PENGARUH DOSIS RADIASI
125I TERHADAP DIAMETER INTI SPERMATOGONIUM
I Nyoman Suratma
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak:
Penelitian ini menggunakan 48 dua bulan tikus putih jantan berumur. Tikus-tikus putih kelompok ke dalam enam kotak plastik besar dengan diameter 30 cm, sehingga setiap kotak berisi 8 tikus putih. Tikus putih diobati dengan radioaktif sebagai berikut:
Kotak 1 dan kotak 2 digunakan sebagai kontrol 16 dan 32 hari.
ci dosis 5 untuk 16 hari.Kotak 3 diobati dengan radiasi radio aktif ci dosis 5 untuk 32 hari.Kotak 4 diobati dengan radiasi radio aktif ci dosis selama 16 hari.Kotak 5 diobati dengan radiasi radio aktif 10 ci dosis untuk 32 hari.Kotak 6 diobati dengan radiasi radio aktif 10
Setelah waktu yang ditetapkan berakhir, testis dilakukan pemeriksaan. Tikus putih dibunuh dengan eter dan kemudian dua testis diambil dificsasi dengan formalin 10% untuk preparat histologi ditandai, inti berdiameter spermatogonium pemeriksaan dilakukan. Semua putih tikus dibunuh dengan eter dan kemudian dua testis diambil difisasi dengan formalin 10% untuk preparat histologi ditandai, dan diameter inti dihitung. Hasilnya, dengan analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah rata-rata berarti diameter inti kontrol yang spermatogonium adalah = 1.571 u dan SD = 0.191, sementara jumlah rata-rata (mean) dari spermatogonium inti berdiameter setelah radiasi adalah = 4,46 u dan sd adalah = 0.372.
Hal ini ditemukan bahwa tikus putih jantan dengan radiasi radioaktif125I memiliki rata-rata lebih besar dari diameter inti dari yang kontrol. Analisis statistik menunjukkan bahwa varian alpha = 0,05 berarti p
<0,05.
Kata kunci: tikus putih Laki-laki, inti berdiameter spermatogonium, radio aktif125I.
EFFECT OF RADIATION DOSE OF 125I CORE DIAMETER spermatogonial
I Nyoman Suratma
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract:
This research used 48 two-month old male white mice. These white mice were group into six big plastic boxes with the diameter of 30 cm, so each box contain 8 white mice. The white mice were treated with radioactive as follows :
Box 1 and box 2 were used as control of 16 and 32 days.
Box 3 was treated with radiation of radio active 5ci dosage for 16 days.
Box 4 was treated with radiation of radio active 5ci dosage for 32 days.
Box 5 was treated with radiation of radio active 10ci dosage for 16 days.
Box 6 was treated with radiation of radio active 10ci dosage for 32 days.
After the assigned time was over, testes examination was conducted.
The white mice was killed with ether and then the two testes was taken dificsasi with formalin 10 % for preparat histology maked, nucleus diameter spermatogonium examination was conducted. All the white mice's was killed with ether and then the two testes was taken difisasi with formalin 10 % for preparat histology maked, and the nucleus diameter was calculated. The result, with a statistical analysis showed that the average amount of the control's nucleus diameter spermatogonium mean was = 1,571u and sd = 0,191, while the average amount ( mean ) of nucleus diameter spermatogonium after radiation was = 4,46u and sd was = 0,372.
It is found out that the male white mice with radiation of radioactive125I had greater average of nucleus diameter than the control ones. Statistical analysis of variant shows that alpha = 0,05 means p < 0,05.
Key words: Male white mice, nucleus diameter spermatogonium, radio active125I.
I. PENDAHULUAN
Efek biologis dari radioaktif adalah merupakan akibat negatif yang timbul setelah suatu alat tubuh atau bagian dari tubuh terkena radiasi sinar pengion. Efek biologis dapat berupa efek somatic dan efek genetik yang tergantung pada bagian mana dari alat tubuh terkena penyinaran. Efek somatic adalah efek yang timbul segera setelah bagian tubuh terkena radiasi sinar pengion yang sifatnya dapat akut maupun secara lambat.
Efek somatic timbul pada bagian-bagian tubuh di luar alat reproduksi yang terkena radiasi sinar pengion. Efek genetic adalah merupakan efek biologis yang tampak pada generasi berikutnya dari seseorang yang terkena radiasi sinar pengion dan efek genetic timbul bila seseorang terkena radiasi pengion pada alat reproduksinya.
Testes merupakan suatu kelenjar ganda, karena memiliki fungsi eksokrin dan endokrin. Hasil eksokrin terutama sel-sel seks, sehingga oleh karena itu testis dapat disebut sebagai kelenjar sitogenik. Sedangkan hasil endokrin
"sekresi interen" yang dilakukan oleh sel-sel khusus (Ham, dkk; 1979). Testis dibungkus oleh selaput yang terdiri dari : tunica vaginalis, tunica albuginea dan tunica vasculosa.
Testis sendiri tersusun atas banyak sekali bentukan-bentukan seperti pipa kecil (tubule) yang berjalan berlekuk-lekuk, dengan kedua muaranya berhubungan dengan rete testis melalui tubuh recti. Pipa-pipa kecil tersebut disebut tubuli seminiferi.
Clermont dan Huckins (1961), telah meneliti perjalanan dari tubululi seminiferi dari testis mencit.
Dikatakannya setelah meninggalkan rete testis, tubulus seminiferous berjalan ke arah caudal sampai jarak tertentu, kemudian ia berbalik pada suatu belokan yang mirip bentuk jepitan rambut, untuk kemudian berjalan kearah caudal lagi.
Demikian seterusnya tubulus itu berjalan bolak-balik ke caudal dan cranial, sehingga membentuk suatu lekukan- lekukan yang teratur dalam jumlah yang sangat banyak sampai akhirnya kembali bermuara ke rete testis lagi.
Speimatogonia.
Clermont dan Obregon (1968) menyebutkan bahwa populasi spermatogonia terdiri dari dua macam sel yaitu : stem cells dan differentiating cells.
Spermatogonia type A adalah sebagai stem cells, karena ia mampu membelah diri membentuk stem cells lagi dan differentiating cells, sedangkan differentiating cells adalah spermatogonia type intermediate dan type B, yang mana akan membelah untuk menjadi sel yang lebih terspesialisasi yaitu spermatocytes, dan tak mungkin membentuk stem cells lagi.
Spermatogonium type A intinya jernih, dengan selaput inti yang tipis, sedangkan type B, inti mengandung chromatin yang besar dan selaput intinya tebal. Type intermediate adalah bentuk diantara keduanya tersebut.
Spermatogonia type B inilah yang kemudian membentuk spermatocyt-spermatocyt muda pada stage VI, yang bentuknya mirip sel induknya tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Selanjutnya perubahanperubahan struktur inti terjadi pada intermediate intervals. Sampai pada stage IX baru menampakkan gambaran khas spermatocyt pada stadium leptotene.
Leeson and Leeson ( 1990 ) menyebutkan bahwa inti sel spermatogonium type A, gelap dengan inti sel lonjong berwarna gelap. Sel-sel tersebut membelah diri secara berkala untuk mempertahan kan jumlah spermatogonia dan juga untuk membentuk spermatogonia pucat type A yang memiliki inti lonjong pucat.
Spermatogonia pucat type A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi
sperlnatogonia type B dan juga untuk menjadi spermatogonia pucat type A yang lain. Spermatogonia type B mempunyai inti bulat yang mengandung massa khromatin padat yang berhubungan dengan membran inti. Bila spermatogonia type B membelah diri dengan cara mitosis selsel tersebut menghasilkan sel-sel anak yang seluruhnya berdiferensiasi menjadi spermatocyte primer. Sewaktu proses ini berlangsung, sel-sel anak menjadi lamina basal, bertambah besar dan memperlihatkan perubahan sifat inti sel.
Klasifikasi spermatogonia yang lebih kompleks diajukan oleh beberapa penulis misalnya karena jumlah generasi spermatogonia type B pada manusia ada empat, maka sel-sel tersebut diberi nama B1, B2, B3 dan B4.
Yang termasuk radiasi sinar pengion adalah : sinar alfa, sinar beta, sinar grenz, sinar X (Rontgent) dan sinar gamma (Anonim, 1973 a; Gabriel, 1988 ).
II LATAR BELAKANG MASALAH Karena sinar gama makin meluas pemakaiannya khususnya dalam bidang kedokteran nuklir, maka kita sering melihat orang-orang yang selalu berhubungan dengan radiasi sinar pengion khususnya sinar gamma akan menderita gangguan akibat negatif dari pada sinar tersebut. Pasien kedokteran nuklir sebagai subyek penyinaran, mempunyai kemungkinan mengalami efek non stokastik disamping juga efek stokastik. Sebagai sumber radiasi ia dapat memperbesar peluang terjadinya efek stokastik, somatic dan genetic dalam masyarakat. Aspek keselamatan radiasi dalam kedokteran nuklir perlu mendapat perhatian secara wajar dan benar agar mendapat tujuan yang akan kita capai melalui keselamatan radiasi.
Tujuan keselamatan radiasi adalah :
1). Mencegah terjadinya efek non- stokastik yang membahayakan.
2). Mengurangi frekuensi terjadinya efek stokastik ketingkat yang cukup rendah yang masih dapat ditanggung oleh masyarakat.
IIITINJAUAN DAN 1VIANFAT PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis radiasi radioaktif 125I terhadap diameter inti spermatogonium dalam satuan waktu yang ditentukan. Manfaat penelitian ini adalah dalam dunia kesehatan yaitu untuk terapi dan diagnosis. Para pekerja (laboran) yang bekerja di laboratorium Radio immuno-assay yang memakai radio-aktif 125I sebagai tracer diharapkan untuk berhati-hati dan memakai pelindung badan agar tidak tercemari radio-aktif memakai
pelindung badan agar tidak tercemari radioaktif.
VI TINJAUAN PUSTAKA
Becquerel (1896) yang dikutif oleh Gabriel, 1988 menemukan senyawa uranium yang memancarkan sinar tak tampak yang dapat menembus bahan yang tidak tembus cahaya serta mempengaruhi emulsi fotografi. Marie Curie ( 1896 )yang dikutif Gabriel, 1988 menunjukkan bahwa inti uranium dan banyak unsure lainnya bersifat memancarkan salah satu partikel alfa, beta atau gamma.
Unsur inti atom yang mempunyai sifat memancarkan sinar-sinar tersebut disebut inti radio-aktif (Kirsch dkk;
1972). Sinar gamma mempunyai sifat-- sifat yaitu : Mempunyai daya tembus lebih besar dari sinar alfa, sinar beta, sinar grenz dan sinar X tidak dapat dilihat oleh mata biasa, mempunyai panjang gelombang pendek,
mempunyai pancaran sinar yang lurus tidak dapat dibelokkan oleh medan magnit, dapat merangsang sel-sel jaringan hidup dan merusak sel-sel jaringan hidup dan dapat mengionisasi gas.
Oleh karena sinar gamma mempunyai daya tembus yang tinggi, sehingga tergolong radiasi kuat ( Hard- radiation ) (Anonim, 1982; Lukman, 3983; Gabriel, 1988). Oleh karena itu sinar gamma makin meluas pemakaiannya khususnya dalam bidang kedokteran nuklir.
Ekivalen dosis yang diterima oleh seseorang dari semua "sumber" ( instalasi atom ) yang dioperasikan harus tidak melebihi batas dosis yang berlaku (batas dosis perorangan).
Secara ideal persetujuan atas suatu usul pengoperasian instalasi atau pekerjaan yang melibatkan penyinaran radiasi harus didasarkan atas hasil analisis biaya manfaat. Untuk suatu harga ekivalen dosis kolektif yang dipilih (berarti tingkat risiko sudah dipilih), S*, keadaan optimum akan dicapai bila dipenuhi persamaan sebagai berikut: (Wiryosimin, 1985 ) ( dX / dS ) s*=- (dY / dS) s*. bila dX / dS menyatakan penambahan biaya
persatuan ekivalen dosis kolektif yang diperlukan untuk memperoleh suatu tingkat keselamatan radiasi tertentu dan dY / dS menyatakan penambahan beban masyarakat atas kerugian yang ditimbulkan oleh pengoperasian instalasi atau pun pekerja bersangkutan persatuan ekivalen dosis kolektif ( Anonim, 1982; Santoso, 1985 ).
Batas ekivalen dosis ditetapkan atas dasar prinsip bahwa risiko total dianggap sama, tidak peduli apakah penyinaran rata untuk seluruh tubuh atau hanya tertuju pada bagian tertentu saja. Anggapan ini akan berlaku bila dipenuhi hubungan :
T WTHT< HwB,L
(Wiryosimin, 1985). Bila W.
menyatakan factor bobot yang menggambarkan angka banding antara risiko stokastik yang berasal dari organ T terhadap risiko total bila seluruh tubuh menerima penyinaran secara merata; H menyatakan batas ekivalen dosis tahunan yang diterima oleh organ T dan HW B, L menyatakan batas ekivalen dosis tahunan untuk penyinaran merata pada seluruh tubuh, dalam hal ini 50 mSv ( 5000 mrem ).
Faktor bobot untuk berbagai organ / bagian jaringan
Organ / jaringan W
Gonad 0,25
Payudara 0,15
Sumsum merah 0,12
Paru-paru 0,12
Kelenjar gondok 0,03
Permukaan tulang 0,03
Lain-lain 0,30
Sumber: Wiryosimin, S. 1985.
Apabila penerimaan penyinaran terdiri atas penyinaran luar dan dalam,
maka batas ekivalen dosis untuk efek stokastik tidak akan dilampaui bila dipenuhi hubungan sebagai berikut :
1
,
, Ij L
Ij L
HWB Hr
Bila Ij menyatakan jumlah pemasukan radio nuklida j dalam satu tahun Ij, L menyatakan batas pemasukan tahunan untuk radio nuklida j.
Proses Ionisasi
Sebagian besar system biologis terdiri dari 80 % air, karena itu sebagian besar ionisasi pada system biologis terutama terjadi pada molekul air bila tubuh kena radiasi radioaktif ( sinar pengion ) efek ini ditemukan pertama kali oleh Curie dan Debierne ( 1901 ) dikutip oleh Gabriel; 1988.
Pada saat radiasi pengion mengenai suatu system biologis, maka ionisasi paling banyak terjadi pada molekul air sehingga radikal Ho, OHo , yang dihasilkan dapat menimbulkan efek yang bermacam - macam pada system biologis tersebut akan menyebabkan perubahan yang sangat penting bagi struktur dan fungsi kehidupan sel ( Casarett, 1986)
Secara umum radiolisis dari air H2O...H° + OH+
Salah satu dari banyak kemungkinan pembentukan radikal bebas adalah sebuah electron dikeluarkan dari molekul air ( H2O .... H20+ e- ) dan electron tersebut diambil oleh molekul air yang lain ( e-+ H20+ ...H20 ) dalam keadaan demikian sebuah ion positif ( H2O ) dan ion negatif ( H2O ) dibentuk.
Tiap-tiap ion tersebut dengan adanya molekul air yang lain menjadi suatu ion dan suatu radikal bebas.
H2O+H2O...H + OH ; H2O + H2O ...
OH + Ho. Radikal-radikal ini akan bereaksi satu dengan yang lainnya ; H +
OH ... H2O ; Ho + Ho ... H2; OH + OH .... H2O2.(hydrogen peroksida) yang merupakan bahan pengoksidasi yang aktif dan merupakan bagian penting yang perlu diperhatikan dari efek radiasi pada system yang encer (Casarett, 1968). Pengaruhnya pada molekul- molekul sel adalah:
1. Putusnya ikatan peptida dari molekul sel.
2. putusnya ikatan hydrogen dan ikatan disulfida dari protein sel
3. terhadap organel-organel sel;
membran plasma pecah, endoplasmic reticulum memanj ang; mitokondria membengkak, lisozom pecah akan memperberat kerusakan sel, produksi ATP berkurang.
4. Dalam inti sel akan terjadi kecepatan sintesa DNA berkurang karena aktifitas enzym berkurang akan terjadi penundaan aktifitas mitosis, aberasi struktur kromosom, putusnya kromosom atau kromatid.
V. MATERI DAN METODE PENELITIAN.
Definisi operasional variable tergantung. Efek radioaktif 125I pada diameter inti sel spermatogonium adalah efek yang timbul dengan ditandai adanya perubahan diameter inti sel spermatogonium yang lebih besar atau lebih kecil atau sama sekali normal, dan atau sama dengan normal. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kebidanan FKH Unair.
5.1. Hewan Penelitian
Dalam penelitian memakai 48 ekor mencit jantan umur 2 bulan didapat dari Veterinary Farma ( Vehna ) di Jalan Achmad Yani Surabaya. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap pola factorial 2 x
3 sehingga ada 6 kombinasi perlakuan (Sudjana, 1992).
5.2. Bahan Dan Alat Penelitian
a. Radio nukleotida 125I sebanyak 45ci, diperoleh dari Diagnostik Product Corporation Amerika Serikat ( DPC USA). Radio aktif ini di bagi menjadi empat dosis yaitu : 1. Dosis 5ci diradiasi selama 16
hari
2. Dosis 5ci diradiasi selama 32 hari
3. Dosis 10ci diradiasi selama 16 hari
4. Dosis 10ci diradiasi selama 32 hari, sehingga memakai 30 ci radio aktif.
Masing-masing ukuran ada dalam kemasan botol kecil, yang ada tutupnya dan bisa diatur sendiri.
Masing-masing botol ditaruh di tengah-tengah tutup kotak mencit dan dicatat waktunya mulai menempatkan radioaktif itu. Emisi
radiasi nukleotida pada saat pemberian adalah 18 cm dalam 100 count / detik setiap 5 ci radioaktif
125I.
b. Ether dipakai untuk membius mencit , kemudian testesnya diambil keduanya dan difiksasi dengan formalin 10% di dalam botol kecil kemudian ditutup rapat-rapat, dan diberi label. mengenai dosis, waktu dan nomor agar lebih memudahkan pengerjaan preparat histologinya.
c. Mikrometer, untuk mengukur diameter inti sel spermatogonium mikroskop cahaya, botol kecil-kecil yang sudah diisi formalin 10 %.
5.3. Metode Penelitian.
Mencit sebanyak 48 ekor dibagi menjadi 6 kotak plastik besar, yaitu : Kotak I; diberi radiasi 125I dosis 5 uci selama 16 hari. Kotak II; diberi radiasi
125I dosis 5 uci selama 32 hari. Kotak III;
diberi radiasi125I dosis 10 uci selama 16 hari. Kotak IV; diberi radiasi125I dosis 10
ci selama 32 hari. Kotak V dan Kotak VI : Sebagai kontrol. Kemudian diamati setiap hari dan mencit tetap diberi makan dan minum
Rancangan Percobaan Faktorial
Waktu Dosis I D1 ; Dosis II (D2); Dosis Not (DO)
Hari 5 uci 10 uci Kontrol (DO)
16 (al) 8 8 8
32 (a2) 8 8 8
16 16 16
Rancangan yang dipakai dalam hal ini; rancangan acak lengkap pola factorial 2 x 3 , ada dua factor diberikan pada mencit dengan dua ulangan . Faktor pertama adalah hari ( waktu ) yaitu : 16 hari ( al ) dan 32 hari ( a2 ). Faktor kedua adalah dosis yang terdiri dari dua perlakuan dan dua kontrol. Jadi ada 6 kombinasi perlakuan yaitu alDo; a2Do;
alDl; a2D1; a1D2; a2D2; yang masing- masing terdiri dari 8 ekor mencit jantan umur 2 bulan. Setelah mencapai waktunya masing-masing perlakuan maka, semua mencit dikorbankan dibius dengan Ether di - dalam kaleng.
Kemudian masing - masing mencit kedua testesnya diambil dan dimasukkan ke dalam botol kecil difiksasi dengan formalin 10 % untuk dibuat preparat histology. Tiap botol kecil itu ditulisi label, nomor, dosis, waktu., Dengan cara yang sama botol satu sampai delapan tetap diisi kode dan setiap botol ditutup rapat -rapat . Dengan cara yang sama juga dilakukan pada :
- dosis 5ci selama 32 hari - dosis 10ci selama 16 hari
- dosis 10ci selama 32 hari dan juga untuk kontrol.
Semua mencit dalam perlakuan dan kontrol selama waktu tertentu kedua testesnya diambil dan difiksasi dalam formalin 10 % untuk di buat preparat histology.
Setelah selesai membuat preparat histology yang didasarkan atas kelompok perlakuan waktu dan kontrol maka preparat itu dilihat di bawah mikroskop cahaya untuk diukur diameter inti set spermatogonium mencit tiap perlakuan dengan memakai mikro-meter.
Parameter yang diamati dan dianalisa adalah diameter inti set spermatogonium tiap perlakuan, semuanya ini datanya disajikan dalam bentuk deskriptif . Sedangkan untuk menguji perbedaan diameter inti set spermatogoniun rata-rata dari masing- masing data dilakukan analisa varian dengan uji Fischer ( F ) dan bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji BNT ( Sudjana, 1992 ).
VI. HASIL
Hasil perhitungan Mean, Sd, Se dari masing-masing perlakuan untuk data diameter inti set spermatogonium pada rancangan factorial ( Diam .
Kontrol (K) Diradiasi dengan radioaktif125I
16 hari (KI) 5 uci/16 hari 5 uci/32 hari
Mean 1,575 a1 3,413 bl 4,460 c1
Sd 0,191 0,792 0,372
Se 0,067 0,280 0,132
N 8 8 8
32 hari (KII) 10 uci/16 hari 10 uci/32 hari
Mean 1,638 a2 5,789 b2 7,665 c2
Sd 0,200 0,918 1,224
Se 0,071 0,325 0,433
N 8 8 8
Notasi : a1….b1; b1….c1; b1….b2; c1….c2;
Dalam satu kolom dan baris berbeda nyata (p < 0,05) Dari hasil ekperimen di atas dapat dilihat
bahwa makin besar dosis radiasi radioaktif 125I dan makin lama waktu radiasi, rata - rata diameter inti sel spermatogonium makin besar. Untuk menguji hypotesis digunakan analisa varian. Dengan analisa varian didapat dengan alfa () = 0,05 maka ; kelompok waktu, kelompok dosis, interaksi waktu dan dosis ( waktu * dosis ) semuanya bermakna dimana p < 0,05.
VII. DISKUSI.
Hasil penelitian ini banyak manfaatnya bagi masyarakat luas dalam hal bidang kesehatan khususnya, industri, pertanian, peternakan, pertambangan dan energi dan lain-lainnya. Bidang kesehatan untuk terapi dan diagnostik ( dalam kedokteran nuklir ). Para medis yang bekerja berhubungan dengan radioaktif bisa berhati-hati dan memakai alat pelindung dari radiasi. Para pekerja (laboran) di laboratorium Radioimmunoassay yang memakai radioaktif 125I sebagai tracer diharapkan untuk berhati-hati agar tidak tercemar dari radiasi tersebut.
VIII KESIMPULAN.DAN SARAN 8.1. Kesimpulan.
1. Radioaktif khususnya 125I merupakan sinar yang berbentuk gelombang elektromagnetik dan mempunyai panjang gelombang sangat pendek.
2. Radioaktif dapat menyebabkan proses ionisasi pada system
biologis yang dilaluinya.
3. Radioaktif 125I dapat menimbul kan efek negatif pada organ-organ yang aktif ( testes ).
4. Organ ini dapat menghasilkan ukuran diameter inti sel spermatogonium lebih besar dari normal.
5. Besarnya dosis radiasi radioaktif125I serta lamanya waktu yang diberikan dalam radiasi sangat menentukan ukuran diameter inti sel spermatogonium ( Diam ).
6. Semakin besar dosis radiasi yang diberikan semakin besar juga ukuran diameter inti sel spermatogonium testes mencit .
7. Hasil pengamatan tampak bahwa diameter inti sel spermatogonium yang mendapat radiasi radioaktif125I rata-rata diameter inti sel spermatogonium lebih besar dari
kontrol. Ini dibuktikan dengan pengelompokkan mencit berdasar kan dosis, waktu, interaksi dosis dan waktu (dosis x waktu), dengan up Fischer (F) semuanya bermakna (p
< 0,05), dengan alfa = 0,05.
8.2. Saran.
1. Radioaktif sangat berbahaya bagi pasien atau orang lain maka sangat dianjurkan untuk berhati-hati.
2. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk melihat efek genetic, mutagenik, teratogenik atau karsinogenik.
3. Dianjurkan kepada karyawan untuk memakai pelindung dalam menangani alat-alat yang berhubungan dengan radiasi radioaktif.
DAFTAR PUSTAKA.
1. Anonim, 1973 a, Radiation Protection Procedures. International Atomic Energy. IAEA in Austria.
2. ---, 1973 b. Safe Handing of radionuclides. International Atomic Energy Agency Vienna, IAEA in Austria.
3. ---, 1982. Basic Safety Standard for radiation Protection international Atomic Energy Agency. Vienna, IAEA in Austria.
4. Casarett, A.P. 1968, Radiation Biology First edition. Prentice Hal inc-Engle wood cliffs New Yersey p:200-210.
5. Clermont, Y. and C. Huckins; 1961.
Mikroskopic Anatomy of the sex cords and seminiferous tubulus in growing and adult male albino rats. Am. J. Anat.
1:79.
6. Cleimont, Y. and E. Bustos - Obregon, 1968. Reexamination of spermatogonial renewal in the rat by means of
seminiferous tubules mounted in toto.
Am. J. Anat. 123:237248.
7. Clermont, Y. 1962. Quantitative Analysis of spermatogenesis in the rats.
Am.J.Anat. 111:111-129.
8. Gabriel, J.F. 1988. Fisika Kedokteran . Departemen Fisika UNUD. P: 276-322.
9. Ham, A.W. and David, H. Conmack, 1979. Anatomy and Histology of Faculty Medicine Univ. Toronto USA.
P: 877889.
10. Lukman, D. 1983. Buku pengantar dasar-dasar radiasi dalam ilmu kedokteran gigi FKG. Trisakti Jakarta h. 32.
11. Santoso, D. 1985. Prinsip dan pemanfaatan Teknik Radioimmuno - assay. Pusat penelitian Teknik Nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional ( BATAN ).
12. Sudjana, 1992. Metoda Statistika.
Tarsito Bandung.
13. Kirsch, W.M; Schulz, D; Fuchs, E.
and Na Kane, P; 1972. Effect of Ionizing radiation On Nuclear energy Transduction in Normal and Neoplastic glia. J. Radiation Biology.
11:349359.
14. Wiryosimin, S. 1985. Aspek keselamatan radiasi dalam kedokteran nuklir. ABK. Pengetahuan Nuklir.
Jurusan Fisika ITB.