• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Remaja

2.1.1.1.Definisi Remaja

Remaja bisa dikatakan adolesence yang mana memiliki definisi tumbuh menjadi dewasa. Arti dari asdolese mencangkup tentang kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget (dalam Hurlock, 2000) menjelaskan bahwa secara psikologis, remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Ali, dkk. (dalam Gunarsa, 2000) menjelaskan bahwa remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolesecene, berasal dari bahasa Latin memiliki arti “tumbuh atau untuk mencapai kematangan”. Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan dan pertumbuhan yang dialami oleh setiap individu dalam hidupnya.

Sifat-sifat yang menonjol yang muncul dari kehidupan seseorang remaja yaitu:

idealis, romantis, suka berkhayal, berharap tinggi, dan berkeyakinan (Gunarsa, 2000).

Masa remaja juga dipandang sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, meliputi perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Gunarsa, 2000). Masa remaja dalam menggunakan istilah “adolescene” yang berasal dari bahasa Latin “adolescere” yang memiliki arti tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 2000). Menurut Piaget (dalam Hurlock, 2000), istilah adolescene mempunyai arti yang sangat luas yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.

(2)

2.1.1.2.Usia dan Ciri-ciri Masa Remaja

Hurlock (2000) menyebutkan bahwa masa remaja menjadi dua periode, yaitu masa remaja awal pada usia 13-15 tahun dan masa remaja akhir pada usia 16-18 tahun. Batas usia remaja yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu usia 13-18 tahun. Menurut Zulkifli (dalam Gunarsa, 2002) terdapat beberapa ciri remaja yang patut diketahui yaitu:

(a) Pertumbuhan fisik: fisik mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa

(b) Perkembangan seksual: mengalami perkembangan yang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dll

(c) Cara berpikir kausalitas: terkait hubungan sebab akibat serta berpikir

(d) Emosi yang meluap-luap: terkait dengan keadaan hormon mereka yang tidak mampu menahan emosi serta tertarik dengan wanita

(e) Mulai berpacaran dan tertarik dengan wanita

(f) Menarik perhatian lingkungan: remaja akan memiliki kecenderungan untuk mencari perhatian di sekitarnya serta berusaha untuk mendapatkan status (g) Terikat pada kelompok: remaja sangat tertarik pada kelompok yang terdiri

dari rekan sebayanya sehingga tidak jarang orangtua dinomor duakan.

Erikson (dalamSantrock, 1996) mendeskripsikan bahwa masa remaja merupakan masa role confusion vs identity yang mana mereka mulai mencari identitas. Salah satu bentuk pencarian identitas adalah tergabung ke dalam sebuah kelompok. Erikson

(3)

(dalam Shaffer, 2005) Percaya bahwa individu tanpa identitas akan tidak memiliki percaya diri yang tinggi ketika mereka masuk ke dalam jaringan. Mereka dianggap tidak memiliki sebuah tujuan dan bahkan mereka akan dicap sebagai orang yang memiliki identitas negatif.

2.1.2. Konflik

2.1.2.1.Definisi Konflik

Definisi konflik secara etimologi adalah memiliki asal dari bahasa Latin yaitu con yang berarti bersama dan figure yang memiliki arti benturan atau tabrakan.

Menurut Degenova (2008) konflik merupakan kejadian yang normal yang terjadi pada setiap hubungan, yang mana dua orang tidak saling setuju terhadap keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Hall & Lindzey, 1985) menjelaskan konflik merupakan sebuah keadaan yang mana terdapat dorongan yang ada di dalam diri seseorang berlawanan serta hampir sama kuatnya. Richard E. Crable (dalam Weiten, 2004) menjelaskan bahwa konflik berkaitan dengan ketidaksepahaman dan ketidakcocokan.

Weiten (2004) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan ketika dua atau lebih motivasi serta dorongan perilaku yang tidak sejalan. Ini berkaitan dengan apa yang diutarakan Plotnik (dalam weiten, 2004) bahwa konflik merupakan perasaan yang dialami saat individu memilih antara dua atau lebih pilihan yang tidak sejalan.

2.1.2.2.Konflik Interpersonal

Konflik interpersonal menurut Bell & Blakeney (dalam Kellet& Dalton, 2001) didefinisikan terkait dengan interaksi antara ekspresi keinginan seseorang yang tidak

(4)

sama, pola pikir atau pendapat. Devito (2004) menjelaskan bahwa konflik interpersonal adalah suatu ketidaksetujuan antara individu yang saling berkaitan seperti misalnya teman dekat, pasangan kekasih atau anggota keluarga. Myers &

Myers (dalam Pohan, 2005) menyatakan konflik interpersonal bersumber dari:

a) perbedaan antar individual pada setiap orang, seperti misalnya: usia, sikap, pengalaman,keahlian, kecerdasan, pelatihan, dan lain-lain;

b) keterbatasan terkait dengan sumber daya, seperti misalnya: uang, waktu, perhatian, perasaan, serta benda-benda sumber daya materi lainnya yang harus dibagi kedalam suatu hubungan;

c) keseimbangan peran, yaitu berkaitan dengan siapa yang mengontrol, mendapat kehormatan dan lain-lain.

Weiten (2004) menerangkan bahwa konflik interpersonal merupakan konflik yang muncul saat dua orang/lebih memiliki ketidaksetujuan. Perselisihan ini disebabkan karena adanya kesalahpahaman kecil serta sebagai hasil dari tujuan- tujuan, nilai-nilai, sikap atau keyakinan yang tidak sama

2.1.2.2.1 Penyebab Konflik Interpersonal

Menurut Eggert & Falzon (2008) adanya konflik interpersonal disebabkan karena beberapa hal sebagai berikut:

a. Komunikasi yang buruk

Konflik muncul saat individu yang seperti misalnya telah menikah terlibat konflik dan kemudian tidak mampu mengekspresikan keinginannya, tidak dapat

(5)

mengungkapkan keinginannya serta tidak dapat mengungkapkan kebutuhannya, selain itu mereka tidak diperkenankan untuk mengutarakan argumentasinya dalam kelompok seperti misalnya keluarganya. Semakin terbatas kemampuan seseorang dalam komunikasi maka kemungkinan adanya konflik akan semakin besar.

b. Perbedaan-perbedaan yang dirasakan

Secara harafiah manusia akan membentuk kelompok dalam lingkungan sosialnya seperti misalnya klan atau marga dalam suku Batak Toba. Masing-masing kelompok marga mempunyai aturan tersendiri yang kemudian menjadi ciri khas sehingga berbeda dengan kelompok marga lainnya. Perbedaan yang ada sekaligus dapat memunculkan terjadinya konflik.

c. Orientasi biologis

Individu yang mempunyai tubuh atau fisik yang lebih besar akan cenderung berani untuk menekan orang yang mereka anggap lemah, sehingga kemudian terjadi konflik. Selain itu kekuatan juga merupakan bentuk dari keidealan selain bentuk fisik.

Individu yang memiliki fisik lebih baik akan percaya diri dan menonjolkan diri dari pada individu lain. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan yang menjadi awal terjadinya konflik.

d. Faktor Sejarah

Liu (2005) menjelaskan bahwa konflik di masyarakat terjadi karena adalah faktor sejarah. Sejarah masa lalu yang kelam dapat menimbulkan konflik berkelanjutan antar kelompok. Hal ini juga rentan terjadi jika kelompok tersebut memiliki konflik di masa

(6)

lalu dengan kelompok lainnya. Konflik yang tidak terselesaikan pada masa lalu akhirnya dipupuk sampai memunculkan konflik yang ada pada masa sekarang.

e. Prasangka dan Diskriminasi

Liu (2005) menjelaskan bahwa diskriminasi dapat memunculkan sebuah konflik.

Hal itu banyak terjadi pada sejarah peperangan masa lalu. Liu mencontohkan terhadap diskriminasi kaum kulit hitam pada era kolonialisasi serta pada orang jerman nazi ketika perang dunia 2. Dengan adanya diskriminasi maka secara perlahan-lahan akan membuat sebuah stereotip tersendiri pada sebuah kelompok yang mana kemudian menjadi sebuah identitas dan akhirnya dapat memicu sebuah konflik.

Menurut Sears, dkk, (1983) Streotype, prasangka dan diskriminiasi merupakan tiga komponen dalam antagonism kelompok. Pertama, stereotype-yang merupakan komponen kognitif. Streotype adalah keyakinan tentang sifat-sifat pribadi yang

dimiliki orang dalam kelompok. Misalkan orang batak selalu distreotype sebagai seorang yang keras, dan kasar. Padahal belum tentusemua orang Batak seperti itu.

f. Kepentingan yang Sama.

Bila dua individu atau kelompok memiliki kepentingan sama, maka akan timbul persaingan untuk mendapatkannya. Ketika persaingan tersebut terjadi, maka akan terdapat upaya-upaya dari setiap kelompok untuk mendapatkan yang diinginkan, sehingga terkadang saat kelompok menggunakan tindakan-tindakan yang merugikan kelompok lain. Akibatnya timbul konflik antar kelompok (Bornstein, 2003).

g. Sumber daya

(7)

Konflik sumber daya, khususnya alam merupakan sesuatu yang sangat banyak kita temui dalam lingkungan ini. Sumber daya alam merupakan suatu daya tarik yang luar biasa bagi kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dari sumber daya tersebut. Misalkan pada kasus air. Biasanya kasus air ini terjadi di daerah pertanian.

Air merupakan sesuatu yang sangat penting bagi petani, sehingga mereka akan berkonflik untuk menguasai air untuk irigasi sawah.

2.1.2.2.2. Dampak Konflik Interpersonal

Sepintas konflik lebih banyak menyebabkan dampak negatif, namun konflik juga dapat menimbulkan dampak positif, menurut Eggert &Falzon (2008) antara lain:

a. Konflik meningkatkan pertumbuhan, yaitu melalui pembelajaran untuk menyelesaikan tantangan-tantangan dalam suatu kebersamaan dengan individu dalam satu kelompok.

b. Konflik memunculkan kreatifitas serta perubahan sebagai bentuk solusi dalam mengatasi perbedaan-perbedaan di antara pihak-pihak yang terlibat.

c. Konflik meningkatkan perkembangan dalam keterampilan interpersonal, karena setiap individu akan berusaha untuk berhubungan meskipun ada perbedaan diantara mereka.

d. Konflik dapat meningkatkan pengertian yang saling menguntungkan antar individu atau kelompok dalam perbedaan nilai, aspirasi dan kebudayaan Dampak negatif konflik diantaranya:

a. Konflik dapat menimbulkan stres diantara pihak-pihak yang terlibat.

(8)

b. Konflik dapat menimbulkan interaksi dan komunikasi yang lebih rendah diantara pihak-pihak yang terlibat dan para pendukungnya.

2.1.2.2.3. Fase Konflik Interpersonal

Rothchild dan Sriram menjelaskan bahwa konflik antar kelompok dapat dimasukkan ke dalam empat fase, diantaranya adalah:

a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), fase dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah.

b. Fase pertumbuhan (gestation phase), fase dimana isu yang dipermasalahkan oleh kelompok lebih didefinisikan, interaksi antar kelompok dapat digerakkan dengan cara sedemikian rupa, ikatan antar individu masih terjalin dan kemudian isu yang dipermasalahkan masih dapat dimusyawarahkan, namun kemungkinan terjadinya konflik tinggi.

c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), fase dimana persepsi perubahan dalam kelompok (seperti misalnya sosial-ekonomi, kultur, politik, dan struktural) meningkatkan terjadinya konflik. Dalam fase ini ditandai adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi.

d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali

(9)

2.2. Prasangka

2.2.1. Definisi Prasangka

Prasangka merupakan tindakan atau sikap yang tidak baik dan dapat dianggap sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan khusus ke arah tertentu untuk mempersepsi, berfikir, merasa dan bertindak dengan cara-cara yang menentang, menjauhi serta tidak menyokong maupun mendekati kelompok orang lain ( Newcomb, dkk, 1978). Prasangka ini memiliki kecenderungan untuk membatasi diri dengan kelompok-kelompok lain utamanya adalah kelompok rival.

Dalam perkembangannya, prasangka memiliki perubahan arti atau definisi. Pada definisi awal dari prasangka adalah berkaitan dengan rasism dan seksism (Crisp &

Turner, 2007). Prasangka diartikan sebagai pengkategorian sehingga muncul sikap dan tindakan negatif serta mempersepsikan terhadap kelompok jenis kelamin tertentu serta ras-ras tertentu. Hal itu dikarenakan terbentuknya stigma-stigma karena adanya kategorisasi sosial. Dalam hal itu mereka memandang rendah status dan kelas kelompok ras dan gender serta jenis kelamin dibandingkan dengan lainnya.

Dalam perkembangannya definisi dari prasangka telah diperbarui. Definisi prasangka berdasarkan rasisme telah berubah yang mana dahulu dikarenakan adanya stereotip dan sikap tidak fair terhadap ras utamanya Afro-Amerika, saat ini berubah menjadi perilaku negatif dan ketidak setaraan oleh kelompok terhadap suatu kelompok yang dianggap lemah yang disebut dengan aversive racism (Crisp

(10)

&Turner, 2007). Gaertner & Dovidio (dalam Crisp & Turner, 2007) menjelaskan bahwa prasangka yang terjadi secara aversif akibat adanya konflik antar kelompok.

Seksime muncul dikarenakan adanya dominasi oleh laki-laki tehadap perempuan (Crisp & Turner, 2007). Hal itu memunculkan stigma serta stereotip negatif terhadap perempuan. Kekerasan seksual adalah salah satu contoh dari seksime. Hampir sama dengan rasisme, seksisme dibagi menjadi dua kelompok hostile dan benevolent (Crisp

& Turner, 2007). Hostile menganggap bahwa wanita adalah sosok yang lemah, inferior, serta tidak rasional sehingga memunculkan sikap kekerasan.Benevolent adalah sikap memunculkan prasangka positif yaitu berupa rasa belas kasih kepada perempuan karena terbentuk stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga atau pengurus rumah. Berdasarkan sejarah di atas, dapat disimpulkan bahwa prasangka yang mana berkaitan dengan racism dan sexism telah beradaptasi dan berubah bentuk menjadi aversive racism dan ambivalent sexism.

Dalam buku yang berjudul Prasangka dan konflik yang ditulis Alo Liliweri (2005) terdapat berbagai definisi prasangka dari banyak peneliti. Johnson (dalam Liliweri, 2005) mengemukakan bahwa prasangka merupakan sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota dari kelompok tertentu.

Prasangka berkaitan dengan keyakinan seseorang untuk menggambarkan perbedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Menurut Jones (dalam Liliweri, 2005) menjelaskan bahwa prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan-

(11)

kesalahan kemudian membentuk sikap negatif lalu ditujukan kepada kelompok maupun individu sebagai bentuk dari perbandingan. Kemudian menurut Effendy (dalam Liliweri, 2005) mengemukakan bahwa prasangka merupakan bentuk sikap saling curiga yang mana kemudian menarik kesimpulan tersendiri atas dasar swasangka tanpa menggunakan pikiran dan pandangan terhadap realitas dan fakta yang nyata. Orang akan sulit berfikir objektif dan selalu menilai secara negatif. Oleh karena itu jika melihat dari berbagai pendapat dari tokoh-tokoh diatas dapat ditarik sebuah benang merah bahwa sebenarnya prasangka adalah sikap negatif seseorang tanpa menilai dan melihat individu atau kelompok tanpa berfikir secara rasional.

Sejalan dalam pernyataan tokoh-tokoh diatas, Suryanto, Putra, Herdiana &

Alfian (2012) menyatakan bahwa prasangka merupakan suatu sikap terhadap suatu kelompok sosial. Prasangka adalah istilah yang digunakan dalam menjelaskan perasaan negatif kepada seseorang berdasarkan keanggotaan dalam sebuah kelompok.

Prasangka terhadap kelompok adalah suatu sikap yang diperoleh kemudian (Newcomb dkk 1978). Banyak peneliti menjelaskan konflik yang terjadi antar kelompok maupun invididu bukan berdasarkan sebuah insting. Namun hal itu muncul dikarenakan hasil dari interaksi-interaksi yang dilakukan. Newcomb dkk, (1978) berpendapat bahwa ketika manusia telah selesai untuk berinteraksi, maka akan muncul dua pilihan. Yaitu prasangka atau toleransi. Prasangka muncul dikarenakan adanya kategorisasi sosial.

2.2.2. Kategorisasi Sosial

(12)

Ketika berbicara terkait dengan identitas sosial, maka erat kaitannya dengan kategorisasi sosial ( Crisp & Turner, 2007). Seperti yang dijelaskan dalam identitas sosial, Kategorisasi sosial adalah Tajfel (dalam Hornsey, 2008) mengungkapkan bahwa kategorisasi sosial berkaitan dengan pengelompokan individu berdasarkan kategori-kategori berupa kelompok-kelompok tertentu, seperti misalnya kelas ras, pekerjaan, jenis kelamin, agama dan lain-lain.Hal itu berkaitan dengan ingroups serta outgroups. Ketika telah berbicara terkait dengan ingroups serta outgroup maka hal

itu berkaitan dengan intergroup bias. Ketika telah terjadi bias antar grup, makahal itulah yang menyebabkan prasangka.

2.2.3. Individu dalam prasangka 2.2.3.1.Pengasuhan autoritarian

Tipe pengasuhan authoritarian pertama kali dikenalkan oleh Freud. Tipe pengasuhan ini sering juga disebut dengan tipe pemaksa. Pola asuh yang dilaksanakan adalah berupa aturan-aturan yang ketat yang dilakukan oleh orang tua dan anak harus mengikutinya tanpa adanya kompromi (Crisp & Turner, 2007). Dalam autoritarian orang tua akan protektif dalam mengajari anaknya. Orang tua juga akan mengajarkan anak akan perilaku agresi. Agresi akan diarahkan kepada kelompok atau target-target yang lebih lemah atau target yang mudah. Terlebih Ketika orang tua memiliki terlibat sebuah konflik. Maka orang tua akan mengajarkan anaknya untuk membenci kelompok tersebut. Kemudian ketika seorang anak menginjak remaja,

(13)

maka mereka akan secara otomatis terbentuk perilaku membenci kelompok- kelompok tertentu.

2.2.3.2. Orientasi dominasi Kelompok

Sidanius ( Crisp & Turner, 2007) menjelaskan bahwa dalam kehidupan berkelompok secara implisit memiliki ideologi untuk meningkatkan status kelompoknya atau melemahkan status kelompok lain secara hierarki. Mereka yang memiliki orientasi sosial dominansi yang tinggi akan selalu berusaha untuk status grup yang tinggi. Mereka berusaha untuk mengalahkan kelompok-kelompok lain utamanya adalah kelompok rival. Fakta-fakta empiris yang terjadi terkait dengan dominansi kelompok adalah pada orang-orang yang memiliki sikap autoritarian.

Seperti halnya untuk memprediksi rasisme dan seksisme, sikap autoritarian muncul dikarenakan pola asuh orang tua kepada anaknya, hal itu dikarenaan orang tua memiliki lingkup atau kelompok yang telah dahulu memiliki prasangka terhadap sebuah ras atau kelompok tertentu.

2.2.3.3.Regulasi diri

Regulasi diri merupakan kemampuan bagaimana seseorang dapat mengontrol dirinya untuk melakukan sebuah pencapaian (Fazio dalam Crisp & Turner, 2007).

Contoh dari regulasi diri adalah bagaimana seseorang mengkativasi, perilaku, sikap dan pemikiran. Bisa dikatakan bahwa prasangka dapat bersumber dari regulasi diri seseorang. Seperti yang kita tahu bahwa perbedaan antara sikap dan perilaku dapat memotivasi seseorang untuk merubah perilaku. Dalam level individu seseorang dapat

(14)

memilih untuk menghindari prasangka atau mengurangi prasangka. Monteith (dalam Crisp & Turner, 2007) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perbedaan individu dapat mempengaruhi tingkat prasangka. Secara regulasi, seseorang dapat mengatur dan mengelola prasangka terhadap seseorang atau sebuah kelompok tertentu.

2.2.4. Komponen prasangka

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, prasangka didefinisikan sebagai sikap negatif terhadap anggota kelompok sosial tertentu (Baron dalam Liliweri, 2005).

Menurut Thurstone (dalam Liliweri, 2005) mengemukakan bahwa sikap merupakan penguatan pengaruh positif atau negatif seseorang terhadap objek yang bersifat psikologis. Sikap memiliki 3 komponen yaitu berupa afeksi atau perasaan yaitu yang berkaitan dengan faktor emosional, perilaku atau psikomotorik yang memiliki kecenderungan untuk bertindak dan berperilkau, dan kognisi atau kepercayaan yaitu terkait dengan apa yang dipelajari, tentang apa yang diketahui berkaitan dengan suatu objek.

Liliweri (2005) melakukan penelitian terkait dengan prasangka terhadap kelompok suku bugis. Dalam penelitian tersebut terdapat tiga dimensi seperti yang dijelaskan di atas yaitu afektif, kognisi, dan psikomotorik. Kemudian dari dimensi tersebut Liliweri menguraikan ke dalam bentuk seperti misalnya kepercayaan, pendapat, perilaku, dan nilai seseorang terhadap kelompok suku bugis.

2.2.5. Sebab-Sebab Prasangka

(15)

Selama ini, prasangka telah diteliti oleh banyak penelitian. Hasilnya, banyak pro dan kontra antara hasil peneliti dengan sudut pandang yang berbeda. Jhonson (dalam Liliweri, 2005) menjelaskan bahwa prasangka disebabkan oleh gambaran perbedaan antar kelompok, kelompok mayoritas yang memiliki nilai untuk menguasai kelompok minoritas, stereotip antar etnik, serta kelompok etnik yang merasa superior sehingga menindas etnik atau kelompok lain yang inferior.

Menurut Zastrow (dalam Liliweri, 2005) menyatakan bahwa prasangka antar kelompok bersumber dari proyeksi sebagai mempertahankan ciri khas kelompok sebagai proteksi dari kelompok lain, frustasi, agresi, kekecewaan yang mengarah pada sikap menentang, ketidaksamaan serta kerendah dirian, kesewenang-wenangan, alasan historis, persaingan yang tidak sehat dan menjurus ke ekspoitasi, cara-cara sosialisasi yang berlebihan, serta cara memandang kelompok lain dengan pandangan sinis.

Gundykunst (dalam Liliweri, 2005) berpendapat bahwa prasangka bersumber dari timbulnya kesadaran terhadap sasaran-sasaran prasangka seperti misalnya bahwa sadar jika kelompok mereka memiliki perbedaan latar belakang kebudayaan serta kesadaran-kesadaran mental, kelompok etnis atau ras yang lain tidak mampu beradaptasi, kelompok etnik atau ras yang lain selalu terlibat tindakan negatif seperti misalnya penganiayaan dan kriminalitas, serta kelompok yang lain mengancam stabilitas sosial dan ekonomi

2.3. Identitas Sosial

(16)

2.3.1. Teori Identitas Sosial (SIT)

Teori Identitas sosial pertama kali diungkapkan oleh Henry Tajfel. Identitas sosial oleh Henry Tajfel pertama kali muncul pasca perang dunia II. Hal tidak lain adalah upaya peneliti psikologi di bidang sosial dalam menanggapi isu prasangka pasca perang dunia salah satunya terkait dengan Holocaust. Penelitian itu dilakukan dikarenakan untuk menjelaskan bahwa prejudice adalah salah satu bentuk manifestasi dari kekuatan yang tinggal di diri individu, seperti halnya frustasi ( Dollard, Doob, Miller, Mowrer & Sears dalam Hornsey, 2008). Menjadikan teori identitas sosial menjadi teori yang tenar, teori yang mendapatkan perhatian yang tinggi, serta teori yang paling berpengaruh di bidang penelitian group processes selama tahun 1980 sampai dengan 1990.

Identitas sosial didefinisikan sebagai bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari

keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu (Hornsey, 2008).

Menurut Hogg dan Abram (dalam Hornsey, 2008) menjelaskan social identity sebagai rasa keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat.

(17)

William James (dalam Hornsey, 2008) menjelaskan bahwa social identity dapat diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anakistrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman-temannya, milikinya, uangnya dan lain-lain. Sementara Fiske dan Taylor (dalam Hornsey, 2008) menekankan nilai positif atau negatif dari keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.

2.3.2. Minimal group paradigm

Teori identitas sosial memiliki fokus yang kuat pada konteks psikologi sosial dalam hal intergroup relations. Paradigma yang didapat dalam konteks hubungan antar kelompok adalah ‘kebersamaan’. Sebelum Tajfel meneliti tentag Identitas sosial, pada awal tahun 1970 tajfel terlebih dulu meneliti minimal group paradigm.

Dalam salah satu penelitiannya (Tajfel, Billig, Bundy & Flament, dalam Hornsey, 2008) partisipan dikategorikan sebagai ‘overestimator’ dan sebagai ‘underestimator’

berdasarkan hasil dari acakan berupa jumlah titik yang ada di halaman. Di lain eksperimen mereka dibagi kelompok secara random dengan cara melempar koin.

Setelah kelompok terbagi, maka partisipan diarahkan untuk memberikan poin atau nilai kepada teman sekelompoknya (ingroup) serta angota kelompok lain (outgroup).

Menurut para para partisipan, itu merupakan hal yang aneh karena mereka menilai orang lain tidak berdasar apapun. Hal itu dikarenakan sebelumnya antar partisipan tidak pernah berinteraksi, tidak pernah bertemu, serta tidak pernah mengenal sama

(18)

sekali. Oleh karena itu partisipan kebingungan, atas dasar apa mereka menilai partisipan lainnya.

Pada awalnya, partisipan menganggap hal yang diperintahkan merupakan hal yang konyol dan tidak masuk akal. Hal itu dikarenakan karena tidak ada konten dan kriteria untuk menilai partisipan lain. Terlebih partisipan sama sekali tidak berinteraksi dengan anggota grup, bahkan antar partisipan tidak bertemu dan tidak pernah mengenal sebelumnya. Setelah itu, ternyata partisipan kalah dari strategi alokasi poinnya. Hal itu terjadi karena biasanya poin membawa nilai yang mana di peraturan dalam ditukar dengan uang, namun partisipan secara ekplisit bercerita bahwa dirinya merasa bahwa kebermanfaatannya tidak sebanding dengan poin yang dialokasikan kepadanya. Hal itu menyebabkan dilema bagi partisipan. Oleh karena itu, pada hasil akhirnya partisipan lebih memilih nilai yang lebih tinggi kepada ingroup-nya daripada outgroup-nya. Dalam percobaan tersebut untuk memunculkan

rasa saling memiliki terhadap Ingroup maka diharuskan melakukan kompetisi dan konflik dengan outgroup. Karena menurut Tajfel, interaksi interpersonal melibatkan orang sepenuhnya sebagai individual, dengan tanpa kesadaran dalam pengkategorian sosial. Tajfel & Wilkes (dalam Hornsey, 2008) menjelaskan bahwa dalam kegiatan diatas terdapat proses sosial kognitif yang bekerja, sehingga akan membentuk ikatan menjadi ‘kita’ dan ‘mereka’ dalam interaksi antar partisipan.

Hasilnya pada spektrum akhir dari hubungan interpersonal adalah individu mengkonsepkan dirinya sebagai bagian dari kelompok, sehingga perilaku, memori,

(19)

sikap dan emosinya mendefinisikan mereka berdasarkan hal-hal unik dan istimewa yang dimiliki oleh kelompoknya tanpa dimiliki oleh kelompok lain. Selain itu individu yang menjadi anggota kelompok memiliki konsep diri yang mana salah satu bagian dari identitas sosial.

2.3.3. Kategorisasi Sosial (SCT)

Dalam teori identitas sosial terdapat konsep penting yang berkaitan dengan identitas sosial. Konsep tersebut adalah Social Categorization. Tajfel (dalam Hornsey, 2008) mengungkapkan bahwa kategorisasi sosial berkaitan dengan pengelompokan individu berdasarkan kategori-kategori berupa kelompok-kelompok tertentu, seperti misalnya kelas ras, pekerjaan, jenis kelamin, agama dan lain-lain.

Kategori sosial berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih dalam sebuah kelompok yang mana mempersepsikan dan mengartikan dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut.

Sebenarnya teori SCT adalah teori turunan dari SIT. Dalam SCT, Turner dan kolega memproses categorization ke dalam hal yang fundamental dalam SIT yaitu dengan bentuk spectrum-spektrum (Hornsey, 2008). Namun yang perlu dibedakan adalah bahwa ketika dalam teori social identity interpersonal dan intergrup merupakan searah. Pada teori social categorization intergroup dan interpersonal merupakan hal yang bertolak belakang (bipolar). (Turner dalam Hornsey, 2008).

Turner dan koleanya membagi tiga tingkatan self categorization.

(20)

a. Human Identity : Merupakan kategori superordinat yang mana individu menganggap dirinya adalah sebagai human being atau seorang manusia murni.

Individu menganggap dirinya hanya sebatas manusia, bukan mengkategorikan dirinya menjadi anggota-anggota kelompok tertentu.

b. Social Identity : Merupakan kategori intermediat, yang mana individu menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok-kelompok tertentu.

c. Personal Identity : Merupakan kategori subordinat, yang mana individu menganggap dirinya berasarkan dari perbandingan dirinya dengan orang lain atau interpersonal comparisons. (Hornsey & Hogg dalam Hornsey, 2008) Dalam melakukan level atau tingkatan di atas terdapat functional antagonism antara masing-masing pendefinisian diri yang mana mereka saling berpengaruh antar kelompok lain agar dapat masuk ke dalam kelompok tersebut.

2.3.4 Asumsi-Asumsi Umum Identitas Sosial

Tajfel (dalam Hogg & Abrams, 2000) mengungkapkan terdapat asumsi-asumsi umum terhadap konsep identitas sosial, yaitu adalah sebagai berikut :

a. Setiap individu selalu berusaha untuk merawat atau meninggikan self esteemnya: mereka berusaha untuk membentuk konsep diri yang positif.

b. Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Karenanya, identitas sosial mungkin positif atau negatif tergantung evaluasi (yang mengacu pada konsensus sosial,

(21)

bahkan pada lintas kelompok) kelompok tersebut yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu.

c. Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mendeterminasikan dan juga sebagai bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik.

2.3.5. Collective Self Esteem (CSE)

Liu (2002) menjelaskan bahwa identitas nasionaldan identitas etnis adalah salah satu contoh dalam konsep identitas sosial yang mana dapat terjadi secara bersama- sama dan terjadi secara berurutan dengan perbedaan tingkatan dalam pengaruh berdasar situasinya. Dalam penelitiannya terhadap identitas nasional dan identitas etnis liu melakukan pengukuraan dengan menggunakan alat ukur CSE yang mana berbentuk 12 butir skala Likert yang mana dikembangkan oleh Luhtanen & Crocker (1992). Dapat disimpulkan maka alat ukur CSE dapat digunakan untuk mengukur identitas sosial seseorang dalam sebuah kelompok atau grup. Seperti contohnya ketika Liu dapat menggunakan CSE untuk mengukur identitas nasional dan identitas etnis, maka kita abisa menggunakan CSE untuk mengukur identitas sosial kelompok anggota perguruan pencak silat.

Seperti yang kita tahu bahwa identitas sosial dapat diartikan bahwa konsep diri pribadi individu sebagai bagian dari anggota kelompok. Dremer (dalam De Cremer,2000) mengasumsikan bahwa invididu akan berjuang untuk membuat perasaan positif terhadap kelompoknya untuk meningkatkan self esteem serta

(22)

menggunakannya untuk melindungi kebiasaan perilakunya. Individu akan selalu memberikan kesan positif kepada kelompoknya dan memberikan kesan yang negatif kepada kelompok lainnya (Brewer dalam De Cremer, 2000). SIT diasumsikan memiliki hubungan berbanding lurus dengan collective self esteem dan perbedaan intergup (Abrams and Hogg, 1988; Messick and Mackle, 1989; Hogg and Sunderland, 1991). Crocker (dalam De Cremer, 2000) menjelaskan bahwa self esteem yang muncul dari identitas sosial seharusnya memang dapat dihitung. Dia mengeksplorasi dan menyimpulkan dalam proses pengukuran, jika individu memiliki CSE yang tinggi maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap kelompoknya dan memberikan nilai yang negatif kepada kelompok lain dibandingkan dengan individu dengan CSE yang rendah.

2.3.6. Dimensi collective self esteem (CSE)

Dalam pembuatan skalanya, Luhtanen & Crocker (1992) membagi CSE menjadi 4 dimensi. Adapun dimensi-dimensi tersebut adalah :

a. Membership self-Esteem

Dimensi ini mengukur seberapa baik atau layak seseorang sebagai anggota darisebuah kelompok. Dalam dimensi ini seseorang akan melihat bagaimana posisi seseorang dalam keanggotaan sebuah kelompok tersebut. Penilaian tersebut dapat diwujudkan seperti misalnya partisipasi individu tersebut atau perasaan kelayakaan individu dalam sebuah kelompok.

b. Private Collective Self-Esteem

(23)

Dimensi ini mengukur seberapa baiksesorang dalam kelompok sosial tersebut.

Dalam hal ini individu akan menilai dan melihat dirinya dalam sebuah kelompok.

Seperti misalnya apakah dirinya nyaman atau bahagia sebagai anggota dari sebuah kelompok tersebut.

c. Public Collective Self-Esteem

Dimensi ini mengukur bagaimana seseorang percaya dengan evaluasi orang lain terhadap kelompok sosial yang dimilikinya. Hal itu berkaitan dengan bagaimana seseorang dalam menilai kelompok sosialnya.

d. Importance to Identity

Seberapa penting kelompok sosial dalam membentuk konsep diri dari anggota kelompok. Dimensi ini mengukur terkait dengan identitas diri seseorang dengan kelompok yang dimilikinya. Apakah kelompok tersebut merupakan identitasnya, dan apakah identitas individu tersebut dibentuk dan berdasarkan dari keanggotaanya pada kelompok tersebut.

2.4. Hubungan antara identitas sosial dengan prasangka

Dari berbagai faktor yang menyebabkan konflik, prasangka adalah merupakan faktor utama penyebab konflik. Hal itu diperkuat oleh Liu (2005) yang menyatakan bahwa prasangka dan diskriminasi yang berakibat dari pengalaman masa lalu akan memunculkan konflik. Ungkapan dari Liu diperkuat oleh Gaertner & Dovidio (dalam Crisp & Turner, 2007). Gaertner & Dovidio (dalam Crisp & Turner, 2007) mendefinisikan bahwa prasangka yang terjadi secara aversif di akibatkan adanya

(24)

konflik antar kelompok. Dari pernyataan-pernyataan dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa prasangka dapat menyebabkan konflik dan konflik juga dapat memunculkan prasangka.

Konflik juga disebabkan atas adanya kategorisasi sosial (Crisp & Turner, 2007).

Orang akan mengelompokkan dirinya masuk ke dalam kategori-kategori tertentu.

Seperti misalnya ras, agama, jenis kelamin, pekerjaan dan lain-lain. Kategorisasi sosial penyebabkan orang akan berbicara tentang ‘kita’ dan ‘mereka’. Kategorisasi sosial menjadikan individu masuk ke dalam outgroups dan ingroups (Tajfel dalam Hornsey, 2008). Adanya outgroup dan ingroup menyebabkan adanya intergroup bias.

Intergroup bias inilah yang menyebabkan prasangka.

Identitas sosial juga berkaitan erat dengan kategorisasi sosial. Kategorisasi sosial adalah turunan dari identitas sosial. Hornsey (2008) menjelaskan bahwa identitas sosial dan kategorisasi sosial memiliki spektrum-spektrum yang sama dalam penelitian minimal group paradigm. Asumsinya adalah ketika seseorang telah mengkategorisasikan dirinya ke dalam sebuah kelompok, hal itu secara langsung akan memunculkan identitas sosialnya. Seperti yang dijelaskan diatas identitas sosial adalah konsep diri dari seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut (Tajfel dalam Hornsey,2005). Contohnya adalah ketika seseorang mengkategorikan dirinya sebagai anggota dari PSHT atau PSHW,

(25)

maka hal itu dianggap bahwa dirinya memiliki identitas sosial sebagai PSHW atau PSHT.

Dalam teori identitas sosial, seseorang akan berafiliasi kedalam sebuah kelompok untuk meningkatkan percaya dirinya. Ketika seseorang mendapatkan kepercayaan diri melalui dirinya atau kelompoknya itulah yang disebut identitas sosial (Suryanto dkk, 2012). Untuk mendapatkan harga diri tersebut maka akan muncul kategorisasi sosial yang kemudian akan ada rasa meremehkan “mereka” atau outgroup untuk memberikan rasa aman terhadap “kita” atau ingroup. Adanya proses meremehkan kelompok outgroup serta selalu memandang baik kelompok ingroup pada akhirnya membuat manusia memiliki prasangka terhadap outgroup (Suryanto dkk, 2012).

Untuk lebih jelasnya latar belakang terkait munculnya teori identitas sosial didasari atas adanya prasangka pasca perang dunia II pada kelompok Holocaust. Pada saat itu dilakukan penelitian minimal group paradigm sebagai tanggapan atas isu prasangka sebagai salah satu manifestasi dari kekuatan yang tinggal dari diri individu seperti halnya frustasi (Dollard, Doob, Miller, Mowrer & Sears dalam Hornsey, 2008).

Selain itu juga terdapat penelitian terkait dengan Identitas sosial dan prasangka pada konflik. Penelitian yang berjudul ‘Hubungan Identitas Sosial dan Prasangka pada Remaja yang Mengalami Konflik di Ambon’ tersebut ditulis oleh Hira Andira Putri Lewenussa & Sri Fatmawati Mashoedi. Lewenussa & Mashoedi (2007) menjelaskan bahwa adanya konflik akan berpengaruh dalam pembentukan identitas sosial. Selain itu konflik juga mempengaruhi prasangka terhadap kelompok lain. Kelompok perlu

(26)

membentuk identitas sosial yang positif serta mempertahankan identitas sosial mereka terhadap ancaman-ancaman dari kelompok lain. Adanya ancaman terhadap identitas sosial akan direspon dengan meningkatkan ingroup dalam kelompok secara positif. Bila ancaman tersebut kuat maka diferensiasi akan muncul dalam bentuk intergroup bias. Yaitu akan terjadi evaluasi antara ingroup dan outgroup. Evaluasi

yang dilakukan adalah semakin memandang positif ingroup dan sebaliknya adalah memandang negatif outgroup. Sampai pada saat itu akan terbentuk sikap dan perilaku antar kelompok yang memandang rendah secara terbuka (open derogatory) yang disebut prasangka (Brown, dalam Lewenussa & Mashoedi, 2007).

Suryanto dkk (2012) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara prasangka dengan konflik. Konflik adalah sebuah persaingan atau kompetisi.

Adanya persaingan tersebut menimbulkan sebuah kebencian. Dalam eksperimen Robbers Cave, Taylor & Moghaddam (dalam Suryanto dkk, 2012) akan ada

kelompok minoritas atau juga disebut dengan kelompok lemah dan mayoritas atau disebut dengan kelompok kuat. Kelompok minoritas akan merasa benci dan frustasi dan kelompok mayoritas akan merasa terancam dan protektif. Darisanalah timbul konflik dan berujung pada sebuah prasangka. Penjelasannya adalah dalam dua kelompok tersebut akan muncul sebuah kebencian, bukan karena mereka benci karena kekurangan yang mereka, namun juga dikarenakan perampasan hubungan atau dikenal dengan relative deprivation (Suryanto dkk, 2012).

(27)

2.5. Kerangka Konseptual

Gambar 2.1

Kerangka konseptual penelitian

Jika mengacu pada kerangka konseptual diatas maka nampak bahwa identitas sosial dapat mempengaruhi adanya prasangka. Karena ketika seseorang memiliki identitas sosial yang tinggi, maka dia akan menilai positif memiliki kecenderungan untuk menilai positif ingroup serta penilaian negatif kepada kelompok lain atau outgroup. Penilaian negatif terhadap outgroup tersebut menyebabkan adanya prasangka.

2.6. Hipotesis

Ada hubungan antara identitas sosialdengan prasangka pada anggota perguruan PSHW terhadap perguruan PSHT di ranting Jiwan Madiun

Identitas Sosial

Prasangka

Referensi

Dokumen terkait

1. Pengetahuan bencana siswa kelas III SD Negeri 2 Gunung Kemala Timur masih rendah. Sikap sosial yaitu sikap tanggung jawab dan sikap peduli siswa kelas III SD Negeri

Berkaitan dengan masalah perbankan, pada saat tersebut utusan Pemerintah mengalami kesulitan untuk mengusahakan agar Bank Negara Indonesia yang telah didirikan sejak

Setiap anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali kepada Pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat

Menurut Dewi (2015), Penilaian Tindakan Kelas ialah upaya yang dilakukan secara terencana dan sistematis dengan melakukan refleksi terhadap praktik selanjutnya

Penyusunan Perubahan Renja Dinas Kearsipan dan Perpustakaan dimaksudkan untuk mengoptimalkan ketercapaian indikator kinerja Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Tahun 2019,

keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Apabila penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial, maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau

Hasil identifikasi fauna ikan di Kawasan Mangrove Teluk Pangpang ditemukan kelimpahan dan biomassa yang tinggi pada jenis ikan bedul ( A. caninus ) sebanyak 975 ind sebesar 18.299,56

Membuat konsep pembelajaran (RPP), menyusun konsep pembelajaran, berupa pembukaan, inti dan penutup. Pembukaan berupa motivasi awal untuk membuka materi agar peserta