َشَو ْْ ُهَل ْرِفْغَت ْ سإَو ْْ ُ ْنَهَع ََ ِ ِبكَّوَتُمْلإ .

Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.21

Namun demikian, jika dalam musyawarah anak gadisnya menolak maka ayahnya (wali mujbir) masih memiliki hak dan otoritas untuk menikahkannya, dengan syarat pernikahan tersebut betul-betul dapat mendatangkan kebaikan untuk anak gadisnya dan tidak mendatangkan bahaya (al-madharat).22Anak perempuan yang boleh dipaksa menikah oleh wali mujbir adalah yang masih belum pernah menikah atau gadis, meskipun sudah baligh. Namun demikian, Imam Syafi’i tetap mengharuskan para wali bermusyawarah terlebih dahulu dengan anak gadisnya. Adapun bagi perempuan yang sudah pernah menikah, atau janda, maka wali mujbir tidak boleh memaksanya, sekalipun umurnya masih kecil.23 Keberadaan dan posisi

20 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 20.

21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 103

22 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 20.

23 Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, (Bairut: Dar al-Fikr, 2004), 247.

(11)

117 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

wali yang begitu sentral ini memungkinkan terjadinya pemaksaan, sekalipun dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana penjelasan di atas, seorang ayah atau kakek dari ayah dapat memaksa anak atau cucu perempuan yang masih gadis untuk menikah dengan laki-laki yang menjadi pilihannya dengan syarat kufu’ (sepadan), mendatangkan kebaikan dan tidak mendatangkan bahaya.

Mencermati syarat-syarat yang tersebut di atas dapat diambil pemahaman bahwa syarat seorang wali memaksa anak perempuannya adalah mendatangkan kebaikan pada kehidupannya dan tidak mendatangkan kerusakan dan bahaya. Jika mengacu pada kaidah fikih jalbu al-mashalih (mendatangkan maslahat) dan dar’u al-mafasid (menolak bahaya) maka syarat itu dapat berubah sesuai perubahan kemaslahatan dan bahaya yang ditimbulkan, atau terdapat syarat lain yang perlu ditambahkan dan bisa jadi ada beberapa syarat yang sudah tidak relevan. Dari syarat yang diajukan oleh Imam Syafi’i memberi pemahaman bahwa yang menjadi parameternya adalah kabaikan/kemaslahatan anak perempuan yang hendak dinikahkan secara ijbar, baik kebaikan di dunianya terutama akhiratnya.

Wali shulthan atau yang sering diistilahkan wali hakim boleh menikahkan seorang perempuan dalam beberapa keadaan; Pertama, ketika seorang perempuan tidak memiliki wali. Kedua, ketika wali menghalangi perempuan yang berada dalam perwaliannya untuk menikah (al-‘adhl).

Ketiga, ketika wali menghilang dan tidak diketahui keberadaannya (al- ghaybah).24 Wali shulthan hanya boleh menikahkan perempuan yang sudah baligh dan tidak diperkenankan menikahkan perempuan yang masih kecil.

Orang yang memiliki hak wali hakim adalah shulthan (penguasa), semisal pemimpin/ pegawai yang diberi wewenang negara untuk menikahkan perempuan yang tidak memiliki wali. Jika wali hakim dari negara tidak ada, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang terkemuka atau orang alim di daerah tersebut. Tata aturan perwalian pada kelompok ini seperti tata aturan dalam kelompok al-‘Ashubah (saudara dan paman dari jalur ayah).25

B. Wali Nikah dalam Perspektif Imam Hanafi

Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi, walaupun

24 Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, ….., 247

25 Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i,……, 248.

(12)

118 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui, istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan di masa Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi . Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga berbangsa Persia.26

Imam Hanafi yang dikenal sebagai mujahid yang rasional berpendapat bahwa wali itu dibutuhkan untuk menggantikan seseorang karena ketidakmampuan dalam bertindak hukum atau karena berstatus sebagai budak. Artinya jika dia merdeka dan punya kemampuan/cakap dalam melakukan perbuatan hukum, maka tidak dibutuhkan seorang wali. Jika seorang perempuan (baik perawan maupun janda) yang sudah baligh, berakal sehat maka dianggap telah mampu dan memiliki hak untuk melangsungkan akad nikah atas nama dirinya sendiri tanpa harus diwakili oleh walinya.

Imam Hanafi berpendapat, bahwa wali bukan merupakan rukun yang harus ada dan bukan persyaratan yang harus terpenuhi untuk sahnya suatu pernikahan, tetapi hanya sebagai penyempurna perjanjian pernikahan, kecuali pernikahan perempuan yang belum dewasa dan atau orang gila meskipun sudah dewasa. Wali hanya menjadi syarat sah bagi pernikahan orang yang belum dewasa, gila dan budak. Sebaliknya wali tidak diperlukan lagi bagi pernikahan perempuan mukallaf yang merdeka, sehingga tanpa izin walinyapun pernikahannya tetap sah. Tetapi si wali berhak untuk menolak apabila pernikahan tersebut tidak se-kufu’. Argumen tersebut didasari pada pertimbangan adanya Hadith Nabi yang menyatakan bahwa perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya.

Imam Abu Hanifah membedakan perempuan ke dalam 2 kategori yaitu merdeka dan budak. Perempuan kategori merdeka adalah perempuan secara umum, sedangkan kategori budak adalah perempuan dalam kondisi khusus.

Maka yang dimaksud hadith yang diriwayatkan oleh Sayyidati Aisyah sebagai perkawinan yang batal karena tidak ada idzin walinya adalah khusus bagi perempuan dengan kategori budak, sebab posisi atau kedudukan budak adalah berada dalam genggaman tangan/kekuasaan tuannya. Sedangkan bagi perempuan merdeka, apabila sudah dewasa, berakal sehat, gadis maupun

26 Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), 19

(13)

119 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

janda, menikah dengan laki-laki sekufu atau tidak sekufu dapat menentukan dan memilih pasangan hidupnya secara bebas tanpa adanya wali.

Bahkan lebih lanjut Imam abu Hanifah menjelaskan bahwa dalam QS. Al. Baqarah (2): 232 dan 234 menerangkan perempuan memiliki hak melakukan akad nikahnya sendiri tanpa adanya wali/wakil sebagaimana dalam akad jual beli atau yang lainnya. Sedangkan hadith yang mensyaratkan wali untuk sahnya pernikahan adalah karena adanya kondisi khusus seperti belum cukup umur, tidak berakal sehat, atau budak.27

ANALISA HASIL PENELITIAN

Berdasarkan uraian di atas dapatlah dianalisa, bahwa prinsip yang dipakai oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam, pertama memahami ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber hukum islam pertama dan utama. Kedua mempergunakan akal sebatas pada penggunaan Qiyas yang berpegangan pada nas, dikarenakan semua permasalahan sebenarnya sudah ada jawabannya dalam al-Qur’an. Jika nas sudah mengaturnya, maka penggunaan akal pikiran sudah tidak lagi diperlukan. Walau dikenal sebagai tokoh moderat (memeadukan wahyu dan akal), tetapi lebih mengutamakan pada nas yang bertujuan menegakkan otoritas nas yang mencakup seluruh sendi kehidupan masyarakat, sehingga kemudian beliau dikenal sebagai nashir al-Sunnah (pembela sunah).

Berdasarkan QS. al-Baqarah (2) : 221, al-Nuur (24):24 serta beberapa Hadith yang salah satunya diriwayatkan oleh Sayyidati Aisyah, Imam Syafi’i menjelaskan syarat adanya wali dalam pernikahan, sehingga jika tidak ada wali, maka pernikahannya tidak sah (batal). Imam Syafi’i membedakan perempuan dalam perawan dan janda. Jika perawan maka wajib adanya wali, jika janda tidak harus ada wali. Terhadap perawan, maka sang wali punya hak penuh meminta persetujuan sang perawan untuk dinikahkan juga menjadi wali dalam akad nikah. Sedangkan janda lebih berhak dibandingkan walinya, sang wali tidak boleh menghalang-halangi sang janda untuk menikah, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2) : 232 dan 234 juga dalam Hadith dari Ibnu ‘Abbas ;

27 Sofyan A.P.Kau dan Zulkarnain Suleman, Fikih Feminis, Menghadirkan Teks Tandingan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 106.

(14)

120 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

نذأأت ست ركالإو ايّلو نم اهسفيب قفأأ يمألإ لاق لَس و هيلع الله لَّص بييلإ نأأ سااع نبإ نع .لَسم هإوز .اتهماص انهذ إو اهسفن فِ

28

Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan seorang gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah dengan diamnya”.

Sedangkan Imam Hanafi yang dikenal rasional berpendapat bahwa wali itu mempunyai fungsi mewakili seseorang yang tidak mampu untuk melaksanakan perbuatan hukum, salah satunya adalah akad. Perempuan dan laki-laki yang akan menikah yang telah dewasa (cukup umur), berakal sehat mempunyai hak yang sama untuk melangsungkan akad nikah karena telah memenuhi persyaratan untukmelakukan perbuatan hukum, maka tidak lagi diperlukan wali bagi keduanya.

Tentang maksud dalil nas QS. Al-Baqarah (2) : 232, 234, (janganlah para wali menghalang-halangi), maka Imam Hanafi menisbatkannya dengan perempuan boleh melakukan akad nikah sebagaimana perempuan juga diperbolehkan melakukan akad jual beli, akad hutang piutang dan lain sebagainya. Sedangkan dalam memahami isi Hadith, Imam Hanafi mengartikan kata imro’ah, dalam 2 kategori yaitu kategori merdeka dan kategori budak, Perempuan merdeka (baik perawan ataupun janda) yang telah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya dan melaksanakan akad nikah secara mandiri serta tidak ada seseorangpun yang mempunyai kewenangan atas dirinya ataupun menentang atas pilihannya dengan syarat laki-laki yang dipilihnya sekufu serta maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Sedangkan bagi perempuan budak (tidak merdeka), maka dia tidak punya hak/kebebasan dalam melaksanakan perbuatan hukum, karena statusnya dibawah penguasaan orang lain yaitu tuannya, sehingga jika akan memilih pasangan hidup/suami harus atas izin tuannya dan jika melaksankan akad nikah harus diwakili oleh tuannya sebagai walinya. Ini yang dalam ilmu Ushul Fiqih disebut ta’wil dan takhsish.

Pandangan Imam Hanafi tersebut menurut Imam Ghozali batal atau tidak sah. Karena lafaz imro’ah tersebut lafaz ‘am (umum), yang mencakup semua berjenis kelamin perempuan, baik perawan maupun janda, merdeka

28 Imam Muslim, Syahih Muslim, vol. 4, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.) 141.

(15)

121 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

atau budak, kecil atau dewasa dan lain sebagainya, sehingga tidak boleh ditakhsis dan diberlakuakn sesuai keumuman lafaz. Apalagi hadith di awali dengan lafaz ayyuma yang merupakan qarinah yaitu tanda atau alamat atau indikasi yang menunjukkan pada yang dimaksud hadith tersebut bermakna semua perempuan secara umum, bukan hanya bermakna perempuan merdeka dan budak.29

KESIMPULAN

1. Imam Syafi’i berpegangan kepada teks nas al-Qur’an dan Hadith yang mensyaratkan sahnya pernikahan salah satunya harus adanya wali.

Walaupun wali punya hak atas perwaliannya tetapi tetap dianjurkan bermusyawarah atau meminta persetujuannya. Kewajiban ada wali nikah merupakan bentuk rasa tanggung jawab dan perlindungan kepada perempuan, bukan melemahkan hak perempuan. Pertimbangan kemaslahatan, maqashid al-syari’ah, akal publik, kearifan lokal tidak boleh bertentangan dengan teori kemaslahatan dan maqashid al syari’ah yang tidak hanya berdasarkan pertimbangan kebahagiaan dunia tetapi kebahagiaan di alam akhirat yang selama-lamanya.

2. Keberadaan wali dalam pernikahan menurut Imam Hanafi tidak wajib jika perempuan itu merdeka, dewasa dan memenuhi persyaratan untuk melakukan akad / perbuatan hukum, sebagaimana kebolehan melakukan akad jual beli dan sebagainya. Hal ini dengan dasar pemikiran bahwa wali itu dibutuhkan karena mewakili seseorang yang dianggap tidak atau belum punya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

29 Imam Ghazali, Al-Mankhul min Ta’liqat al- Ushul, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1980), 180-181

(16)

122 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020

e-ISSN 2620-5122

DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah, Qurrotul, 2015, Keadilan Gender Dalam Islam, Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Shafi’i, Malang : Intran Publishing.

Al-Thirmizi, al Jami’ al sahih al sunan al Tirmizi, juz 3, Beirut: Dar Ihya’ a;

Turath al Arabiy.

Chalil, Moenawir, 1955, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama RI, 1995, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT.

Karya Toha Putra.

Ghazali Al-, 2004, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, Bairut: Dar al-Fikr.

Hasan, M. Ikbal, 2002, Pokok-Pokok Materi Methodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hanbal, Ahmad bin, 2008, Musnad Ahmad, vol. 4, Riyad: Dar ‘Alam al- Kutub.

Kau, Sofyan A.P. dan Zulkarnain Suleman, 2014, Fikih Feminis, Menghadirkan Teks Tandingan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muslim, Imam, Shahih Muslim, vol. 4, Bairut: Dar al-Fikr.

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Urwatul Wutsqo, 2015, Pedoman Penulisan Skripsi, Jombang: Tim Penyusun

Shafi’i, Muhammad bin Idris Al, 1990, Al Umm, Vol. 5, Bairut: Dar al-Fikr.

Unais, Ibrahim, 1972, al-Mu’jam al-Wasit, vol. 2, Kairo: Dar al-Ma’arif.

Referensi

Dokumen terkait