1 Meningkatkan Kualitas Manajemen Terpadu Balita Sakit di Fasilitas
Kesehatan melalui Pelatihan di Tempat Kerja dan Pengawasan Rutin Aceh 2 2 Meningkatkan Kualitas Perawatan Ibu dan Bayi Baru Lahir di Fasilitas
Kesehatan melalui Point of Care Quality Improvement (POCQI) yang Berkelanjutan
Aceh 5
3 Sistem Pemantauan Digital Posyandu: Pembelajaran dari Aceh Aceh 8 4 Pengarusutamaan Pendekatan Terpadu untuk Mengatasi Malnutrisi pada
Ibu dan Anak dengan Meningkatkan Perencanaan dan Penganggaran Aceh 11 5 Pemantauan Kesehatan Bayi Baru Lahir di Tingkat Keluarga Nusa Tenggara Barat 13 6 Dukungan Teknis untuk Servis dan Perawatan Peralatan Rantai Dingin
Imunisasi di Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara
Timur 16
7 Menggabungkan Pelatihan Kalakarya Ahli Mikroskop Malaria dengan Servis dan Perawatan Mikroskop untuk Meningkatkan Jaminan Mutu Diagnostik
Nusa Tenggara
Timur 19
8 Meningkatkan Kualitas Perawatan Rumah Sakit untuk Ibu dan Bayi Baru
Lahir melalui Pendekatan Point-of-Care Quality Improvement (POCQI) Nusa Tenggara Barat 22 9 Percepatan Pengendalian Malaria di Desa Endemis Tinggi melalui
Pelibatan Masyarakat dan Penggunaan Dana Desa Maluku 25
10 Pemberdayaan dan Mobilisasi Masyarakat Melalui Pembelajaran dan
Aksi Partisipatif (PLA) untuk Memberantas Malaria Maluku Utara 27 11 Promosi Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak melalui Peningkatan
Kapasitas Tenaga Kesehatan dan Pengelolaan Data di Puskesmas Maluku Utara 29 12 Meningkatkan Layanan Ibu dan Bayi Baru Lahir Melalui Pelatihan
Kalakarya untuk Manajemen Terpadu Balita Sakit Papua 31
13 Dukungan UNICEF Terhadap Respons Wabah Polio di Papua Papua 33 14 Penggunaan Desain yang Berpusat pada Manusia (Human-Centered
Design) untuk Meningkatkan Cakupan Imunisasi Rutin Jawa Timur 36 15 Mengoptimalkan Program Pencegahan Tripel Eliminasi Melalui Layanan
Kesehatan Swasta di Daerah Jawa Timur & Jawa
Tengah 38
KOMPENDIUM PRAKTIK BAIK
demi mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk anak di Indonesia
LAMPIRAN
2021
2
Meningkatkan Kualitas Manajemen Terpadu Balita Sakit di Fasilitas Kesehatan Melalui Pelatihan di Tempat Kerja dan Pengawasan Rutin
Topik: Kesehatan dan kesejahteraan yang layak
Lokasi: Aceh (Kota Langsa , Kota Sabang, Singkil, Simeulue)
Rangkuman Pendekatan
Proyek percontohan yang didukung UNICEF untuk meningkatkan kualitas manajemen terpadu balita sakit (MTBS) melalui pelatihan di tempat kerja atau kalakarya
diselenggarakan di Kabupaten Aceh Jaya dan Kota Langsa pada akhir tahun 2018. Pada tahun 2019, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memutuskan untuk mengadakan pelatihan serupa di tiga lokasi yaitu Kota Singkil, Simeulue, dan Sabang.
MTBS adalah pendekatan terpadu untuk menangani malnutrisi pada ibu dan anak oleh tenaga layanan kesehatan setempat. Langkah pertama adalah mempersiapkan pelatih yang kompeten di semua tingkatan. Kementerian Kesehatan melatih pelatih di tingkat provinsi pada bulan Januari 2019. Selanjutnya, pelatihan untuk petugas dinas kesehatan tingkat kabupaten dan puskesmas dilaksanakan pada bulan Februari–Maret 2019. Petugas kesehatan dari puskesmas pembantu (pustu) dan pondok bersalin desa (polindes)
mengikuti kalakarya untuk mempelajari 17 modul Kemenkes dari bulan April hingga Juni 2019. Dalam program kalakarya tersebut, satu mentor ditugaskan untuk mengajar maksimal tiga peserta magang.
Uji sebelum dan sesudah pelatihan kalakarya dilakukan guna menilai peningkatan pengetahuan dan keterampilan menggunakan pedoman standar Kemenkes. Dinas Kesehatan (Dinkes) kabupaten dan organisasi profesional terkait memberikan sertifikasi kepada tenaga Kesehatan yang menyelesaikan kalakarya. Seluruh proses diawasi oleh pelatih ahli tingkat provinsi dan Dinkes kabupaten.
Pengawasan fasilitasi layanan pascapelatihan dilakukan selama triwulan ketiga tahun 2019 dan dilanjutkan setiap triwulan sepanjang tahun 2020. Advokasi dengan kepala puskesmas dilakukan untuk memastikan ketersediaan alat dan obat serta mendukung pengawasan internal. Dinkes kabupaten mengoordinasikan monitoring bulanan berdasarkan data MTBS yang diterima. Grup WhatsApp dibentuk untuk memfasilitasi komunikasi, konsultasi teknis, dan pemberian pengingat untuk mengirimkan data bulanan.
Evaluasi dilakukan pada akhir tahun 2019 di puskesmas, pustu, dan polindes.
Untuk mendorong aspek permintaan, kader puskesmas diundang menghadiri lokakarya peningkatan kesadaran masyarakat tentang tanda-tanda bahaya pada anak yang perlu segera dibawa ke fasilitas kesehatan. Topik lain yang dibahas dalam lokakarya meliputi pemberian obat yang tepat, seperti larutan rehidrasi oral untuk anak diare.
Beberapa puskesmas memanfaatkan anggarannya untuk memberikan insentif kepada staf dan bidan desa yang melakukan kunjungan ke rumah untuk bayi baru lahir dengan pendekatan MTBS guna memantau kesehatan bayi.
Hasil Penting yang Dicapai
Keluaran:
• 10 pelatih ahli tingkat provinsi di Aceh: tiga staf Dinas Kesehatan provinsi, tiga dokter anak dari Perhimpunan Dokter Anak Indonesia Cabang Aceh, dua bidan dari Ikatan Bidan Indonesia Provinsi Aceh, dan dua perawat dari Asosiasi Perawat Indonesia di Aceh.
• 5 Dinkes kabupaten memiliki setidaknya 2 staf yang dilatih untuk melakukan pengawasan fasilitasi MTBS. Sebanyak 18 staf Dinkes kabupaten telah dilatih untuk melakukan
pengawasan menggunakan instrumen pengawasan standar Kemenkes.
• 49 puskesmas memiliki sedikitnya dua staf yang dilatih untuk menjadi mentor MTBS; 103 mentor MTBS tersedia untuk memberikan mentoring ke petugas kesehatan lainnya.
• 304 bidan desa dan perawat di 302 pustu dan polindes diberi pelatihan MTBS melalui pelatihan magang di tempat kerja atau kalakarya.
• Masing-masing dari 49 puskesmas menerima kunjungan pengawasan oleh dinkes kabupaten sedikitnya sekali setiap tiga bulan.
• Setiap pustu/polindes diawasi secara angsung oleh seorang mentor minimal sekali setiap tiga bulan.
Hasil:
• Persentase anak bawah lima tahun yang mengunjungi puskesmas dan mengikuti program MTBS naik dari 6% pada bulan Februari 2019 menjadi 94% pada bulan Juni 2020.
• Terjadi peningkatan jumlah anak diare yang menerima larutan rehidrasi oral (ORS) dari 57% pada bulan Februari 2019 menjadi 96% pada bulan Juni 2020.
Replikasi/
peningkatan skala program
Pada tahun 2020, peningkatan skala program dilangsungkan di empat daerah
Biaya
• Pelatihan mentor puskesmas: Rp2,2 juta (150 dolar AS)/orang
• Kalakarya: bebas biaya (bidan desa dapat mengikuti kalakarya MTBS selama kunjungan mingguan ke puskesmas — dengan uang transportasi dan makan opsional sebesar Rp750 ribu (51 dolar AS)/orang
• Mencetak flip chart MTBS dan formulir: Rp450ribu (31 dolar AS)
• Kunjungan pengawasan Dinkes Kabupaten ke puskesmas: Rp1,5 juta (103 dolar AS)/kunjungan
• Kunjungan pengawasan mentor ke puskesmas: Rp150 ribu (103 dolar AS)/kunjungan
• Lokakarya untuk kader: Rp150 ribu (10 dolar AS)/orang Kete-
rampilan
• Pemahaman dan keterampilan terkait penyelenggaraan MTBS sesuai dengan pedoman
• Keterampilan pendampingan
Pemangku kepen- tingan
• Dinas kesehatan provinsi
• Dinas kesehatan kabupaten
• Staf puskesmas
• Tenaga kesehatan puskesmas
• Tenaga kesehatan pustu/polindes
• Organisasi profesional
4
Pembelajaran
• Melalui kalakarya, pelatihan MTBS dapat terselenggara dengan biaya rendah dan tanpa pelatihan di ruang kelas.
• Pengawasan rutin dengan alat standar memotivasi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.
Referensi dan informasi lebih lanjut
Berita media lokal:
• www.ajnn.net/news/aceh-deklarasi-gerakan-perangi-stunting/index.html
• www.aceh.tribunnews.com/2020/07/04/tingkatkan-pelayanan-kesehatan- anakdinagan-raya-unicef-latih-tenaga-medis
Informasi kontak
• Tira Aswitama, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Bobby Marwan Syahrizal, Spesialis Kesehatan Ibu dan Anak UNICEF (bmsyahrizal@
unicef.org)
• Lisna Andria, Koordinator Kesehatan Anak, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh (lisna.
Meningkatkan Kualitas Perawatan Ibu dan Bayi Baru Lahir di Fasilitas Kesehatan melalui Point of Care Quality Improvement (POCQI) yang Berkelanjutan
Topik: Kesehatan dan kesejahteraan, kesehatan ibu dan anak Lokasi: Aceh (Kota Langsa, Peurelak, Aceh Timur, dan Bireuen)
Rangkuman Pendekatan
Intervensi Point of Care Quality Improvement (POCQI) atau peningkatan kualitas di tempat perawatan pertama kali dilakukan pada tahun 2019 di Rumah Sakit Langsa akibat tingginya jumlah rujukan terkait kesehatan ibu dan anak (KIA) yang menunjukkan perlunya perbaikan manajemen kasus sebelum rujukan. POCQI adalah pendekatan manajemen yang digunakan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit model untuk memastikan bahwa pasien menerima perawatan yang berkualitas. Selain bertugas untuk menata ulang pemeliharaan sumber daya yang ada, POCQI juga dimaksudkan untuk mengatasi masalah terkait lainnya. Pendekatan ini berfokus pada pemecahan masalah layanan yang dapat diterapkan oleh fasilitas kesehatan setempat dan biasanya tidak memerlukan sumber daya tambahan.
Pendekatan POCQI meliputi:
• Membentuk tim perbaikan untuk mengidentifikasi masalah layanan dan menerapkan solusi
• Menerapkan pendekatan kolaboratif untuk selalu patuh terhadap pedoman berdasarkan standar pemeliharaan
• Mengadakan pelatihan bagi tenaga kesehatan terkait metode perbaikan teknis dan kualitas (quality improvement atau QI) sehingga mereka dapat menerapkan sistem yang dapat meningkatkan kualitas
• Memantau kinerja secara terus-menerus melalui pengawasan terkait dan penilaian diri terhadap kualitas perawatan yang diberikan untuk mengukur progres demi tercapainya standar yang lebih tinggi (dilakukan secara intens di awal intervensi kemudian
dilanjutkan dengan pengawasan setiap triwulan untuk memantau keberlangsungan program dan mengidentifikasi intervensi baru)
• Dokumentasi dan publikasi program QI serta pengakuan dan apresiasi ketika standar berhasil tercapai
• Meningkatkan kapasitas semua rumah sakit dan fasilitas kesehatan serta masyarakat.
Pengenalan dan pelatihan petugas kesehatan dan manajer rumah sakit difasilitasi oleh staf yang dilatih oleh UNICEF dan tim seksi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Dinas Kesehatan Provinsi . Enam unit di RS Langsa membentuk tim QI yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, dan staf terkait lainnya. Tim tersebut menganalisis data klinis di masing-masing unit untuk mengidentifikasi celah serta menyusun solusi potensial menggunakan metode POCQI.
6
Intervensi awal POCQI mematok intervensi sederhana yang tidak memerlukan dana atau sumber daya tambahan, dengan sasaran meningkatkan pemberian ASI di rumah sakit dan mengurangi kasus hipotermia. Intervensi juga mencakup layanan skrining pediatri di unit rawat jalan. Selain itu, Perhimpunan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Aceh mengadakan pelatihan untuk tenaga kesehatan mengenai aktivitas menyusui dan penanganan hipotermia. Tim POCQI juga melakukan asessmen guna mengecek kondisi dan fasilitas unit. Kemudian, tim menyusun rencana intervensi yang pelaksanaannya dipantau oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten dan provinsi, UNICEF, dan Yayasan Darah untuk Aceh sebagai mitra. Evaluasi diadakan setiap bulan dan jika belum ada kemajuan sesuai target, rencana kerja tim disesuaikan menurut kondisi lapangan.
Keberhasilan yang dicapai dengan pendekatan ini secara langsung meningkatkan kepuasan kerja dan membuat petugas kesehatan senantiasa termotivasi untuk bekerja dalam tim untuk menjamin peningkatan kualitas yang berkelanjutan. Perubahan dilakukan secara bertahap, dimulai dari hal yang mudah ke hal yang lebih kompleks sebagai bagian untuk memastikan kepuasan pasien atas perawatan yang diterima. Apabila ditemukan celah kekurangan dalam layanan, tim menyelesaikan permasalahan tersebut berdasarkan gagasan mereka sendiri.
Evaluasi program POCQI di RS Langsa dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh pada akhir tahun 2019. Pihak Kemenkes memberikan apresiasi terhadap proses dan perkembangan tim POCQI.
Penerapan POCQI di RS Langsa merupakan salah satu cerita sukses dari Aceh. Tim mempresentasikan intervensi tersebut pada pertemuan tahunan kesehatan nasional yang diselenggarakan Kemenkes tahun 2019 dengan mengundang pengelola rumah sakit serta staf kesehatan untuk berbagi pengalaman selama pertemuan nasional POCQI. Anggota tim juga diundang memfasilitasi beberapa pelatihan POCQI di tingkat nasional.
Hasil Penting yang Dicapai
• Terjadi peningkatan cakupan menyusui di ruang bersalin (untuk inisiasi dini), bangsal bersalin, dan bangsal bayi baru lahir
• Kasus hipotermia menurun di unit yang bertanggung jawab atas perawatan darurat bayi baru lahir
• Skrining pediatri disosialisasikan di unit rawat jalan
• Anggota tim terus menggunakan pendekatan POCQI untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien.
Replikasi/
peningkatan skala program
• Peningkatan kapasitas rumah sakit daerah terdekat dimulai pada awal tahun 2020.
• RS Zubir Mahmud di Aceh Timur dan RS Sultan Abdul Aziz Syah di Peureulak mengadopsi pogram POCQI pada awal tahun 2020.
• Pada pertengahan tahun 2020, Kemenkes menginstrusikan RSUD Bireuen untuk mengadakan program serupa mengingat tingginya angka kematian ibu dan bayi di kabupaten tersebut.
Biaya • Pelatihan untuk petugas kesehatan: Rp450 ribu (30 dolar AS) per orang
Kete- rampilan
• Memahami pedoman POCQI dari WHO-UNICEF
• Keterampilan pendampingan
Pemangku kepen- tingan
• Dinas kesehatan provinsi
• Dinas Kesehatan Kabupaten
• Asosiasi Dokter Anak (IDAI) dan Asosiasi Obstetri dan Ginekologi (POGI)
• Manajer rumah sakit
• Tenaga kesehatan di masing-masing unit
Pembelajaran
• POCQI langsung mencetak keberhasilan yakni meningkatkan kepuasan kerja serta membuat petugas kesehatan senantiasa termotivasi untuk bekerja dalam tim.
• Bekerja sama dalam tim mampu mewujudkan perubahan menuju peningkatan kualitas yang berkelanjutan
• Peningkatan kualitas tidak selalu membutuhkan sumber daya atau dana tambahan.
Referensi dan informasi lebih lanjut
Pendekatan POCQI untuk Meningkatkan Pemberian ASI di Rumah Sakit Langsa, lembar fakta oleh Pemerintah Indonesia dan UNICEF
Informasi kontak
• Tira Aswitama, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Bobby Marwan Syahrizal Spesialis Kesehatan Ibu dan Anak UNICEF (bmsyahrizal@
unicef.org)
• Dr. Sulasmi, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh ([email protected])
8
Sistem Pemantauan Digital Posyandu: Pembelajaran dari Aceh
Topik: Pemantauan kesehatan
Lokasi: Aceh (Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kota Langsa, Aceh Singkil, Aceh Jaya, dan Simeuleu)
Rangkuman Pendekatan
Posyandu merupakan pusat pelayanan kesehatan ibu-balita terpadu yang dikelola oleh pemerintah dan tersebar hingga penjuru desa/kelurahan. Sistem pemantauan posyandu digital, atau dikenal sebagai ePosyandu, diluncurkan pada tahun 2019 menggunakan platform teknologi berbasis web, RapidPro dan ONA, untuk memfasilitasi sistem
pengumpulan data digital secara langsung (real-time) melalui layanan pesan singkat (SMS) dan visualisasi data digital.
RapidPro mengirimkan pesan secara terintegrasi terkait kesejahteraan anak, yang meliputi:
• Pendaftaran ibu hamil dan pengasuh anak bawah dua tahun yang dilakukan oleh kader posyandu
• Pesan pengingat terjadwal untuk kunjungan posyandu, jadwal imunisasi, dan informasi penting bagi pengasuh terkait capaian perkembangan anak berdasarkan usia.
• Pesan pengingat pemeriksaan antenatal dan konsumsi zat besi bagi perempuan hamil sesuai trimester kehamilan.
Platform ONA digunakan untuk memfasilitasi pelaporan bulanan indikator kinerja utama dan penilaian tahunan posyandu yang dikirimkan oleh staf puskesmas dan bidan desa. Dengan menggunakan fungsi penandaan geografis (geo-tagging), sistem dapat memfasilitasi pengumpulan data daring dan luring dengan tingkat akurasi dan efisiensi tinggi. Hal ini sangat berguna untuk meminimalkan kelalaian manusia yang mungkin terjadi dalam pemantauan dan pelaporan manual.
Selain itu, semua data divisualisasikan di situs web khusus sehingga mendukung proses pemantauan untuk manajer kesehatan di semua tingkatan. Visualisasi data juga memberikan wawasan yang bermanfaat untuk mewujudkan intervensi berbasis bukti yang lebih akurat dan sesuai dengan situasi terkini (real-time). Versi ringkas, dengan fasilitas akses luring, untuk pengambilan tindakan yang lebih cepat dimungkinkan dengan versi aplikasi Android.
Guna memperluas cakupan ke luar kabupaten/kota yang menerima intervensi awal, dilaksanakan pelatihan dengan metode campuran, menggabungkan pelatihan tatap muka manajemen terpadu balita sakit (MTBS) dengan pelatihan kaskade yang disampaikan oleh mitra pelaksana secara daring melalui video.
Hasil Penting yang Dicapai
• Melalui pesan terpadu, ePosyandu melibatkan sejumlah anggota masyarakat mulai dari pengasuh hingga kader posyandu, bidan desa dan staf klinik kesehatan. Hal ini memungkinkan adanya komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat, termasuk transfer informasi terkini dengan akurat ke perangkat komunikasi masyarakat.
• ePosyandu menampilkan beberapa indikator kesehatan, seperti jumlah kunjungan dan praktik konseling, serta data khusus tentang kesehatan ibu, gizi, dan imunisasi untuk ibu dan anak. Selain itu, ePosyandu menangkap indikator terkait posyandu yang meliputi sarana, kader, infrastruktur, pendanaan, tata kelola, pelaksanaan program, dan kinerja. Total keseluruhan indikator menentukan klasifikasi posyandu dari kategori tertinggi hingga terendah: Mandiri (lebih dari 80 persen); Purnama (dari 70 menjadi 80 persen); Madya (dari 60 menjadi 70 persen); dan Pratama (di bawah 60 persen).
• Visualisasi berbasis web menunjukkan cakupan laporan dan tingkat kepatuhan lebih dari 98 persen pada bulan Desember 2020. Pemerintah daerah menjalankan peran penting yakni dengan memberikan dukungan besar dan dorongan kepada personel puskesmas dan bidan desa dalam hal pelaporan kondisi posyandu di wilayahnya masing- masing.
Replikasi/
peningkatan skala program
• Peningkatan kapasitas dilakukan di dua kota yakni Banda Aceh dan Langsa.
• Video pembelajaran elektronik tersedia untuk meningkatkan skala program di
kabupaten intervensi UNICEF sebagai informasi bagi praktisi kesehatan tentang cara memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia. Video tersebut berisi tutorial dan penjelasan langkah demi langkah tentang cara mengklasifikasikan dan menyiapkan laporan bulanan.
Kepemilikan ponsel pintar yang tinggi di masyarakat meningkatkan efektivitas upaya ini.
Biaya
• Pengembangan situs web (didanai oleh UNICEF)
• Pembuatan video tutorial (didanai oleh UNICEF)
• Alat pengumpulan data:
− ONA & RapidPro (didanai oleh UNICEF)
− Paket Internet/SMS: Rp15 ribu (1 dolar AS/puskesmas)
• Pengenalan & pelatihan di tingkat subnasional (didanai oleh UNICEF
& pemerintah daerah): Rp50–100 juta (3.400–6.800 dolar AS)/per kabupaten/kota
Kete- rampilan
• Pelaporan
• Penggunaan telepon seluler
• Latar belakang pengetahuan profesional yang sesuai
Pemangku kepen- tingan
• Badan perencanaan pembangunan daerah
• Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten
• Staf puskesmas
• Bidan desa
Pembelajaran
• Pemetaan cepat posyandu dapat dilakukan. Terintegrasi dengan kode identifikasi desa Kementerian Dalam Negeri dengan cakupan nasional, fitur penandaan geografis (geo- tagging) pada ePosyandu menjadikan pemetaan akurat dan andal.
• Pemantauan ketat dapat meningkatkan kinerja posyandu. Merekam situasi secara langsung (real-time) di lebih dari 850 posyandu dapat dipetakan dan diklasifikasikan berdasarkan status kegiatan dan kapasitasnya.
10
• Bantuan dari pemerintah kabupaten meningkatkan cakupan pelaporan. Kolaborasi antara staf puskesmas, bidan desa, dan petugas kesehatan di tingkat kabupaten membantu kelancaran pengoperasian sistem pemantauan ePosyandu.
• Kemampuan untuk memvisualisasikan data dan fasilitas membantu mengidentifikasi masalah. Melalui sistem ini, pelacakan situasi dan progres dapat dilakukan sehingga kebutuhan intervensi dapat diidentifikasi. Sistem ini juga memungkinkan manajer kesehatan untuk mengakses perincian dalam angka.
• Pemanfaatan data dapat bermanfaat pada peningkatan cakupan pemantauan.
Penggunaan teknologi membantu mengurangi kelalaian manusia dan menghemat waktu jika dibandingkan dengan proses manual.
Referensi dan informasi lebih lanjut
• Situs web ePosyandu: www.eposyandu.com/
• Aplikasi seluler ePosyandu: www.play.google.com/store/apps/details? id=com.ikea.
aceh.unicef.sip&hl=en_US
• Video tutorial ePosyandu: www.youtu.be/f3IQbe1UnEM and www.youtu.be/
RDgZjQVLoMI
Informasi kontak
• Suci Wulandari, Spesialis Data UNICEF ([email protected])
• Tira Aswitama, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Dr. Teuku Chik Mohamed Iqbal Fauriza, M.Kes, Kepala Seksi Promosi Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh ([email protected])
Pengarusutamaan Pendekatan Terpadu untuk Mengatasi Malnutrisi pada Ibu dan Anak dengan Meningkatkan Perencanaan dan Penganggaran
Topik: Kesehatan dan kesejahteraan yang layak
Lokasi: Aceh (Aceh Jaya, Kota Sabang, Singkil, dan Simeulue)
Rangkuman Pendekatan
Diluncurkan pada awal tahun 2019, program ini dimulai dengan pelatihan bagi pengelola dan perencana program di 44 puskesmas yang dikelola pemerintah, termasuk staf Dinas Kesehatan kabupaten/kota . Pelatihan bertujuan untuk menyampaikan pedoman pengelolaan yang dikembangkan oleh Dinas Kesehatan provinsi dan memperkenalkan alat perencanaan mikro yang berguna untuk menganalisis situasi dan menetapkan prioritas.
Diharapkan, peserta pelatihan dapat meningkatkan kapasitas untuk merencanakan dan menetapkan anggaran serta menerapkan pendekatan strategis untuk malnutrisi pada ibu dan anak di masing-masing daerahnya.
UNICEF bekerja sama dengan Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk memberikan bantuan teknis dan fasilitasi proses perencanaan dan penganggaran di puskesmas, termasuk peninjauan analisis situasi dan fokus terkait pokok masalah di setiap desa dan memberikan masukan tentang intervensi yang mungkin dilakukan dan sesuai kebutuhan prioritas masing-masing desa. Konsultasi antara bidan desa, kader puskesmas, dan kepala desa juga dilakukan untuk memvalidasi data dan mengumpulkan masukan terkait intervensi yang mungkin dilakukan.
Hasil Penting yang Dicapai
• 44 staf puskesmas menjalani pelatihan dan melakukan perencanaan mikro untuk meningkatkan perencanaan dan penganggaran
• Rencana tahunan puskesmas dirumuskan secara lebih strategis dengan tambahan alokasi anggaran bagi pendekatan terpadu untuk mengatasi malnutrisi pada ibu dan anak.
Replikasi/
peningkatan skala program
• Replikasi telah direncanakan di empat kabupaten lainnya, dimulai dengan
penyelenggaraan sosialisasi di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Provinsi Aceh.
• Difasilitasi oleh Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, serta Badan Pembangunan Daerah, pelatihan diberikan kepada 76 pengelola dan perencana program puskesmas pada bulan Desember 2020 sebagai informasi untuk perencanaan dan penganggaran tahunan 2021.
Biaya
• Pelatihan (1 hari): Rp500 ribu (35 dolar AS) per orang
• Fasilitasi/bantuan teknis untuk setiap puskesmas: Rp4,4 juta (300 dolar AS) untuk setiap lokakarya di puskesmas
• Konsultasi dengan bidan desa, kader puskesmas, dan kepala desa:
Rp750 ribu (50 dolar AS) per sesi
12
Kete- rampilan
• Manajemen puskesmas
• Analisis data dan manajemen program
• Fasilitasi Pemangku
kepen- tingan
• Dinkes provinsi dan kabupaten/kota
• Bappeda kabupaten/kota
• pengelola dan perencana program puskesmas
Pembelajaran
• Penggunaan alat perencanaan mikro Excel untuk mendukung analisis situasi sebagai bagian dari proses perencanaan memungkinkan puskesmas mengidentifikasi masalah utama, prioritas, dan area fokus di setiap desa yang jadi wewenangnya.
• Bantuan teknis dan fasilitasi dari Dinkes Kabupaten serta perencana puskesmas kabupaten selama proses perencanaan dan penganggaran harus sejalan dengan prioritas kabupaten dan ketersediaan dana.
Referensi dan informasi lebih lanjut
• Deklarasi Gerakan Pencegahan Stunting Aceh: www.nasional.republika.co.id/ berita/
nasional/daerah/pnsm0e423/aceh-deklarasi-gerakan-perangi-emstuntingem
• Pemerintah Kota Sabang Berkomitmen Tangani Stunting di Tahun 2020: www.
kanalinspirasi.com/pemerintah-kota-sabang-komit-tangani-masalah-gizi-dan- stuntingdi-tahun-2020/
Informasi kontak
• Tira Aswitama, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Bobby Marwan Syahrizal, Spesialis Kesehatan Ibu dan Anak UNICEF (bmsyahrizal@
unicef.org)
• Dr. Sulasmi, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh ([email protected])
Pemantauan Kesehatan Bayi Baru Lahir di Tingkat Keluarga
Topik: Kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak
Lokasi: Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat dan Lombok Timur)
Rangkuman Pendekatan
Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki angka kematian bayi baru lahir tertinggi ketiga secara nasional dengan 33 kematian per 1.000 kelahiran hidup–dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 22 per 1.000 kelahiran hidup (Bappenas, 2017).
Pada awal tahun 2018, UNICEF mulai mendukung Dinkes Provinsi NTB untuk
meningkatkan kualitas pelayanan primer dan rujukan bagi bayi baru lahir dan anak-anak.
Upaya tersebut dilakukan dalam kemitraan bersama dengan organisasi profesional tingkat provinsi di bidang kesehatan masyarakat (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat).
Tim peningkatan kualitas (quality improvement atau QI) NTB membahas partisipasi keluarga/masyarakat dalam pemantauan bayi baru lahir, mengingat pentingnya periode ini dalam memastikan kelangsungan hidup anak.
Ketiga mitra menyepakati peta jalan penerapan program, termasuk langkah-langkah berikut:
• Pengumpulan dan analisis data tentang kematian bayi baru lahir di semua kabupaten
• Diskusi teknis dengan ikatan dokter anak dan perkumpulan obstetri dan ginekologi (OB/ GYN) tentang tanda-tanda bahaya yang dapat diidentifikasi oleh keluarga
• Diskusi teknis dengan tim Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) tingkat provinsi tentang peran penting yang dapat dijalankan keluarga dalam memantau kesehatan bayi baru lahir dan pentingnya kunjungan tambahan petugas kesehatan
• Alat pemantauan di tingkat keluarga untuk kesehatan dan perkembangan bayi baru lahir
• Lokakarya untuk mendapatkan masukan dari staf kesehatan di puskesmas dan rumah sakit
• Upaya uji coba dan finalisasi alat pemantauan di tingkat keluarga
• Pelatihan dan lokakarya untuk puskesmas dan bidan desa
• Rapat koordinasi dengan PKK untuk mengawal program
• Integrasi alat pemantauan tersebut ke dalam pedoman kesehatan ibu dan anak sebagai satu paket yang digunakan untuk konseling perawatan pascapersalinan.
Alat pemantauan untuk kesehatan bayi baru lahir mengidentifikasi 14 gejala penting untuk memprediksi potensi risiko kesehatan bayi baru lahir, seperti pola pemberian makan, kegiatan buang air kecil dan buang air besar, pernapasan, dan suhu tubuh. Alat ini memudahkan keluarga mengamati kesehatan bayi baru lahir setiap hari berdasarkan indikator risiko (ditulis dalam warna merah) atau kondisi sehat (ditulis dalam warna hijau).
Ketika ada risiko yang teridentifikasi, keluarga disarankan untuk membawa bayi mereka yang baru lahir ke tenaga kesehatan sesegera mungkin untuk diperiksa.
14
Hasil Penting yang Dicapai
• 34 bidan di Lombok Barat dan 40 bidan di Lombok Timur dilatih melalui kerjasama antara dokter anak, dokter umum, bidan, dan asosiasi kesehatan masyarakat.
• 575 ibu di Lombok Barat dan 790 ibu di Lombok Timur belajar menggunakan alat pemantauan kesehatan bayi baru lahir untuk keluarga sebelum dipulangkan dari klinik atau rumah sakit selama dua bulan pertama.
• 75 persen keluarga di Lombok Barat dan 60 persen keluarga di Lombok Timur benar- benar paham cara menggunakan alat penilaian secara cepat.
• Alat pemantauan untuk keluarga tersebut meningkatkan pengetahuan keluarga dan memantik diskusi teknis dengan bidan desa.
Replikasi/
peningkatan skala program
• Replikasi dilakukan oleh puskesmas lain di Lombok Timur.
• Dinas Kesehatan Provinsi NTB mengalokasikan dana dalam anggaran tahun 2020 untuk mendukung perluasan penggunaan alat pemantauan kesehatan bayi baru lahir untuk keluarga.
• Melibatkan keluarga dalam pemantauan sangat penting dilakukan utamanya selama pandemi COVID-19 ketika bayi baru lahir dan anak-anak harus tinggal di rumah dan hanya dapat pergi ke fasilitas kesehatan dalam keadaan darurat.
Biaya
• Mencetak formulir: Rp72 juta (4.950 dolar AS)
• Pendistribusian formulir: Rp3 juta (210 dolar AS)
• Pengadaan lokakarya: Rp51 juta (3.530 dolas AS)
Kete- rampilan
• Membaca
• Keterampilan observasi dan analisis
• Pendampingan
Pemangku kepen- tingan
• Ikatan Dokter Anak Indonesia
• Ikatan Bidan Indonesia
• Dinkes provinsi atau kabupaten/kota
• Puskesmas
• Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD)
• Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
• Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Pembelajaran
• Komitmen dinkes provinsi untuk mengawal program penting untuk memastikan implementasi.
• Peran tim QI provinsi dalam memfasilitasi diskusi rutin tentang cara meningkatkan layanan KIA di semua tingkatan penting demi efektifitas program.
• Koordinasi rutin dengan pemangku kepentingan lokal terkait penjangkauan keluarga sangat berguna dalam memastikan ketepatan sasaran.
• Penilaian cepat diperlukan untuk memahami tantangan keluarga.
• Kunjungan rumah oleh staf puskesmas untuk mendampingi keluarga terkait penggunaan alat sangat esensial.
Referensi dan informasi lebih lanjut
Berita Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat Kabupaten: www.bappeda.
ntbprov.go.id/ monitoring-dan-evaluasi-terpadu-program-kerjasama- pemerintah-ri-unicef- periode-periode-2016-2020-untuk-kelangsungan-hidup- perkembangan dan-perlindungan- ibu-dan-anak-khppiadi-provinsi-ntb /
Informasi kontak
• Vama Chrisnadarmani, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Bobby Marwal Syahrizal, Specialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Mohammad Abdullah, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI), Nusa Tenggara Barat ([email protected])
16
Dukungan Teknis untuk Servis dan Perawatan Peralatan Rantai Dingin Imunisasi di Nusa Tenggara Timur
Topik: Imunisasi – Dukungan teknis peralatan rantai dingin Lokasi: Nusa Tenggara Timur (NTT)
Rangkuman Pendekatan
Setiap tahun NTT menyelenggarakan layanan imunisasi rutin bagi sekitar 250.000 anak di bawah usia dua tahun. Pada tahun 2016, UNICEF mendukung pemerintah NTT untuk melakukan pemetaan inventaris peralatan rantai dingin (cold-chain equipment/CCE).
Pemetaan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara jumlah peralatan rantai dingin yang tersedia dan kebutuhan di lapangan. Selain itu, sebagian besar peralatan rusak akibat perawatan dan servis yang tidak tepat.
Jumlah staf puskesmas yang berkualifikasi untuk memberikan bantuan teknis dan melakukan perawatan serta servis rutin untuk CCE terbatas. Kendala anggaran dan
sumber daya manusia menghambat pemerintah untuk memberikan pelatihan dan program peningkatan kapasitas tatap muka. Untuk mengatasi tantangan ini, UNICEF mendukung pemerintah NTT untuk memberikan pelatihan training for trainer (ToT) tentang perawatan dan servis rutin CCE. Pelatih ini kemudian melatih staf teknis untuk program perluasan imunisasi (EPI).
Upaya ini merupakan inovasi EPI pertama yang dilakukan di Indonesia. Kegiatan peningkatan kapasitas mencakup program gabungan yang bertujuan untuk:
1. Meningkatkan keterampilan manajemen program dan imunisasi staf EPI 2. Memastikan fasilitas kesehatan memiliki CCE yang memadai
3. Menekan jumlah CCE yang rusak melalui perawatan dan servis rutin.
Pendekatan ini berupaya membantu kabupaten dan puskesmas mengatasi masalah terkait CCE melalui bantuan di tempat dan/atau dukungan virtual. Dukungan di tempat diberikan selama pelatihan kaskade di tingkat kabupaten dan selama pengawasan rutin di kabupaten dan puskesmas. Dukungan virtual disediakan melalui video daring dan akses langsung via aplikasi WhatsApp. Dukungan virtual lebih dipilih di kabupaten dengan kapasitas dan jumlah staf teknis EPI kompeten yang terbatas.
Program ini terdiri atas dua komponen utama:
1. Program peningkatan kapasitas terkait manajemen imunisasi yang dilakukan bersamaan dengan pemberian bantuan teknis di tempat untuk perawatan dan servis CCE rutin.
2. Pemberian dukungan teknis virtual untuk perawatan dan servis CCE rutin.
Program ini menerapkan metode kaskade, dengan pelatihan dilakukan dari tingkat tertinggi (provinsi) hingga ke puskesmas. Untuk provinsi, peningkatan kapasitas dimulai dengan lokakarya training for trainer (ToT) yang juga dihadiri oleh staf EPI tingkat kabupaten.
Selanjutnya, diadakan serangkaian pelatihan tindak lanjut secara regional berbasis pulau untuk kabupaten di Pulau Timor dan sekitarnya (Alor, Rote Ndao dan Sabu Raijua), Pulau Flores, dan Pulau Sumba. Untuk mendukung ToT, satu modul dan lima video tutorial tentang perawatan dan servis rutin CCE dibuat pada tahun 2019.
Di tingkat kabupaten, Kantor Perwakilan UNICEF Kupang mendukung pelatihan tersebut dan lokakarya pembaruan program. Kegiatan pelatihan ini telah berlangsung secara rutin di semua kabupaten sejak tahun 2016. Pembiayaan pelatihan ini dilakukan oleh semua kabupaten/kota yang berpartisipasi dan pemerintah NTT. Pemerintah kabupaten/kota membiayai pelatihan untuk staf puskesmas, sedangkan Provinsi NTT mendukung kunjungan staf teknis ke kabupaten/kota. Kegiatan tingkat kabupaten/kota menggabungkan dukungan peningkatan dan perbaikan program melalui supervisi suportif, lokakarya EPI, dan pendampingan teknis hingga tingkat puskesmas guna memantau kondisi seluruh CCE.
Saat ini, telah disusun dan digunakan modul baru tentang perawatan dan servis rutin CCE. UNICEF memberikan dukungan penuh kepada NTT untuk mengembangkan dan mengalihkan materi pelatihan dari bentuk modul menjadi materi tutorial dalam bentuk video. Tim EPI provinsi dapat memberikan bantuan teknis virtual melalui berbagai saluran, seperti Facebook, WhatsApp, dan YouTube. Program ini menggunakan materi pelatihan standar dan checklist pengawasan EPI.
Hasil Penting yang Dicapai
• Peningkatan kapasitas staf kabupaten dan puskesmas untuk melaksanakan servis dan perawatan berhasil mengurangi jumlah peralatan yang rusak.
• Materi pelatihan standar, daftar tilik perawatan dan perbaikan CCE, dan lima video tutorial untuk mendukung pelatihan daring dan jarak jauh telah dibuat.
• Sedikitnya lima CCE di setiap kabupaten telah diperbaiki dan kini digunakan oleh staf provinsi dan kabupaten. Masa pakai CCE bertambah panjang akibat servis dan perawatan yang tepat secara rutin.
• Peningkatan efisiensi anggaran memungkinkan peningkatan alokasi dana untuk perangkat lain yang dibutuhkan oleh puskesmas.
• Kesenjangan antara jumlah aktual dan kebutuhan CCE di kabupaten dan puskesmas menurun.
• Modul servis dan perawatan CCE diadaptasi dalam kurikulum Politeknik Kesehatan Kemenkes.
• Seorang anggota staf Dinkes provinsi dinobatkan sebagai “staf kesehatan inovatif terbaik” oleh Gubernur NTT atas kontribusinya terhadap servis dan perawatan CCE.
18
Replikasi/
peningkatan skala program
Program servis dan perawatan CCE diakui sebagai inovasi oleh Subdirektorat Imunisasi Kemenkes dan diadopsi oleh seluruh kabupaten di Provinsi NTT dan NTB, terutama pada saat pascagempa.
Biaya • Keterampilan teknis terkait servis dan perawatan CCE
Kete- rampilan
• Lokakarya, sesuai kebutuhan
• Mencetak modul, sesuai kebutuhan.
• Produksi video - tanpa biaya (video gratis tersedia secara daring)
• Pelatihan luring Rp1,4 juta (100 dolar AS) untuk tiap orang/hari
• Pelatihan daring: Rp150 ribu (10 dolar AS)/orang
Pemangku kepen- tingan
• Tim nasional: Bantuan teknis dan pendampingan terkait
• Tim provinsi: Narasumber, bantuan teknis, dan pendampingan terkait servis dan perawatan CCE
• Kabupaten: Bantuan teknis dan pendampingan terkait CCE di puskesmas dan rumah sakit
Pembelajaran
• Peningkatan kapasitas pemangku kepentingan kabupaten sangat penting diadakan demi memastikan terselenggaranya dukungan teknis mandiri untuk perawatan CCE.
• Lokakarya rutin sangat penting untuk meningkatkan keterampilan staf teknis karena versi CCE akan selalu diperbarui setiap tahunnya.
• Dukungan rutin dari tingkat nasional berguna untuk meningkatkan kapasitas staf teknis provinsi dan kabupaten.
Referensi dan informasi lebih lanjut
• Artikel blog: Sang Ahli Cold Chain Vaksin dari Nusa Tenggara Timur www.
indonesiaunicef. blogspot.com/2017/05/sang-ahli-cold-chain-vaksin-dari-ntt.html
• “I want Children in East Nusa Tenggara to be Healthy”, BaKTINews No. 139 Juli- Agust 2017 www.bakti.or.id/sites/default/ les/ les/baktinews/BaKTINews
• %20 Edisi%20139.pdf
• Video tutorial rantai dingin:
− Video 1 : www.youtube.com/watch?v=AJU0ZQz8yS8
− video 2 : www.youtube.com/watch?v=CK8_1ivNw_U
− Video 3 : www.youtube.com/watch?v=hhoWpFXyH5I
− Video 4 : www.youtube.com/watch?v=PQC4O1hqYaQ
− Video 5 : www.youtube.com/watch?v=X9mo7sgTcyw
Informasi kontak
• Ermi Ndoen, Kepala Perwakilan UNICEF - Surabaya ([email protected])
• Kenny Peetosutan, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Moh Ruhul Amin, Spesialis Imunisasi UNICEF ([email protected])
• Yosef Kupertino, Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (yoskupertino_
Menggabungkan Pelatihan Kalakarya Ahli Mikroskop Malaria dengan Servis dan Perawatan Mikroskop untuk Meningkatkan Jaminan Mutu Diagnostik
Topik: Pemberantasan malaria - jaminan mutu diagnostik
Lokasi: Nusa Tenggara Timur (NTT) - seluruh provinsi dan kabupaten fokus
Rangkuman Pendekatan
Program tersebut bertujuan untuk menanggulangi tingginya angka kasus malaria di Provinsi NTT. Pada tahun 2015, NTT menyumbang 20 persen kasus nasional. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya antara lain kemampuan diagnosis malaria yang lemah, kualitas laboratorium malaria yang buruk, jumlah teknisi laboratorium garis depan yang tidak memadai, serta fasilitas pendukung dan prosedur kepatuhan yang terbatas. Faktor- faktor ini menjadi tantangan serius dalam memenuhi target pemberantasan malaria tahun 2023.
UNICEF mendukung inisiatif Provinsi NTT untuk mengatasi masalah ini melalui dua bidang kegiatan utama:
1. Servis dan perawatan mikroskop
• Pada tahun 2018 lokakarya pelatihan untuk pelatih terkait servis dan perawatan mikroskop dilaksanakan dan diakreditasi oleh pemerintah Provinsi NTT. Kedua hal tersebut dilakukan di seluruh kabupaten, serta untuk para spesialis dan teknisi dari laboratorium swasta.
• Tiga modul dan video tutorial dibuat pada tahun berikutnya.
• Pusat Servis dan Perawatan Mikroskop didirikan di laboratorium kesehatan provinsi.
• Pemerintah provinsi memberikan bantuan teknis rutin melalui laboratorium kesehatan tersebut.
• Kabupaten mengadopsi pendekatan serupa.
2. Pelatihan di tempat kerja untuk teknisi laboratorium
• Ahli mikroskop dari NTT berpartisipasi dalam studi lapangan Jaminan Mutu (QA) Malaria di Aceh, difasilitasi oleh UNICEF.
• Di Kupang, UNICEF mendukung kerja sama antara Dinas Kesehatan Provinsi dan laboratoriumnya, Politeknik Kesehatan Kemenkes, dan Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (PATELKI) NTT untuk bersama-sama menyelenggarakan pelatihan dan lokakarya bagi teknisi mikroskop.
• Kurikulum pelatihan di tempat kerja khusus dikembangkan demi meningkatkan kapasitas teknisi laboratorium garis depan.
• Gabungan pelatihan tempat kerja untuk diagnosis malaria dan untuk servis dan perawatan mikroskop saat ini dilakukan secara rutin.
20
Selain itu, dukungan virtual diberikan kepada kabupaten dan puskesmas melalui tiga video tutorial. Tim pembarantasan malaria provinsi juga memberikan bantuan teknis jarak jauh melalui platform media sosial.
Program ini adalah inovasi pertama dalam program malaria di Indonesia yang menggabungkan sisi suplai (memastikan ketersediaan mikroskop berkualitas baik), peningkatan keterampilan (pelatihan inovatif untuk staf diagnosis malaria), serta manfaat tambahan dari pencegahan kelalaian manusia dan kesalahan teknis. Program ini dirancang agar mudah diadaptasi oleh kabupaten dengan kapasitas rendah dan jumlah teknisi laboratorium kompeten terbatas (level 1 dan 2).
Hasil Penting yang Dicapai
• 50 mikroskop diperbaiki setiap tahunnya sejak program dimulai, sehingga anggaran pengadaan dapat ditekan.
• Jumlah staf yang kompeten untuk mengidentifikasi malaria di kabupaten fokus meningkat melalui pelatihan kalakarya di tempat kerja: jumlah kabupaten yang memiliki teknisi laboratorium yang kompeten meningkat dari dua menjadi 22 kabupaten.
• Salah satu staf laboratorium kesehatan dinobatkan sebagai ‘praktisi kesehatan inovatif’ oleh Gubernur NTT atas kontribusinya dalam dukungan teknis servis dan perawatan rutin mikroskop.
• Penjaminan mutu jadi jauh lebih handal, tercermin dari rendahnya tingkat kesalahan, yang turun dari 48 persen menjadi kurang dari 5 persen.
• Jumlah kasus malaria tahunan menurun di Lembata, yang sebelumnya merupakan kabupaten endemis malaria tertinggi di Provinsi NTT.
Replikasi/
peningkatan skala program
• Inovasi ini diakui oleh Subdirektorat Malaria Kemenkes dan diadopsi oleh banyak kabupaten di NTT.
• Politeknik Kesehatan Kemenkes menyertakan modul servis dan perawatan mikroskop untuk diagnosis malaria ke dalam kurikulum.
• Organisasi profesional dan pemerintah kabupaten mengadopsi pendekatan ini untuk mempertahankan keterampilan dan kompetensi pejabatnya melalui pelatihan mandiri dan rutin serta dukungan pengawasan profesional.
Biaya • Pelatihan luring: Rp1,5 juta (100 dolar AS)/orang/hari
• Pelatihan daring: Rp150 ribu (10 dolar AS)/orang/hari Kete-
rampilan
• Servis dan perawatan mikroskop
• Penilaian keterampilan
Pemangku kepen- tingan
• Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
• Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten
• Laboratorium kesehatan kabupaten
• Puskesmas
• Rumah sakit
Pembelajaran Perpanjangan durasi pelatihan kalakarya di tempat kerja dari tiga menjadi lima hari meningkatkan pemahaman peserta terhadap materi.
Referensi dan informasi lebih lanjut
• Helping Each Other through Microscope, BaKTINews No.144 Januari-Februari 2018 (https://bakti.or.id/bakti-news/baktinews-144-januari-februari-2018)
• Video Tutorial:
− Video 1: www.youtube.com/watch?v=6glUyyUhuys
− Video 2: www.youtube.com/watch?v=QTHfYGUm6gg
− Video 3: www.youtube.com/watch?v=xErhoqr7sP8
Informasi kontak
• Ermi Ndoen, Staf Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Maria Endang Sumiwi, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Dece Mery Natalia Pay, Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur ([email protected])
22
Meningkatkan Kualitas Perawatan Rumah Sakit untuk Ibu dan Bayi Baru Lahir melalui Pendekatan Point-of-Care Quality Improvement (POCQI)
Topik: Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Lokasi: Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah)
Rangkuman Pendekatan
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki jumlah kematian bayi baru lahir tertinggi ketiga di Indonesia, dan menduduki peringkat ke-32 untuk kesehatan bayi baru lahir (Bappenas, 2017). Sebagai bagian dari dukungan UNICEF dalam upaya NTB untuk mengatasi kematian bayi baru lahir, UNICEF bermitra dengan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di kabupaten pilot di Lombok Timur dan Barat untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan rujukan ibu dan bayi baru lahir.
Pada bulan Juli 2019, POCQI diujicobakan di Rumah Sakit Patut Patuh Patju (Lombok Barat) dan Rumah Sakit Dr. Soejono (Lombok Timur). POCQI dikembangkan oleh WHO sebagai metode untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui perbaikan sistemis. Metodologi pemecahan masalah ini menekankan upaya menemukan solusi menggunakan sumber daya yang ada. Metodologi ini tidak memerlukan dana tambahan.
Tujuan POCQI adalah mendukung peningkatan kualitas kesehatan ibu dan bayi baru lahir di fasilitas rujukan. Ketiga rumah sakit tersebut terletak di kabupaten fokus program maternal, newborn, and child health (MNCH) UNICEF dan dipilih berdasarkan konsultasi dengan pemerintah daerah.
Untuk memastikan bahwa pendekatan POCQI efektif, diperlukan suatu proses yang mencakup:
• Upaya mendapatkan komitmen dari tim peningkatan kualitas (QI) provinsi untuk memanfaatkan pendekatan POCQI di kabupaten percontohan dan mereplikasinya ke rumah sakit lainnya.
• Melakukan asesmen menggunakan metode WHO dan mendiskusikan temuan dengan rumah sakit kabupaten. Hasil asesmen menunjukkan bahwa penyebab utama kematian pada bayi baru lahir selain retensi plasenta pada ibu yang melahirkan adalah hipotermia dan asfiksia.
• Pembentukan tim QI di unit penanganan ibu dan bayi baru lahir di rumah sakit sasaran dan upaya mendapatkan komitmen untuk meningkatkan kualitas layanan di unit tersebut.
• Penyelenggaraan pelatihan untuk tim provinsi dan kabupaten/rumah sakit tentang POCQI. Tim QI provinsi juga menghadiri sesi terkait metode pembinaan.
• Fasilitasi tim QI rumah sakit kabupaten untuk mengembangkan proyek QI di unit dengan keluaran, indikator hasil, dan lini masa yang ditentukan dengan jelas.
Evaluasi mandiri secara terus-menerus dilakukan oleh tim QI rumah sakit guna mengidentifikasi progres dan tantangan dalam memenuhi target.
• Pendampingan dan monitoring dilakukan oleh tim QI provinsi untuk mengidentifikasi progres kinerja unit dan mendiskusikan tantangan dengan tim dan manajemen rumah sakit.
• Perayaan dan pendokumentasian progres POCQI yang dicapai dan diseminasi hasil ke tingkat provinsi.
• Replikasi program ke rumah sakit kabupaten lainnya.
Pada awal bulan Juli 2020, Kemenkes, Dinkes Provinsi, dan UNICEF melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap progres dan menemukan progres signifikan telah dicapai.
Hasil Penting yang Dicapai
• Kasus hipotermia pada bayi baru lahir menurun dari 15,29 persen menjadi 6,45 persen dalam waktu 11 bulan setelah penerapan POCQI.
• Tidak ada kematian yang terjadi akibat hipotermia.
• Peningkatan kualitas inisiasi dini di ruang bersalin.
• Penurunan kasus retensi plasenta (dari 15,6 menjadi 3,18 persen) dalam waktu 11 bulan setelah penerapan POCQI.
• Tidak ada kematian ibu akibat perdarahan pascapersalinan atau retensi plasenta yang tercatat setelah pelaksanaan POCQI.
• Tidak ada rawat inap yang dijalani kembali akibat perdarahan pascapersalinan atau retensi plasenta.
• Pendekatan POCQI terus diterapkan oleh tim QI di unit perawatan ibu/bayi baru lahir dan dikenalkan ke unit lain di rumah sakit kabupaten.
• Di Lombok Timur, rumah sakit kabupaten mengembangkan proyek POCQI untuk mengurangi kasus asfiksia di ruang bersalin dan menaikkan berat badan bayi baru lahir yang rendah menggunakan perawatan metode Kanguru (teknik yang melibatkan kontak langsung antara kulit bayi dan ibu atau ayah selama periode tertentu) agar membuat bayi merasa hangat serta mempromosikan pemberian air susu ibu.
Replikasi/
peningkatan skala program
• Di Lombok Barat, peningkatan cakupan program hingga ke dua rumah sakit lain sedang berlangsung dan empat rumah sakit lainnya telah menerima pelatihan tentang POCQI pada bulan Oktober 2020.
• Pada pertengahan tahun 2020, Rumah Sakit Praya di Kabupaten Lombok Tengah dipilih untuk menerima pelatihan POCQI karena tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir di kabupaten tersebut. Lombok Tengah adalah salah satu dari 120 kabupaten fokus yang menjadi sasaran UNICEF karena memiliki angka kematian ibu dan bayi tinggi.
• Pada kuartal ke-3 tahun 2020, empat tim rumah sakit kabupaten lainnya menerima pelatihan tentang POCQI menggunakan kombinasi metode luring dan daring.
Biaya • Pelatihan luring: Rp585 ribu (40 dolar AS)/orang
• Pelatihan daring: Rp87 ribu (59 dolar AS)/orang
Kete- rampilan
• Memahami pedoman POCQI dari WHO-UNICEF
• Analisis data sederhana
• Pengetahuan klinis terkait
• Keterampilan pendampingan
Pemangku kepen- tingan
• Ikatan Dokter Anak
• Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi (OB/GYN)
• Ikatan Bidan
• Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten
24
Pembelajaran
• Komitmen dari otoritas kesehatan provinsi dan manajemen rumah sakit untuk mengawal intervensi penting.
• Kunjungan pendampingan dan monitoring oleh otoritas kesehatan provinsi dan nasional meningkatkan semangat tim QI.
• Acara sederhana seperti untuk merayakan hasil yang telah dicapai dapat
meningkatkan semangat tim QI untuk terus memberbaiki hasil di periode berikutnya.
• Apresiasi dari manajemen (bahkan melalui hal sederhana seperti kesempatan mempresentasikan progres di dalam rapat resmi) memotivasi tim QI
• Diskusi rutin menciptakan kerja tim yang solid untuk meningkatkan sistem dan layanan demi mencapai target.
Referensi dan informasi lebih lanjut
Berita resmi Bappeda NTB:
www.bappeda.ntbprov.go.id/monitoring-dan- evaluasiterpadu-program- kerjasamapemerintah-ri-unicef-periode-2016-2020-untuk-kelangsungan-hidup- perkembangandanperlindungan-ibu-dan-anak-khppia-di-provinsi-ntb/
Informasi kontak
• Vama Chrisnadarmani, Specialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Bobby Marwal Syahrizal, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Mohammad Abdullah, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Nusa Tenggara Barat ([email protected])
Percepatan Pengendalian Malaria di Desa Endemis Tinggi
melalui Pelibatan Masyarakat dan Penggunaan Dana Desa
Topik: Malaria
Lokasi: Maluku (Maluku Barat Daya)
Rangkuman Pendekatan
Endemisitas malaria dipetakan dari tingkat kabupaten hingga desa. Kegiatan pemetaan dilakukan di daerah endemis tinggi dalam batas geografis/administratif (seperti kecamatan atau pulau). Tim lapangan yang terdiri atas tenaga kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten, serta masyarakat dikerahkan untuk mengamati lokasi potensial perkembangbiakan dan adat istiadat atau kebiasaan setempat yang dapat mengakibatkan penularan malaria di desa-desa. Pengamatan dilakukan bersama dengan tokoh masyarakat dan agama. Metode jalan transek digunakan untuk menilai sejauh mana pengetahuan masyarakat setempat tentang lingkungan vektor-inang malaria dan keterkaitannya. Diagnosis dan pengobatan yang tepat juga ditekankan sebagai hal penting dalam mengurangi penularan dan kematian.
Di akhir kegiatan pemetaan, rapat diadakan untuk membahas temuan. Para kepala desa diminta untuk mempresentasikan peta desa dan mengidentifikasi lokasi yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan. Tantangan yang dibagikan mencakup adat istiadat setempat, kegiatan musiman (panen pala/cengkeh), dan akses ke pelayan kesehatan.
Solusi dirumuskan dari ‘bawah ke atas’ dan mencakup potensi pendanaan lewat Dana Desa yang memang dapat digunakan untuk pengendalian malaria–penggunaan semacam ini ternyata tidak diketahui oleh banyak kepala desa sebab ketentuan penggunaan Dana Desa yang dibolehkan berubah setiap tahun. Nota kesepahaman diadakan antara dinas kesehatan kabupaten dan dinas pemberdayaan desa untuk mempercepat pengendalian malaria.
Pendekatan ini diadaptasi dan diimplementasikan oleh Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) yang melakukan intervensi malaria di kabupaten dampingan mereka. Dinkes Kabupaten kemudian menetapkan wilayah kerja berdasarkan tingkat endemisitas, dan memberikan dukungan desa- desa endemis tinggi.
Hasil Penting yang Dicapai
• Percepatan pengendalian malaria di Maluku Barat Daya. Kabupaten Maluku Barat Daya yang memiliki endemisitas tinggi dengan insiden parasit tahunan (API) sebesar 14,09 persen pada tahun 2017, kini diklasifikasikan menjadi kabupaten endemis sedang dengan 1,8 persen pada tahun 2018 dan 1 persen pada tahun 2019.
• 27 peserta dari tujuh desa di Pulau Damer dan Kabupaten Maluku Barat Daya berpartisipasi dalam kegiatan. Hal ini menguatkan komitmen lintas sektor untuk mengendalikan dan memberantas malaria di pulau tersebut melalui peningkatan pengetahuan dan rasa kepemilikan atas program.
Replikasi/
peningkatan
Pendekatan tersebut dapat diadaptasi untuk lokakarya mini triwulanan di puskesmas, dengan mengundang kepala desa atau perwakilan dari program PERDHAKI untuk melatih
26
Biaya
• Fasilitator (kunjungan empat hari): Rp1 juta (68 dolar AS)/ orang/hari
• Rapat (20-30 peserta): Rp9 juta (615 dolar AS)/rapat
• Tiket pesawat/perahu - berdasarkan lokasi (mungkin termasuk mobil dan perahu sewaan).
Kete- rampilan
• Pengetahuan tentang penularan malaria dan pengendalian vektor
• Pedoman pengobatan malaria
Pemangku kepen- tingan
• Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten
• Perencana pembangunan provinsi dan kabupaten
• Puskesmas berbasis masyarakat
• Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD)
• Organisasi masyarakat sipil
• Asosiasi Profesional
Pembelajaran
• Strategi menargetkan daerah yang berendemis tinggi, mengidentifikasi masalah dan mengembangkan solusi berbasis kebutuhan terbukti efektif.
• Pelibatan masyarakat dalam program berhasil meningkatkan pengetahuan lokal tentang penularan, pengendalian, dan pencegahan malaria.
• Koordinasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan diperkuat melalui pembagian tugas yang jelas dan komitmen untuk tujuan eliminasi.
Referensi dan informasi lebih lanjut
• Pedoman bagi kader di bidang risiko khusus, Kemenkes, 2020 www.malaria.id/ p/
buku-tahun-2020.html
• Buku Saku Manajemen Kasus Malaria, Kemenkes, 2020 www.malaria.id/p/ buku- tahun-2020.html
• Peraturan Menteri Desa No 7 Tahun 2020 www.kemendesa.go.id/berita/ view/
publikasi/376/permendes-no7-tahun-2020
Informasi kontak
• Sisca Wiguno, Staf Malaria/Imunisasi UNICEF ([email protected])
• Maria Endang Sumiwi, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Risa E. Lating, Staf Malaria, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku (gfmalaria_maluku@
yahoo.com)
Pemberdayaan dan Mobilisasi Masyarakat Melalui Pembelajaran dan Aksi Partisipatif (PLA) untuk Memberantas Malaria
Topik: Kesehatan - Malaria, pendekatan berbasis masyarakat Lokasi: Maluku Utara (10 kabupaten)
Rangkuman Pendekatan
Provinsi Maluku Utara, yang diominasi area perdesaan dan terpencil, serta memiliki kapasitas dan sumber daya manusia yang terbatas memerlukan pendekatan yang unik untuk
pengendalian malaria. Strategi Nasional Eliminasi Malaria mengelompokkan provinsi menjadi lima wilayah sertifikasi. Provinsi Maluku Utara dikelompokkan dengan provinsi di Pulau Kalimantan (satu tingkat di atas provinsi-provinsi di Indonesia Timur lainnya), diharapkan dapat mencapai eliminasi malaria pada 2027.
Pada tahun 2008, Indonesia mengadopsi pendekatan pembelajaran dan aksi partisipatif (participatory learning and action atau PLA) berbasis desa, dengan menekankan pengendalian malaria berbasis masyarakat.
UNICEF, Kementerian Kesehatan, dan Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara mengadakan pelatihan bagi fasilitator malaria desa untuk mendukung kegiatan PLA. Pelatihan difokuskan pada isu-isu utama seperti: (1) peningkatan kesadaran terhadap malaria melalui pemetaan kasus dan kematian akibat malaria; (2) memahami siklus hidup, gejala, penularan, dan kondisi malaria yang kondusif untuk paparan dan infeksi; (3) mengidentifikasi lokasi perkembangbiakan nyamuk malaria melalui jalur transek desa; dan (4) pengembangan rencana aksi desa dengan menggunakan sumber daya yang tersedia.
Di Maluku Utara, UNICEF memberikan berbagai bentuk dukungan dalam kerangka program kerjasama sebelumnya, antara lain pelatihan dan implementasi pendekatan PLA hingga 2014, koordinasi, pendampingan, pemantauan dan evaluasi hingga 2016, serta fasilitasi pertemuan advokasi dan pelatihan penyegaran hingga 2019.
Fasilitator malaria desa bertanggung jawab dalam pelaksanaannya dan bermitra dengan kepala desa. Pemetaan desa merupakan bagian penting dari pendekatan PLA. PLA tidak memerlukan teknologi canggih, sebagian besar alat pembelajaran mudah disediakan. Pendekatan ini dapat dengan mudah disesuaikan dengan kondisi lokal yang berbeda. Karena pemetaan sangat bergantung pada pengetahuan lokal, teknik partisipatif seperti brainstorming, permainan peran, dan diskusi kelompok digunakan untuk memastikan partisipasi warga.
Secara bertahap, beberapa perbaikan lingkungan sudah dapat diamati: jamban dibangun atau direnovasi untuk meminimalkan praktik buang air besar sembarangan dan mengurangi risiko malaria; sistem drainase diperkenalkan untuk mengurangi genangan air dan menghubungkan laguna ke laut untuk mengontrol salinitas; sebuah rawa telah ditutup untuk mengurangi perkembangbiakan larva. PLA juga meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang malaria, terutama tentang gejala, pentingnya perilaku pencarian pengobatan, dan kualitas pelayanan.
Program tersebut memicu komitmen politik dan keuangan oleh otoritas lokal. Anggaran daerah untuk mendukung pengendalian malaria dialokasikan; pusat penanggulangan malaria kabupaten didirikan; peraturan daerah tentang penanggulangan malaria telah diterbitkan; dan kurikulum
28
Hasil Penting yang Dicapai
• Pelatihan pertama untuk 30 fasilitator PLA di Kabupaten Halmahera Selatan.
• Setelah direplikasi di seluruh kabupaten di Maluku Utara, hingga tahun 2019 sebanyak 1.514 fasilitator telah dilatih untuk melaksanakan PLA.
• Pendekatan PLA untuk pengendalian malaria telah diterapkan di 537 desa di 10 kabupaten di provinsi tersebut.
• Dari 2015 hingga 2019, insiden parasit tahunan (API) secara bertahap menurun (dari 2,8 persen menjadi 0,5 persen), dan laju penurunan positif menurun tajam: dari 12 persen menjadi 1,2 persen.
• Secara keseluruhan, Maluku Utara kini menjadi provinsi dengan status endemisitas rendah. Sembilan dari 10 kabupaten memiliki endemisitas malaria rendah dengan nilai API di bawah 1 persen. Hanya Kabupaten Halmahera Timur yang memiliki endemisitas sedang (1,87 persen).
Replikasi/
peningkatan skala program
Pendekatan PLA untuk pengendalian malaria direplikasi di semua kecamatan di Halmahera Selatan dan semua kabupaten di provinsi Maluku Utara.
Biaya
• Pelatihan PLA kabupaten selama 6 hari: Rp4,5 juta (307 dolar AS) per orang
• Pelatihan fasilitator desa selama 5 hari: Rp2,5 juta (170 dolar AS) per orang
• Pertemuan di tingkat masyarakat: Rp 1,5 juta (103 dolar AS)
Kete- rampilan
• Komunikasi
• Teknik fasilitasi
• Mobilisasi/partisipasi masyarakat Perencanaan/pengorganisasian
Pemangku kepen- tingan
• Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
• Puskesmas
• Badan usaha dan perusahaan milik negara
• Pemerintah desa
• Pemerintah kecamatan
• Tokoh masyarakat, agama, budayawan
Pembelajaran
• PLA berkontribusi dalam memberdayakan masyarakat lokal untuk melakukan
pengendalian malaria, memicu komitmen politik dan keuangan; intervensi lingkungan untuk meminimalkan paparan dan tempat berkembang biak; meningkatkan perilaku mencari pengobatan dan penurunan kesakitan dan kematian akibat malaria.
• Penggunaan pendekatan PLA meningkatkan keterlibatan masyarakat dan kualitas layanan disertai dengan peningkatan cakupan layanan imunisasi.
Referensi dan informasi lebih lanjut
Panduan pelatih untuk PLA
• www.participatorymethods.org/
• www.researchgate.net/publication/288832171
Informasi kontak
• Badwi M Amin, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Maria Endang Sumiwi, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Sunarty Arsan, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara ([email protected])
Promosi Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak Melalui Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesehatan dan Pengelolaan Data di Puskesmas
Topik: Kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak
Lokasi: Maluku Utara (Kota Tidore dan Halmahera Utara)
Rangkuman Pendekatan
Selama 2018 dan 2019 UNICEF mendukung upaya pemerintah di Kota Tidore dan Kabupaten Halmahera Utara untuk meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan di 26 puskesmas. Di daerah terpencil yang menjadi sasaran, infeksi bayi baru lahir seringkali tidak terdeteksi atau pengobatan datang terlambat karena jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan, yang mengakibatkan tingginya angka kematian yang seharusnya dapat dicegah. UNICEF bekerja sama dengan kedua pemerintah daerah tersebut untuk menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) untuk bayi baru lahir (usia 0-2 bulan). Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan primer dalam melaksanakan MTBS.
Dua komponen program tersebut adalah pelatihan dan kalakarya. Modul pelatihan mencakup deteksi dan pengobatan penyakit menular. Kegiatan pelatihan dilakukan untuk menghasilkan kumpulan pelatih yang kemudian ditugaskan untuk memfasilitasi program kalakarya atau on-the-job traning bagi bidan yang bekerja di lokasi sasaran. Program ini menghasilkan lebih dari 100 pelatih, termasuk petugas kesehatan dan staf dinas kesehatan provinsi dan kabupaten.
Program kalakarya dirancang untuk meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam menerapkan prosedur MTBS, terutama bila rujukan ke rumah sakit yang lebih besar tidak memungkinkan. Banyak puskesmas yang berpartisipasi berlokasi di pulau-pulau terpencil dengan akses transportasi yang buruk. Di setiap puskesmas, seorang mentor ditugaskan untuk membantu maksimal tiga peserta kalakarya. Kalakarya berlangsung hingga dua bulan, peserta dilatih untuk menerapkan semua 17 prosedur kalakarya yang tercantum dalam modul Kementerian Kesehatan. Para peserta mempelajari berbagai keterampilan, seperti bagaimana menerapkan resimen yang disederhanakan untuk mengobati penyakit menular.
UNICEF mendorong pendekatan ini, yang menggabungkan pengobatan injeksi dan oral untuk jangka waktu 5-7 hari karena lebih mudah dilakukan daripada pendekatan yang hanya membutuhkan injeksi.
Mekanisme pelaporan dari puskesmas ke dinkes kabupaten dikembangkan. Setiap kasus dicatat dalam format pelaporan standar di puskesmas dan dilaporkan setiap bulan untuk pemantauan dan evaluasi serta untuk memungkinkan tenaga kesehatan mengidentifikasi tren positif atau negatif pada infeksi bayi baru lahir.
30
Hasil Penting yang Dicapai
• Peningkatan kapasitas 46 bidan dan petugas layanan kesehatan di dua lokasi percontohan untuk mendeteksi dan mengobati infeksi bakteri pada bayi baru lahir.
• Pengumpulan dan pelaporan data yang lebih baik ke dinas Kesehatan provinsi.
• Lebih dari 100 mentor menyelesaikan pelatihan formal dan tersedia untuk mereplikasi program di seluruh Provinsi Maluku Utara.
• Selama pelaksanaan proyek, bagian promosi kesehatan dinkes provinsi memberikan dukungan aktif melalui kampanye dan peningkatan kesadaran.
• Kemitraan dikembangkan dengan perusahaan swasta (Bank BPRS dan perusahaan pertambangan Halmahera Utara) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mendukung komponen tertentu yang relevan.
Replikasi/
peningkatan skala program
Telah diadakan lokakarya yang mengundang perwakilan dari 10 kabupaten dengan tujuan untuk mereplikasi program pada tahun 2019. Dua pemerintah daerah, Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat, berkomitmen untuk mereplikasi program tersebut pada tahun 2020, meski implementasinya terkendala oleh pandemi COVID-19.
Biaya
• Pelatihan lima hari untuk pelatih: Rp800 ribu – 1, 5 juta (57 - 98 dolar AS) per orang
• Program kalakarya dua bulan: Rp5 ribu (35 dolar AS) per orang
• Pencetakan modul: Rp15 ribu (10 dolar AS) per modul Kete-
rampilan
• Penerapan modul pelatihan
• Keterampilan pendampingan
Pemangku kepen- tingan
• Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/kota
• Dinas Kesehatan kabupaten/kota
• Puskesmas
• Bidan dan petugas kesehatan
Pembelajaran
• Prosedur sederhana untuk menangani infeksi bayi baru lahir sangat berguna karena memungkinkan bidan menggabungkan pengobatan injeksi dan oral.
• Peningkatan pemanfaatan data oleh dinkes membutuhkan pengumpulan data tepat waktu oleh puskesmas.
Referensi dan informasi lebih lanjut
• Modul pelatihan kalakarya MTBS.
• Pedoman pelatihan kalakarya MTBS.
Informasi kontak
• Yuliana Hasim, Staf Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Badwi M Amin, Spesialis Kesehatan UNICEF ([email protected])
• Nurhayati Buamona, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara, ([email protected])
Meningkatkan Layanan Ibu dan Bayi Baru Lahir Melalui Pelatihan Kalakarya untuk Manajemen Terpadu Balita Sakit
Topik: Mengelola penyakit masa kanak-kanak Lokasi: Kota Jayapura dan Kota Biak
Rangkuman Pendekatan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai pendekatan hemat biaya untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi baru lahir, terutama di negara berkembang yang memiliki sumber daya terbatas.
Di Indonesia, jumlah tenaga kesehatan yang dilatih untuk menggunakan MTBS masih belum memadai, sehingga membatasi kualitas pelaksanaan program. Pelatihan MTBS untuk tenaga kesehatan umumnya membutuhkan dana yang besar dan mengharuskan tenaga kesehatan absen dari posnya selama sekitar dua minggu. Dalam beberapa kasus, hal ini tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah atau dinas kesehatan kabupaten.
UNICEF dan Kementerian Kesehatan berupaya menyelesaikan situasi ini dengan memodifikasi kurikulum pelatihan yang digunakan untuk metode tradisional menjadi metode menggunakan pelatihan di tempat kerja atau kalakarya. Pelatihan dilakukan di tempat kerja bersama dengan pelaksanaan kegiatan rutin sehari-hari dan bukan disampaikan di ruang kelas. Fasilitator dan peserta kalakarya bekerja bersama selama sekitar dua bulan sehingga materi pengetahuan dan keterampilan dapat
disampaikan secara menyeluruh lengkap. Pada tahap awal, pelatihan dilaksanakan untuk mempersiapkan mentor yang mampu memfasilitasi pelatihan kalakarya bagi rekan-rekan lain di tempat kerja. Proses ini berkesinambungan hingga semua tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tersebut menerima pelatihan MTBS.
Metode ini diterima dan diterapkan dengan baik oleh Dinkes Kabupaten Jayapura dan Biak. Seorang peserta mencatat bahwa pelatihan tidak hanya meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan, tetapi juga memberikan kontribusi positif pada aspek lain dari pekerjaan fasilitas, seperti layanan Kesehatan Ibu Anak (KIA) serta proses pelaporan dan pencatatan data.
Hasil Penting yang Dicapai
• Sekitar 150 tenaga kesehatan dilatih dan menerima sertifikat dalam MTBS di Jayapura dan Biak.
• Kapasitas tenaga kesehatan untuk mengenali dan menangani penyakit bayi baru lahir dan anak telah meningkat.
• Peningkatan layanan dan manajemen data di puskesmas.
Replikasi/
peningkatan skala program
Karena sebagian besar kabupaten di Papua telah melatih fasilitator MTBS, replikasi memerlukan lokakarya penyegaran untuk menginformasikan staf tentang metode kalakarya.
Biaya
• Lokakarya tiga hari untuk fasilitator MTBS kabupaten: Rp 2 juta (150 dolar AS) per peserta
• Pelatihan tempat kerja: Rp1 juta (75 dolar AS) per peserta
• Materi cetak dan pelatihan: Rp 580 ribu (40 dolar AS) per peserta