• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.) SKRIPSI"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

IRHAM AFRIANSYAH NASUTION 150200009

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA (BW)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

MEDAN

2019

(2)
(3)

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya peristiwa perbuatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam pengurusan sertifikat tanah.

Dalam prosesnya terjadi perselihan antara pemilik dengan pihak pengurus sertifikat tanah tersebut. Pemilik tanah tersebut menggugat pihak pengurus tersebut karena melakukan perbuatan wanprestasi karena tidak mengurus Sertifikat tanah tersebut sesuai dengan perjanjian dan melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan penjualan tanah kepada pihak lain. Dalam putusan majelis hakim No. 505/Pdt.G/2015/PN.Mdn. menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sedangkan cara pengumpulan datanya menggunakan studi kepustakaan. Metode Analisis bahan menggunakan deskriptif kualitatif.

Adapun hasil penelitian ini adalah: Pengaturan hukum tentang prosedur pengajuan gugatan ke pengadilan diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, Pasal 8 ayat (3) Rv, Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1970 No.

492K/Sip/1970 Pasal 181 ayat (1) dan (3) HIR, Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 1250 KUHPerdata Pasal 606a Rv, Pasal 383 KUHPerdata, Pasal 123 ayat (1) HIR, Pasal 127 HIR, Putusan MA Nomor 2990K/Pdt/1990 tanggal 23 Mei 1992 tentang gambaran acuan penerapan penggabungan gugatan dan sebagainya. Faktor penyebab gugatan tidak dapat diterima dalam putusan perkara No.

505/Pdt.G/2015/PN.Mdn. adalah karena tidak adanya hubungan yang sinkron tentang dalil-dalil gugatan (posita) dengan petitumnya sehingga berdasarkan Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 16 Desember 1970 No. 492K/Sip/1970 mengatakan bahwa tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara No. 505/Pdt.G/2015/PN.Mdn. adalah sebahagian sudah tepat, namun dalam bagian tertentu terdapat kekeliruan, yaitu keputusan majelis hakim yang tidak menerima gugatan penggugat karena terhambat masalah formil gugatan yaitu penggabungan gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan, sehingga masalah materil dihentikan.

Kata Kunci : Faktor, Penyebab, Gugatan, Tidak Diterima

(4)

melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Faktor-Faktor Penyebab Gugatan Tidak Dapat Diterima (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.505/Pdt.G/2015 /PN.Mdn.)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hukum Sumatera Utara atas semua dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

penulis yang telah meluangkan waktunya, telah sabar, banyak menuntun dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

8. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah meluangkan waktunya, telah sabar, banyak menuntun dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membantu penulis selama masa perkuliahan.

10. Teristimewa kepada Ayahanda Hamdani Nasution dan Ibunda Mahrum Lubis tersayang yang selalu mendoakan dan memberikan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata atas baik budi semua pihak kiranya mendapatkan lindungan Allah Swt. dan semoga ilmu yang telah dipelajari selama masa perkuliahan dapat bermanfaat untuk kepentingan dan kemajuan Agama, Bangsa dan Negara.

Demikianlah kata pengantar ini, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 05 Maret 2019 Penulis

Irham Afriansyah Nasution

(6)

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Metode Penelitian... 9

G. Sistematika Penelitian ... 12

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PROSEDUR PENGAJUAN GUGATAN KE PENGADILAN ... 13

A. Dasar Hukum Pengajuan Gugatan Ke Pengadilan ... 13

1. Menurut HIR dan RBG ... 13

2. Menurut KUHPerdata ... 22

3. Menurut Yurisprudensi ... 24

B. Tinjauan Umum Terhadap Pengajuan Gugatan Ke Pengadilan ... 29

1. Pengertian Gugatan ... 29

2. Bentuk-Bentuk Gugatan ... 31

3. Cara Membuat Gugatan ... 36

4. Kompetensi Peradilan Bidang Perdata ... 41

BAB III FAKTOR PENYEBAB GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PUTUSAN PERKARA NO.505/Pdt.G/ 2015/PN.Mdn. ... 43

A. Pengertian Gugatan Tidak Dapat Diterima ... 43

1. Syarat-Syarat Materil Gugatan ... 44

(7)

2. Penggabungan Gugatan Wanprestasi dengan Perbuatan

Melawan Hukum ... 55

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA NO.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn. ... 58

A. Duduk Perkara Putusan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn. ... 58

4.A.1.1.1 ... I si Gugatan Penggugat ... 58

4.A.1.1.2 ... E ksepsi Tergugat ... 64

4.A.1.1.3 ... R eplik Penggugat ... 65

4.A.1.1.4 ... D uplik Tergugat ... 66

4.A.1.1.5 ... P roses Pembuktian ... 66

B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No.505/Pdt.G/ 2015/PN.Mdn. ... 70

1. Pertimbangan terhadap isi Gugatan penggugat ... 71

2. Pertimbangan terhadap Eksepsi Tergugat ... 73

3. Pertimbangan terhadap Pembuktian ... 74

C. Keputusan Majelis Hakim dalam Putusan No.505/Pdt.G/ 2015/PN.Mdn. ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

A. Buku ... 87

B. Peraturan Perundang-Undangan... 88

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama lain dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain. Sehingga, memerlukan suatu aturan yang menjadi aturan main dalam menjalani aktivitas kehidupan untuk terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Aturan yang mengikat masyarakat dalam hal ini disebut sebagai hukum yang lahir dalam suatu negara dan mengikat warga negara serta setiap orang yang berada di dalam wilayah teritorial negara tersebut. Hukum kemudian dijalankan oleh organ-organ negara yang memiliki wewenang berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang- undangan.1

Kehidupan bermasyarakat, sangat mungkin terjadi pergesekan-pergesekan yang dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam masyarakat. Pergesekan tersebut biasanya berujung sengketa karena merasa haknya telah dilanggar oleh orang lain.

Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme hukum untuk memulihkan hubungan tersebut dengan menggunakan suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan hukum yang berlaku dan mengikat bagi setiap

1Sugeng, Bambang dan Sujayadi: 2009, Hukum Acara Perdata & Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Kencana, Surabaya, h. 1.

(9)

subjek hukum. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).2

Mekanisme penyelesaian sengketa yang dimaksud berupa sistem peradilan. Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan yang dimaksud adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat.3

Para pihak yang merasa hak-hak keperdataannya dirugikan dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sesuai koridor hukum yang berlaku, yaitu dengan mengajukan gugatan kepada pihak- pihak yang merugikannya. Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Hal tersebut merupakan penegakan terhadap asas hakim bersifat menunggu dalam hukum acara perdata (iudex ne procedat ex officio).

Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan “Eigenrichting”. Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, maka oleh karena itu ia mengajukan tuntutan hak ke pengadilan.4

2Ibid., h. 3.

3Mertokusumo, Sudikno: 2013, Hukum Acara Perdata Indonesia. Ed. Revisi, Liberty, Yogyakarta, h. 5.

4Ibid., h. 52.

(10)

Perkara perdata sendiri mengenal 2 jenis gugatan yaitu:

1. Perkara contentiosa (gugatan) yaitu perkara yang di dalamnya terdapat sengketa dua pihak atau lebih yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata. Artinya ada konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus pengadilan, apakah berakhir dengan kalah menang atau damai tergantung pada proses hukumnya. Misalnya sengketa hak milik, warisan, dan lain- lain.

2. Perkara voluntaria (permohonan) yaitu yang di dalamnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan tapi hanya semata-mata untuk kepentingan pemohon dan bersifat sepihak (ex-parte). Disebut juga gugatan permohonan. Contoh meminta penetapan bagian masing-masing warisan, mengubah nama, pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dan lain-lain.5

Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan perkaranya dalam bentuk gugatan. Pengajuan gugatan bisa secara tertulis maupun secara lisan. Gugatan secara lisan dibenarkan kepada mereka yang buta huruf. Namun dalam perkembangannya, praktek peradilan sekarang tidak lazim lagi ditemukan pengajuan gugatan secara lisan.6 Baik gugatan lisan maupun tertulis, keduanya harus membayar panjar biaya perkara ketika mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan pengadilan negeri yang berwenang. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya

5Ibid., h. 4.

6Syahrani, Riduan: 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 25.

(11)

perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh camat setempat.7

Persyaratan mengenai isi gugatan terdapat dalam Pasal 8 Ayat (3) Rv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat identitas dari para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (middelen van den eis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi (posita), dan petitum atau tuntutan.8

HIR (Herzien Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S.1848 No. 16, S. 1941 No. 44 untuk daerah Jawa dan Madura) dan RBg (Rechtsglement Buitengewesten atau Reglemen daerah seberang: S. 1927 No.

227 untuk luar Jawa dan Madura) tidak mengatur mengenai syarat-syarat surat gugatan, orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatannya asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan, namun dalam praktek cenderung mengikuti syarat-syarat yang di tentukan dalam Pasal 8 Rv dalam menyusun surat gugatannya.9

Para pihak dapat menyelesaikan perkaranya melalui jalur peradilan maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui yurisprudensinya telah menggariskan beberapa syarat yang dapat dipedomani dalam menyusun gugatan yaitu sebagai berikut:

1. Seseorang bebas dalam menyusun dan merumuskan surat gugatan sepanjang cukup memberikan gambaran tentang kejadian atau peristiwa

7Ibid., h. 12.

8Mertokusumo, Sudikno: Op.Cit., h. 54.

9Syahrani, Riduan: Op.Cit., h. 28.

(12)

materil yang menjadi dasar tuntutan (Yurisprudensi MA tanggal 15-3- 1970 Nomor 547 K/Sip/1972).

2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (Yurisprudensi MA tanggal 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970).

3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap seluruh identitasnya (Yurisprudensi MA tanggal 13-5-1975 Nomor 151/Sip/1975).

4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas- batas dan ukuran tanah (Yurisprudensi MA tanggal 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971).10

Syarat kelengkapan formal dalam surat gugatan yaitu meliputi subjek gugatan baik dari penggugat/para penggugat sendiri ataupun diri tergugat/para penggugat atau turut tergugat. Pada kelengkapan formil ini hendaknya harus jelas identitas (nama, umur dan alamat) para pihak yang berperkara dan khusus terhadap pihak yang digugat haruslah semuanya diikutsertakan sebagai tergugat/turut tergugat dalam surat gugatan itu. Hal ini haruslah dicermati secermat mungkin dan diperhatikan secara baik oleh karena apabila kelengkapan formal dari surat gugatan diabaikan, misalnya ada pihak yang seharusnya digugat akan tetapi ternyata dalam surat gugatan mereka tidak di gugat maka akan berakibat surat gugatan penggugat/para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard) sebagaimana ketentuan beberapa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor: 216 K/Sip/1974).11

Surat gugatan yang diajukan ke pengadilan telah disusun dan dirumuskan

10Asikin, Zainal: 2015, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 21.

11Kamil, Faizal: 2005, Asas Hukum Acara Perdata, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, h. 57.

(13)

secara sistematis. Ada beberapa alasan atau pertimbangan hakim dalam menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima, salah satunya adalah dengan alasan obscuur libel, misalnya menyangkut batas-batas objek sengketa yang tidak jelas. Dengan demikian hendak dicegah pengajuan gugatan-gugatan yang cacat formil atau gugatan yang tidak sempurna, yang akan dinyatakan tidak dapat diterima.12

Praktiknya, masih sering dan bahkan kebanyakan perkara berakhir dengan dictum putusan yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Salah satunya putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.

tentang sengketa tanah. Berdasarkan amar putusan pengadilan tersebut majelis hakim menyatakan gugatan tidak dapat diterima dengan pertimbangan hukum bahwa penggugat dalam gugatannya memposisikan tergugat pada dua perbuatan sekaligus yakni perbuatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Menurut majelis hakim menggabungkan dua perbuatan dalam sebuah gugatan merupakan sebuah tindakan yang tidak dibenarkan atau tidak diperbolehkan dalam beracara perdata.

Berdasarkan kronologis dan pertimbangan hakim dalam kasus tersebut, secara pembuktian penggugat adalah merupakan pihak yang dimenangkan, namun karena penggugat dalam gugatan penggugat menggabungkan gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum, majelis hakim akhirnya memutuskan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima.

Persoalan persyaratan formal pembuatan gugatan ini pada praktiknya telah

12Mertokusumo, Sudikno: Op.Cit., h. 26.

(14)

menimbulkan keresahan bagi para pencari keadilan. Dikarenakan syarat formal gugatan tersebut tidak terpenuhi akhirnya keadilan pun tidak dapat ditegakkan.

Problematika aturan pembuatan gugatan ini menjadi begitu meresahkan bagi para pencari keadilan yang kurang mampu dalam menyusun suatu gugatan. Sehingga penting dilakukan peninjauan ulang terhadap aturan hukum terhadap pembentukan gugatan tersebut.

Berdasarkan kasus tersebut di atas, menarik sekali untuk dikaji mengenai faktor-faktor penyebab gugatan tidak dapat diterima. Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan di atas, maka penulis akan melakukan penelitian yang berjudul

“Faktor-Faktor Penyebab Gugatan Tidak Dapat Diterima (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.)”.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan dasar dari suatu kerangka pemikiran, maka dari itu dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang prosedur pengajuan Gugatan ke Pengadilan?

2. Bagaimana faktor penyebab gugatan tidak dapat diterima dalam putusan perkara No. 505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.?

3. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan perkara No. 505/Pdt.G/

2015/PN.Mdn.?

(15)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan pengaturan hukum tentang prosedur pengajuan Gugatan ke Pengadilan.

2. Untuk menjelaskan faktor penyebab gugatan tidak dapat diterima dalam putusan perkara No. 505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.

3. Untuk menganalisis pertimbangan Hakim dalam putusan perkara No.

505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teorities maupun praktis.

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis secara teorities di bidang hukum acara perdata mengenai alasan-alasan hukum penyebab lahirnya putusan gugatan tidak dapat diterima dalam sengketa tanah.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu bentuk sumbangsih pemikiran untuk masyarakat umum agar dapat mengetahui mengenai alasan-alasan hukum penyebab lahirnya putusan gugatan tidak dapat diterima dalam sengketa tanah dan akibat hukum dari pada putusan gugatan tidak dapat diterima dalam sengketa tanah

(16)

E. Keaslian Penelitian

Sehubung dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan apakah judul skripsi tersebut belum ada di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Penyebab Gugatan Tidak Dapat Diterima (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.)”, belum pernah ada yang melakukan penulisan dengan judul ini sebelumnya. Dengan demikian, maka dari segi keilmuan penelitian ini dapat dikatakan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum maupun sejarah hukum.13

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif dan eksplanatif. Penelitian hukum deskriptif adalah sifat penelitian yang memberikan pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu,

13Soerjono Soekanto: 2011, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 14.

(17)

atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.14 Sedangkan penelitian eksplanatif adalah penelitian hukum yang bersifat menjelaskan dan bertujuan untuk menguji suatu teori guna memperkuat atau menolak teori yang sudah ada.15

2. Jenis dan sumber data penelitian

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data sekunder. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv), Herzien Indonesis Reglement (HIR) dan Rechtsglement Buitengewesten (RBg).

b. Bahan hukum sekunder, berupa Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn., buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yaitu mencakup bahan yang memberi petunjuk- petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti bahan-bahan yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.

3. Tehnik pengumpulan data

Metode menggumpulkan data untuk penelitian ini menggunakan studi

14Abdulkadir Muhammad: 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. I, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 49.

15Ibid.

(18)

kepustakaan atau penggunaan data secara Studi Pustaka (Library Research). Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan ini bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana hukum yang sudah punya nama besar di bidangnya, koran dan majalah, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menggumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisa data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisa data yang dilakukan penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dapat penlitian ini.

b. Melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

(19)

G. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah:

BAB I Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Pengaturan Hukum tentang Prosedur Pengajuan Gugatan ke Pengadilan, yang menjadi sub bab terdiri dari: dasar hukum pengajuan gugatan ke pengadilan, tinjauan umum terhadap pengajuan gugatan ke pengadilan.

BAB III Faktor Penyebab Gugatan Tidak Dapat Diterima dalam Putusan Perkara No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn., yang menjadi sub bab terdiri dari:

pengertian gugatan tidak dapat diterima, faktor-faktor gugatan tidak dapat diterima dalam putusan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.

BAB IV Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara No.505/Pdt.G/

2015/PN.Mdn., yang menjadi sub bab terdiri dari: duduk perkara putusan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn., pertimbangan majelis hakim dalam putusan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn., dan keputusan majelis hakim dalam putusan No.505/Pdt.G/2015/PN.Mdn.

BAB V Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisa dari bab-bab sebelumnya.

(20)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PROSEDUR PENGAJUAN GUGATAN KE PENGADILAN

A. Dasar Hukum Pengajuan Gugatan Ke Pengadilan a. Menurut HIR dan RBG

Pasal 118 HIR mengatur tentang pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri, yaitu:

(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.

(2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat- tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari pada orang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari Pasal 6 dari reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman (R.O.).

(3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.

(4) Bila dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu.

Menurut Pasal 142 RBg bahwa:

(1) Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani

(21)

olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tergugat atau, jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.

(2) Dalam hal ada beberapa tergugat yang tempat tinggalnya tidak terletak di dalam wilayah satu pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berada di wilayah salah satu di antara para tergugat, menurut pilihan penggugat. Dalam hal para tergugat berkedudukan sebagai debitur dan penanggungnya, maka sepanjang tidak tunduk kepada ketentuan-ketentuan termuat dalam ayat (2) Pasal 6 Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di Indonesia (selanjutnya disingkat RO.) gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal orang yang berutan pokok (debitur pokok) atau seorang diantara para debitur pokok.

(3) Bila tempat tinggal tergugat tidak dikenal, dan juga tempat kediaman yang sebenarnya tidak dikenal atau maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat tinggal salah satu dari para penggugat.

(4) Jika telah dilakukan pilihan tempat tinggal dengan suatu akta, maka penggugat dapat memajukan gugatannya kepada ketua pengadilan negeri di tempat pilihan itu.

(5) Dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di wilayah letak barang tetap tersebut;

jika barang tetap itu terletak di dalam wilayah beberapa pengadilan negeri gugatan itu diajukan kepada salah satu ketua pengadilan negeri tersebut atas pilihan penggugat.

Pasal di atas berisi perihal mengadili “perkara perdata” yang harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Di sini dianggap berfaedah untuk sekedar memberi keterangan tentang pengertian “hukum perdata”. Hukum perdata yang juga disebut hukum sipil itu dibagi atas:

1. Hukum perdata material dan 2. Hukum perdata formal.

Hukum perdata material yaitu kumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan-perhubungan antara orang-orang atau badan-badan hukum satu sama lain, yang timbul dari perhubungan pergaulan masyarakat, seperti misalnya peraturan-peraturan tentang jual beli, sewa-menyewa, gadai, perseroan

(22)

dagang, tentang kawin dan perceraian dan lain sebagainya. Hukum perdata material ini terutama tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan dan dalam Hukum Adat yang tidak tertulis.

Hukum perdata formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan hukum yang menetapkan cara memelihara hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan di muka Hakim Perdata, supaya memperoleh suatu keputusan dari padanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksanaan putusan Hakim itu. Hukum Perdata formal itu menurut Pasal 6 Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tersebut untuk daerah Jawa dan Madura tercantum dalam HIR, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura tercantum dalam “Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)”.

Menurut Pasal 118 ini maka pendahuluan akan pemeriksaan perkara perdata oleh Pengadilan Negeri adalah pemasukan surat permohonan yang harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Dalam pasal ini tidak ada ketentuan tentang bentuk dan isi surat permintaan itu. Menurut lazimnya surat permohonan itu dinamakan “introductief rekest” yang biasanya berisi nama-nama dan tempat tinggal kedua pihak yang bersengketa (penggugat dan tergugat), apa yang digugat dan alasan-alasan dari gugatan itu.

Surat permohonan itu, sesudah diterima dan setelah penggugat membayar biaya administrasi dan ongkos pemanggilan dan pemberitahuan kepada kedua

(23)

pihak dan biaya materai, yang harus dibayar oleh penggugat, dicatat dalam daftar perkara perdata oleh Panitera. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan pengadilan dengan perintah untuk memanggil ke dua pihak untuk datang menghadap di persidangan itu. Bersamaan dengan pemanggilan itu salinan surat permintaan atau surat gugatan (introductief rekest) diserahkan kepada tergugat, dengan pemberitahuan, bahwa ia jika dikehendakinya, dapat menjawab dengan surat.

Menurut Pasal 119 HIR, bahwa “ketua pengadilan negeri berkuasa memberi nasihat dan pertolongan kepada penggugat atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya”. Menurut Pasal 143 Rbg bahwa “ketua pengadilan negeri berwenang untuk memberikan nasihat atau bantuan kepada penggugat atau kuasanya dalam mengajukan gugatan”.

Peraturan ini adalah amat berguna bagi orang-orang yang mencari keadilan, yang biasanya tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum umumnya dan tidak tahu akan pemeriksaan perkara perdata khususnya, lagi pula tidak mampu untuk membayar pertolongan seorang penasihat hukum. Peraturan ini sebenarnya bertentangan dengan larangan umum bagi Hakim dalam perkara yang telah diserahkan kepada pengadilannya, atau yang dapat diduganya akan diajukan kepadanya, dengan langsung atau tidak langsung, untuk memberi nasihat atau pertolongan kepada pihak-pihak yang berperkara atau pengacaranya, akan tetapi ternyata sesuai dengan jiwa Undang-undang Pokok Kehakiman (UU Nomor 14/1970) Pasal 5 ayat (2) yang mengatakan bahwa dalam perkara, Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala

(24)

hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Menurut Pasal 120 HIR bahwa “bilamana penggugat buta huruf, maka surat gugatnya dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang mencatat gugat itu atau menyuruh mencatatnya”. Menurut Pasal 144 ayat (1) RBg menjelaskan bahwa “bila penggugat tidak dapat menulis, maka ia dapat mengajukan gugatannya secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang membuat cacatan atau memerintahkan untuk membuat catatan gugatan itu.

Seorang kuasa tidak dapat mengajukan gugatan secara lisan”.

Menurut Pasal di atas maka apabila penggugat itu buta huruf atau tidak dapat menulis, gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang akan mencatat atau menyuruh mencatatnya. Siapakah yang sebenarnya dapat berperkara di muka pengadilan itu? Dapat dikatakan semua orang dan badan hukum, kecuali mereka yang belum dewasa dan yang berada di bawah pengampunan, mereka ini harus diwakili oleh wakil atau walinya.

Menurut Pasal 121 HIR menjelaskan bahwa:

“Sesudah surat gugat yang dimasukkan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari, dan jamnya perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan ia memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak dipergunakan. Ketika memanggil tergugat, maka beserta itu diserahkan juga sehelai salinan surat gugat dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, dapat menjawab surat gugat itu dengan surat. Ketetapan yang dimaksud dalam ayat pertama dari pasal ini dicatat dalam daftar yang tersebut dalam ayat itu, demikian juga pada surat gugat asli. Memasukkan ke dalam daftar seperti di dalam ayat pertama, tidak dilakukan, kalau belum dibayar lebih dahulu kepada panitera sejumlah uang yang akan diperhitungkan kelak yang banyaknya buat sementara ditaksir oleh ketua

(25)

pengadilan negeri menurut keadaan untuk bea kantor kepaniteraan dan ongkos melakukan segala panggilan serta pemberitahuan yang diwajibkan kepada kedua belah pihak dan harga meterai yang akan dipakai.

Menurut Pasal 145 RBg bahwa:

(1) Setelah gugatan atau catatan gugatan itu oleh panitera dicatat dalam daftar yang telah disediakan untuk itu, maka ketua pengadilan negeri menetapkan hari dan jam perkara itu akan disidangkan dan memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk menghadap, disertai saksi-saksi yang mereka inginkan agar untuk didengar serta membawa surat-surat bukti yang akan mereka pergunakan.

(2) Pada waktu dilakukan panggilan kepada tergugat, maka kepadanya juga disainpaikan tunman surat gugatnya dengan diberitahukan pula kepadanya bahwa ia, bila menghendakinya, dapat mengajukan jawaban tertulis.

(3) Tentang penetapan seperti tersebut dalam ayat (1) dibuat catatan di dalam daftar yang bersangkutan serta di dalam surat gugatan asli.

(4) Pencatatan di dalam daftar seperti tersebut dalam ayat (1) tidak dilakukan sebelum kepada panitera dibayarkan sejumlah uang sebagai uang muka yang akan diperhitungkan kemudian dan oleh ketua pengadilan negeri dibuat anggaran sementara mengenai biaya kepaniteraan, panggilan-panggilan dan pemberitahuan kepada para pihak serta meterai-meterai yang diperlukan.

Surat gugatan yang dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, sesudahnya diterima dan penggugat membayar semua biaya administrasi dan ongkos pemanggilan serta pemberitahuan kepada kedua pihak dan biaya meterai yang harus dibayar oleh penggugat dicatat dalam daftar perkara perdata oleh Panitera.

Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari dan jam persidangan pengadilan dengan perintah untuk memanggil kedua belah pihak untuk datang di persidangan. Bersamaan dengan pemanggilan ini sehelai salinan surat gugatan diserahkan kepada tergugat, dengan pemberitahuan, bahwa ia jika dikehendakinya dapat menjawab dengan surat.

Surat jawaban ini mungkin akan berisi tangkisan yang bersifat: Tangkisan

(26)

prinsipal yaitu tergugat membantah kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh penggugat dalam surat gugatannya, atau tangkisan eksepsi, yaitu tergugat tidak membantah secara langsung isi surat gugatannya, yaitu menolak gugatannya dengan jalan mengatakan, bahwa dengan alasan-alasan tertentu pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkaranya secara relatif, artinya yang berhubungan dengan wewenang hakim yang berhubungan dengan daerah hukumnya, bukan yang secara absolut, wewenang yang berhubungan dengan sifat perkaranya.

Penggugat yang buta huruf menurut ketentuan dalam Pasal 120 dapat memasukkan gugatannya dengan lisan, akan tetapi bagi tergugat tidak ada ketentuan boleh menjawab surat gugatan dengan lisan, malahan menurut ayat (2) Pasal 121, kalau mau ia boleh menjawab gugatan itu, tetapi dengan surat.

Pasal 122 HIR menjelaskan bahwa:

Ketika menentukan hari persidangan, ketua menimbang jarak antara tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri bersidang dan kecuali dalam hal perlu benar perkara itu dengan segera diperiksa, dan hal ini disebutkan dalam surat perintah, maka tempo antara hari pemanggilan kedua belah pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang dari tiga hari kerja.

Menurut Pasal 146 RBg bahwa

Dalam menetapkan hari sidang, maka ketua pengadilan negeri memperhatikan jarak antara tempat tinggal atau tempat kediaman para pihak dan tempat persidangan, dan di dalam surat penetapan itu juga ditentukan, bahwa antara hari panggilan dan hari sidang tidak diperbolehkan melampaui tiga hari kerja, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.

Mengetahui dekat jauhnya jarak dari tempat kediaman kedua belah pihak sampai tempat persidangan itu perlu untuk menentukan lamanya waktu antara saat pemanggilan dan saat mulai bersidang. Kalau jaraknya dekat, waktunya pendek,

(27)

kalau jaraknya jauh, waktunya juga lama, akan tetapi jarak antara hari pemanggilan ke dua belah pihak itu dari hari bersidang paling sedikit tiga hari kerja.

Berdasarkan pasal-pasal di atas, gugatan harus diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu harus ditanda tangani oleh penggugat. Jika perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya maka yang menandatangani surat gugatan adalah kuasa hukumnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147 ayat (1) Rbg. Berdasarkan Pasal 113 HIR dan Pasal 143 Rbg, Ketua Pengadilan berwenang memberikan nasehat hukum mengajukan gugatan kepada pengadilan yang berwenang.16

Menurut HIR dan RBg, tidak ada ketentuan khusus dan persyaratan tentang tata cara menyusun dan membuat surat gugatan. Hanya dalam Rv Pasal 8 No. 3 yang mengharuskan adanya pokok gugatan, meliputi:

a. Identitas para pihak

Umumnya meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat tinggal para pihak yang berperkara terutama tergugat harus terang dan cermat, untuk memudahkan jurusita dalam melakukan pemanggilan, serta kedudukannya sebagai pihak dalam perkara yang diajukan di pengadilan. Hal ini merupakan syarat formal suatu gugatan untuk menghindari terjadinya error in persona (kesalahan identitas seseorang). Pihak-pihak yang berperkara itu harus ditegaskan kedudukannya dalam perkara apakah sebagai penggugat atau tergugat. Jika

16Manan, Abdul: 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, h. 27-28.

(28)

tergugat tidak menegaskan kedudukan atau posisinya dalam perkara bagaimana mungkin orang yang berperkara bisa membela serta mempertahankan hak dan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak juga harus ditegaskan kedudukannya dalam surat gugatan, jika tidak maka gugatan dianggap kabur (obscuur libel).17

b. Fundamentum Petendi atau Posita

Posita atau fundamentum petendi adalah dalil-dalil atau alasan-alasan konkret mengenai hubungan hukum disertai dasar dan alasan tuntutan (middelen van den eis).18 Posita memuat hal-hal penegasan hubungan hukum antara penggugat dan tergugat dan hubungan tergugat dengan obyek sengketa. Posita gugatan harus cakap, ringkas, jelas, terinci dan sistematik. Posita yang tidak sistematik, tidak runtut dan berbelit-belit membuat gugatan dikualifikasikan sebagai gugatan kabur.

c. Petitum atau Tuntutan

Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan penggugat agar dinyatakan atau dihukumkan kepada para pihak terutama pada tergugat oleh hakim. Petitum juga harus jelas, harus sejalan dengan posita karena jika semua petitum tidak senyawa dengan posita gugatan maka posita gugatan menjadi cacat dan kabur sehingga menyebabkan gugatan tidak diterima. Jika hanya sebagian petitum yang sejalan dengan posita, tidak mengakibatkan petitum yang bersangkutan tidak diterima. Petitum atau tuntutan harus jelas dan tidak boleh

17Harahap, M. Yahya: 2009, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, h. 194.

18Mulyadi, Lilik: 2009, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada Praktik Peradilan, Cet. Pertama, Bayumedia Publishing, Malang, h. 18.

(29)

bertentangan dengan posita gugatan. Gugatan yang positanya bertentangan dengan petitum dapat pula dikategorikan sebagai gugatan yang kabur (obscuur libel).19

b. Menurut KUHPerdata

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ditemukan Pasal yang secara khusus mengatur tentang pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri, namun di dalam beberapa Pasal ada disinggung tentang gugatan. Berikut ini akan diuraikan.

Menurut Pasal 24 KUHPerdata bahwa:

Dalam suatu akta dan terhadap suatu soal tertentu, kedua pihak atau salah satu pihak bebas untuk memilih tempat tinggal yang lain dari pada tempat tinggal yang sebenarnya. Pemilihan itu dapat dilakukan secara mutlak, bahkan sampai meliputi pelaksanaan putusan Hakim, atau dapat dibatasi sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kedua pihak atau salah satu pihak. Dalam hal ini surat-surat juru sita, gugatan-gugatan atau tuntutan-tuntutan yang tercantum atau termaksud dalam akta itu boleh dilakukan di tempat tinggal yang dipilih dan di muka Hakim tempat tinggal itu.

Pasal tersebut di atas mengatur tentang pilihan tempat yang disepakati mengenai penyelesaian perkara yang dimuat dalam pembuatan akta catatan sipil.

Pasal ini menjelaskan kebebasan kedua belah pihak untuk menentukan wilayah Pengadilan Negeri mana yang menjadi tempat penyelesaian perkara tersebut.

Pasal 207 KUHPerdata menjelaskan bahwa:

Gugatan perceraian perkawinan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya si suami mempunyai tempat tinggal pokok, pada waktu memajukan permohonan termaksud dalam Pasal 831 Reglemen Acara Perdata atau tempat tinggal yang sebenarnya bila tidak mempunyai tempat tinggal pokok. Jika pada waktu mengajukan surat permohonan

19Soeroso, R: 2006, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28.

(30)

tersebut di atas si suami tidak mempunyai tempat tinggal pokok atau tempat tinggal yang sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri yang sebenarnya.

Pasal 207 KUHPerdata di atas menjelaskan tentang ke Pengadilan Negeri mana harus diajukan suatu gugatan cerai oleh seorang suami apabila suaminya tidak diketahui domisili yang sebenarnya. Maka apabila domisili suaminya tidak diketahui, istri dapat mengajukan gugatan cerainya di Pengadilan Negeri tempat kediaman si istri.

Pasal 218 KUHPerdata menjelaskan bahwa:

Gugatan untuk perceraian perkawinan atas dasar meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk, gugur bila suami atau isteri, sebelum diputuskan perceraian, kembali ke rumah kediaman bersama. Namun bila setelah sebab yang sah, pihak lain oleh memulai gugatan baru untuk perceraian perkawinan enam bulan setelah kepergian itu, dan boleh menggunakan alasan-alasan lama untuk mendukung gugatannya. Dalam hal itu, gugatan perceraian perkawinan tidak akan gugur bila pihak yang meninggalkan tempat tinggal bersama itu kembali sekali lagi.

Pasal di atas menjelaskan tentang gugurnya gugatan cerai istri karena meninggalkan tempat bersama dengan iktikad buruk, gugatan akan gugur apabila sebelum putusan perceraian diputuskan si suami telah kembali ke tempat tinggal bersama.

Pasal 220 KUHPerdata menjelaskan bahwa „gugatan untuk perceraian gugur, bila salah seorang dan kedua suami isteri meninggal sebelum ada putusan”.

Pasal ini menjelaskan bahwa apabi salah satu dari suami istri meninggal dunia dalam masa proses gugatan cerai, maka gugatan tersebut menjadi gugur.

Pasal 258 KUHPerdata menjelaskan bahwa: “gugatan untuk membantah keabsahan anak itu harus dimulai dalam waktu dua bulan terhitung sejak anak itu

(31)

memiliki harta benda suami, atau sejak para ahli warisnya terganggu dalam memilikinya oleh anak”. Pasal ini menjelaskan tentang batas waktu dapat dimulainya pengajuan gugatan keabsahan anak yang mewarisi harta warisan dari suami.

Pasal 834 KUHPerdata menjelaskan bahwa:

Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya. Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu- satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain.

Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apa pun ada dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan-peraturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik.

Pasal di atas menjelaskan tentang kewenangan seoang ahli waris untuk menggugat orang yang menguasai harta warisannya tanpa alas hak yang dibenarkan dalam undang-undang. Menurut Pasal 835 KUHPerdata tuntutan itu menjadi lewat waktu dengan Iewatnya waktu tiga puluh tahun, terhitung dan hari terbukanya warisan itu.

Berdasarkan penjelasan pasal-pasal KUHPerdata di atas, tidak ada yang menjelaskan tentang isi dan prosesdur pengajuan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.

c. Menurut Yurisprudensi

Selain HIR, RBg dan KUHPerdata sebagai sumber hukum pengajuan gugatan ke pengadilan, yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum dalam beracara di Pengadilan. Berikut ini akan diuraikan yurisprudensi- yurisprudensi yang mengatur tentang pembuatan dan pengajuan gugatan ke

(32)

pengadilan.

Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 492 K/Sip/1970 tanggal 21 Nopember 1970 menyatakan bahwa, “Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa-apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 209 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971, menyatakan bahwa “Perubahan Gugatan diperbolehkan asal tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materil, walaupun tidak ada gugatan subsider (Ex aequo et bono)”.

Menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1972 No.

547K/Sip/1971 menyebutkan bahwa “perumusan kejadian materil secara singkat sudah memenuhi syarat”. Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 81 K/Sip/1971 tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan bahwa, “karena tanah yang dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 663K/Sip/1971 tanggal 6 Agustus 1971 menjelaskan bahwa “turut Tergugat adalah seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.” Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 556 K/Sip/1971 tanggal 10 November 1971 menjelaskan bahwa “putusan yang mengabulkan lebih dari yang dituntut, diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan keadaan materil, asal tidak menyimpang dari pada apa yang dituntut dan putusan yang hanya meminta sebagian saja.”

(33)

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1043 K/Sip/1971 tanggal 3 Desember 1974, menjelaskan bahwa “perubahan atau tambahan surat gugatan boleh asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan dalam haknya untuk membela diri”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 79 K/Sip/1972, menjelaskan bahwa “dwangsom tidak dapat dituntut bersama-sama dengan tuntutan membayar uang”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor mor 547 K/Sip/1972 tanggal 15 Maret 1972, menjelaskan bahwa “Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1070 K/Sip/1972, tanggal 7 Mei 1973, menjelaskan bahwa “tuntutan provisionil yang tercantum dalam pasal 180 HIR hanyalah untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara selama proses berjalan; tuntutan provisionil yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 226 K/Sip/1973 tanggal 27 November 1975, menjelaskan bahwa “perubahan gugatan mengenai pokok perkara harus ditolak”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Sip/1974 tanggal 18 Nopember 1975, menjelaskan bahwa “perbedaan hakim-hakim anggota dalam pemeriksaan tuntutan provisionil dan dalam pemeriksaan pokok perkara adalah tidak mengakibatkan batalnya seluruh putusan karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam pemutusan pokok perkara”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 556 K/Sip/1973 tanggal 21

(34)

Agustus 1974 yang menyatakan bahwa: “Jika objek gugatan tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 77 K/Sip/1973 tanggal 19 September 1973, menjelaskan bahwa “karena petitum tidak menuntut ganti rugi, maka putusan Pengadilan Tinggi yang mengharuskan Tergugat mengganti kerugian harus dibatalkan.”

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 582 K/Sip/1973 tanggal 18 Desember 1975 menyatakan bahwa, “karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1070 K/Sip/1975 tanggal 7 Mei 1973, menjelaskan bahwa “tuntutan provisional yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 67 K/Sip/1975 tanggal 13 Mei 1975, menjelaskan bahwa “petitum tidak sesuai dengan posita, maka permohonan kasasi dapat diterima dan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dibatalkan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 425 K/Sip/1975 tanggal 15 Juli 1975, menjelaskan bahwa “mengabulkan lebih dari petitum diizinkan, asal saja sesuai dengan posita. Di samping itu dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, baik hukum acara pidana/perdata, hakim bersifat aktif”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 279 K/Sip/1976 tanggal 5 Juli 1976, menjelaskan bahwa “permohonan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang mengenai pokok perkara; permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 307 K/Sip/1976 tanggal 7 Desember 1976, menjelaskan bahwa “dwangsom akan ditolak apabila putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil”.

(35)

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1149 K/Sip/1979 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan bahwa: “Karena dalam surat gugatan tidak disebutkan jelas letak atau batas-batas tanah sengketanya, gugatan tidak dapat diterima”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984 yang menyatakan bahwa, “Gugatan yang tidak menyebutkan batas- batas objek sengketa dinyatakan obscuur libel dan gugatan tidak dapat diterima”.

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2990K/Pdt/1990 tanggal 23 Mei 1992 yang memberikan gambaran acuan mengenai penggabungan gugatan boleh dilakukan dengan alasan:

a. Pertama, gugatan yang digabung sejenis.

b. Kedua, penyelesaian hukum dan kepentingan yang dituntut para penggugat adalah sama.

c. Ketiga, hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah sama.

d. Keempat, pembuktian adalah sama dan mudah sehingga tidak mempersulit pemeriksaan secara kumulasi.

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2990K/Pdt/1990 tanggal 23 Mei 1992 juga memperbolehkan dilakukannya penggabungan dua gugatan selama gugatan tersebut terdapat hubungan yang erat, terdapat hubungan hukum antara kedua gugatan, para pihaknya sama, juga proses pembuktian tidak mengalami kesulitan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001 dijelaskan bahwa “penggabungan perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar tata tertib acara dengan alasan bahwa

(36)

keduanya harus diselesaikan tersendiri”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 879 /Pdt/2009 dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa

“karena gugatan Penggugat merupakan penggabungan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, maka gugatan menjadi tidak jelas dan kabur (obscuur libel)”.

B. Tinjauan Umum Terhadap Pengajuan Gugatan Ke Pengadilan 5. Pengertian Gugatan

Pengertian gugatan menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan “Eigenrichting”. Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, maka oleh karena itu ia mengajukan tuntutan hak ke pengadilan.20

Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan, terdiri dari seorang penggugat dan tergugat. Dalam suatu gugatan ada penggugat yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau tergugat tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu. Untuk penentuan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya putusan hakim.21

Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya

20Mertokusumo, Sudikno: Op.Cit., h. 52.

21Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar: 2009, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Management Publications, Bandung, h. 10.

(37)

terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat, yang mana terjadinya gugatan umumnya pihak tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat. Terjadinya gugatan umumnya setelah pihak tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat dan pihak tergugat tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan kewajiban yang diminta oleh pihak penggugat, sehingga akan timbul sengketa hak dan kewajiban antara penggugat dan tergugat.22

Sedangkan Yahya Harahap mendifinisikan gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara hak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak:

a. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.

b. Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.

c. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa.

d. Sengketa yang terjadi di antara para pihak, sedikitnya di antara dua pihak.

e. Gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat.23

Pengertian gugatan menurut Zainal Asikin gugatan adalah suatu tuntutan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang oleh seseorang mengenai suatu hal akibat adanya persengketaan dengan pihak lainya yang kemudian mengharuskan hakim memeriksa tuntutan tersebut menurut tata

22Sarwono: 2011, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31.

23Harahap, M. Yahya: 2009, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47-48.

(38)

cara tertentu yang kemudian melahirkan keputusan terhadap gugatan tersebut.24 Berdasarkan beberapa pengertian gugatan tersebut di atas jelas terlihat bahwa peran dan fungsi gugatan adalah sebagai sarana dan solusi dari pihak penggugat untuk mendapatkan hak-haknya yang sebelumnya telah dilanggar bahkan telah dirugikan oleh tergugat.

6. Bentuk-Bentuk Gugatan

Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Berbentuk lisan

Pasal 120 HIR/144 RBg menyatakan bilamana penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajaukan secara lisan kepada ketua Pengadilan.

Ketua Pengadilan tersebut membuat catatan atau menyuruh mebuat catatan tentang gugatan itu. RBg menyatakan bahwa gugatan secara lisan, tidak boleh dilakukan oleh orang yang dikuasakan.25

HIR dibuat tahun 1941 (St.1941, No 44), ketentuan Pasal 120 ini benar- benar realistis, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang oleh Undang-Undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak

24Asikin, Zainal: Op.Cit., h. 19.

25Fauzan, M: 2005, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradailan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia,Cet. II, Kencana, Jakarta, h.13.

(39)

mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk membuat gugatan yang diinginkannya.26

Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat ketentuan ini tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah mencapai Kota Kabupaten, memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan. Namun demikian, memerhatikan luasnya Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di pelosok pedesaan, dihubungi dengan mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang akan datang.27

Terlepas dari hal di atas, terdapat beberapa segi yang perlu dibahas mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Syarat Formil Gugatan Lisan

Penggugat tidak bisa membaca dan menulis. Dengan kata lain, penggugat buta aksara. Dalam Pasal 120 HIR, hanya disebut buta aksara. Tidak termasuk orang yang buta hukum atau yang kurang memahami hukum. Juga tidak disyaratkan orang yang tidak mampu secara finansial. Tidak dimasukkan syarat kemampuan finasial sebagai syarat yang diakumulasi dengan buta aksara, membuat ketentuan ini kurang adil. Alasannya orang yang kaya tetapi buta aksara,

26Harahap, M. Yahya: 2012, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 48.

27Ibid.

(40)

pada dasarnya dapat membiayai pengacara, sehingga kurang layak mendapat bantuan dari Ketua Pengadilan Negeri.28

2) Cara Pengajuan Gugatan Lisan

Pengajuan gugatan dilakukan dengan cara, yaitu:

1. Diajukan dengan lisan.

2. Kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan

3. Menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan.

Pengajuan atau pemasukan gugatan secara lisan, disampaikan sendiri oleh tergugat. Tidak boleh diwakilkan oleh kuasa atau pengacara yang ditunjuknya.

Dengan menunjuk pengacara sebagai kuasa yang akan mewakili kepentingannya, menurut hukum dianggap telah melenyapkan syarat buta aksara. Kecuali yang ditunjuk sebagai kuasa terdiri dari anggota keluarga yang juga buta aksara, pada diri kuasa dianggap melekat syarat tersebut. Mengenai larangan ini, tertera juga dalam satu Putusan Mahkamah Agung yang menegaskan, “orang yang diberi kuasa, tidak berhak mengajukan gugatan secara lisan.”29

3) Fungsi Ketua Pengadilan Negeri

1. Ketua Pengadilan Negeri wajib memberi layanan,

2. Pelayanan yang harus diberikan Ketua Pengadilan Negeri, yaitu:

a. Mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan

b. Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang diterangkan penggugat.

28Ibid.

29Ibid., h. 49.

(41)

Sehubungan dengan kewajiban mencatat dan merumuskan gugatan sebaik mungkin, Ketua Pengadilan Negeri perlu memerhatikan Putusan Mahkamah Agung tentang ini yang menegaskan, “Adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.”30

b. Berbentuk Tertulis

Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.31

Memperhatikan ketentuan ini, yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut:

1) Penggugat Sendiri

Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri.

Kebolehan penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke Pengadilan Negeri, adalah karena HIR maupun RBg tidak menganut sistem Verplichte Procureur Stelling, yang mewajibkan penggugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat pengacara atau advokat untuk mewakilinya,

30Ibid.

31Rambe, Ropaun: 2004, Hukum Acara Perdata Lengkap, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, h. 241.

(42)

sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh Reglement op de Rechivordering (Rv).32 Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, yaitu:

1. Tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi penggugat untuk menguasakan atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat;

2. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang kuasa, yang akan bertindak mengurus kepentingannya dalam pembuatan dan pengajuan gugatan.33

2) Melalui Kuasa

Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau menyampaikan surat gugatan kepada Pengadilan Negeri. Ketentuan ini, sejalan dengan yang digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR yang mengatakan, baik penggugat dan tergugat (kedua belah pihak):

1. Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan tindakan di depan pengadilan, dan

2. Kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of attorney). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan surat gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut.

3. Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus.

4. Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat atau pemberi kuasa (lastgever, mandate).

5. Apabila kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris),

32Harahap, M. Yahya, Op.Cit., h 49.

33Subekti, R: 1989, Hukum Acara Perdata, Bina Usaha, Jakarta, h. 11.

Referensi

Dokumen terkait