1
Pengaruh Ketebalan terhadap Sifat Optik Lapisan Semikonduktor Cu
2O yang Dideposisikan dengan Metode Chemical Bath Deposition
(CBD)
GERALD ENSANG TIMUDA
Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia E-MAIL : [email protected]
AKHIRUDDIN MADDU
Departemen Fisika – FMIPA, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Indonesia
INTISARI : Semikonduktor Cu2O telah dipertimbangkan sebagai material yang digunakan untuk membuat sel surya dengan biaya rendah dan mudah dibuat dengan metode sederhana seperti Chemical Bath Deposition (CBD). Telah dilakukan pelapisan semikonduktor Cu2O di atas gelas preparat dengan metode CBD. Ketebalan lapisan memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat optik material antara lain absorbansi, transmitansi dan konstanta peredaman. Semakin tebal lapisan akan menyebabkan nilai absorbansi dan konstanta peredaman semakin besar, dan nilai transmitansi semakin kecil.
Pendugaan band gap menggunakan kurva (αhυ)2 vs. hυ menunjukkan bahwa sampel semikonduktor Cu2O bernilai sekitar 2,35 eV yang bersesuaian dengan penelitian sebelumnya.
KATA KUNCI : semikonduktor Cu2O, chemical bath deposition (CBD), absorbansi, transmitansi, optical band gap
ABSTRACT : Cu2O semiconductor material has been considered as the material used to build solar cell with low cost and easy to make using simple method such as chemical bath deposition (CBD). Coating of the semiconductor has been made on glass substrate with this method. The thickness of the film influence several optical characteristics such as absorbance, transmittance and attenuation constant. The thicker the film resulting in the value of absorbance and attenuation constant became bigger, and the value of transmittance became smaller. The band gap estimation using (αhυ)2 vs. hυ curve shows that the band gap of the samples are about 2.35 eV, in accordance to the previous research.
KEYWORDS: semiconductor Cu2O, chemical bath deposition (CBD), absorbance, transmittance, optical band gap.
1 PENDAHULUAN
Kebutuhan manusia akan energi sangat besar, cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis dalam abad ini. Kebutuhan energi di bumi diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini, sehingga akan terjadi kekurangan energi yang besar, kecuali energi terbaharukan bisa menutupi kekurangan pokok yang ditinggalkan oleh bahan bakar fosil (minyak bumi). Untungnya, pasokan energi dari matahari ke bumi sangat besar : 3 x 1024 Joule setahun atau sekitar 10.000 kali konsumsi populasi global saat ini. Dengan kata lain, andaikan kita dapat menutupi 0,1% permukaan bumi dengan sel surya yang memiliki efisiensi 10%, maka kebutuhan energi saat ini akan terpenuhi.[1] Karena itulah, studi tentang sel surya selalu menarik untuk dipelajari. Semikonduktor Cuprous Oxide, Cu2O, merupakan salah satu semikonduktor paling ‘tua’ yang pernah dikenal. Semikonduktor ini telah dipertimbangkan sebagai material yang menjanjikan untuk pembuatan aplikasi sel surya dengan biaya rendah.[2] Sebagai material sel surya, cuprous oxide memiliki keuntungan biaya pembuatan yang rendah dan ketersediaan yang tinggi. Khususnya, karena ia mudah dihasilkan dari tembaga, dan karenanya, merupakan salah satu material semikonduktor yang paling ‘tidak mahal’ dan paling tersedia untuk sel surya. Cuprous oxide memiliki band gap sekitar 2,0 eV yang merupakan rentang yang bisa diterima untuk konversi energi surya, karena semua semikonduktor dengan band gap antara 1 eV dan 2 eV adalah material yang disukai untuk sel photovoltaic[2]. Karakterisasi optik merupakan salah satu metode karakterisasi yang digunakan pada material, terutama material semikonduktor. Beberapa sifat optik yang berguna bisa didapatkan dari karakterisasi optik ini, antara lain absorbansi, transmitansi, koefisien peredaman, dan band gap. Penentuan nilai band gap merupakan salah satu langkah penting karena menjadi salah satu parameter utama dalam menentukan aplikasi yang sesuai untuk suatu material semikonduktor.
2. METODOLOGI
Lapisan semikonduktor Cu2O ditumbuhkan pada substrat gelas preparat. Tiga buah gelas preparat dibersihkan dengan membasuhnya menggunakan air aquades, mencelupkannya ke dalam larutan H2SO4 1M selama + 10 menit dan membilasnya menggunakan air aquades. Larutan NaOH 1M sebanyak 100 ml disiapkan ke dalam gelas pyrex, yang kemudian disebut larutan A dan dipanaskan sampai + 70 0C. Larutan
2
B, yaitu larutan kompleks tembaga tiosulfat (3Cu2S2O3.2Na2S2O3),[8] disiapkan dengan mencampur 1 M natrium tiosulfat (Na2S2O3) sebanyak 125 ml dengan 1 M larutan tembaga sulfat (CuSO4) sebanyak 25 ml.
Hasil dari percampuran ini diencerkan dengan air aquades sebanyak 250 ml.[7] Setengah dari larutan B dipergunakan untuk deposisi. Proses deposisi dilakukan dengan mencelupkan ketiga gelas preparat yang telah dibersihkan secara bergantian ke dalam larutan A selama + 20 detik dan larutan B selama + 20 detik tanpa ada jeda waktu antara kedua pencelupan. Dengan melakukan langkah ini berarti 1 siklus telah dlakukan (Gambar 1). Percobaan dilakukan dengan mengulang siklus sebanyak 10 x untuk sampel 1, 20 x untuk sampel 2, dan 30 x untuk sampel 3. Semakin banyak pencelupan, semakin tebal lapisan yang terbentuk. Tiap pencelupan sebanyak 10 siklus, ketebalan bertambah sebesar ≈ 0,15 µm.[8] Sehingga, akan didapatkan sampel dengan urutan ketebalan sebagai berikut: ketebalan lapisan sampel 1 < ketebalan lapisan sampel 2 <
ketebalan lapisan sampel 3. Penelitian sifat optik dilakukan dengan melewatkan sumber cahaya polikromatis (putih) ke lapisan semikonduktor, kemudian menangkap cahaya yang ditransmisikan dengan serat optik untuk kemudian diteruskan dan diolah oleh spektrofotometer Ocean Optic USB 2000. Spektrofotometer ini terhubung ke komputer sehingga melalui perangkat lunak khusus, data bisa diekstrak dan diolah lebih lanjut menggunakan Microsoft Office Excell (Gambar 2). Prosedur pengambilan data adalah pertama kali merekam data intensitas referensi (I0), yang dalam hal ini adalah intensitas transmisi gelas preparat, kemudian merekam data intensitas gelap/background (ID) dan terakhir merekam data intensitas transmisi sampel (I).
Nilai absorbansi (A) ditentukan berdasarkan persamaan:[6,10,12]
D D
I I
I
A log I0 (1)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Absorbansi
Secara umum nilai absorbansi untuk semua sampel menurun untuk panjang gelombang yang lebih besar, yang merupakan karakteristik penyerapan pada semikonduktor Cu2O. Semakin tebal sampel, terjadi kenaikan nilai absorbansi pada semua panjang gelombang (Gambar 3). Hal ini dikarenakan semakin tebal sampel berarti semakin banyak lapisan yang terbentuk, sehingga semakin banyak molekul Cu2O yang terlibat dalam proses penyerapan cahaya tampak. Sehingga, nilai absorbansi (untuk penyerapan pada panjang gelombang yang sama) akan lebih besar pada sampel yang lebih tebal. Pada pengamatan absorbansi pada panjang gelombang 650 nm, dilakukan perbandingan nilai absorbansi untuk kesemua sampel. Dengan mengambil sampel 1 sebagai acuan, didapatkan kenaikan relatif nilai absorbansi sampel 2 sebesar 308,33%
dan sampel 3 sebesar 527,08 % (Tabel 1).
3.2. Transmitansi
Transmitansi (T) merupakan perbandingan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan (dilewatkan) oleh sampel dibandingkan dengan intensitas referensi. Nilai transmitansi bisa pula diturunkan dari nilai absorbansi melalui persamaan berikut:[12]
A = – log T (2a) atau
Ocean Optic USB 2000
Sample holder
Gambar 2. Bagan setup karakterisasi optik
Gambar 1. Bagan Chemical Bath Deposition
3
T = 10 –A. (2b)
Dengan menggunakan Persamaan (2b) di atas, didapatkan kurva hubungan antara transmitansi terhadap panjang gelombang seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Secara umum, semakin besar ketebalan lapisan menyebabkan transmitansi menjadi semakin mengecil. Hal ini disebabkan semakin tebal lapisan berarti semakin banyak molekul yang terlibat dalam penyerapan energi cahaya yang diberikan, sehingga semakin sedikit fraksi energi yang bisa dilewatkan. Akibatnya semakin kecil nilai transmitansinya. Pada pengamatan pada panjang gelombang 650 nm, terjadi penurunan nilai transmitansi sampel 2 dan sampel 3 relatif dibandingkan nilai transmitansi pada sampel 1 sebagai acuan (Tabel 2). Pada sampel 2 nilai transmitansi relatif turun menjadi 79,43% transmitansi sampel 1, sedangkan pada sampel 3 nilai transmitansi relatif turun menjadi 62,37% transmitansi sampel 1.
3.3. Konstanta Peredaman
Jika gelombang cahaya mengenai suatu material, maka intensitas gelombang cahaya tersebut akan diredam / mengalami atenuasi pada jarak yang pendek. Amplitudo gelombang akan berkurang secara eksponensial. Pengurangan intensitas ini berbeda untuk material yang berbeda. Contohnya pada logam pengurangannya kuat, tetapi kurang kuat untuk material dielektrik seperti gelas.[5] Salah satu parameter untuk mengetahui efek peredaman tersebut adalah konstanta peredaman. Konstanta peredaman (k) didapatkan melalui persamaan:[5]
4
k (3) Tabel 2. Perbandingan relatif nilai
transmitansi sampel 1,2 dan 3 pada panjang gelombang 650 nm Tabel 1. Perbandingan relatif nilai absorbansi sampel 1,2 dan 3 pada panjang
gelombang 650 nm
Gambar 3. Kurva Absorbansi Sampel 1,2 dan 3
Gambar 4. Kurva Transmitansi Sampel 1,2 dan 3
4
dengan α adalah koefisien absorbsi yang merupakan fungsi terhadap absorbansi (A), yang didapatkan melalui persamaan:[6]
d A / 303 ,
2
(4) dengan d adalah ketebalan lapisan. Dengan menggunakan Persamaan (3) dan (4) di atas, didapat hubungan antara konstanta peredaman terhadap panjang gelombang cahaya yang diterima sampel yang ditampilkan pada Gambar 5. Semakin tebal lapisan membuat konstanta peredaman semakin besar. Hal ini karena semakin tebal lapisan semikonduktor yang terdeposisi menyebabkan semakin banyak molekul yang berperan dalam proses penyerapan cahaya. Sehingga, semakin banyak fraksi energi yang bisa diserap yang tercermin dalam nilai konstanta peredaman yang semakin besar. Pada pengamatan konstanta peredaman pada panjang gelombang 650 nm, terjadi kenaikan nilai konstanta peredaman pada sampel 2 dan 3 dibandingkan sampel 1 sebagai acuan (Tabel 3). Pada sampel 2, nilai konstanta peredaman naik menjadi 308,33%konstanta peredaman sampel 1, sedangkan pada sampel 3 nilai konstanta peredaman menjadi 527,08% nilai konstanta peredaman sampel 1.
3.4. (Optical) Band Gap
Band gap atau pita terlarang adalah daerah energi yang memisahkan level energi konduksi dan valensi dari suatu material semikonduktor.[4] Jika suatu material semikonduktor intrinsik diberi energi yang lebih besar daripada nilai band gap ini maka elektron yang terdapat pada level valensi akan mampu melewati pita terlarang untuk menuju pita konduksi. Pengetahuan tentang nilai band gap ini sangat perlu didapatkan untuk mengetahui seberapa besar energi yang diperlukan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi menuju pita konduksi. Dengan demikian, aplikasi terbaik untuk material ini bisa didapatkan. Salah satu metode untuk mengetahui nilai band gap adalah dengan menggunakan karakterisasi optik, dengan memanfaatkan kurva hubungan antara (αhυ)2 vs. hυ berdasarkan persamaan:[2,6]
2
)
/( hv Eg
nA
ahv
(5) dengan A adalah konstanta dan n adalah bilangan yang bergantung sifat transisi. Dalam hal ini n bernilai 1 yang mengacu pada transisi langsung dari pita valensi ke pita konduksi.[2,6] Dengan mengambil garis linear sehingga berpotongan dengan sunbu X (sumbu hυ) maka dapat dilakukan dugaan terhadap nilai band gap pada titik potong tersebut (Gambar 6). Pada sampel 1, 2 dan 3 nilai dugaan band gap tidak berbeda yaitu sekitar 2,35 eV. Hal ini mengindikasikan tidak terdapatnya pengaruh ketebalan terhadap nilai band gap.Hasil yang didapatkan ini bersesuaian dengan penelitian sebelumnya tentang band gap material semikonduktor Cu2O yaitu sekitar 2 eV; 2,1 eV; 2,2eV; 2,35 eV dan 2,45 eV.[8]
4. KESIMPULAN
Ketebalan lapisan memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat optik material antara lain absorbansi, transmitansi dan konstanta peredaman. Semakin tebal lapisan akan menyebabkan nilai absorbansi dan
Tabel 3. Perbandingan relatif konstanta peredaman sampel 1,2 dan 3 pada
panjang gelombang 650 nm
Gambar 5. Kurva Konstanta Peredaman Sampel 1,2 dan 3
5 konstanta peredaman semakin besar dan nilai transmitansi semakin kecil. Sementara itu, nilai dugaan bandgap dari sampel 1, 2 dan 3 bernilai sama, yaitu sekitar 2,35 eV. Jika dibandingkan pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai absorbansi pada sampel 1, 2 dan 3 secara berturut-turut sebesar 0,048; 0,148 (308,33% absorbansi sampel 1) dan 0,253 (527,08% absorbansi sampel 1). Nilai konstanta peredaman pada sampel 1, 2 dan 3 secara berturut-turut sebesar 1,27 x 10-11; 3,92 x 10-11 (308,33 % konstanta peredaman sampel 1) dan 6,67 x 10-11 (527,08% konstanta peredaman sampel 1). Nilai transmitansi sampel 1, 2 dan 3 secara berturut-turut sebesar 89,54%; 71,12% (79,43% transmitansi sampel 1) dan 55,85% (62,37%
transmitansi sampel 1).
DAFTAR PUSTAKA
[1] M. Gratzel, Nature 414, 338 (2001)
[2] V. Georgieva dan A. Tanusevski, BPU-5: Fifth General Conference of the Balkan Physical Union, Vrjačka Banja, Serbia Montenegro, 2003, hlm. 2311 – 2315.
[3] M. Abdullah, Pengantar Nanosains (Penerbit ITB, Bandung, 2009)
[4] G. Wolfbauer, The Electrochemistry of Dye Sensitized Solar Cells, their Sensitizers and their Redox Shuttles (Thesis, Department of Chemistry . Monash University Clayton 3168 Melbourne, Australia), hlm. 9 – 13
[5] R.E. Hummel, Electronic Properties of Materials (Springer Science+ Bussines Inc: Amerika Serikat, 2001), Ed. 3
[6] M.Y. Nadeem dan W. Ahmed, Turk J Phy 24, 651 (2000)
[7] P. Petrov et al.,Journal of Optoelectronics and Advanced Material 5(5), 1101 (2003) [8] N. Serin, Semicond. Sci. Technol. 20, 398 (2000)
[9] M. Ristov et al., Chemical deposition of Cu2O thin film (Elsevier Sequoia, Netherland) [10] USB 2000 Fiber Optic Spectrometer Operating Instructions (Ocean Optic, Inc., USA, 2003) [11] J. Medina-Valtierra et al., Thin Solid Films 460, 58 (2004)
[12] H.H. Willard et al., Instrumental Methods of Analysis (Wadsworth Publshing Company: Belmont, California, Amerika Serikat, 1988), Ed. 7
[13] E. Hecht, Optics (Addison Wesley, San Francisco, Amerika Serikat, 2002), Ed. 4 Gambar 6. Penentuan Band Gap
pada Sampel 1,2 dan 3
6
Nanokristalisasi Superkonduktor Bi
2SrCa
2Cu
3O
10+xdan Bi
1.6Pb
0.4Sr
2Ca
2Cu
3O
10+6dengan Metode Kopresipitasi dan
Pencampuran Basah
HENRY WIDODO
Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek LIPI - Jl. Cisitu Sangkuriang 21/154D Bandung, Indonesia
E-MAIL : [email protected] DARMINTO
Departemen Fisika – FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jl. Arief Rakman Hakim Surabaya, Indonesia
INTISARI : Telah disintesis nanokristal superkonduktor Bi2Sr2Ca2Cu3O10+ dan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ dengan metode kopresipitasi dan pencampuran basah. Sesuai dengan analisis XRD, pembentukan fasa 2223 lebih baik dengan metode pencampuran basah daripada kopresipitasi, hasilnya fraksi volume fasa 2223 tanpa Pb dan doping Pb berturut-turut mencapai 85,80% and 87,57%, setelah sintering pada 8400C selama 8x1jam. Sampel secara bersamaan memiliki Tc = 79,6 K dan 98,3 K; dan ukuran kristal 170,30 nm, 216,47 nm. Sampel juga menunjukkan gejala ferromagnetik untuk fasa 2223 tanpa Pb sedangkan yang doping Pb bersifat paramagnetik.
KATA KUNCI : superkonduktor, nanokristal, ferromagnetik.
ABSTRACT : Superconducting Bi2Sr2Ca2Cu3O10+ and Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ nanocrystal have been synthesized using coprecipitation and wet-mixing method. According to XRD analysis on the 2223 phase formation, it was found that the wet-mixing process exihibited a better method than the coprecipitation, resulting in samples without and with Pb doping having volume fraction of 2223 phase exceeding 85,80% and 87,57% respectively, after sintering at 8400C for 8x1hour.
The corresponding samples have Tc = 79,6 K and 98,3 K; and crystal size of 170,30 nm, 216,47 nm. Sample also demonstrated a ferromagnetic effort for 2223 phase without Pb while with Pb doping exihibited paramagnetic.
KEYWORDS: superconduktor, nanocrystal, ferromagnetic.
1 PENDAHULUAN
Pada tahun 1911 fisikawan Belanda, Heike Kamerling Onnes, menemukan dalam risetnya di laboratorium Leiden menunjukkan bahwa resistivitas dc dari mercury tiba-tiba menurun drastis menuju nol dalam kondisi sampel dibawah 4,2 K, titik leleh dari helium cair. Fenomena ini dinamakannya sebagai superkonduktif. Pada tahun 1930 temperatur kritis tinggi untuk semua logam-logam murni ditemukan dalam Nb, Tc = 9,2 K. Tahun 1933 Meissner dan Ochsenfeld menemukan sifat superkonduktor yang lain yakni diamagnetik sempurna. Mereka mencatat bahwa fluks magnetik dipaksa keluar dari dalam sampel dengan kondisi temperatur dingin di bawah temperatur kritis dalam medan magnet eksternal lemah. Bahan-bahan superkonduktor tersebut dikenal sebagai superkonduktor konvensional, kemudian tahun 1987 group peneliti di Alabama dan Houston menemukan bahan superkonduktor berbasis keramik YBa2Cu3O7-x Tc = 92 K, titik leleh nitrogen cair 78 K. Kemudian di awal tahun 1988, Bi- dan Tl- kuprat oksida ditemukan dengan Tc = 110 K dan 125 K. Bahan-bahan superkonduktor ini disebut sebagai Superkonduktor Suhu Tinggi (SKST) [1].
Baru-baru ini sekelompok peneliti dari India menemukan bahan nano-oksida seperti ceria (CeO2), alumina (Al2O3) dalam kondisi temperatur kamar menunjukkan gejala ferromagnetik yang menarik.
Dilaporkan bahwa asal ferromagnetik pada temperatur kamar ini dikarenakan oleh munculnya momen magnetik dari kekosongan oksigen pada permukaan nanopartikel. Dihipotesakan bahan nanopartikel oksida juga menunjukkan gejala ferromagnetik pada temperatur kamar [5].
Dilakukannya penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai yakni, (a) untuk terbentuknya nanokristalin fasa Bi2Sr2Ca2Cu3O10+, Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ dominan dengan metode kopresipitasi dan pencampuran basah, (b) mengukur temperatur kritisnya, (c) mengetahui gejala kemagnetannya.
Bahan SKST Bi2Sr2Ca2Cu3O10+ merupakan bahan superkonduktor tipe II, di mana pada tipe II selain ada daerah Meissner (= 0, B = 0) dan daerah normal (≠ 0, B ≠ 0) juga terdapat daerah campuran dengan (= 0, B ≠ 0) pada Gambar 2.1 sehingga ada sebagian fluks magnet yang menembus bahan superkonduktor [1].
Struktur kristal dari fasa Bi-2223 Gambar 1 membentuk struktur orthorombik dengan panjang ikatan antar atom disajikan pada Tabel 2.1. Rantai Sr-Sr memiliki ikatan yang paling lemah, sedangkan atom Cu(1) sebagai kation yang paling tidak stabil memiliki tiga rantai ikatan yaitu Cu(1)-Ca, Cu(1)-O(1) dan Cu(1)-
7 Ikatan Jarak antar atom (Ǻ)
Bi – Bi 3,508
Bi – Sr 3,346
Bi – O(3) 2,231
Sr – Sr 3,832
Sr – Ca 3,718
Sr – O(2) 2,669
Sr – Cu(2) 3,512
Sr – O(4) 3,093
Ca – Ca 2,231
Ca – O(2) 2,669
Ca – Cu(1) 2,927
Ca – Cu(2) 3,088
Ca – O(1) 2,217
Cu(1) – O(1) 1,916
Cu(1) – Cu(2) 2,603
Cu(2) – O(2) 1,951
Cu(2). Rantai ikatan Cu(1)-O(1) merupakan ikatan paling kuat (r = 1,916 Ǻ). Atom oksigen O(3) hanya memiliki satu rantai ikatan dengan atom Bi dengan panjang ikatan sebesar 2,231 Ǻ.
Gambar 1. Superkonduktor tipe-II. (a) Kurva medan kritis terhadap temperatur.
(b) fluks magnet pada jangkauan medan kritis.
Gambar 2. Struktur kristal orthorombik Fasa Bi-2223 a = 5,425(1) Ǻ, b = 5,414(1) Ǻ, c = 37,186(6) Ǻ, α = β = γ = 90° [9].
Sistem Bi-Sr-Ca-Cu-O mempunyai tiga fasa superkonduktif dengan Tc = 9 - 22 K, 80 K dan 110 K bersesuaian dengan komposisi nominal berturut-turut Bi2Sr2Ca0Cu1O5 (fasa 2201), Bi2Sr2Ca1Cu2O8 (fasa 2212) dan Bi2Sr2Ca2Cu3O10 (fasa 2223). Fasa 2223 terbentuk melalui proses pengintian dan penumbuhan fasa 2212. Penumbuhan fasa 2223 terjadi pada suhu sintering 840°C hingga 880°C dengan periode antara 100-624 jam. Penelitian pada lapisan tipis senyawa Bi-Sr-Ca-Cu-O mengungkapkan bahwa fasa 2212 tumbuh dari fasa 2201 juga melalui mekanisme pengintian, penumbuhan dan transformasi antara kedua fasa tersebut berlangsung secara reversible [10].
Penelitian pada lapisan tipis senyawa Bi-Sr-Ca-Cu-O mengungkapkan bahwa fasa 2212 tumbuh dari fasa 2201 juga melalui mekanisme pengintian, penumbuhan dan transformasi antara kedua fasa tersebut berlangsung secara reversible [10].
Tabel 1. Jarak antar atom / r (Ǻ) pada fasa Bi-2223 dihitung dari program analisa Rietveld (Sistin, 2006).
simbol atom :
Bi Sr Ca Cu O
8
Gambar 3. Diagram Fasa Superkonduktor Sistem Bi-2201, Bi-2212, Bi-2223[2]).
Senyawa dikatakan berbasis kuprat jika memiliki bidang CuO2. Kuprat pada superkonduktor disebut sebagai superkonduktor suhu tinggi (SKST). Kuprat yang didoping dengan hole kemudian didinginkan maka menjadi superkonduktif. Contoh-contoh material berbasis kuprat yang menjadi superkonduktif pada Tabel 2.
Tabel 2. Label beberapa kuprat
Kuprat Jumlah Bidang CuO2 Tc (K) Label
La2-xSrxCuO4 1 38 LSCCO
Nd2-xCexCuO4 1 24 NCCO
YBa2Cu3O6+x 2 93 YBCO
Bi2Sr2CuO6 1 ~12 Bi2201
Bi2Sr2CaCu2O8 2 95 Bi2212
Bi2Sr2Ca2Cu3O10+x 3 110 Bi2223
Tl2Ba2CuO6 1 95 Tl2201
Tl2Ba2CaCu2O8 2 105 Tl2212
Tl2Ba2Ca2Cu3O10 3 125 Tl2223
TlBa2Ca2Cu4O11 3 128 Tl1224
HgBa2CuO4 1 98 Hg1201
HgBa2CaCu2O8 2 128 Hg1212
HgBa2Ca2Cu3O10 3 135 Hg1223
Temperatur kritis kuprat dengan lapisan ganda CuO2 per sel satuan selalu lebih besar daripada lapisan kuprat tunggal, dan kuprat dengan 3 lapis CuO2 memiliki Tc lebih tinggi dibanding lapisan ganda. Semua superkonduktor diatas merupakan doping hole terkecuali NCCO doping elektron. Struktur kristal kuprat merupakan tipe perovskite, dan memiliki anisotropi yang cukup tinggi. Oksida-kupper perovsikte struktur sederhana merupakan isolator. Untuk menjadi superkonduktif harus didoping dengan pembawa muatan. Efek doping memiliki pengaruh paling besar pada sifat superkonduktif kuprat, karena pembawa muatan dalam bidang kuprat CuO2 menyebabkan kisinya menjadi tidak stabil, khususnya dalam temperatur rendah.
Superkonduktif dalam kuprat terjadi pada bidang oksida-kupper, parameter struktur bidang CuO2
berpengaruh terhadap temperatur kritis. Struktur lapisan CuO2 dasarnya tetragonal. Dalam bidang CuO2, tiap ion kupper terikat kuat dengan 4 ion oksigen yang terpisah sejauh 1,9Ǻ. Pada tingkatan doping yang tetap, Tc
9 kuprat tertinggi diketahui memiliki bidang CuO2 flat dan kotak. Lapisan-lapisan CuO2 dalam kuprat selalu dipisahkan oleh atom-atom lain seperti Bi, O, Y, Ba, La dll yang memberikan jalannya pembawa muatan dalam bidang CuO2. Lapisan ini disebut sebagai reservoir muatan.
Salah satu senyawa kuprat adalah superkonduktor sistem Bi. Bismut kuprat memiliki kandungan oksigen dalam Bi-2201, Bi-2212, Bi-2223 pada temperatur ruang stabil. Ikatan antara lapisan BiO dalam kristal lemah, sehingga kristal Bi mudah pecah. Setelah pecah, kristal Bi memiliki lapisan BiO pada permukaan. Oleh karenanya sampel Bi tidak bisa mencapai derajat kemurnian yang tinggi (Andrei, 2004).
Superkonduktor fasa Bi-2223 memiliki jumlah atom O 10 dan membutuhkan 20 elektron yang diperoleh dari 2Bi3+ + 2Sr2+ + 2Ca2+ + 3Cu2+ ,material ini tidak superkonduktif. Jika diberikan overdoped extra atom O ( = 0.22) ditempatkan di antara bidang BiO (karena Bi memiliki energi ionisasi terendah dibanding atom lain) maka menjadi superkonduktif. Extra atom O membutuhkan elektron dari perubahan 3Cu2+ menjadi 3Cu3+ sehingga susunan elektronnya dalam sel satuan (2Bi3+ + 2Sr2+ + 2Ca2+ + 3Cu3+) membentuk 3 lapisan superkonduktif bidang CuO2 dengan doping hole kuprat. Temperatur kritisnya mencapai 108±2 K (Roeser dkk, 2008). Penambahan atom Pb dalam superkonduktor sistem Bi-Sr-Ca-Cu-O diketahui untuk meningkatkan fraksi volume dari fasa Tc tinggi. Fraksi volume sistem Bi akan meningkat dengan peningkatan periode pemanasannya dan konsentrasi Pb. Penambahan atom Pb memberikan kemungkinan promosi kristalisasi pada fase Tc tinggi.
Ferromagnetik menjadi ciri-ciri umum pada semua nanopartikel, hasil kerja peneliti di India.
Chintamani Rao di Jawaharlal Nehru Centre for Advanced Scientific Research in Bangalore menemukan logam-oksida dan nitrida menunjukkan gejala magnetik pada temperatur kamar karena efek permukaan. Tim ini juga menemukan bahkan dalam nanopartikel superkonduktor suhu tinggi dapat menjadi ferromagnetik pada temperatur kamar. Rao dan koleganya mempelajari gejala magnetik nanopartikel dari non-magnetik oksida, termasuk cerium-oksida dan aluminium-oksida yang menunjukkan histeresis magnetik pada temperatur ruang. Asal ferromagnetik nanopartikel ini munculnya momen magnetik dari kekosongan oksigen pada permukaan partikel.
Gambar 4. M(H) data dari nanopartikel YBCO pada temperatur 300 K dan 91 K menunjukkan perilaku ferromagnetik. M(H) data YBCO bulk juga ditunjukkan sebagai perbandingan. Inset menunjukkan histeresis
pada temperatur 90 K yang merupakan tipikal superkonduktor [6].
Penelitian terbaru, para peneliti mensintesis nanopartikel oksida dengan jangkauan ukuran 2 – 150 nm dan dipanaskan pada temperatur yang berbeda. Kemudian diukur histeresis magnetik dari sampel tadi dengan magnetometer. Hasilnya nanopartikel yang kecil pada temperatur ruang menunjukkan gejala magnetik permukaan. Group ini juga meneliti pada superkonduktor yttrium barium copper oksida (YBCO) yang menunjukkan ferromagnetik pada temperatur ruang dengan kurva histeresisnya pada Gambar 4. Pada Gambar 4, nanopartikel YBCO pada temperatur ruang 300 K menunjukkan kurva histeresis, dengan koersivitas ~200 Oe, yang khas bagi bahan ferromagnetik. Observasi ini sesuai dengan prediksi bahwa semua nanopartikel oksida menunjukkan ferromagnetik. Asal ferromagnetik ini karena munculnya momen magnetik dari kekosongan oksigen pada permukaan partikel. Sedangkan YBCO bulk pada temperatur ruang menunjukkan perilaku paramagnetik. Hasil ini semakin menguatkan ferromagnetik pada permukaan nanopartikel oksida. Hal ini semakin menarik dengan adanya ferromagnetik permukaan dalam superkonduktor nanopartikel. Untuk tujuan ini diukur transisi M(H) pada temperatur 91 K, histeresis ferromagnetik masih ada dengan peningkatan koersivitas 300 Oe. Kemudian pada temperatur 90 K ditunjukkan pada inset Gambar 4 perilaku superkonduktor lebih baik daripada ferromagnetik. Dalam realnya hal ini sulit menjaga ferromagnetik di bawah temperatur kritis dari pengukuran magnetisasi [5].
10
Gambar 5. Diagram metode kopresipitasi Bi2Sr2Ca2Cu3O10+
Gambar 6. Diagram metode pencampuran basah
Bi Sr Ca Cu O 2. METODOLOGI
Untuk prosedur kerja penelitian dengan metode kopresipitasi dan pencampuran basah ditampilkan dalam bentuk diagram sebagai berikut :
11 Gambar 7. Diagram metode kopresipitasi
Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+
Gambar 8. Diagram metode pencampuran basah Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+
Pengujian XRD dilakukan untuk mengetahui fasa apa saja yang terbentuk dalam sampel, fraksi volume serta estimasi ukuran kristalnya. Dengan menganalisa data XRD, penentuan fasa yang terbentuk dalam sampel menggunakan bantuan software X-Pert Searchmatch, dengan program ini bisa diketahui fasa yang muncul tiap puncak (peak). Dimana tiap fasa memiliki kartu PDF (Powder Diffraction File) tersendiri.
Setelah diketahui semua fasa tiap puncak, selanjutnya di refine dengan metode Rietveld menggunakan software rietica. Metode Rietveld merupakan metode pencocokan non-linier (non-linier fitting) antara pola difraksi terhitung terhadap pola terukur. Dengan menggunakan database ICSD (Inorganic Crystallography Source Data) yang sesuai dengan fasa yang muncul dalam sampel dapat dilakukan langkah-langkah refinement. Parameter hasil refinement yang telah dilakukan dapat dikatakan acceptable (bisa diterima) apabila nilai GoF (Good of Fitness) mencapai kurang dari 4% serta Rp (faktor profile) dan Rwp (faktor profile terbobot) kedua-duanya mencapai dibawah 20%. Analisis data berikutnya menghitung estimasi ukuran kristal sampel, yang menggunakan persamaan Scherrer sebagai berikut :
LS
L H
D H
(1)
Dengan perhitungan ralatnya diberikan:
12
2 2
LS H
L H
D D H L H LS
(2)Keterangan:
λ = panjang gelombang sinar-X (1.54056 Ǻ) HL = komponen pelebaran puncak Lorentzian ( rad)
HLS = komponen pelebaran puncak Lorentzian standar, material standar MgO (0.03π/180 rad)
Nilai HL dan HLS merupakan output atau parameter keluaran dari analisa Rietveld. Ukuran kristal diasumsikan hanya berpengaruh pada fungsi Lorentzian saja.
Untuk mengetahui fraksi volume fasa yang diinginkan menggunakan persamaan berikut :
% 100 I x I
i
i
(3)Keterangan:
Φ = pencapaian fasa yang dikehendaki I = intensitas fasa yang dikehendaki
Ii = intensitas setiap fasa ke-i yang terdeteksi oleh sinar-X
Gambar 9. Difraktometer XRD.
Karakterisasi mengetahui temperatur kritis dari sampel menggunakan alat Suseptometer yang dibuat oleh Pak Bahtera sebagai Tesisnya. Temperatur kritis menunjukkan peralihan temperatur bahan superkonduktor dari yang bersifat non-superkonduktif menjadi superkonduktif, tentunya medium yang digunakan nitrogen cair yang memiliki titik leleh 78 K.
Gambar 10. Alat Suseptometer pengukur Tc.
13
0 20 40 60 80 100
1JAM KELIMA
1JAM KEEMPAT
1JAM KETIGA
1JAM KEDUA x
x x
x x x
x x x
x x x
x x
1JAM PERTAMA
counts
0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0
1 J A M K E L IM A
1 JA M K E E M P A T
1 JA M K E T I G A
1 JA M K E D U A x
x
x
x
1 JA M P E R T A M A
counts
Gambar 11. Pola difraksi fasa Bi-2223 metode kopresipitasi dengan suhu sintering 8400C tiap jamnya.
Tanda x menunjukkan fasa Bi-2223.
Gambar 12. Pola difraksi BPSCCO-2223 metode kopresipitasi dengan suhu sintering 8400C tiap jamnya.
Tanda x menunjukkan fasa BPSCCO-2223.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pola Difraksi Bi-2223
Pola difraksi Bi-2223 dengan menggunakan metode kopresipitasi terlihat seperti pada Gambar 11 tanpa Pb dan Gambar 12 doping Pb. Tampak bahwa tanda x menunjukkan fasa Bi-2223, fasa BPSCCO-2223.
Puncak-puncak fasa Bi-2223 hanya muncul disekitar sudut hambur 24,402θ dan 3302θ sedangkan puncak fasa BPSCCO-2223 hanya muncul disekitar sudut hambur 32,902θ. Sintesis nanokristalisasi dengan metode kopresipitasi pada fasa Bi-2223 tanpa Pb, pada 1jam pertama sintering dengan suhu 8400C muncul kristal Bi- 2223 dengan fraksi volume 5,63% kemudian pada sintering 1jam kelima fraksi volumenya menjadi 14,45%.
Sedangkan pada fasa Bi-2223 doping Pb, pada 1jam pertama fraksi volume BPSCCO-2223 0% kemudian dilanjutkan hingga sintering 1jam kelima fraksi volumenya berubah menjadi 4,88%. Dari kedua sampel ini dapat diketahui bahwa tidak terlalu terjadi perubahan fraksi volume yang besar bahkan sampai 1jam kelima artinya, kristal Bi-2223 baik tanpa atau dengan doping Pb tidak bisa tumbuh berkembang dengan lamanya waktu dalam sintering. Hal ini bisa disebabkan dalam metode kopresipitasi yang dilakukan. Bahan superkonduktor ini merupakan bahan yang kompleks dengan menggabungkan 4 sampai 5 jenis prekursor bahan keramik yang berbeda sifat kimia dan fisiknya.
Metode kopresipitasi dengan melarutkan bahan prekursor ke dalam asam klorida kemudian disaring, diambil larutannya kemudian larutan ini diendapkan dengan amonium hidroksida. Bahan-bahan prekursor ini ketika disaring ada yang hilang, karena bahan seperti stronsium karbonat sukar larut masih ada sebagian endapan, dan dikhawatirkan endapan yang tersisa dari hasil penyaringan merupakan endapan sisa bahan prekursor yang tidak larut homogen. Kemudian ketika larutan dari penyaringan diendapkan dengan amonium hidroksida. Bahan-bahan prekursor ini dihipotesakan berikatan dengan atom-atom N,Cl atau atom C yang menyebabkan tidak terbentuknya fasa Bi2Sr2Ca2Cu3O10+ sehingga tidak terjadi pertumbuhan kristal karena adanya impuritas atom-atom dari asam klorida atau amonium nitrat yang menghalangi terbentuknya fasa superkonduktor tersebut. Oleh karena itu metode kopresipitasi tidak cocok untuk pertumbuhan fasa superkonduktor. Kemudian dilakukan metode pembanding yang lain yakni metode pencampuran basah dengan pola difraksi Bi-2223 yang tampak pada Gambar 13 tanpa Pb dan Gambar 14 dengan doping Pb.
14
0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0
x x x x
x x
x x
xx
x o oo o o
o
x x x x x x x x
x x
x o o oo o o
o
x x x
x
x x
x
x x
x
x oo oo o o
o
x x
x x
x x
x x xx
x o o oo o o
o
x x x
x x x x x
xx
x oo oo o o
o
x x x
x x x x x
xx
x o o oo o o
o
o o o o o o
o x x
x x x
x x x x
xx
x x
1 J A M K E D E L A P A N
1 J A M K E T U J U H
1 J A M K E E N A M
1 J A M K E L IM A
1 J A M K E E M P A T
1 J A M K E T I G A
1 J A M K E D U A
1 J A M P E R T A M A
counts
0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0
x x x x x x x x xx
o o oo o
oo oo
o x x
x x
x x
x x x
x
o o oo
o xx x x x x
x x xx
x x x x
x x x x
xx oo o o
o
o o oo
o x x
x x
x x
x x x x
oo oo
o x x x
x xx x x x x
x x x
x x x x x
xx oo o o
o
o o o
o x xo x
x x x x x x x
1 J A M K E D E L A P A N
1 J A M K E T U J U H
1 J A M K E E N A M
1 J A M K E L IM A
1 J A M K E E M P A T
1 J A M K E T IG A
1 J A M K E D U A
1 J A M P E R T A M A
COUNTS
Gambar 13. Pola difraksi Bi-2223 metode pencampuran basah dengan suhu sintering 8400C tiap jamnya.
Tanda x menunjukkan fasa Bi-2223 sedangkan tanda o menunjukkan fasa Bi-2212.
Gambar 14. Pola difraksi fasa BPSCCO-2223 metode pencampuran basah dengan suhu sintering 8400C tiap jamnya. Tanda x menunjukkan fasa BPSCCO-2223 sedangkan tanda o menunjukkan fasa Bi-2212.
Pada Gambar 13 dan Gambar 14 merupakan pola difraksi berturut-turut Bi-2223 tanpa Pb dan doping Pb. Dengan fasa tanda x menunjukkan fasa Bi-2223, fasa BPSCOO-2223 sedangkan tanda o merupakan fasa Bi-2212. Pertumbuhan kristal superkonduktor fasa Bi-2223 tanpa Pb maupun dengan doping Pb selalu diikuti dengan pertumbuhan fasa Bi-2212 pada suhu sintering 8400C seperti yang tertera pada diagram fasa Bi pada Gambar 2.3. Oleh karena itu pertumbuhan fasa Bi-2223 tidak dalam single phase.
Sintesis nanokristalisasi Bi-2223 tanpa Pb dan doping Pb dengan metode pencampuran basah bertujuan agar terjadi homogenisasi ketika pencampuran bahan-bahan prekursor, dengan bantuan asam nitrat serta membentuk ukuran kristal dalam orde nm. Reduksi ukuran dalam orde nano ini dapat terjadi dengan
15 dijaga derajat keasaman, temperatur dan kecepatan pengadukan. Sehingga nantinya diharapkan terbentuk nanokristal fasa Bi-2223 baik tanpa Pb ataupun dengan doping Pb. Bahan-bahan prekursor Bi2O3, SrCO3, CaCO3, CuO, PbO2 disiapkan dengan sejumlah gram yang sudah ditentukan dengan stoikhiometri. Kemudian tiap bahan prekursor ini dilarutkan dalam asam nitrat, dipanaskan pada suhu 1000C dijaga hingga mengering.
Lalu dioven 1000C selama 1jamuntuk menghilangkan kadar airnya, kalsinasi bertahap 6800C (3jam) lalu 7800C (3jam) dengan tujuan untuk menghilangkan nitrat yang ada pada sampel, dan disinter pada suhu 8400C tiap jamnya. Pada tahapan sintering ini terjadi pertumbuhan kristal Bi-2223, dimana terjadi reaksi zat padat.
Atom-atom dari prekursor yang dipanaskan pada suhu 8400C mengalami pergerakkan yang lincah karena mendapat pasokan energi termal. Kemudian atom-atom ini berinteraks satu sama lain yang berikatan membentuk fasa Bi2Sr2Ca2Cu3O10+ dan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+. Tujuan sintering secara bertahap ini yang pertama untuk dapat memperoleh pasokan oksigen dari atmosfer sehingga terjadi doping hole yang membentuk fasa superkonduktif kemudian yang kedua bertujuan untuk mengkontrol pertumbuhan ukuran kristal agar masih dalam orde nano sehingga tidak drastis membesar ukurannya, yang ketiga untuk meningkatkan fraksi volume Bi-2223. Sintering yang dilakukan dari 1jam pertama hingga 1jam kedelapan.
Pada sintering 1jam pertama pertumbuhan kristal Bi-2223 tanpa Pb fraksi volumenya 16,10% dengan ukuran kristalnya 47,09 nm kemudian ketika dipanaskan 1jam lagi fraksi volumenya meningkat menjadi 79,03%
dengan ukuran kristal yang membesar menjadi 56,62 nm. Dan ketika sintering hingga 1jam kedelapan fraksi volumenya mencapai 85,80% dengan ukuran kristal 170,30 nm. Untuk sampel BPSCOO-2223 pada sintering 8400C 1jam pertama pertumbuhan kristalnya dengan fraksi volume 65,70% dan ukuran kristal 60,15 nm. Dan pada sintering 1jam kedelapan fraksi volumenya mencapai 87,57% dengan ukuran kristal 216,47 nm.
3.2 Fraksi Volume dan Ukuran Kristal
Pengukuran ukuran kristal dengan metode rietveld menggunakan software Rietica sedangkan perhitungan fraksi volume dengan Persamaan 3.3. Tahapan sintering 8400C dalam tiap jamnya dihitung ukuran kristal serta fraksi volumenya. Kemudian diplot grafik dengan menggunakan software origin sehingga didapatkan Gambar 15 dan 16. Kedua sampel yang diambil, menggunakan sintesis metode pencampuran basah karena fraksi volumenya mencapai di atas 80%.
Pada sampel Bi-2223 Gambar 15 menunjukkan kurva hubungan antara pertumbuhan kristal dengan lama sintering yang linier dari 47,09 nm hingga 170,30 nm. Sedangkan fraksi volumenya juga naik linier hingga mencapai 85,80%. Pada tahapan sintering dari 1jam pertama menuju 1jam kedua fraksi volumenya meningkat drastis dari 16,10% mencapai 79,03%. Hal ini dapat terjadi karena pada sintering yang 1jam kedua, sampel Bi-2223 mendapat pasokan oksigen yang cukup hingga menyebabkan peningkatan fraksi volume dan pada sintering lanjut pasokan oksigennya tidak terlalu berlebih sehingga kenaikkannya juga tidak terlalu besar.
Untuk sampel BPSCCO-2223 Gambar 16, pada sintering 1jam pertama fraksi volumenya 65,70%.
Dibandingkan dengan sampel Bi-2223 tanpa Pb dengan 1jam pertama fraksi volumenya 16,10%. Dan pada 1jam kedelapan fraksi volume Bi-2223 tanpa Pb dan doping Pb berturut-turut 85,80%, 87,57%.
Dapat dilihat bahwa fraksi volume Bi-2223 doping Pb lebih besar dibanding tanpa Pb. Hal ini terjadi karena efek doping Pb menyebabkan peningkatan fraksi volume superkonduktor Bi-2223. Letak atom Pb (Z=
82, Gol. IVA, Periode 6) dalam susunan unsur berkala periodik, berada di sebelah kiri atom Bi (Z=83, Gol.
VA, Periode 6) memberikan doping hole pada superkonduktor fasa Bi-2223, sehingga meningkatkan fraksi volume superkonduktor Bi-2223. Pb yang bermuatan ion Pb4+ mensubstitusi atom Bi (muatan ionnya Bi3+) dengan fraksi molar Pb (x= 0.4) pada Bi2-xPbxSr2Ca2Cu3O10+. Substitusi atom Pb pada sebagian atom Bi memberikan reaksi defeknya
///
2 3 6
3PbO Bi 2O3 PbBi OOx VBi (4)
16
Gambar 15. Kurva lama sintering terhadap ukuran partikel dan fraksi volume untuk fasa Bi2Sr2Ca2Cu3O10+
metode pencampuran basah.
Gambar 16. Kurva lama sintering terhadap ukuran partikel dan fraksi volume untuk fasa Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ metode pencampuran basah.
3.3 Hasil Uji Tc
Pengujian temperatur kritis sampel Bi-2223 dan BPSCCO-2223 menggunakan alat Suseptometer.
Diketahui transisi temperatur yang drop disebut sebagai temperatur kritis. Artinya untuk bersifat superkonduktif sampel ini harus mencapai di bawah temperatur kritisnya. Pada sampel Bi-2223 sintering 8400C 1jam kedelapan Gambar 17 temperatur kritisnya 79,6K, sedangkan sampel BPSCCO-2223 sintering 8400C 1jam kedelapan Gambar 18 temperatur kritisnya 98,3K. Efek doping atom Pb meningkatkan temperatur kritis pada sampel Bi-2223 dari 79,6K menjadi 98,3K.
Temperatur kritis dari referensi untuk Bi-2223, Tc =106-110K dan Bi-2212, Tc =83-96 K. Sedangkan hasil pengujian sampel Bi-2223 temperatur kritisnya Tc =79,6-98,3 K. Temperatur kritis sampel yang tidak mencapai ~110K, karena pada suhu sintering 8400C terbentuk kristal Bi-2212 dan Bi-2223. Pada temperatur 8400C ini merupakan daerah peralihan dari Bi-2212+ Ca2CuO3+CuO menjadi Bi-2212+Bi-2223, sehingga
0 2 4 6 8
3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 10 0 11 0 12 0 13 0 14 0 15 0 16 0 17 0 18 0
Sa m pe l B i-2 2 2 3
L a m a S inte rin g (ja m )
Ukuran Partikel (nanometer)
1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 1 00
Fraksi Volume (%)
Ukuran Kristal (nm)
0 2 4 6 8
40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220
Lama Sintering (jam )
Ukuran Partikel (nanometer)
60 70 80 90 100 Sam pel B PS CCO -2223
Fraksi Volume (%)
Ukuran Kristal (nm)
17 masih ada dalam jangkauan Bi-2212. Hal inilah yang memberikan kemungkinan temperatur kritisnya masih berada dalam jangkauan Tc =79,6-98,3K.
Gambar 17. Kurva temperatur kritis sampel Bi-2223 sintering 8400C 1jam kedelapan metode pencampuran basah.
Gambar 18. Kurva temperatur kritis sampel BPSCCO-2223 sintering 8400C 1jam kedelapan metode pencampuran basah.
3.4 Hasil Uji Kemagnetan Dengan VSM
Hasil penelitian dari Rao, dkk (2007) di India, bahan nano-partikel oksida pada temperatur ruang menunjukkan gejala ferromagnetik yang menarik. Padahal sampel tersebut pada orde bulk-nya merupakan bahan paramagnetik. Dari penemuan inilah yang mendorong untuk menguji pada bahan superkonduktor sistem Bi pada skala nano, apakah nantinya juga muncul gejala kemagnetan pada temperatur ruang seperti yang telah dilaporkan Rao. Oleh karena itu dibuat 4 sampel uji dengan masing-masing spefikasi lama sinteringnya : (1) sampel Bi-2223 1jam-kelima, (2) sampel Bi-2223 1jam-kedelapan, (3) sampel BPSCCO- 2223 1jam-ketiga, (4) sampel BPSCCO-2223 1jam-kedelapan. Dan berikut hasil pengujiannya.
0 100 200 300 400 500 600
70 75 80 85 90
TEMPERATUR (KELVIN)
MEDAN MAGNET (GAUSS)
TC = 79,6 K
330 350 370 390 410
60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
TEMPERATUR (KELVIN)
MEDAN MAGNET (GAUSS)
TC = 98,3 K
18
BPSCCO-2223
H (Oe)
M (emu/cm3)
3jam (85,79 nm, 80,77 %)
8jam (216,47 nm, 87,57 %)
Hasil pengujian kemagnetan dengan VSM, menunjukkan sampel Bi-2223 1jam kelima, BPSCCO- 2223 1jam ketiga dan BPSCCO-2223 1jam kedelapan menunjukkan gejala ferromagnetik, sedangkan sampel Bi-2223 1jam kedelapan bersifat paramagnetik. Nilai remanen dan koersivitas untuk Bi-2223 1jam kelima berturut-turut 0.01099 emu/cm3, -1443 Oe merupakan ferromagnetik lemah. Dan ketika disinter hingga 1jam kedelapan sudah menjadi paramagnetik. Untuk sampel BPSCCO-2223 1jam ketiga nilai remanennya 0.000569 emu/cm3 kemudian disinter hingga 1jam kedelapan remanennya menurun menjadi 0.000193 emu/cm3 sedangkan medan koersivitasnya meningkat dari -2072 Oe hingga mencapai -3363 Oe. Dari hasil ini dapat dihipotesakan apa yang menjadi penyebab perubahan ferromagnetik sampel, yang diketahui dari hasil Rao menunjukkan perubahan ukuran kristal menyebabkan perubahan ferromagnetik, tetapi ada hal lain yang memberi kemungkinan perubahan ferromagnetik yakni, fraksi volume sampel.
Ukuran kristal dan fraksi volume pada Sampel Bi-2223 1jam kelima (ferromagnetik) 80.49nm dan 82.65% sedangkan pada Bi-2223 1jam kedelapan (paramagnetik) 170.30nm dan 85.80%. Peningkatan ukuran kristal yang mencapai 52.7% cukup besar untuk memberi kontribusi terhadap perubahan sifat ferromagnetik sedangkan untuk perubahan fraksi volume hanya 3.67% sehingga tidak terlalu memberikan pengaruh. Untuk sampel BPSCCO-2223 1jam ketiga ukuran kristal dan fraksi volumenya 85.79nm, 80.77% sedangkan pada 1jam kedelapan meningkat menjadi 216.47nm, 87.57%. Dan peningkatan ukuran kristalnya 60.37%
sedangkan peningkatan fraksi volumenya7.77%. Oleh karena itu perubahan sifat kemagnetannya dipengaruhi oleh ukuran kristal.
Gambar 19. Kurva histeresis sampel Bi-2223 sintering 8400C metode pencampuran basah diukur pada temperatur ruang.
Gambar 20. Kurva histeresis sampel BPSCCO-2223 sintering 8400C metode pencampuran basah diukur pada temperatur ruang.
Bi-2223
H (Oe)
M (emu/cm3)
8jam (216,47nm, 87,57%) 5jam (80,49nm, 82,65%) 8jam(170.30nm, 87.57%)
19 4. KESIMPULAN DAN SARAN
a) Sintesis nanokristalin superkonduktor fasa Bi2Sr2Ca2Cu3O10+dan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+berhasil menggunakan metode pencampuran basah, sedangkan metode kopresipitasi gagal.
b) Penambahan doping Pb meningkatkan fraksi volume Bi-2223. Pada sintering 1jam kedelapan Bi-2223 tanpa Pb dan doping Pb didapatkan fraksi volume dan ukuran kristalnya berturut-turut 85,80%;
87,57% dan 170,30 nm; 216,47 nm.
c) Nilai temperatur kritis untuk sampel Bi-2223 79,6 K dan untuk sampel BPSCCO-2223 98,3 K.
d) Sampel Bi-2223 tanpa Pb dan doping Pb menunjukkan gejala ferromagnetik pada temperatur ruang, kecuali Bi-2223 tanpa Pb 1jam kedelapan bersifat paramagnetik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Cyrot, M. and Pavuna, D. 1992. Introduction To Superconductivity and High-Tc Materials.
Singapore: World Scientific.
[2] Mansori, M, A. Yoshikawa, C. Favotto, P. Satre, T. Nojima, M. Kikuchi, T. Fukuda. Bi-2201, Bi- 2212 and (Bi,Pb)-2223 fibers have been grown using the micro-pulling down (μ-PD) technique.
Universite Cadi Ayyad. Morocco (2006).
[3] Mizuno, M, E.Hozumi, T. Jun, K. Naoto, S. Akihiko, O. Yasuo.. Superconductivity of Bi2Sr2Ca2Cu3PbxOy (x=0.2, 0.4, 0.6). Research Center, Mitsubishi Kasheri Corporation, 1000 Kamoshida-cho, Midori-ku. Yokohama (1988).
[4] Mourakhine, Andrei. 2004. Room-Temperature Super-conductivity. Cambridge: Cambridge International Science Publishing.
[5] Rao, Chintamani, Jul 2007, Are all nanoparticles magnetic?,
<URL:http://nanotechweb.org/cws/article/tech/30530
[6] Rao, C.N.R., Shipra, A. Gomathi, A. Sundaresan. Room-temperarure ferromagnetism in nanoparticles of superconducting materials. Chemistry and Physics of Materials Unit and Department of Science and Technology Unit on Nanoscience, Jawaharlal Nehru Centre for Advance Scientific Research, Jakkur P.O. Bangalor 560 064. India (2007).
[7] Ridwan, 2005, Workshop NanoMaterial Karakterisasi dan Aplikasinya di Bidang Nuklir, Kawasan PUSPITEK Serpong, Tangerang.
[8] Rooser, H.P, F. Hetfleisch, F.M. Huber, M.F. von Schoenermark, M. Stepper, A. Moritz, A.S.
Nikoghosyan. Correlation between oxygen excess density and critical transition temperature in superconducting Bi-2201, Bi-2212 and Bi-2223. Department of Microwave and Telecommunication.
Armenia (2008).
[9] Sistin, A.A. 2006. Analisa Kuantitatif Fasa dari Pola Difraksi Neutron Superkonduktor Bi-Sr-Ca-Cu- O 2223 Menggunakan Metode Rietveld. Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
[10] Sukirman, Engkir, 2003, Kegiatan Litbang Superkonduktor Tc Tinggi di P3IB-BATAN, Jurnal Sains Materi Indonesia Vol.4 No.2, BATAN-Serpong.