• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PERCAYA DIRI PEREMPUAN SUNDA DALAM JANGJAWOKAN PARANTI DISAMPING: Kajian Sastra Lisan di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP PERCAYA DIRI PEREMPUAN SUNDA DALAM JANGJAWOKAN PARANTI DISAMPING: Kajian Sastra Lisan di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PERCAYA DIRI PEREMPUAN SUNDA

DALAM

JANGJAWOKAN PARANTI DISAMPING

(KAJIAN SASTRA LISAN DI KECAMATAN

SAGALAHERANG, KABUPATEN SUBANG)

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Sastra

oleh

Asep Mulyana

NIM 1101113

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DEPARTEMEN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2015

(2)

(KAJIAN SASTRA LISAN DI KECAMATAN

SAGALAHERANG, KABUPATEN SUBANG)

oleh Asep Mulyana

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra

© Asep Mulyana 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

ASEP MULYANA

NIM 1101113

KONSEP PERCAYA DIRI PEREMPUAN SUNDA

DALAM JANGJAWOKAN PARANTI DISAMPING

(KAJIAN SASTRA LISAN DI KECAMATAN SAGALAHERANG,

KABUPATEN SUBANG)

disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing I

Drs. Memen Durachman, M.Hum.

NIP 196306081988031002

Pembimbing II

Dr. Tedi Permadi, M.Hum.

NIP197006242006041001

Mengetahui

Ketua Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. Dadang S. Anshori, M.Si.

(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan setiap anasir yang terkandung di dalam teks jangjawokan paranti disamping (JPD). Alasan yang melatarbelakangi penelitian ini, yaitu pandangan masyarakat awam yang menganggap jangjawokan

sebagai hal yang tabu. Sementara itu, penelitian yang melibatkan JPD sebagai objek kajian hanya bertumpu pada pandangan bahwa JPD merupakan puisi Sunda yang dikaji sebatas teksnya saja. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan payung penelitian folklor modern, sehingga analisis tidak hanya sebatas pada teks, namun juga pada konteksnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode yang diawali dengan mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan analisis. Adapun pendekatan yang digunakan, yaitu melibatkan tiga pendekatan secara sekaligus. Pendekatan objektif digunakan sebagai langkah untuk menganalisis teks, yang berupa analisis struktur teks. Berhubung penelitian ini berpijak pada penelitian folklor modern, maka digunakan pula pendekatan antropologis sebagai langkah dalam memaparkan konteks JPD di tengah masyarakat Sunda. Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan semiotika yang digunakan sebagai langkah dalam menganalisis makna yang terkandung di dalam teks JPD. Teks JPD yang dianalisis berjumlah tiga tuturan jangjawokan yang berasal dari Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Kerangka penelitian ini meliputi analisis struktur teks, analisis konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna. Hasil analisis pada teks JPD menunjukan jika struktur teks JPD memiliki kemiripan dengan rarakitan dan

wawangsalan Sunda, yang setiap akhirannya berima a,b,a,b atau a,a,a,a, sehingga menghasilkan bunyi purwakanti. Berdasarkan isinya, ketiga teks JPD memiliki pola yang sama, yaitu mencerminkan konsep percaya diri perempuan Sunda. Dalam tataran fungsi konsep tersebut tercermin sebagai sistem proyeksi perempuan Sunda. Adapun berdasarkan konteksnya teks JPD lahir dan tumbuh di tengah masyarakat yang bercorak pedesaan, karena dalam masyarakat tersebut kepercayaan animisme dan akulturasi budaya masih terlihat kentara, sebab masyarakatnya cenderung multikultural.

(5)

ABSTRACT

CONCEPT OF CONFIDENCE WOMEN SUNDANESE IN JANGJAWOKAN PARANTI DISAMPING

(STUDY OF ORAL LITERATURE AT DISTRICT SAGALAHERANG, COUNTY SUBANG)

Asep Mulyana NIM 1101113

This study aimed to describe each element contained in the text jangjawokan paranti disamping (JPD). The reason behind this research is opinion of ordinary people who consider jangjawokan as a taboo. Meanwhile, research involving JPD as an object of study is only based on the view that the JPD is limited studied Sundanese poem text only. Therefore, this study uses modern folklore studies, so that the analysis is not limited to text, but also on the context. The method used in this research is descriptive analysis method, a method that begins by describing the facts and then followed by analysis. The approach used, which involved three approaches simultaneously. Objective approach is used as a measure to analyze the text, in the form of text structure analysis. Since the research is grounded in modern folklore studies, it is also used anthropological approach as a step in describing the context of the JPD in the middle of the Sundanese people. The third approach is semiotic approach is used as a step in analyzing the meaning contained in the text JPD. Text JPD analyzed of three utterances jangjawokan emanating from the District Sagalaherang, County Subang. This research framework includes analysis of text structures, analysis of the narrative context, the process of creation, function, and meaning. Results of analysis on text JPD indicates if the structure has similarities with rarakitan and wawangsalan Sunda, which each rhyming suffixes a, b, a, b or a, a, a, a, thus producing sound assonance. Based on its contents, the three texts JPD have the same pattern, which reflects the concept confident female Sunda. The level of functionality that concept is reflected as a projection system Sundanese women. The text is based on the context JPD was born and grew up in the rural community patterned, because in the society animism and acculturation still seemed obvious, and people are more likely multicultural.

(6)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam masyarakat Sunda istilah mantra dikenal dengan berbagai sebutan,

diantaranya jangjawokan dan jampe. Bahkan Wibisana dkk. Menggunakan istilah

ajimantra yang diambil dari naskah Sunda kuno Siksa Kandang Karesian (dalam

Etti dkk. 2012, hlm. 25). Berbagai istilah tersebut merupakan kekayaan istilah

sastra lisan Sunda yang termasuk ke dalam puisi magis. Menurut Rusyana

(1970, hlm. 3) puisi magis adalah puisi yang digunakan manusia dalam mencapai

keinginannya dengan cara yang istimewa. Hal ini melatarbelakangi kekuatan

magis di dalam mantra yang dipercaya dapat memberikan karahayuan

(kebahagiaan) dan kasalametan (keselamatan).

Dalam masyarakat Jawa istilah jangjawokan tidaklah populer, karena

mereka lebih mengenal istilah jampi. Peristilahan ini tidaklah jauh berbeda,

karena jangjawokan dan jampi sama-sama bagian dari mantra. Perbedaan istilah

yang digunakan di setiap daerah dipengaruhi oleh kekayaan kosa kata dan bahasa

yang digunakan di daerah tersebut.

Masyarakat Sunda percaya terhadap hal-hal yang dianggap gaib seperti

roh-roh halus penunggu suatu tempat (jurig jarian,dedemit, dan siluman), jin, setan,

dan benda-benda keramat (Ekadjati, 1984, hlm. 282-289). Kepercayaan tersebut

berdampak pula pada keyakinan terhadap berbagai mantra (tuturan) dan jimat

(benda). Masyarakat Sunda meyakini bahwa mantra dapat memberikan manfaat

bagi penggunanya, sehingga mantra begitu terikat dengan segala aktivitas

keseharian masyarakat. Adapun jimat merupakan benda yang dianggap memiliki

kekuatan dan memberikan manfaat bagi penggunanya. Istilah jimat berasal dari

bahasa arab yaitu ajimat yang artinya barang yang aneh sehingga jarang

ditemukan. Bentuk dari jimat ini berbagai macam seperti aksara Arab yang

diambil dari kitab suci (Mustapa, 2010, hlm. 160).

Pemetaan mantra sebagai salah satu warisan budaya tidak hanya terbatas

pada daerah dan kota, namun melingkupi wilayah yang lebih luas. Mantra tidak

hanya lahir dan tumbuh pada masyarakat satu rumpun melainkan lintas rumpun

(7)

2

mantra, yang membedakan hanyalah mereka sebagai pengguna dan mereka yang

hanya sekedar tahu. Pembahasan mengenai mantra di berbagai daerah,

membuktikan jika mantra tumbuh subur pada kehidupan masyarakat lampau.

Jejak kejayaan mantra pada masa lalu masih dapat kita telusuri melalui berbagai

referensi seperti karya-karya ilmiah (buku dan skripsi) film dan karya sastra.

Walaupun film dan karya sastra berupa cerita rekaan yang dikarang oleh manusia,

tetapi karya tersebut lahir berdasarkan pemahaman dan pengalaman masyarakat

dengan kebudayaannya.

Dalam masyarakat Sunda mantra terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu

ajian, asihan, jangjawokan, singlar, rajah, dan jampe (Rusyana, 1970, hlm. 11).

Berdasarkan pembagian mantra yang diutarakan oleh Rusyana, maka pembahasan

ini lebih fokus pada jangjawokan. Dalam kamus bahasa Sunda yang disusun oleh

Lembaga Basa Jeung Sastra Sunda (LBSS) jangjawokan adalah jampe yang

menggunakan bahasa Sunda atau bahasa Jawa, biasanya berupa sisindiran atau

kawih (LBBS, 2007, hlm. 181). Sifat manusia yang terus berinteraksi dengan

lingkungan dan budaya menghasilkan berbagai versi jangjawokan. Pada dasarnya

jangjawokan berbahasa Sunda lama (buhun), namun pengaruh bahasa dan

kebudayaan lain berdampak pada perkembangan jangjawokan. Hingga akhirnya

lahir jangjawokan yang tidak murni berbahasa Sunda, yaitu campuran bahasa

Sunda dan Jawa. Setelah masuknya agama Islam di tanah Sunda, lahir beberapa

jangjawokan yang menggunakan campuran antara bahasa Sunda dan bahasa Arab.

Jangjawokan digunakan pada saat seseorang melakukan suatu pekerjaan,

supaya hasilnya maksimal dan yang melakukannya berada dalam keselamatan

(Rusyana, 1970, hlm. 12). Dalam masyarakat tradisional jangjawokan tidak hanya

dianggap sebagai rangkaian kata-kata saja namun dianggap bagian dari ritual yang

mengawali, menyertai, dan mengakhiri berbagai aktivitas. Terlihat dari banyaknya

jangjawokan yang disesuaikan dengan aktivitas penutur. Misalnya, jangjawokan

paranti mandi (untuk mandi), jangjawokan paranti dibaju (mengenakan baju),

jangjawokan paranti dicalana (mengenakan celana), jangjawokan paranti

diminyak (menggunakan minyak rambut), jangjawokan paranti nyisiran

(menggunakan sisir), jangjawokan ngamparkeun samak (menggelar tikar) dan

(8)

masyarakat tradisional begitu penting. Jangjawokan sangat populer dikalangan

masyarakat Sunda karena berkaitan dengan segala aktivitas masyarakat tersebut.

Jangjawokan sifatnya lebih dinamis karena penggunaannya meliputi setiap waktu

dan pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda (Rusyana, 1970, hlm. 12).

Artinya jangjawokan tidak terikat dengan tempat dan waktu, sehingga berbeda

dengan jenis mantra lain yang terikat dengan konteks situasi dalam

penggunaannya. Masyarakat Sunda menganggap jangjawokan memiliki kekuatan

magis yang bisa memberikan kebahagiaan, keselamatan dan kesehatan. Jika

dilihat dari maksud penuturannya, jangjawokan dijadikan masyarakat Sunda

sebagai cara untuk menyampaikan harapan dan doa.

Sebagai sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan, jangjawokan tidak bisa

digunakan dengan sembarangan. Berdasarkan temuan di lapangan, pengguna

jangjawokan harus memenuhi persyaratan sebelum menggunakannya. Tingkat

kesulitan dalam persyaratan, biasanya dipengaruhi oleh jenis jangjawokan yang

akan digunakan. Persyaratan dalam penggunaan jangjawokan disebut dengan

istilah pameuli (alat untuk membeli), sehingga jika persyaratan telah terpenuhi

maka jangjawokan telah kabeuli (telah dibeli). Istilah pameuli menandakan jika

jangjawokan tidak akan memiliki khasiat jika syarat belum terpenuhi. Adapun

pameuli (syarat) yang umumnya dilakukan oleh pengguna jangjawokan, yaitu

puasa yang disesuaikan dengan weton (hari kelahiran). Dalam budaya Sunda,

setiap hari dalam satu minggu mewakili hitungan angka, jumlah angka tersebut

yang menjadi penentu lamanya berpuasa. Pada beberapa jangjawokan, seperti

jangjawokan pangirut (penarik perhatian atau pelet) diperlukan alat sebagai

media, seperti rokok untuk laki-laki dan alat rias untuk perempuan.

Saat ini penggunaan jangjawokan di masyarakat semakin berkurang. Tidak

berjalannya proses pewarisan berperan dalam kepunahan jangjawokan, hal ini

dikarenakan banyak pengguna jangjawokan yang tidak mewariskan pengetahuan

dan pemahaman tersebut pada generasi berikutnya. Tingkat kesadaran masyarakat

yang menganggap jangjawokan termasuk ke dalam hal tabu, merupakan salah

satu faktor pudarnya jangjawokan. Akibatnya keberadaan jangjawokan di

masyarakat kini menjadi terancam punah. Oleh karena itu perlu adanya

(9)

4

Pendokumentasian sastra lisan tersebut bisa berupa karya-karya ilmiah seperti

skripsi, tesis dan disertasi atau buku-buku yang menjadikan jangjawokan sebagai

objek pembahasan utama. Berdasarkan buku Jangjawokan yang ditulis oleh Etti

dkk. (2012, hlm. 26) Tercatat beberapa orang yang telah melakukan inventarisasi

jangjawokan dan menyusunnya dalam bentuk buku, di antaranya Yus Rusyana

(Bagbagan Puisi Mantra, 1970), Ajip Rosidi (Puisi Sunda jilid I, 1995), Wahyu

Wibisana dkk. (Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi, 2000), dan Etti RS

dkk. (Jangjawokan, Inventarisasi Puisi Mantra Sunda, 2012).

Berangkat dari kenyataan di atas maka jangjawokan menjadi objek

penelitian yang mendesak untuk diteliti. Adapun objek penelitian adalah

Jangjawokan Paranti Disamping (JPD) yang dituturkan dalam kehidupan

sehari-hari, ketika kaum perempuan hendak berbusana. Objek penelitian berasal dari

Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang yang merupakan sebuah daerah

dataran tinggi dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan JPD merupakan salah satu

jangjawokan yang populer digunakan pada masanya. Hal ini diutarakan karena

JPD tidak hanya terdapat di Kecamatan Sagalaherang saja, namun juga di daerah

lain, seperti di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Sumedang. Di Kecamatan

Sagalaherang sendiri masih ditemukan pengguna dari JPD. Namun tidak banyak

perempuan yang dapat menuturkan, karena proses pewarisan yang tidak bisa

sembarangan. Etti dkk. (2012, hlm. 26) menyatakan jika jangjawokan pada

masanya harus diperlakukan secara khusus tidak boleh dibacakan atau dituturkan

sembarangan, sehingga kondisi ini memungkinkan jangjawokan tidak akan

terwariskan secara menyeluruh. Penggunaan JPD di masyarakat masih bisa

terlacak. Para penuturnya biasanya meliputi juru rias pengantin, penari tradisional,

paraji (dukun beranak), dan sesepuh yang masih menggunakan samping sebagai

busana sehari-hari.

Penelitian JPD ini dianggap penting melihat dari fungsi JPD di masyarakat

Sunda, serta kaitan antara JPD dengan perempuan Sunda. Penelitian serupa

pernah dilakukan oleh beberapa orang seperti oleh Nuri Novianti Afidah (2012)

berupa skripsi. Namun yang membedakan yaitu objek kajian dan sasaran yang

(10)

maka penelitian ini lebih terfokus pada jangjawokan yang termasuk dalam mantra

berbusana dengan sasaran untuk mengetahui konsep percaya diri perempuan

Sunda yang tercermin dalam teks JPD. Penelitian tentang JPD telah dilakukan

oleh Nurhayati (2009) dan Aningsih (2013) berupa skripsi. Kedua penelitian

terdahulu ini melibatkan disiplin ilmu yang sama, yaitu teori pengkajian puisi.

Pada penelitian ini JPD dikaji secara mendalam dengan melibatkan teori

penelitian folklor modern dan teori semiotika. Penggunaan teori semiotika

membantu dalam mencari makna yang terkandung dalam JPD, sedangkan teori

pendekatan folklor modern digunakan untuk mengupas JPD secara keseluruhan.

Penelitian JPD dirasa penting sebagai langkah pemertahanan tradisi lisan

khususnya jangjawokan. Selain itu jangjawokan masih dianggap tabu oleh

masyarakat sehingga perlu adanya penelitian yang memaparkan fungsi JPD di

tengah masyarakat penggunanya. Pemilihan objek kajian ini bukan tanpa alasan,

JPD berkaitan dengan citra perempuan Sunda sehingga hal ini menjadi hal yang

menarik untuk diteliti.

JPD berhubungan dengan fungsi samping pada masyarakat Sunda. Samping

adalah kain panjang dengan motif dan corak yang berbeda-beda di setiap

daerahnya. Dalam budaya Nusantara khususnya Sunda, samping termasuk dalam

benda budaya yang begitu penting karena merupakan bagian dari kehidupan

masyarakatnya. Menurut Danadibrata (2006, hlm. 604) samping merupakan

pakaian perempuan yang dibatik dan digunakan untuk menutupi bagian badan

mulai dari perut sampai dengan mata kaki. Untuk pakaian laki-laki masyarakat

Sunda, dikenal dengan samping sarung yang biasanya digunakan pada saat solat

atau keperluan lainnya seperti pengajian dan khitanan (anak laki-laki).

Di masyarakat Sunda, samping begitu penting karena merupakan salah satu

busana yang dikenakan oleh kaum perempuan. Samping mencerminkan

keanggunan dan kesopanan perempuan Sunda sehingga tak heran jika samping

begitu populer. Pada masyarakat Jawa, samping populer digunakan oleh

perempuan biasa dan perempuan dari kalangan kerajaan (bangsawan). Selain

Sunda dan Jawa, penggunaan samping sebagai busana perempuan juga terdapat

di seluruh Nusantara. Hanya saja menggunakan istilah yang berbeda dan jenis

(11)

6

di Cirebon dengan istilah tapi. Jenis kain yang digunakan juga beragam seperti

Jawa dan Sunda terkenal dengan batik, Sumatra Songket, NTT kain tenun, Batak

kain ulos.

Saat ini penggunaan samping secara umum di masyarakat sudah semakin

langka. Perempuan Sunda khususnya lebih banyak memilih mengenakan celana

dan rok dibandingkan mengenakan samping. Meski begitu penggunaan samping

di tatar Sunda masih tetap dipertahankan, seperti pada upacara pernikahan

tradisional Sunda. Pada saat acara ijab kabul pakaian yang dikenakan pengantin

perempuan, yaitu kebaya dan samping yang telah dilamban (lipatan pada bagian

depan kain). Dalam upacara siraman sebelum pernikahan digelar, calon pengantin

perempuan dimandikan dengan menggunakan tujuh buah samping. Proses

siraman mengenakan samping juga digunakan oleh perempuan hamil pada saat

melaksanakan upacara tingkeban (pada usia kehamilan 9 bulan), samping

digunakan pada saat proses siraman, terdapat tujuh buah samping yang digunakan

sebagai kain penutup aurat ibu hamil. Kain diganti setelah dikucurkan air oleh

sesepuh (orang yang dituakan dalam sebuah daerah) pada tubuh ibu hamil dan

berlangsung sebanyak tujuh kali sesuai dengan jumlah samping (Ekadjati, 1984,

hlm. 291-292).

Penelitian JPD terkait dengan kebiasaan perempuan Sunda dalam hal

mengenakan samping, sehingga JPD dijadikan sebagai sistem proyeksi

masyarakat Sunda khususnya kaum perempuan. Adapun yang menjadi bahasan

dalam penelitian JPD yaitu, struktur JPD sebagai cerminan konsep percaya diri

perempuan Sunda, konteks penuturan JPD di masyarakat, fungsi JPD di

masyarakat, proses penciptaan teks JPD dan makna yang terkandung dalam teks

(12)

B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan disajikan dalam penelitian ini yaitu.

1. Bagaimana persoalan konsep percaya diri perempuan Sunda jika

digambarkan dalam struktur teks JPD yang terdapat di Kecamatan

Sagalaherang, Kabupaten Subang?

2. Bagaimana konteks penuturan JPD yang terdapat di Kecamatan

Sagalaherang, Kabupaten Subang?

3. Apa fungsi dari JPD yang terdapat di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten

Subang?

4. Bagaimana proses penciptaan JPD yang terdapat di Kecamatan

Sagalaherang, Kabupaten Subang?

5. Apa makna yang terkandung dalam teks JPD yang terdapat di Kecamatan

Sagalaherang, Kabupaten Subang?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan

dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui mengenai hal-hal berikut.

1. Persoalan konsep percaya diri perempuan Sunda jika digambarkan dalam

struktur teks JPD yang terdapat di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten

Subang.

2. Konteks penuturan JPD yang terdapat di Kecamatan Sagalaherang,

Kabupaten Subang.

3. Fungsi dari JPD yang terdapat di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten

Subang.

4. Proses penciptaan JPD yang terdapat di Kecamatan Sagalaherang,

Kabupaten Subang.

5. Makna yang terkandung dalam teks JPD yang terdapat di Kecamatan

(13)

8

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoretis

maupun manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

a. Pemetaan mantra sebagai sastra lisan.

b. Menambah khazanah penelitian sastra lisan khususnya Jangjawokan.

c. Memberikan pengetahuan yang berkitan dengan jangjawokan khususnya

JPD.

d. Melengkapi penelitian yang pernah dilakukan terhadap JPD.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran dan penjelasan fungsi mantra bagi masyarakat.

b. Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan JPD.

c. Pendokumentasian tradisi lisan sebagai langkah melestarikan warisan

budaya.

d. Memberikan pemahaman bahwa JPD memiliki peran penting bagi

masyarakat Sunda.

E. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini digunakan beberapa istilah yang berkaitan dengan

pengkajian JPD. Istilah-istilah ini adalah konsep yang digunakan peneliti dalam

mengkaji objek kajian. Adapun sitilah-istilah yang digunakan, yaitu istilah yang

memiliki makna secara praktis sebagai berikut.

1. JPD (Jangjawokan Paranti Disamping), yaitu jangjawokan yang digunakan

oleh perempuan di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang pada saat

mengenakan samping.

2. Samping adalah kain yang digunakan sebagai busana oleh perempuan

Sunda.

3. Jangjawokan adalah rangkaian kata-kata yang membentuk sebuah larik dan

dianggap memiliki kekuatan magis.

4. Konsep percaya diri adalah representasi perempuan Sunda yang tercermin

dalam teks JPD yang terdapat di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten

(14)

5. Analisis struktur adalah analisis yang meliputi analisis formula sintaksis,

formula irama, formula bunyi, gaya bahasa, diksi, dan tema.

6. Konteks penuturan, iyalah situasi saat JPD dituturkan oleh penuturnya.

7. Proses pewarisan, iyalah cara JPD diturunkan (diwariskan) oleh penuturnya.

8. Proses penciptaan, iyalah proses dan tata cara penuturan teks JPD.

9. Fungsi adalah deskripsi dari kedudukan JPD di tengah masyarakat.

10. Makna adalah isi yang terkandung di dalam teks JPD.

F. Struktur Organisasi

Penelitian ini terbagi menjadi 5 bab. Pada setiap bab memaparkan hal-hal

yang berkaitan dengan penelitian, seperti objek penelitian, teori yang digunakan,

dan metode yang digunakan. Keseluruhan bab pada penelitian ini merupakan alur

dari penelitian. Pada bab 1 dipaparkan mengenai latar belakang masalah yang

menjadi alasan penelitian ini menarik untuk dilakukan, kemudian memaparkan

rumusan masalah yang akan dijawab pada bab 4 dan mendeskripsikan tujuan dari

penelitian yang akan dilakukan. Dalam setiap penelitian tentunya harus

bermanfaat, maka pada bab ini juga dicantumkan manfaat dari penelitian JPD.

Bab 2 mendeskripsikan konsep dan teori-teori yang akan digunakan pada

saat mengkaji objek data. Adapun teori yang digunakan, yaitu teori yang berkaitan

dengan mantra dan jangjawokan, teori struktur (sintaksis, bunyi, irama, diksi,

gaya bahasa, tema), teori semiotika untuk mencari makna, teori fungsi folklor,

teori proses penciptaan dan teori konteks penuturan.

Bab 3 merupakan bab yang mendeskripsikan langkah atau metode

penelitian. Pada bab ini terdapat sub bab yang membahas, metode yang

digunakan, latar belakang objek, prosedur penelitian, teknik pengumpulan data,

instrument penelitian, dan pendekatan penelitian.

Pada bab 4 semua teori yang telah dipaparkan dalam bab 2 kemudian

diaplikasikan pada objek data. Semua data dianalisis sesuai dengan teori yang

digunakan sehingga hasil kajian sesuai dengan yang diharapkan. Bab 5 berisi

pemaparan simpulan dan saran. Bab 5 merupakan ulasan dari semua hasil kajian,

temuan-temuan pada saat mengkaji disimpulkan pada bab ini, dengan kata lain

(15)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian

Dalam penelitian kualitatif objek penelitian adalah teks. Menurut Lofland

dan Lofland (dalam Moleong, 2012, hlm. 157) sumber data utama dalam

penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data

tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sejalan dengan pendapat Lofland dan

Lofland, Moleong juga mengatakan jika kata-kata dan tindakan orang-orang yang

diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama, yang berupa catatan

atau rekaman, video dan foto atau film (Moleong, 2012, hlm. 157).

Dalam penelitian kualitatif ini objek penelitian berupa teks JPD, yang

diperoleh dari tiga Desa di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Setiap

Desa mewakili satu jangjawokan, sehingga terdapat tiga jangjawokan yang

dianalisis. Setiap jangjawokan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Perbedaan tersebut meliputi penggunaan diksi, jumlah larik, dan proses

penuturannya. JPD khusus digunakan oleh kaum perempuan, karena JPD

dituturkan ketika perempuan Sunda mengenakan samping. Dalam proses

pewarisan JPD tidak diwariskan secara sembarangan, hal ini terbukti dari tiga

Desa di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, hanya sedikit masyarakat

yang menguasai JPD.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitin ini adalah metode deskriptif

analisis. Metode ini bertujuan mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul

dengan analisis (Ratna, 2013, hlm. 53). Dalam analisis JPD alasan menggunakan

metode deskriptif analisis, yaitu karena objek data berupa teks yang dikaji struktur

dan isinya. Metode yang digunakan adalah penggabungan dua metode sakaligus.

Ratna (2013, hlm. 53) menyatakan bahwa metode penelitian dapat juga diperoleh

melalui gabungan dua metode, asalkan kedua metode tidak bertentangan. Metode

ini merupakan gabungan dari metode deskriptif dan analisis yang artinya

menguraikan. Arti analisis tidak hanya sebatas menguraikan saja melainkan

(16)

menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu untuk memaparkan fakta-faakta

mengenai JPD, kemudian disusul dengan analisis yang meliputi struktur, konteks

penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan, meliputi beberapa tahapan yang

berkaitan dengan analisis JPD. Adapun rangkaian kegiatan yang dilakukan, yaitu

proses pencarian dan perekaman data di lapangan. Pada tahapan ini peneliti

mendatangi tujuh Desa yang terdapat di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten

Subang. Dari ketujuh Desa, kemudian diambil tiga Desa sebagai sumber data JPD.

Dalam pencarian data JPD, peneliti menggunakan alat bantu perekaman berupa

kamera digital dan telepon genggam. Kedua alat ini digunakan sebagai alat

pendokumentasian data JPD di Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang.

Pada proses pencarian data peneliti mendatangi kantor Desa untuk mencari

informasi penutur JPD. Data pendukung seperti jumlah penduduk, mata

pencaharian penduduk, agama yang dipercaya penduduk, dan letak geografis

tempat penelitian juga diperoleh dari kantor Desa.

Langkah kedua adalah transkripsi data. Sumber data yang berupa tuturan

ditranskripsi menjadi bentuk teks. Pada langkah ini peneliti memanfaatkan catatan

lapangan sebagai bahan rujukan transkripsi data. Hal ini merupakan cara untuk

menghindari kesalahan pada saat transkripsi data, sehingga data yang ditranskripsi

lebih akurat. Penentuan larik pada saat proses stranskripsi mengikuti intonasi dan

jeda penutur JPD, sehingga setiap kali ditemukan jeda panjang dinggap sebagai

pertanda larik.

Langkah ketiga adalah proses penerjemahan bahasa. Pada tahapan ini teks

JPD yang berupa teks berbahasa Sunda diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia.

Proses penerjemahan dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis

data, selain itu teks berbahasa Sunda sulit dipahami oleh orang awam sehingga

harus diterjemahkan terlebih dahulu

Langkah keempat adalah analisis teks JPD, yang melingkupi analisis

struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, proses pewarisan, tema, fungsi,

(17)

29

dianalisis. Setiap analisis teks JPD selalu melibatkan konteks, sehingga hasil

analisis mencerminkan peran JPD dalam masyarakat.

Langkah kelima adalah menyimpulkan hasil penelitian. Pada bagian ini

setiap temuan saat proses analisis disimpulkan hasil akhirnya. Kesimpulan

merupakan tahapan akhir dari proses penelitian, karena pada bagian ini hasil

analisis dikemukakan intisarinya. Bagian kesimpulan merupakan rumusan

jawaban dari penelitian yang dilakukan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian JPD ini adalah sebagai berikut.

1. Perekaman

Dalam penelitian JPD, perekaman dilakukan pada saat JPD dituturkan oleh

informan. Alat yang digunakan, yaitu telepon genggam dan kamera digital.

Penggunaan dua alat elektronik ini bertujuan untuk merekam informan secara

audio dan visual. Fungsi dari perekaman audio, yaitu untuk merekam suara dari

informan, sedangkan fungsi dari perekaman visual, yaitu untuk mengabadikan

kegiatan informan saat memperaktekan penggunaan JPD.

2. Dokumentasi

Teknik dokumentasi bertujuan untuk menyimpan semua data yang berkaitan

dengan JPD, baik data audio maupun visual. Teknik pendokumentasian ini

menggunakan kamera digital yang digunakan sebagai alat untuk mengambil

gambar pada saat informan menuturkan JPD. Pada bagian ini pula semua

informasi yang berkaitan dengan JPD didokumentasikan, sehingga pada saat

analisis JPD peneliti mendapatkan kemudahan mengakses data.

3. Wawancara

Teknik wawancara adalah salah satu teknik yang digunakan pada saat

seorang peneliti melakukan observasi ke lapangan. Wawancara dalam suatu

penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia

dalam suatu masyarakat merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi

(Koentjaraningrat, 1981, hlm. 162). Wawancara dilakukan sebagai cara peneliti

(18)

sederhana dengan pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan JPD. Teknik

wawancara ini dilakukan oleh peneliti ketika bertemu dengan informan.

Menurut Koentjaraningrat (1981, hlm. 163) dalam proses pencarian data

melibatkan dua macam wawancara, (1) wawancara untuk mendapatkan

keterangan dan data dari individu tertentu untuk keperluan informasi, dan (2)

wawancara untuk mendapatkan keterangan tentang pendirian atau pandangan dari

individu yang diwawancara untuk keperluan komparatif (perbandingan). Individu

pada wawancara bagian pertama disebut informan dan individu pada bagian

wawancara kedua disebut responden. Informan adalah orang yang mempunyai

keahlian tentang pokok wawancara, sedangkan responden adalah orang yang

dianggap representatif dengan pokok wawancara. Teknik wawancara digunakan

sebagai cara peneliti dalam mengarahkan informan pada pokok masalah, sehingga

semua informasi yang dibutuhkan dalam penelitian terhimpun dengan lengkap.

4. Pengamatan

Pengamatan dilakukan sebagai cara peneliti dalam mencari referensi sumber

data. Pengamatan ini tidak hanya dilakukan dilapangan namun juga melibatkan

pengamatan terhadap penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pengamatan di

lapangan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana JPD digunakan dan dipercaya

di masayarakat, sedangkan pengamat pada penelitian terdahulu dilakukan untuk

mengetahui dan mencari referensi mengenai JPD. Penelitian terdahulu dijadikan

sumber rujukan dan acuan dalam penelitian JPD, sehingga penelitian ini

bermanfaat bagi penelitian sebelum dan sesudahnya.

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif manusia yang bertindak sebagai peneliti ikut

dilibatkan sebagai alat dalam penelitian. Hal ini dikarenakan dalam penelitian

kualitatif sumber data yang digunakan berupa teks dan tuturan dari hasil

wawancara. Menurut Moleong (2012, hlm. 168) kedudukan peneliti dalam

penelitian kualitatif cukup rumit, peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana

pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor

penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia

(19)

31

Intrumen lain yang digunakan dalam penelitian, yaitu instrumen-instrumen

yang mempermudah peneliti dalam menghimpun data. Instrumen tersebut

difungsikan sebagai alat untuk mengumpulkan informasi mengenai JPD. Berikut

ini adalah intrumen yang digunakan dalam penelitian JPD.

1. Lembar pertanyaan, berupa lembaran yang disiapkan peneliti sebelum terjun

kelapangan. Lembar pertanyaan ini berfungsi sebagai acuan peneliti saat

mewawancara informan. Lembar pertanyaan berisi pertanyaan-pertanyaan

mendasar yang berkaitan dengan JPD.

2. Lembar pengamatan, berupa lembaran yang berisi tentang hal-hal yang

berkaitan dengan masyarakat pengguna JPD. Lembaran itu difungsikan

sebagai lembar isian yang nantinya diisi oleh peneliti mengenai adat istiadat,

perekonomian, serta agama dan kepercayaan dilingkungan informan. Pada

lembaran ini pula peneliti menelusuri masyarakat yang masih menggunakan

jangjawokan. Lembar pengamatan juga difungsikan sebagai catatan

lapangan yang berguna menghimpun informasi yang berkaitan dengan objek

penelitian. Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2012, hlm. 209)

mengatakan jika catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang

didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data

dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif.

3. Kamera digunakan sebagai alat untuk mendokumentasikan data dalam

bentuk gambar atau foto. Menurut Moleong (2012, hlm. 160) foto

menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan

untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara

induktif. Penggunaan kamera dalam penelitian kualitatif berperan penting

karena gambar yang didokumentasikan oleh kamera dapat menjelaskan

budaya dan adat istiadat dari daerah yang melatarbelakangi lahirnya tradisi

lisan seperti jangjawokan.

F. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini melibatkan pendekatan penelitian folklor modern.

Pendekatan merupakan cara dalam menganalisis sebuah objek kajian. Ilmu folklor

(20)

oleh James Danandjaja, sehingga ia patut disebut bapak folklor modern (Hutomo,

1991, hlm. 5).

Dalam proses analisis digunakan tiga pendekatan. Hal ini berkaitan dengan

pendekatan holistis yang dilakukan dalam kajian folklor modern. Ketiga

pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan objektif, pendekatan antropologis,

dan pendekatan semiotika.

Pendekatan objektif digunakan karena pendekatan ini lebih menitik beratkan

pada unsur intrinsik karya sastra, dalam penelitiannya pendekatan ini lebih

terpaku pada teks (Ratna, 2013, hlm. 73). Hal ini berkaitan denga JPD sebagai

objek kajian. JPD dianalisis struktur teksnya, sehingga pendekatan ini dirasa

sesuai. Meski begitu pendekatan objektif memiliki kelamahan, karena pendekatan

ini hanya terpaku pada unsur intrinsik tanpa melibatkan unsur ekstrinsik. Dengan

kata lain pendekatan ini tidak membahas kaitan teks dengan sejarah dan

masyarakat penggunanya. Berdasarkan kelemahan inilah penelitian ini melibatkan

pula pendekatan antropologis.

Pendekatan antropologis adalah ilmu pengetahuan yang melibatkan manusia

dalam masyarakat, sehingga pendekatan ini dibedakan menjadi antropologi fisik

dan antropologi kebudayaan (Ratna, 2013, hlm. 63). Fungsi dari pendekatan

antropologis, yaitu melengkapi pendekatan objektif, sehingga pada penelitian ini

JPD dianalisis berdasarkan struktur dan kedudukannya dalam masyarakat

berbudaya.

Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan semiotika, pendekatan ini

digunakan dalam menganalisis makna. Hal ini dikarenakan dalam JPD terdapat

tanda-tanda yang merujuk pada citra perempuan Sunda. Semiotika adalah ilmu

tentang tanda, bukan hanya karya sastra yang dapat dikaji dengan semiotika

namun bidang yang lain juga dapat dikaji dengan semiotika (Zaimar, 2008, hlm.

2). Penggunaan pendekatan semiotika bertujuan untuk menelusuri makna yang

(21)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Dalam bab ini terdapat pemaparan mengenai dua subbab, yaitu subbab

simpulan serta subbab implikasi dan rekomendasi. Pada subbab simpulan terdapat

pemaparan mengenai simpulan dari hasil analisis dan pembahasan JPD. Dalam

subbab implikasi dan rekomendasi, terdapat pemaparan mengenai saran untuk

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan JPD. Di bawah ini adalah

pemaparan dari dua subbab tersebut.

A. SIMPULAN

Penelitian ini memaparkan pelbagai hal yang berkaitan dengan jangjawokan

paranti disamping (JPD). Adapun yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini,

yaitu analisis struktur teks JPD, konteks penuturan JPD, proses penciptaan JPD,

fungsi dan makna yang terkandung di dalam teks JPD. Penelitian ini bertujuan

untuk membongkar secermat mungkin setiap anasir yang berkaitan dengan JPD,

untuk itu penelitian ini tidak hanya terpaku pada analisis teks saja, melainkan

mencakup pelbagai hal yang berkaitan dengan teks tersebut. Objek dari penelitian

ini adalah teks JPD yang berasal dari Kecamatan Sagalaherang. Jumlah teks JPD

yang dianalisis, yaitu sebanyak tiga tuturan yang berasal dari tiga desa yang

berbeda. Desa-desa tersebut meliputi Desa Cicadas, Desa Sukamandi, dan Desa

Dayeuhkolot. Pembahasan mengenai hasil analisis dari ketiga objek tersebut telah

dipaparkan pada bab sebelumnya, sehingga pemaparan pada subbab ini

dilatarbelakangi oleh hasil temuan pada bab pembahasan tersebut. Fokus

penelitian ini menitikberatkan pada analisis teks dan analisis konteks dari JPD,

sehingga hasil temuan dari penelitian ini memaparkan fungsi dan kedudukan JPD

di tengah masyarakat Sunda (khususnya perempuan).

1. Analisis Struktur

Pada analisis struktur terdapat beberapa pembahasa yang berkaitan dengan

analisis teks JPD. Analisis struktur tersebut meliputi analisis formula sintaksis,

(22)

dan analisis tema, yang menjadi dasar dalam pembahasan mengenai konsep

percaya diri perempuan Sunda.

a. Formula Sintaksis

Hasil temuan pada analisis formula sintaksis menunjukan jika di dalam

ketiga teks JPD dari Kecamatan Sagalaherang terdapat beberapa fungsi, kategori,

dan peran yang kehadirannya mendominasi. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi

subjek, fungsi predikat, dan fungsi keterangan. Hal tersebut dikarenakan di dalam

teks JPD terdapat diksi-diki yang berkaitan dengan pronomina penutur JPD,

berkaitan dengan aktivitas, dan keterangan yang mengacu pada keadaan tempat

dan perasaan. Dalam teks JPD data 1 (Desa Cicadas) diksi yang digunakan

sebagai pronomina penutur JPD adalah frasa jabang bayi, sehingga kehadiran dari

frasa ini berindikasi pada kahadiran peran penutur di dalam teks. Pada teks JPD

data 2 (Desa Sukamandi) pronomina yang digunakan untuk menunjukan penutur

adalah kata Aing, sehingga kehadiran kata Aing di dalam teks mengacu pada peran

penutur sebagai pelaku (orang yang menggunakan samping). Adapun pada teks

JPD data 3 (Desa Dayeuhkolot) kata yang digunakan sebagai pronomina penutur

adalah kata Abdi. Artinya setiap kali kata Abdi ini muncul di dalam teks JPD,

maka selalu berkaitan dengan penutur JPD. Kehadiran fungsi subjek pada ketiga

teks JPD menunjukan jika teks jangjawokan ini mengandung unsur-unsur (kata

dan frasa) yang merepresentasikan pelaku. Hal tersebut dikarenakan dari ketiga

teks tersebut terdapat kalimat yang mendeskripsikan proses penggunaan samping

oleh penutur. Pada data pertama aktivitas penggunaan samping tersebut tercermin

dalam kalimat dangdaring manuk dangdaring enteup dina tungtung samping.

kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah proses penggunan samping yang

berharap dihinggapi burung dangdaring (kekuatan yang berkaitan dengan

keindahan, pen). Pada data 2 aktivitas penggunaan samping tersebut tercermin

dalam kalimat adeg hurung adeg nangtung tangkarak talaga ménak. Kalimat

tersebut dapat dimaknai sebagai proses penggunaan samping yang diawali dengan

penuturan mantra (adeg) dengan posisi penutur dalam keadaan berdiri (nangtung).

Adapun pada data 3 kalimat yang mendeskripsikan aktivitas penggunaan samping

adalah kalimat sinjang Abdi sinjang Allah disinjang sajeroning Allah. Kalimat

(23)

382

perasaan yang selalu mengingat Allah. Lebih lanjut kalimat tersebut menunjukan

jika dalam melakukan segala aktivitas hendaknya selalu disertai dengan

mengingat Allah. Dari ketiga kalimat di atas pun terlihat jika kehadiran fungsi

predikat begitu dominan, kata-kata yang berfungsi sebagai predikat pada ketiga

kalimat di atas adalah kata eunteup, tangkarak, dan disinjang. Kehadiran fungsi

predikat menunjukan jika di dalam teks JPD terdapat aktivitas-aktivitas yang

berkaitan dengan penggunaan samping.

Jumlah larik dan kalimat dalam teks JPD data 1, 2, dan 3, memiliki

perbedaan. Jumlah larik pada data 1, yaitu 16 larik, dan dari 16 larik tersebut

membentuk 9 kalimat dengan gagasan yang utuh. Jumlah larik pada data 2, yaitu

9 larik, dan dari 9 larik tersebut membentuk 4 kalimat dengan gagasan yang utuh.

Jumlah larik pada data 3, yaitu 9 larik, dan dari 9 larik tersebut membentuk 3

kalimat dengan gagasan yang utuh. Berdasarkan hasil analisis sintaksis pada

keseluruhan teks JPD, ditemukan pola-pola tetentu, yaitu pola kalimat dengan

pelesapan subjek. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan kehadiran fungsi subjek di

dalam teks JPD yang tidak hanya mengacu pada teksnya, namun juga terikat

dengan konteks (yang menjadi subjek di dalam teks JPD tidak hanya penutur,

namun juga orang lain, pen).

b. Formula Bunyi

Hasil dari analisis bunyi ketiga data teks JPD, menunjukan jika ketiga teks

tersebut membentuk pola yang hampir sama dengan rarakitan dan wawangsalan

Sunda. Pola tersebut berupa kehadiran kombinasi bunyi yang menghasilkan

deretan bunyi purwakanti. Hal tersebut dikarenakan bunyi-bunyi yang dihasilkan

dari setiap suku kata terakhir terlihat senada, yaitu berpola a,a atau a,b, sehingga

menghasilkan kualitas suara yang terdengar ritmis. Ketiga teks JPD didominasi

dengan bunyi sengau /ng/ dan bunyi vokal /a/ /i/. Kombinasi dari pelbagai bunyi

tersebut menghasilkan bunyi mendengung yang enak didengar. Adapun kehadiran

bunyi-bunyi bersuara kakofoni, seperti konsonan /k/ /t/ /s/ /p/ tidak selamanya

berindikasi pada suasana kesedihan dan menghasilkan efek bunyi yang buruk. Hal

tersebut dikarenakan kombinasi bunyi yang dihasilkan terikat dengan teks dan

koteksnya. Artinya bunyi-bunyi bersuara kakofoni juga dapat menghasilkan efek

(24)

kebahagiaan. Misalnya, terlihat pada kata samping, sinjang, dan tuntung. Dalam

menentukan pelbagai kesan dan suasana yang tercermin pada teks JPD, perlu

adanya koordinasi antara kemungkinan bunyi yang dihasilkan dari teks dan makna

yang terkandung dalam teks, karena bunyi yang dihasilkan pada saat penuturan

teks jangjawokan berbeda dengan bunyi yang dihasilkan oleh alat musik. Dengan

demikian bunyi pada teks haruslah terikat dengan konteks, sebab untuk

menunjukan suasana kesedihan atau suasana kebahagiaan, tentunya tidak dapat

ditentukan dengan hanya menganalisis kombinasi bunyinya saja. Akan tetapi

harus dikaitkan dengan konteks yang mengikat teks tersebut. Lain halnya dengan

bunyi yang dihasilkan oleh alat musik, yang cenderung dengan mudah

merefleksikan suasana sedih, bahagia, atau suasana lainnya. Berdasarkan temuan

tersebutlah analisis bunyi pada ketiga teks JPD dihubungkan dengan konteks

makna dari ketiga teks jangjawokan tersebut.

c. Formula Irama

Setelah melakukan analisis irama pada ketiga teks JPD, peneliti menemukan

pola irama yang terkandung di dalam teks tersebut. Temuan tersebut menunjukan,

jika teks jangjawokan termasuk ke dalam tuturan berirama ritme. Hal tersebut

dikarenakan pola irama pada jangjawokan tidak terikat dengan pola irama

tertentu. Dengan kata lain jangjawokan memiliki pola irama yang bebas, yaitu

pola irama yang tidak terikat dengan patokan-patokan pada saat penuturannya.

Berdasarkan hasil temuan tersebut menunjukan jika teks jangjawokan berbeda

dengan teks pupuh, karena teks pupuh berirama metrum. Irama metrum ini

merupakan pola irama yang sudah memiliki pakem atau pola irama yang terikat

dengan langgam. Pupuh sendiri merupakan teks tuturan yang terikat dengan

langgam, langgam pada teks pupuh biasanya memiliki pakem tersendiri, seperti

pupuh kinanti memiliki pola irama yang berbeda dengan pupuh maskumambang.

Pola irama pada teks jangjawokan terlihat lebih dinamis, karena tidak terikat

dengan pakem, melainkan bersifat arbitrer yang disesuaikan dengan keinginan

penuturnya. Bukan berarti jangjawokan tidak memiliki pola irama, karena

berdasarkan analisis formula irama pada teks JPD, menunjukan bahwa teks JPD

memiliki pola irama yang khas. Pola irama tersebut berdasar pada kombinasi

(25)

384

manghasilkan pola irama yang khas. Pada teks JPD pola irama didominasi dengan

irama bernada pendek. Hal tersebut berterima, karena JPD merupakan

jangjawokan yang menyertai aktivitas, sehingga proses penuturannya tergolong

singkat. Adapun kombinasi bunyi pada teks JPD menghasilkan penekanan nada,

sehingga irama tidak terdengar datar. Penekanan tersebut berupa bunyi dengung

dari kombinasi bunyi sengau dan bunyi vokal. Efek yang dihasilkan dari

kombinasi tersebut menghasilkan pola irama yang terdengar ritmis.

d. Gaya Bahasa

Dari ketiga teks JPD yang dijadikan objek penelitian, terdapat beberapa

gaya bahasa yang kemunculannya mendominasi, yaitu gaya bahasa repetisi, gaya

bahasa paralelisme, serta gaya bahasa aliterasi dan asonansi. Beberapa gaya

bahasa tersebut terbagi menjadi tiga golongan dengan fungsi dan karakteristik

yang berbeda-beda. Gaya bahasa repetisi cenderung menunjukan adanya

diksi-diksi yang memiliki fungsi dan makna penting di dalam teks JPD. Gaya bahasa ini

kehadirannya mendominasi pada ketiga teks JPD, karena berdasarkan struktur

diksi teks JPD mengandung kata-kata yang mengalami perulangan. Misalnya, kata

welas dan asih yang kehadirannya menjadi salah satu ciri jangjawokan. Gaya

bahasa paralelisme cenderung menunjukan adanya diksi-diksi yang memiliki

kesetaraan, baik secara makna maupun secara fungsi. Dalam teks JPD gaya

bahasa ini terkandung dalam larik-larik yang merefleksikan kecantikan dan

keanggunan tubuh perempuan. Misalnya, pada larik-larik yang mengandung diksi

lengik, lenjang, dan sieup, kehadiran kata-kata tersebut berada pada posisi yang

berdekatan sehingga menunjukan adanya kesetaraan. Gaya bahasa aliterasi dan

asonansi cenderung memberikan pengaruh pada kualitas bunyi yang dihasilkan.

Dengan demikian kedua gaya bahasa ini berfungsi sebagai gaya bahasa yang

memperindah teks tuturan berdasarkan kualitas bunyi yang dihasilkan. Dilihat

berdasarkan fungsinya, kehadiran gaya bahasa pada teks JPD, yaitu memberikan

sugesti terhadap penutur JPD. Hal tersebut dikarenakan gaya bahasa tidak hanya

memberikan efek keindahan pada teks, namun juga memberikan efek yang dapat

(26)

e. Diksi

Berdasarkan analisis diksi pada ketiga teks JPD, ditemukan adanya

kekhasan pemilihan diksi. Kekhasan tersebut berkaitan dengan pemilihan diksi

yang disesuai dengan konteks JPD. Pada data 1 diksi yang digunakan untuk

menunjukan pronomina penutur, yaitu frasa jabang bayi. Hal tersebut dikarenakan

berdasarkan konteksnya JPD data 1 dituturkan oleh informan yang berprofesi

sebagai paraji (dukun berana), sehingga kehadiran diksi yang berhubungan

dengan persalinan bisa saja terjadi. Pada data 2 diksi yang digunakan sebagai

pronomina penutur, yaitu Aing. Hal tersebut dikarenakan konteks JPD ini lebih

menunjukan sifat ketegasan dari penutur JPD (yang dicintai adalah Aing bukan

orang lain, pen). Pada data 3 diksi yang digunakan untuk menunjukan pronomina

penutur, yaitu kata Abdi. Hal tersebut dikarenakan dalam konteks JPD kehadiran

penutur JPD di dalam teks disandingkan dengan kata Allah, sehingga penggunaan

bahasa Sunda ragam halus lebih sesuai.

Berdasarkan keseluruhan diksi, ketiga teks JPD mengandung diksi yang

memiliki ragam bahasa bervariasi. Artinya pada teks JPD terdapat diksi-diksi

yang mengandung ragam bahasa halus, sedang, dan kasar. Hal tersebut

menunjukan jika penggunaan diksi di dalam teks JPD berkaitan dengan

konteksnya. Adapun ragam bahasa yang kemunculannya paling mendominasi,

yaitu ragam bahasa sedang. Kehadirannya dilatarbelakangi oleh kebiasaan

masyarakat Sunda yang cenderung menggunakan bahasa Sunda ragam sedang di

dalam aktivitas kesehariannya, karena ragam bahasa sedang merupakan ragam

bahasa yang terlihat lebih universal dan berterima oleh semua kalangan (tidak

kasar dan tidak halus, pen).

Berdasarkan analisis pada setiap diksi teks JPD, ditemukan beberapa diksi

yang berasal dari bahasa Jawa, seperti kata welas, asih, dan sinjang. Dalam

bahasa Jawa kata welas dan asih termasuk ke dalam bahasa krama ngoko atau

bahasa sedang, sedangkan kata sinjang dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam

bahasa krama atau bahasa tinggi. Selain itu analisis diksi pada teks JPD

menunjukan adanya akulturasi budaya yang diyakini masyarakat Sunda. Diksi

tersebut adalah diksi Bismillahirrahmanirrahim yang berdasarkan konteksnya

(27)

386

dalam teks jangjawokan, maka terlihat jika agama Islam telah memberikan

pengaruh terhadap jangjawokan Sunda. Hal tersebut menunjukan jika masyarakat

Sunda merupakan masyarakat multikultural, karena di dalam kehidupannya sering

kali menggabungkan dua kebudayaan secara sekaligus.

f. Tema

Berdasarkan analisis tema pada ketiga teks JPD, ditemukan adanya

kesamaan dari ketiga teks tersebut. Kesamaan pada ketiga teks JPD berkaitan

dengan gagasan pokok yang terkandung di dalam teks. Gagasan ini bisa dibilang

sebagai ide utama atau tema dari teks JPD. Tema pada teks JPD data 1 adalah

harapan perempuan Sunda yang mendambakan kesempurnaan (kecantikan dan keanggunan), sebagai sistem proyeksi yang mencerminkan konsep

percaya diri’, tema pada data 2 adalah ‘representasi kesempurnaan tubuh perempuan, sebagai konsep percaya diri perempuan Sunda’, dan tema pada data 3 adalah ‘kekuatan sinjang yang berpengaruh terhadap kepercayaan diri perempuan Sunda’. Dari ketiga tema tersebut terlihat adanya ide atau gagasan pokok yang sama, yaitu sama-sama berkaitan dengan harapan perempuan Sunda.

Artinya secara keseluruhan, teks JPD merefleksikan keinginan dan harapan

perempuan Sunda yang mendambakan kasih sayang dari orang lain. Walaupun

pada saat proses analisis tema pada ketiga teks tersebut menghasilkan

isotopi-isotopi yang berbeda, namun isotopi-isotopi-isotopi-isotopi tersebut saling berkorelasi sehingga

menghasilkan motif yang didominasi dengan makna harapan. Hal tersebut

menunjukan jika teks JPD merupakan teks jangjawokan yang merepresentasikan

sistem proyeksi perempuan, di mana setiap perempuan memiliki harapan yang

sama, yaitu ingin disayangi dan dicintai.

Berdasarkan struktur teks, ketiga teks JPD ini memiliki perbedaan dan

kekhasan masing-masing. Demikian pula pada diksi-diksi yang terkandung di

dalam ketiga teks tersebut, namun yang harus diingat adalah penuturan ketiga teks

JPD tersebut memiliki tujuan yang sama, sehingga secara gagasan pokok pun

tentunya memiliki kesamaan. Bagian penting yang terkandung di dalam ketiga

tema teks JPD tersebut adalah perempuan, harapan, dan konsep percaya diri,

karena ketiga bagian itulah yang mendominasi di dalam tema JPD. Kata

(28)

menuturkan teks JPD. Kata harapan menunjukan jika isi dari teks JPD adalah

harapan-harapan perempuan Sunda. Adapun konsep percaya diri merupakan

perwujudan dari keinginan yang menjadi harapan perempuan Sunda. Ketiga teks

JPD tersebut menunjukan adanya konsep percaya diri, karena di dalam teks JPD

sendiri terdapat diksi-diksi yang dapat memberikan pengaruh bagi kepercayaan

diri seseorang, seperti lengik, lenjang, sieup.

g. Konsep percaya diri

Hasil temuan dari analisis teks JPD menunjukan jika di dalam teks tersebut

terdapat cerminan konsep percaya diri. Adapun yang menjadi konsep percaya diri

di dalam teks JPD, lebih terfokus pada sifat keanggunan. Hal tersebut dikarenakan

JPD adalah jangjawokan yang digunakan pada saat perempuan Sunda hendak

berbusana, sehingga isi dan makna yang terkandung di dalam teks JPD ini

memiliki kaitan dengan konteks penggunaannya (agar terlihat menarik dan cantik,

pen). Tujuan dari penuturan JPD oleh perempuan Sunda adalah agar perempuan

Sunda terlihat lebih menarik dan cantik di mata orang lain. Kecantikan tersebut

setidaknya telah menjadi tolak ukur kepercayaan diri perempuan Sunda. Artinya

perempuan Sunda merasa lebih percaya diri jika dirinya terlihat menarik di mata

orang lain. Kata menarik pada konteks ini diwakili dengan kata lengik, lenjang,

sieup, sehingga menarik yang dimaksud adalah konsep cantik dan kesempurnaan

bentuk tubuh. Dengan demikian dapat disimpulkan jika di dalam teks JPD konsep

percaya diri dipengaruhi oleh kecantikan dan keanggunan bentuk tubuh.

Pernyataan tersebut mengacu pada diksi-diksi yang terkandung di dalam teks JPD,

di mana kecantikan adalah dambaan dari perempuan penutur JPD.

2. Proses Penciptaan

Pada proses penciptaan terdapat dua pembahasan, yaitu proses pewarisan

dan proses penciptaan. Dari ketiga analisis teks JPD, menunjukan jika rata-rata

pewarisan dari JPD, yaitu dengan cara vertikal. Pewarisan secara vertikal ini

meliputi pewarisan yang berhubungan dengan sistem kekeluargaan yang berbeda

generasi. Ketiga penutur JPD mengatakan jika mereka mendapatkan JPD dari

orang tuanya (Bapak, Nini, Aki,), sehingga proses pewarisan ini masih terikat

(29)

388

dituturkan oleh pewaris kepada audiens yang merupakan calon penutur. Proses

penuturan ketiga teks JPD ini berdasarkan kelisanan, karena pada saat penutur

mendapatkan JPD dari orang tuanya, mereka belum terbiasa dengan tradisi tulis.

Proses penciptaan teks JPD meliputi tiga pembagian waktu, yaitu pra

penuturan, penuturan, dan pasca penuturan. Ketiga pembagian ini berhubungan

dengan kehadiran audiens, sebab jika tidak ada audiens maka proses

penciptaannya hanya meliputi satu pembagian waktu, yaitu proses penuturan.

Adapun proses penuturannya, yaitu dengan cara dituturkan secara monolog tanpa

ada interaksi dengan pihak atau orang lain. Hal tersebut dikarenakan JPD

merupakan jangjawokan yang bersifat personal dan rahasia.

3. Konteks Penuturan a. Konteks Situasi

Berdasarkan hasil analisis pada ketiga teks JPD, ditemukan jika konteks

situasi pada saat penuturan JPD, yaitu bersifat bebas tanpa terikat dengan waktu

dan posisi tetentu. JPD dapat dituturkan di mana saja sesuai dengan keinginan

penuturnya. Asalkan berkaitan dengan proses mengenakan samping, karena

jangjawokan ini adalah jangjawokan khusus penggunaan samping. Adapun tujuan

dari penuturan JPD, yaitu agar perempuan yang menggunakan samping (dibarengi

penuturan JPD, pen) terlihat lebih menarik dan cantik. Pada saat penuturan JPD

tidak dibutuhkan peralatan khusus, hanya saja pada saat pra penuturannya calon

penutur diharuskan berpuasa sesuai dengan jumlah hitungan hari dari wetonnya.

Syarat puasa tersebut dikenal dengan istilah ‘pameuli jangjawokan’, sehingga

pada saat syarat puasa tersebut telah terpenuhi maka secara otomatis jangjawokan

telah ‘terbeli’ atau ‘kabeuli’. Teknik penuturan JPD, yaitu dengan cara monolog

pada saat perempuan Sunda melakukan aktivitas berbusana (menggunakan

samping, pen). Teknik penuturan secara monolog ini dilatarbelakangi oleh tata

cara penuturan JPD yang harus sembunyi-sembunyi. Oleh sebab itu JPD

dituturkan dalam keadaan sendiri, karena berkaitan dengan kerahasiaan penuturan

(30)

b. Konteks Budaya

Berhubung ketiga data jangjawokan ini berasal dari satu kecamatan, maka

secara konteks budaya ketiganya memiliki kesamaan. Konteks budaya ini

merupakan pembahasan mengenai pelbagai hal yang melatarbelakangi kehadiran

teks JPD di Kecamatan Sagalaherang. Hasil analisis konteks budaya menunjukan

jika kehadiran teks JPD tersebut dilatarbelakangi dengan pelbagai aspek, yaitu

bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian, hubungan sosial, sistem pengetahuan,

sistem religi, dan kesenian. Bahasa yang digunakan di daerah tempat tinggal

penutur, yaitu bahasa Sunda. Adapun sistem teknologi yang berkembang di

daerah tersebut, yaitu pencampura antara teknologi modern dan teknologi

tradisioanl. Khususnya dalam bidang pertanian masyarakat cenderung

menggunakan teknologi tradisional seperti menggunakan salome pada saat

memanen padi. Mata pencaharian masyarakat di daerah tempat tinggal penutur,

yaitu sebagai petani, karena daerah tersebut termasuk ke dalam daerah dengan

komoditas utama berupa padi. Hubungan sosial yang diterapkan di daerah tempat

tinggal penutur tidak memiliki kekhasan, karena hanya meliputi sistem

kepengurusan seperti RT, RW, dan Kepala Desa. Adapun sistem pengetahuan

yang terdapat di daerah tempat tinggal penutur, yaitu sekolah-sekolah formal dan

pelbagai penyuluhan dari pemerintah. Dalam beberapa aspek, masyarakatnya

mengetahui pelbagai pengetahuan tradisional, salah satunya dalam bidang

pengobatan. Adapun dalam masalah sistem kepercayaan atau sistem religi,

masyarakat tempat tinggal penutur cenderung animisme, karena masih percaya

terhadap hal-hal yang berbau mistik. Selain itu masyarakatnya bersifat

multikultural, karena cenderung menggabungkan antara kebudayaan dan agama.

Dalam bidang kesenian, daerah ini masih memiliki kesenian tradisional, seperti

singa depok. Berdasarkan konteks budaya, ketiga desa tempat tinggal informan

memiliki kesamaan, karena ketiga desa tersebut masih dalam satu wilayah. Jika

mengacu pada pemaparan beberapa aspek mengenai konsep kebudayaan di atas,

maka kehadiran teks JPD di ketiga desa tersebut memperlihatkan jika JPD tumbuh

(31)

390

4. Fungsi

Berdasarkan analisis fungsi pada ketiga teks JPD dapat disimpulkan, jika

teks JPD memiliki fungsi sebagai sistem proyeksi perempuan Sunda. Fungsi

tersebut mengacu pada angan-angan yang diimpikan semua orang. Sistem

proyeksi pada ketiga teks tersebut berkaitan dengan harapan penutur yang

menginginkan dirinya terlihat menarik dan cantik di mata orang lain. Keinginan

tersebut memiliki tujuan yang menjadi dambaan setiap perempuan, yaitu agar

dikasihi dan dicintai oleh orang lain. Adapun fungsi yang kedua, yaitu sebagi

hiburan. Secara keseluruhan teks JPD adalah media hiduran, karena di dalam teks

JPD mengandung harapan-harapan yang bersifat memberikan sugesti pada

penuturnya. Sugesti tersebut yang memberikan kebahagiaan pada penutur, sebab

ia meyakini jika dirinya terlihat menarik dan cantik. Adapun yang dimaksud

dengan alat hiburan lainnya, yaitu berkaitan dengan pengalaman penutur terhadap

sebuah permainan bunyi dan irama. Teks JPD yang berirama ritmis terdengar

merdu dan memberikan efek bahagia pada penuturnya. Fungsi yang terakhir, yaitu

sebagai alat pendidikan anak. Fungsi ini berkaitan dengan kedudukan JPD di

tengah masyarakat, karena JPD dianggap sebagai teks yang menyertai segala

aktivitas. Oleh karena itu teks ini mencerminkan sikap kedisiplinan dan

keteraturan masyarakat Sunda.

5. Makna

Hasil analisis makna pada ketiga teks JPD, menunjukan jika ketiga teks

jangjawokan ini berkaitan dengan makna perempuan. Lebih lanjut makna

perempuan dalam kedua teks JPD (JPD Desa Sukamandi dan JPD Desa

Dayeuhkolot) mengacu pada makna yang berhubungan dengan konsep ketuhanan

dan interaksi antara manusia dan alam. Secara keseluruhan makna yang dihasikan

dari ketiga teks JPD mendeskripsikan konsep perempuan dalam masyarakat

Sunda. Pada teks JPD data 1 konsep perempuan terlihat kentara, karena fungsi

JPD di tengah masyarakat berkaitan dengan aktivitas berbusana perempuan.

Setiap diksi dalam teks JPD data 1 saling berkesinambungan membentuk pola

yang sama, yaitu mencerminkan kehidupan perempuan Sunda. Pada kata samping,

citra perempuan digambarkan sebagai sosok yang lembut, keibuna, dan

(32)

perempuan dalam hubungan keluarga, yaitu sebagai tempat tinggal dan pelindung

bagi keluarga. Konsep perempuan pada kata cai dan kéjo, mengacu pada

pekerjaan perempuan dan daerah kekuasaan perempuan dalam sebuah keluarga,

sedangkan pada frasa jabang bayi konsep perempuan diinplisitkan dalam diksi

yang mencerminkan kelembutan dan kesucian (berkaitan dengan makna bayi).

Perempuan menguasai ranah domestik dan berperan penting dalam mengelola

segala kebutuhan rumah tangga. Peran perempuan sebagai penguasa domestik

dalam pandangan masyarakat Sunda tidak semata-mata membedakan drajat antara

perempuan dan laki-laki, namun lebih mempertimbangkan keseimbangan dari

kehidupan masyarakat Sunda. Perempuan menguasai daerah domestik berperan

mengurus keluarga, sedangkan laki-laki menguasai daerah luar berperan sebagai

pencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Adapun makna pada JPD

data 2 berkaitan dengan konsep keseimbangan kehidupan manusia, yaitu interaksi

antara manusia dan manusia, interaksi antara manusia dan alam, serta interaksi

antara manusia dan Tuhan. Ketiga analisis makna pada teks JPD data 2

menghasilkan makna yang mencerminkan keseimbangan di dalam kehidupan

masyarakat Sunda. Makna tersebut mengacu pada hubungan manusia yang saling

berkorelasi dengan Tuhan, Alam dan sesama manusia. Ketiga interaksi tersebut

mencerminkan pola kehidupan yang ideal, sebab manusia, alam, dan konsep

Tuhan tidak bisa dipisahkan, karena berpengaruh pada keseimbangan hidup. Pada

analisis makna ketuhanan telah dibahas jika manusia dan Tuhan berkaitan dengan

konsep ciptaan dan konsep pencipta. Dalam hal ini manusia membutuhkan Tuhan

sebagai zat yang menjadi pusat tujuan penyerahan segala harapan dan

keinginnnya. Adapun interaksi antara manusia dan manusia berkaitan dengan

konsep berpasangan (dikawinkan), sehingga interaksi tersebut menghasilkan

keseimbangan bagi kehidupan manusia. Begitupun interaksi manusia dan alam

yang mencerminkan konsep kesejahteraan hidup, sebab manusia hidup

berdasarkan alam dan alam tetap lestari dengan bantuan manusia. Interaksi

manusia dan alam, kemudian manusia dan manusia merepresentasikan hubungan

timbal balik yang saling menguntungkan satu sama lain. Hal itulah yang menjadi

konsep keseimbangan di dalam kehidupan manusia khusunya masyarakat Sunda.

Referensi

Dokumen terkait