• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SEJARAH KONFLIK, UPAYA REKONSILIASI DAN PEMISAHAN JEMAAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB III SEJARAH KONFLIK, UPAYA REKONSILIASI DAN PEMISAHAN JEMAAT"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

55 BAB III

SEJARAH KONFLIK, UPAYA REKONSILIASI DAN PEMISAHAN JEMAAT

3.1. Sejarah Konflik

Terjadinya konflik sosial dalam suatu komunitas tertentu selalu disebabkan adanya pemicu/akar konflik/epicentrum konflik. Demikian yang terjadi di Jemaat Gereja Jawa A. Dalam catatan Kronologi Kasus Gereja Jawa A Sragen83, disebutkan bahwa permasalahan bermula dari pertanyaan salah seorang anggota majelis sekaligus menjabat sebagai Kepala Kantor Gereja, pada persidangan Majelis Gereja Jawa A, tanggal 1 Juni 2007, tentang kebenaran data permohonan sidi/pengakuan percaya Anak T (Putri Pertama Pdt. IS dengan isteri pertama (Almh.) Ibu KESS).

Dalam syarat yang diajukan, salah satunya adalah Akta Kelahiran Anak T, ditemukan kejanggalan. Ada perubahan Akta Kelahiran dari Akta Kelahiran yang asli yang dikeluarkan oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Temanggung atas nama Anak T dan Anak G (keduanya anak Pdt. I dengan (Almh.) Ibu KESS), yang telah dinyatakan hilang oleh Pdt. IS. Pada akta baru tertulis, bahwa mereka adalah anak dari Pdt. IS dan Ibu ER. Akta Kelahiran tersebut, diterbitkan oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sragen tanggal 21 Juni 1998, dengan nomor 19.875/Dis/1998 dan

83 Akta Sidang Istimewa Klasis Sragen 28 Agustus 2009, Lampiran Kronoligi Kasus GKJ Tamanasri

(2)

56

19.876/Dis/1998. Oleh Pimpinan Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sragen akta tersebut dinyatakan aspal.

Selanjutnya, dalam pertemuan antara Badan Pekerja Majelis Gereja Jawa A dengan Pdt. IS tanggal 6 Juli 2007 dalam rangka klarifikasi, Pdt IS mengakui kesalahannya, berjanji untuk segera mengurus akta kelahiran asli ke Temanggung serta memohon maaf kepada keluarga besar (Almh.) Ibu KESS di Wonogiri. Oleh sebab itu, Majelis Gereja Jawa A pada tanggal 22 Juli 2007 memberikan cuti kepada Pdt. IS selama satu bulan, dengan tujuan dapat menyelesaikan masalahnya.

Entah mengapa, di tengah jalan penyelesaian masalah akta dan pemulihan relasi yang sedang dibangun oleh Pdt. IS dengan keluarga di Wonogiri, justru Pdt.

IS dan Ibu ER, diadukan oleh keluarga besar Siswomartoyo Wonogiri ke Polsek Karangmalang, Sragen. Pengaduan yang disampaikan ke Polsek Karangmalang adalah: pemalsuan akta kelahiran dan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Ibu ER kepada anak Tyan dan Aras84.

Pengaduan dari keluarga di Wonogiri tersebut dianggap oleh jemaat sebagai batu sandungan dalam pelayanan Pdt. IS. Akhirnya pada tanggal 21 Agustus 2007, Majelis Gereja Jawa A menjatuhkan pamerdi (siasat gereja) kepada Pdt. IS dan Ibu ER85. Untuk sementara waktu mereka dibebastugaskan dari pelayanannya.

84 Nama panggilan kedua anak dari pernikahan Pdt. Is Subari dan Almh. Ibu Endang Kristina Sri Subekti

85 Ibu Emi Rumanti juga sorang Sarjana Teologi, sehingga seringkali membantu pelayanan Sang Suami;

seperti Katekisasi serta pelayanan khotbah.

(3)

57

Menyikapi masalah di Gereja Jawa A, pada 26 Agustus 2007, Badan Pelaksana Klasis Sragen membentuk Tim Konsulensi yang beranggotakan: Pdt.

RESPONDEN 4, Pdt. ES, dan Dkn. PW untuk mendampingi Majelis Gereja Jawa A menyelesaikan masalah Pdt. IS.

Tanggal 31 September 2007, Pdt IS secara tertulis menyampaikan permohonan maaf atas kesalahannya kepada Majelis Gereja Jawa A serta mengajukan pelayanan pertobatan, supaya dengan segera dapat kembali melayani Jemaat86. Pdt. IS juga menyampaikan keberatannya menerima pamerdi, menurutnya proses dan prosedurnya tidak memenuhi syarat, alasan yang digunakan sebagai dasar adalah Tata Gereja/Tata Laksana GKJ (2005) pasal 55 (6) 2.a dan 2.d87.

Perkembangan masalah yang terjadi membuat jemaat Gereja Jawa A bergejolak. Masing-masing jemaat mengemukakan pendapatnya; ada yang mendukung pertobatan segera dilakukan, ada yang menolak, apabila pelayanan pertobatan dilakukan dengan segera, alasannya bahwa yang bersangkutan belum menunjukkan sikap akomodatif untuk menyelesaikan masalah dengan keluarga di Wonogiri. Jemaat yang menolak pertobatan dilakukan dengan segera, mengharapkan bahwa ada pemulihan relasi dengan keluarga besar di Wonogiri dan mengurus Akta Kelahiran yang bermasalah. Jemaat akhirnya terpecah belah.

86 Akta Sidang Istimewa Klasis Sragen, 29 Agustus 2009, Lampiran 3, Permohonan Pertobatan

87 Tata Gereja & Tata Laksana GKJ, pasal 55, Sinode GKJ XXIV (2005) tentang Pamerdi. Dalam 6.1 (a) Jika ada Penatua dan Diaken yang menganut dan mengajarkan ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran GKJ, menyalahgunakan jabatannya, menimbulkan kekacauan atau perpecahan di dalam Gereja, kelakuannya tidak sesuai dengan Firman Tuhan dan ayau jabatannya, sehingga menjadi batu sandungan bagi warga gereja dan masyarakat, maka diadakan teguran dan nasihat secara pribadi oleh orangyang mengetahui kasus tersebut dalam kasih agar ia menyesal dan memohon pengampunan, dan bertobat

(4)

58

Menanggapi riak-riak konflik yang semakin besar dan menguras emosi, Majelis Gereja Jawa A dibantu oleh Tim Konsulensi Klasis pada tanggal 5 Oktober 2007 membentuk 2 Tim sekaligus; Tim Pastoral dan Tim Rekonsiliasi.

Tim Pastoral bertugasasas mendampingi keluarga Pdt. IS sedangkan Tim Rekonsiliasi bertugasasas mendampingi jemaat dan menjaga keutuhan jemaat.

Dalam upaya penyelesaian masalah ini, Majelis Gereja Jawa A bersama dengan Tim yang sudah dibentuk, benar-benar diuji untuk dapat melihat masalah secara konkret dan menyelesaikannya secara adil, tidak diwarnai dengan sentimen pribadi dan keberpihakan kepada kepentingan tertentu. Di sisi lain desakan dari pihak pro dan kontra kekuatannya hampir sama. Harapannya upaya penyelesaian itu bisa memuaskan dan menjawab tuntuntan kedua pihak, baik yang pro maupun yang kontra. Di luar pihak jemaat pro dan kontra, jemaat Gereja Kriten Jawa di Klasis Sragen pun juga turut menyoroti dan memberikan penilaian tentang masalah yang terjadi di Gereja Jawa A.

Tampaknya aduan dari keluarga Siswomartoyo di Wonogiri mengakibatkan masalah menjadi semakin kompleks. Masalah yang sebelumnya tidak muncul, menjadi muncul, rahasia masa lalu diungkapkan semua dan membuat posisi Pdt. IS semakin terjepit, stigma negatif kepada Pdt. IS dan Ibu ER tidak bisa dihindari. Secara umum, orang menilai negatif terhadap Pdt. IS dan Ibu ER.

Berdasarkan perkunjungan Majelis Gereja Jawa A bersama Tim Pastoral dan Tim Rekonsiliasi, keluarga di Wonogiri memberikan pernyataannya: kurang lebih sudah 8 tahun komunikasi terputus (untuk bertemu dengan cucu terhambat,

(5)

59

hadiah maupun bingkisan yang disampaikan ke cucu tidak pernah sampai), pemalsuan akta kedua cucu mereka dianggap sebagai penghapusan sejarah keberadaan (Almh.) Ibu KESS sebagai ibu kandung cucu mereka, keluarga menuduh bahwa ada kekerasan yang dilakukan oleh Ibu ER kepada kedua cucu mereka, dan mereka berasumsi bahwa antara Pdt. IS dengan Ibu ER berselingkuh sebelum menikah.

3.1.1. Upaya Rekonsiliasi

Dalam perkembangannya, sejak konflik Gereja Jawa A mencuat tahun 2007, Sidang Sinode XXVI GKJ tahun 2012 di Sragen dan Karanganyar mengakomodir masalah Gereja Jawa A sebagai tindak lanjut dari Akta Sidang Sinode XXV GKJ artikel 99, dalam akta Sidang Sinode XXVI artikel 28 dengan keputusan: menugasii Badan Pelaksana Sinode XXVI GKJ bersama dengan Badan Pelaksana Klasis Sala dalam semangat rekonsiliasi untuk bersama-sama melanjutnya proses dialog dengan Gereja Jawa D dan Pdt. NCH, untuk mencari solusi masalah Gereja Jawa A. Puncaknya adalah dalam Sidang Sinode XXVIII GKJ tahun 2019 di Magelang, secara sinodal keberadaan Gereja Jawa B dan kependetaan IS diakui sah. Hal tersebut dituangkan dalam akta Sidang Sinode XXVIII artikel 1488.

88 Sidang memutuskan:

1. Tetap melihat proses sejarah pendampingan/rekonsiliasi dan menghargai keputusan yang sudah dibuat

2. Memberi apresiasi terhadap semua pihak yang terkait dalam proses rekonsiliasi yang sudah mendorong adanya pemulihan relasi yang lebih sungguh-sungguh ke semua pihak, sehingga luka- luka batin yang sudah terjadi berangsur-angsur dipulihkan,

3. Menerima dan mengakui:

a. Pendewasaan GKJ Taman Murni

b. Kependetaan Is Subari untuk GKJ Taman Murni.

(6)

60

Pada Sidang Klasis IX Gereja-Gereja Kristen Jawa, di GKJ Jambeyan, 28 Januari 2013, diputuskan dalam artikel 16 tentang Rekonsiliasi antara Jemaat B dengan Gereja Jawa A dan membentuk Tim Rekonsiliasi yang beranggotakan:

Pdt. HPW, Pdt. AHS, Pdt. G.

Pada akhir 2014, penulis dimasukkan dalam keanggotaan tambahan Tim Rekonsiliasi. Hal tersebut terjadi, bermula dari pelayanan khotbah yang penulis lakukan pada tanggal 6 April 2014 di Jemaat B. Apa yang dilakukan oleh penulis dianggap Klasis Sragen sebagai bentuk pencideraan keputusan bersama.

Menanggapi hal tersebut bahkan Klasis Sragen mengutus BPHnya untuk bertanya kepada Majelis GKJ Sragen, alasan apa yang menjadikan Majelis GKJ Sragen mengijinkan pelayanan khotbah penulis ke Gereja Jawa A. Majelis GKJ Sragen menanggapi bahwa apa yang dilakukan itu sebagai jalan dialog/pembuka menuju kepada pemulihan hubungan yang rusak. “Bagaimana mungkin rekonsiliasi dapat terwujud jika bangunan dialog tidak diupayakan, melalui tindakan, hal dan peristiwa apa pun?” Demikian, yang disampaikan (Alm). Pnt. YS selaku ketua Majelis GKJ Sragen.89

Sampai sekarang ini, rekonsiliasi masih terus diupayakan dan dialog- dialog dibangun untuk mencari kesepahaman dan kesepakatan. Dialog-dialog yang telah dibangun diantaranya:

1. Pertemuan Tim Dialog Sinode dengan Badan Pelaksana Klasis Sragen, pada 10 April 2013, di Kantor Klasis Sragen. Dalam pertemuan ini

89 Dalam rapat internal Majelis pada, 4 April 2014, dan memutuskan penulis diutus melayani khotbah.

(7)

61

terjadi kesepakatan bahwa percakapan bersifat tertutup, tidak ada perekaman percakapan dalam bentuk apa pun, dan hasilnya tidak dipublikasikan.

2. Pertemuan Tim Rekonsiliasi Klasis Sragen dengan Tim Dialog dan Sekum Sinode XXVI, di Kantor Klasis Sragen pada 14 April 2015 membahas tentang grand design rekonsiliasi yang telah digagas oleh Klasis Sragen melalui Tim Rekonsiliasi. Tim Dialog Sinode menyampaikan informasi mengenai keinginan Jemaat B untuk dewasa melalui Gereja Jawa D, dan skema relasi ke depan bisa kembali lagi menjadi bagian dari Klasis Sragen. Pada pertemuan ini Bapelklas Sragen melalui Tim Rekonsiliasi menyampaikan akan berproses membangun relasi dengan Jemaat B untuk merealisasikan rekonsiliasi keumatan, dimulai dengan konsolidasi intern, percakapan dengan Majelis dan Jemaat Gereja Jawa A tentang rekonsiliasi.

3. Pertemuan Pendeta aktif GKJ se-Klasis Sragen, BPH Klasis Sragen dengan BPH Klasis Sala membahas surat dari Gereja Jawa D yang disampaikan kepada Klasis Sragen perihal rencana pendewasaan Jemaat B, oleh Gereja Jawa D. Pertemuan dilaksanakan pada 11 Agustus 2015, di GKJ Sidomulyo.

4. Pertemuan Tim Rekonsiliasi dengan BPH Klasis Sala, Tim Dialog Sinode, Jemaat B, pada 2 Oktober 2015, di Klasis Sala membahas rencana pendewasaan dan relasi ke depan di antara Gereja Jawa A dan Jemaat B.

(8)

62

5. Konsolidasi intern Pendeta-pendeta aktif (Forum Ministrium) GKJ se- Klasis Sragen pada, 8 Oktober 2015, membahas tahapan rekonsiliasi yang akan dibangun. Rekomendasi yang dihasilkan dari Konsolidasi ini supaya Tim rekonsiliasi secepatnya melakukan sosialisasi tentang rekonsiliasi kepada Majelis dan Jemaat Gereja Jawa A, menjajaki bagaimana harapan mereka ke depan dan point kesepakatan yang bagaimanakah yang akan mereka tawarkan untuk pencapaian resolusi konflik.

6. Pertemuan Majelis Gereja Jawa A, Tim Rekonsiliasi bersama Tim Dialog Sinode dan BPH Klasis Sala pada 9 Oktober 2015 di Klasis Sragen membahas rencana pendewasaan Jemaat B dan bangunan relasi keumatan. Majelis Gereja Jawa A menilai bahwa Tim Dialog Sinode mengaibaikan keberadaan Jemaat Gereja Jawa A, karena selama ini tidak pernah sama sekali Majelis dan Jemaat Gereja Jawa A dilibatkan dalam proses dialog yang dijalani. Tim Rekonsiliasi juga menyatakan permohonan maafnya, bahwa belum ada kesempatan khusus untuk melakukan dialog dengan majelis dan jemaat Gereja Jawa A tentang rekonsiliasi.

7. Hasil Sidang Sinode XXVII di Lembang, Bandung tentang Kasus Gereja Jawa A, dalam Artikel 42, Akta Sidang Sinode XXVII, memutuskan: menugasi Bapelsin XXVII terus mendampingi proses dialog dalam semangat rekonsiliasi, dengan melibatkan Bapelklas Sala, Bapelklas Sragen, Gereja Jawa D, Pdt. NCH, dan Gereja Jawa A.

(9)

63

8. Pada tanggal 28 Januari 2017 di Kantor Sinode GKJ, Salatiga yang mempertemukan pihak Gereja Jawa A, Gereja Jawa D, Jemaat B, unsur Bapelklas Sragen, Bapelklas Sala dan Bidang Visitasi Bapelsin XXVII.

Pertemuan ini terkait permohonan Gereja Jawa D kepada Persidangan Klasis Sala untuk mendewasakan Jemaat B dan pemulihan kependetaan Bp. IS. Pertemuan ini mengalami deadlock karena tidak ada kesepahaman di antara kedua belah pihak. Pihak Gereja Jawa A menghendaki pendewasaan saja, untuk pemulihan Pdt. IS dilakukan prosedural dari awal seperti layaknya memanggil calon Pendeta. Pihak Jemaat B bersikukuh untuk tetap melaksanakan satu paket antara pendewasaan dan pemulihan kependetaan.

9. Persoalan Rekonsiliasi Gereja Jawa B yang belum selesai diangkat dalam persidangan Sinode XXVIII GKJ tahun 2019 di Magelang oleh Klasis Sragen dan Klasis Purworejo, yang pada akhirnya dituangkan dalam Akta Sidang Sinode XXVIII artikel 14.

3.1.2. Memisahkan Diri

Dalam situasi yang semakin menegang, Jemaat Gereja Jawa A terpecah menjadi dua; yaitu: Jemaat Pendukung Pdt. IS, mereka mengatasnamakan sebagai Komunitas Peduli Gereja Jawa A (ada pula simpatisan dari gereja lain yang turut memperjuangkan “keadilan” bagi Pdt. IS, karena posisi Pdt. IS pada waktu itu sebagai Ketua Badan Kerjasama Gereja-Gereja Kab. Sragen), dan Jemaat yang kontra, mereka adalah orang-orang menghendaki pelayanan pertobatan ditunda

(10)

64

sampai benar-benar ada sikap akomodatif yang ditunjukkan oleh Pdt. IS dan Ibu ER, diantaranya: pemulihan dengan keluarga di Wonogiri.

Pendampingan-pendampingan terus berjalan, baik kepada keluarga Pdt.

IS dan juga kepada seluruh jemaat Gereja Jawa A. Berdasarkan hasil pendampingan yang sudah direkomendasikan oleh Tim Pastoral maupun Tim Rekonsiliasi, pada 22 Januari 2008 Majelis Gereja Jawa A mengusulkan draf keputusan menerima pertobatan dengan pelayanan bertahap, selanjutnya draf keputusan itu akan dikonsultasikan ke Sidang Klasis Sragen IV.

Hasil Sidang Klasis Sragen IV, 25 Januari 2008 memutuskan bahwa;

pertobatan Pdt. IS diserahkan kepada Majelis Gereja Jawa A dengan melihat kesungguhan hati dalam menjalani pertobatannya, perlu dilanjutkan untuk pemulihan relasi dengan keluarga Siswomartoyo di Wonogiri, dan pendampingan bagi keluarga Pdt. IS.90

Berdasarkan keputusan Sidang Klasis IV, tanggal 15 Februari 2008 dalam persidangan Majelis, Majelis Gereja Jawa A sepakat memberikan Pelayanan Pertobatan Pdt. IS dan memberikan kesempatan kepada Pdt. IS untuk memperbaiki diri melalui dialog dan negoisasi baik dengan keluarga di Wonogiri maupun dengan warga yang kontra. Akhirnya persidangan Majelis Gereja Jawa A memutuskan bahwa Pelayanan Pertobatan Pdt. IS akan dilaksanakan pada Ibadah Minggu, 16 Maret 2008.

90 Akta Sidang Klasis IV

(11)

65

Keputusan Majelis Gereja Jawa A tentang Pelayanan Pertobatan bagi Pdt. IS, tidak sepenuhnya diterima oleh seluruh jemaat. Pada persidangan Majelis, 14 Maret 2008, ada beberapa surat keberatan tentang Pelayanan Pertobatan yang masuk ke Majelis Gereja Jawa A. Mereka beralasan bahwa tahapan pemulihan, dialog dan negosiasi yang dilakukan oleh Pdt. IS belum merupakan inisiatif pribadinya akan tetapi hanya sebatas pemenuhan jadwal yang sudah diatur oleh Majelis, masih bersifat formal.

Setelah dilakukan konsultasi dengan Badan Pelaksana Sinode, tanggal 12 Maret 2008 di GKJ Manahan, akhirnya Majelis memutuskan bahwa Pelayanan Pertobatan tetap dilaksanakan sesuai dengan agenda. Tanggal, 15 Maret 2008, dikeluarkanlah Surat Keputusan Majelis tentang Pelayanan Penerimaan Pertobatan Pendeta IS91. Surat tersebut disampaikan secara langsung oleh utusan Majelis dan Tim Pendamping kepada Pdt. IS. Selanjutnya, pada Ibadah Minggu, 16 Maret 2008 oleh Pdt. Em. AB, penerimaan pertobatan bagi Pdt. IS dan isteri dilayankan.

Sesudah peristiwa penerimaan pertobatan, Majelis Gereja Jawa A mengatur tahapan rekonsiliasi dengan Keluarga Wonogiri dan Jemaat yang kontra, yang tertuang dalam lampiran Surat Keputusan Majelis Gereja Jawa A tentang Penerimaan Pertobatan Pdt. IS92. Rekonsiliasi atau lebih tepat disebut dengan dialog secara bertahap dengan Jemaat yang kontra dan keluarga Siswomartoyo di Wonogiri.

91 Akta Sidang Istimewa Klasis Sragen, 28 Agustus 2009, Lampiran 4 Surat Keputusan Majelis GKJ Tamanasri tentang Pelayanan Pertobatan Pdt. Drs. Is Subari

92 ibid

(12)

66

Empat bulan penjadwalan tahapan rekonsiliasi berjalan, akhirnya dilakukan evaluasi. Berdasarkan evaluasi Majelis pendamping dan warga Jemaat, hasilnya tidak tercapai seperti apa yang diharapkan93. Hasil evaluasi tersebut, yang sebagian besar menekankan kepada point nglengganani kesalahan (berani, dengan sikap kesatria, jujur mengakui kesalahannya) yang digunakan sebagai pedoman oleh Majelis Gereja Jawa A untuk pengambilan langkah selanjutnya.

Dengan alasan demi keutuhan Jemaat dan kekudusan Gereja-Nya, Majelis mengambil keputusan tertanggal, 31 Juli 200894 untuk memberikan Emeritus Dini kepada Pdt. IS95 dengan memberikan hak-haknya sesuai dengan peraturan Sinode, hal itu dianggap sebagai solusi yang terbaik. Dengan pemahaman bahwa; Pdt. IS tidak kehilangan jabatan kependetaannya dan tetap masih bisa melayani jemaat. Proses yang diatur pun sesuai dengan ketentuan Tata Gereja/Tata Laksana GKJ (2005).

Usulan ini, dibawa ke persidangan Istimewa Klasis Sragen pada 31 Oktober 2008. Persidangan Istimewa Klasis menyetujui pemberian Emeritasi Dini bagi Pdt. IS dan dibentuk Tim Pendamping bagi Gereja Jawa A untuk menuntaskan penyelesaian masalah Pdt. IS96. Tanggal, 13 November 2008, SK

93 Ibid, lampiran evaluasi tahapan pelayanan dan rekonsiliasi. Ada 3 rekomendasi yang disebutkan dalam tabel evaluasi: Pertama, perlu ada perkunjungan lagi dari Pdt. Is Subari sekeluarga dengan Ibu Sis di Tukulrejo; kedua, dalam perkunjungannya Pdt. Is Subari diminta mengajak ketiga anaknya; ketiga, perlu didorong agar Pdt. Is Subari “nglengganani” kesalahannya dan memohon maaf secara tulus kepada Ibu Sis di Tukulrejo.

94 Ibid, lampiran Hasil Evaluasi Pelaksanaan Rekonsiliasi dan Tindakan Majelis disebutkan di sana bahwa dialog-dialog yang telah dilakukan oleh Pdt. Is Subari dengan pihak Keluarga Wonogiri, Jemaat dan Majelis belum ada pengaruh bagi pulihnya hubungan Keluarga Pdt. Is Subari dengan keluarga besar Keluarga di Wonogiri dan Jemaat GKJ Tamanasri.

95 Tentang Pensiun dini dan alih tugas hal tersebut sudah pernah disampaikan secara pribadi oleh Pdt. Is Subari kepada Majelis GKJ Tamanaasri.

96 Artikel 6 tentang Penyelesaian Masalah Di GKJ Tamanasri, Akta Sidang Istimewa Klasis Sragen, 31 Oktober 2008 di GKJ Sambirejo

(13)

67

Emeritus Dini dikeluarkan oleh Majelis Gereja Jawa A. Pemberian Emeritus Dini terhitung mulai 1 Desember 2008 dengan pengaturan pelayanan oleh Majelis Gereja Jawa A serta diberikan hak-haknya sesuai dengan peraturan Sinode97

Hasil keputusan Sidang Istimewa ditolak oleh Pdt. IS dan Komunitas Peduli Gereja Jawa A. Melalui surat tanggapannya, tertanggal 1 Januari 2009, Pdt.

IS menyampaikan keberatannya, menganggap Majelis Gereja Jawa A sudah memberikan penilaian negatif terhadap dirinya dan keluarga, menjatuhkan keputusan sepihak kepada dirinya tentang Emeritus Dini. Pernyataan ini, bertolak belakang dengan apa yang sebelumnya sudah pernah di sampaikan oleh Pdt. IS kepada Majelis Gereja Jawa A. Akan tetapi, penolakan ini sangat beralasan, secara kekuatan pihak yang tidak mendukung pensiun dini Pdt. IS cukup banyak.

Mereka yang menyebut diri Komunitas Peduli Gereja Jawa A.

Menurut Komunitas Jemaat B (Pendukung Pdt IS), keputusan tentang Emeritasi Dini tidak dikomunikasikan terlebih dahulu. Keputusan itu dinilai mereka sebagai bentuk penghakiman. Mereka akan melakukan banding, memperjuangkan status kependetaan Pdt. IS, hingga tuntutan mereka dipenuhi.

Dalam percakapan-percakapan Komunitas Peduli Gereja Jawa A dengan Mediator Pdt. AUW pada, 27 November-2 Desember 2008, tuntutan Komunitas tidak berubah. Mendesak agar segera Pdt. IS dipulihkan, kesejahteraannya diberikan penuh. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh

97 Akta Sidang Istimewa Klasis Sragen, 28 Agustus 2009, Lampiran SK Emeritus Dini

(14)

68

Majelis Gereja Jawa A, mereka akan mencari solusi yang lain, memisahkan diri dari Gereja Jawa A, bergabung ke Klasis yang mau menerima.98

Kondisi relasi di antara Jemaat tidak berangsur-angsur membaik malah justru sebaliknya, ketegangan demi ketegangan muncul, teror di sana sini, bahkan di antara Majelis ada rasa saling curiga, hasil keputusan seringkali bocor atau sengaja dibocorkan99. Seringkali dalam pertemuan Ibadah diwarnai adu mulut, adu kebenaran, ada pertikaian di antara Jemaat (antara yang pro dan kontra).

Menangkap kondisi yang berkembang dan demi keutuhan jemaat, Majelis akhirnya mengeluarkan Surat Penggembalaan Terbuka dan Kesepakatan Pemekaran/Pendewasaan Wilayah Gereja Jawa A II (Komunitas Peduli Gereja Jawa A) tanggal 15 Januari 2009. Rencana Pendewasaan tersebut diusulkan dalam Sidang Reguler V Klasis Sragen, 9 Februari 2009 di GKJ Jagan. Rencana Pendewasaan Wilayah Gereja Jawa A II akhirnya disetujui, termasuk usulan naik banding sebagian warga Gereja Jawa A dan Pdt. IS terkait keputusan Emeritasi Dini ke Sidang Sinode GKJ XXV.

Proses menuju Pendewasaan Wilayah Gereja Jawa A II (baca: Jemaat B) berjalan melalui beberapa tahapan, dengan kesepakatan-kesepakatan.

Diantaranya; pengaturan pemakaian tempat Ibadah, Peneguhan Majelis Wilayah II (ada 12 orang), pendataan warga (ada 399 yang menyatakan masuk ke Gereja

98 Seperti yang dituturkan oleh Bapak Budiharjo (Tokoh Komunitas) dalam percakapan dengan Pdt. Andreas Untung Wiyono.

99 Pengalaman penulis sebagai anggota Tim Pendamping dari Klasis

(15)

69

Jawa A II100), pemantapan pengorganisasian gereja, dan peninjauan keuangan gereja. Tentang berbagai persiapan-persiapan pendewasaan tersebut, Klasis akan melakukan Visitasi khusus untuk menilai kelayakanannya pada 28 Februari 2009.

Dalam perjalanan menuju pendewasaan terjadi kebuntuan dan tarik ulur, sampai melibatkan pihak berwajib. Karena perbedaan keinginan soal tempat Ibadah maupun jam Ibadah. Komunitas menghendaki untuk tetap Ibadah di gedung Gereja Gereja Jawa A, karena mereka merasa masih sebagai jemaat Gereja Jawa A dan berhak penuh atas penggunaan gedung gereja. Sementara Majelis Gereja Jawa A menghendaki kegiatan Jemaat B dipusatkan di Tawang.

Masing-masing saling memaksakan kehendak, Majelis Gereja Jawa A merasa memiliki wewenang untuk mengatur jadwal Ibadah.

Perpecahan di tubuh Jemaat Gereja Jawa A tidak bisa dihindari lagi.

Puncaknya pada tanggal 1 Maret 2009, terjadi ketegangan perebutan tempat Ibadah dan jam Ibadah. Dalam Buku Catatan Iman Jemaat B101, dituliskan bahwa mereka sudah mengalah untuk pembagian jam ibadah, hingga pada akhirnya mereka menerima diberikan kesempatan untuk beribadah pada jam 11.00 WIB.

Ketegangan dalam pelaksanaan Ibadah selalu terjadi, menurut pengakuan Bapak AP102 pengkhotbah tamu waktu itu, pihak pro Majelis Gereja Jawa A mencoba memancing keributan, membuat pihak kepolisian harus turun tangan. Tanggal 28 Maret 2009 dilakukan mediasi oleh Bapak Kapolres Sragen, dalam himbauannya

100 Menurut pendataan yang dilakukan oleh Majelis GKJ Tamanasri, akan tetapi jumlah tersebut berbeda menurut versi Tamanasri II ada 514 orang.

101 Catatan Perjalanan Iman Jemaat Tamanmurni, hal. 4

102 Beliau adalah salah satu tokoh dari GKJ Gambiran, yang akhirnya attestasi ke GKJ Dagen Palur untuk mendampingi perjuangan Jemaat Tamanmurni.

(16)

70

Kapolres meminta agar dapat melakukan ibadah secara bersama dalam kasih dan kekhidmatan kepada Tuhan.

Jalan menuju pendewasaan terus diupayakan. Ditempuh melalui koordinasi dan konsultasi serta mendengar apa yang menjadi kemauan dari Jemaat B. Hingga pada 2 Juni 2009 Rapat Koordinasi yang telah direncanakan antara BPH Majelis Gereja Jawa A, Tim Pendamping dengan Majelis Calon Gereja Jawa A II tidak terlaksana, karena Majelis Calon Gereja Jawa A II tidak hadir tanpa ada keterangan. Di dini terjadi kesalahpahaman informasi, bahwa menurut Majelis Calon Gereja Jawa A II pertemuan dilakukan di Gedung Gereja Jawa A, namun Tim Visitasi Klasis dalam hal ini Pdt. HPW dan Alm. Pdt. RR berpedoman pada undangan yang disampaikan pihak Majelis Gereja Jawa A bahwa pelaksanaan Visitasi di Pepanthan Tawang.

Ada informasi yang “simpang-siur” dan berubah menjadi wacana umum di kalangan Majelis Gereja Jawa A bahwa ketidakhadiran Majelis Calon Gereja Jawa A II disebabkan karena sudah ada keputusan di intern Komunitas pada tanggal 31 Mei 2009 untuk menggabungkan diri ke Gereja Jawa D. Mereka sedang melakukan koordinasi intens dengan Majelis Gereja Jawa D.

Pihak Jemaat B tidak bisa menerima hembusan wacana yang dimaksud, menurut pihak Jemaat B telah terjadi salah pengertian terkait tempat pelaksanaan Visitasi, mereka sudah menunggu di Gedung Gereja, sementara Tim Visitasi menunggu di Pepanthan Tawang. Sudah ada komunikasi via telepon yang disampaikan kepada Visitator, namun Visitator tidak bergeming, tidak saling

(17)

71

koordinasi. Sampai pada akhirnya, Jemaat B berubah pikiran, mereka merasa bahwa tidak ada pengertian dari pihak Majelis Gereja Jawa A sedikit pun. Jalan menuju pendewasaan buntu.

Selanjutnya pada Rapat Koordinasi dengan Wakil Tim Pendamping Pdt. AHS di tanggal 9 Juni 2009, Majelis Calon Gereja Jawa A II menyatakan akan bergabung dengan Gereja Jawa D mengikuti keputusan rapat dari Panitia Komunitas. Majelis, Pdt. Em. IS beserta dengan warga Jemaat B menyatakan mundur dari Gereja Jawa A. Surat pengunduran diri tersebut disampaikan kepada Majelis Gereja Jawa A pada tanggal 17 Juni 2009.

Pada tanggal, 28 Juni 2009, secara resmi mereka diterima oleh pihak Gereja Jawa D melalui Ibadah penerimaan warga, peneguhan majelis dan peneguhan kembali Pdt. Em. IS. Diterima dengan otonomi pelayanan khusus dengan nama Gereja Jawa D Jemaat B.

3.1.3. Bergabung Ke Gereja Jawa D

Mengapa secara tiba-tiba Jemaat B berbelok haluan yang menurut Majelis Gereja Jawa A secara sepihak mengingkari kesepakatan pendewasaan yang sebenarnya sudah berjalan? Mereka menanggapi tawaran dari “fasilitator Ilahi” (Gereja Jawa D)103. Tampaknya, gelagat ingin memisahkan diri itu secara

103 Salah satu alasan GKJ Dagen Palur menerima kepindahan Warga Tamanasri II, seperti dalam Buku Perjalanan Iman Jemat Tamanmurni, hal. 6

(18)

72

langsung sudah pernah dikemukakan. Seperti yang dinyatakan oleh Bapak RESPONDEN 2 dalam dialog II dengan mediator Pdt. AUW104:

”Kami akan mempertahankan keberadaan Pdt. IS sebagai Pendeta biasa (bukan Emeritus). Kami juga siap memisahkan diri dari Gereja Jawa B demi kesejahteraan semuanya. Untuk itu kami akan bergabung ke Klasis lain yang mau menerima kami.”

Keputusan ini yang membuat relasi Jemaat yang dahulu hidup karib satu dengan yang lain, akhirnya menjadi tercabik-cabik. Regangnya relasi bukan hanya antar Jemaat saja, tetapi sampai ada keluarga yang terpisah, karena berbeda prinsip memandang masalah Pdt. Em. IS dan penyelesaiannya.

Menyikapi pengunduran diri Pdt. Em. IS, Majelis dan seluruh Warga calon Gereja Jawa A II, majelis Gereja Jawa A mengundang Badan Pelaksana Klasis dan Tim Pendamping untuk rapat koordinasi pada 30 Juni 2009. Ada 3 poin penting hasil keputusan rapat: perlu ada perkunjungan kepada Pdt. Em. IS dan seluruh warga yang menyatakan mundur dari Gereja Jawa A untuk mengetahui pemahaman dan kesungguhan pengunduran dirinya, Pengunduran diri anggota majelis (sebagai Penatua dan Diaken) diterima dan otomatis tanggal dari jabatan gerejawinya. Demikian pula dengan Pdt. Em. IS yang menyatakan mundur, sebagai konsekuensi logisnya, maka jabatan kependetaannya pun tanggal. Menyikapi hal tersebut, perlu segera diadakan Sidang Istimewa Klasis.

Akhirnya, dalam Persidangan Istimewa Klasis pada, 29 Agustus 2009 diputuskan; menerima dan menyetujui penanggalan jabatan Pendeta GKJ atas diri

104 Dalam cacatan dialog II, Perwakilan BPM dan Perwakilan Komunitas Peduli GKJ TA, Senin, 8 Desember 2008

(19)

73

Drs. IS105. Dalam keputusan yang lebih luas lagi, hasil persidangan Sinode GKJ XXV dituangkan dalam artikel no. 99 memutuskan: Menerima Keputusan Sidang Istimewa Klasis Sragen tanggal 28 Agustus 2009 yang menetapkan penanggalan Pdt Em. Drs. IS, dengan demikian Drs. IS tidak berhak lagi melayankan sakramen dan pelayanan kependetaan lainnya, tidak mengakui keberadaan kelompok yang menamakan diri sebagai Jemaat B dan majelis termasuk Drs. IS yang diteguhkan kembali kependetaannya oleh Gereja Jawa D, menugasi Bapelsin mendorong Majelis Gereja Jawa D untuk membatalkan keputusan penerimaan dan peneguhan jabatan gerejawi Gereja Jawa D Jemaat B, menugasi Bapelsin menggembalakan jemaat Gereja Jawa D secara khusus Pdt. NCH dan kelompok Jemaat yang menamakan diri jemaat Bunga Gereja Jawa D.

Pilihan memisahkan diri, menurut Jemaat B adalah pilihan yang terbaik, untuk menghindari konflik yang meluas. Pilihan itu ditempuh agar kondusifitas jemaat terjaga. Demi menjaga kehamornisan dan stabilitas di antara jemaat yang juga adalah saudara sendiri. Sebagai orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai- nilai luhur budaya Jawa, pilihan memisahkan diri adalah sikap yang benar demi terwujudnya tata, titi, tentrem, raharja dalam upaya menghayati memayu hayuning bawana.

Dengan penghayatan kasih dan pengampunan sebagai visi dan misi Jemaat B. Jemaat B semakin berupaya keras menunjukkan eksistensinya, mereka berhasil membangun gedung gereja dengan status ber-IMB dan memulai kembali membenahi relasi yang “rusak” dengan gereja-gereja GKJ di Klasis Sragen

105 Artikel 7, Akta Sidang Istimewa Klasis, 29 Agustus 2009

(20)

74

termasuk pula dengan Gereja Jawa A. Seperti ditunjukkan melalui: permohonan khotbah kepada Pendeta-pendeta di Klasis Sragen, mengundang gereja-gereja GKJ Klasis Sragen dalam event-event yang diselenggarakan oleh Jemaat B.

3.2. Potret Gereja Jawa B Pasca Memisahkan Diri

Dasar keberadaan Jemaat B adalah: Surat Pengunduran Diri dari Gereja Jawa A, tertanggal 17 Juni 2009 , Surat Keputusan Majelis Gereja Jawa D No. 02 MGKJ-DP/K/Kh TM/VI/09 tentang penerimaan sebagai warga Jemaat Gereja Jawa D, No. 03 MGKJ-DP/K/Kh TM/VI/09 tentang Pengangkatan Majelis Gereja Jawa D Jemaat B-Sragen, No. 04 MGKJ-DP/K/Kh TM/VI/09 tentang Peneguhan Pdt. Drs. IS menjadi Pendeta Gereja Jawa D Jemaat B-Sragen.

Dalam pergumulan pelayanannya setelah memisahkan diri dari Gereja Jawa A, Jemaat B, mengusung tema sekaligus menjadi jargon/narasi yang ditanamkan kepada warga jemaat: Membangun Gereja yang Hidup dalam Wujud Kasih dan Pengampunan. Tema tersebut telah digumuli kurang lebih 14

(sepuluh) tahun ini, setelah mereka memisahkan diri. Tema tersebut adalah refleksi perjalanan kehidupan Jemaat B. Konflik yang mereka alami, membentuk keberadaan Jemaat secara internal menjadi semakin kuat dan berdaya. Sekarang ini, Jemaat B telah memiliki gedung Gereja sendiri dengan status telah ber-IMB, beralamat: Jl. Cemara No. 15, Jemaat B Rt.03/XVI, Sragen Tengah, Sragen.

Dimana letak gereja Jemaat B kurang lebih 1 Km ke arah barat dari letak Gereja Jawa A.

(21)

75

Menurut data statistik, jumlah warga jemaat total 532 jiwa, dengan rincian warga dewasa: 445 jiwa, anak: 87 jiwa. Dilayani oleh 30 (tiga puluh) orang Majelis (Penatua dan Diaken), dan dibantu dengan Komisi pelayanan yang terdiri dari Komisi Kategorial (Anak, Remaja-Pemuda, Dewasa) dan Komisi Profesional (Diakonia, Ibadah, Seni Budaya, Pendidikan & Beasiswa, Pralaya, Inventaris & Audio, Pastoral), serta 4 (empat) orang Pekarya gereja. Dengan wilayah pelayanan di daerah Sragen Kota sebelah selatan, yang dibagi menjadi sepuluh (10) Blok.

Gereja Jawa B telah melalui proses panjang untuk mewujudkan apa yang mereka perjuangkan selama ini, hingga pada akhirnya menjadi gereja dewasa dan diakui secara sinodal dalam keputusan Sidang Sinode XXVIII sekaligus pengakuan kependetaan Pdt. IS. Pada tanggal 2 Februari 2021 Gereja Jawa B menahbiskan Pendeta dalam diri CGBAP. Setelah kurang lebih 2 tahun menjalani masa orientasi dan vikariat. Jemaat B dilayani oleh 2 orang pendeta;

Pdt. IS dan Pdt. CGBAP dan secara administratif, Gereja Jawa B menjadi bagian dari Klasis Sala.

Referensi

Dokumen terkait