• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-Qur an dan Hadis. Jurnal Studi Ilmu-ilmu. Vol. 22 Nomor 1, Januari 2021 ISSN (p) :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Al-Qur an dan Hadis. Jurnal Studi Ilmu-ilmu. Vol. 22 Nomor 1, Januari 2021 ISSN (p) :"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 22 Nomor 1, Januari 2021

ISSN (p) : 1411-6855

Keharmonisan dalam Tradisi Perkawinan Merariq di Lombok Sebagai Bentuk Pengalaman Al-Qur'an

M. Ardi Kusumawardana

Socio-Genetic Motives of Mui's Fatwa Regarding Covid-19 Based on Quran-Hadith

Mukhamad Agus Zuhurul Fuqohak, Muh. Amiruddin

State Idealism and The Emerging Democratization Challenges of Indonesia Post-Political Election in Abu Nasr Al-Farabi's Paradigm of Qur'anic Exegesis

Egi Tanadi Taufik

Analizing Isnad-Cum-Matn of Tauhị d Phrase on Prophet's Flag Hadith

Abdul Muiz Amir, Akbar, Faiq Ainurrofiq, Muhammad Widus Sempo

Al- Ṭaḥāwī's Method Towards The Variety of Qiraāt in Tafsir Aḥkām Al-Qur'ān and Its Implication to Istinbāṭ Al-Aḥkām

Moh. Abdul Kholiq Hasan

Studi Tafsir Al-Qur'an Progresif di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (2014-2019)

: Implementasi dan Perkembangan

Maizuddin, Zulihafnani

Jurnal Studi Ilmu-ilmu

Liberal Islam and Its Influences on The Development of Quranic Exegesis in Indonesia and Malaysia

Ahmad Syaifuddin Amin, Maisyatusy Syarifah

Corak Hadis Sufistik dalam Konsep Insan Kamil Abd Al-Karim Al-Jili

Agung Danarta

The Definition of The Sunnah According to Ismailism: A Critical Reading

Ramy Mahmud

Analisis Gender dalam Hadits-Hadits Misioginis di Al-Kutub Al-Tis'ah

Nurun Najwah

Amplifikasi Ajaran Islam dalam Meme Hadis Larangan Perempuan Bepergian Tanpa Mahram di Media Sosial Indonesia

Miski Redefinisi Makna Asy-Syifa' dalam Al-Qur'an Sebagai Praktik Penyembuhan pada Penyakit Jasmani Aida Hidayah, Fitriana Firdausi

Al-Qur’an dan Hadis

(2)
(3)

Al-Qur’an dan Hadis

Jurnal Studi Ilmu-ilmu

Vol. 22 No. 1 Januari 2021

ISSN: 1411-6855 (p); 2548-4737 (e)

Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281 Indonesia

Email: [email protected]; [email protected]

Website: http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/alquran/index

(4)

Vol. 22 No. 1 Januari 2021

ISSN: 1411-6855 (p); 2548-4737 (e)

Editor in Chief

Abdul Mustaqim - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Managing Editor

Achmad Yafik Mursyid - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Editorial Board

Adnane Mokrane - Pontifical Gregorian University Italy

Ramy Mahmud - Nevşehir Hacı Bektaş Veli Üniversitesi Turkey

Mowafg Masuwd - Zawia University Libya

Abdul Halim - IAIN Surakarta

Saifuddin Zuhri Qudsy - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Fadhli Lukman - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahbub Ghozali - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Hasan Mahfudh - UIN Sunan Ampel Surabaya

Aida Hidayah - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Lien Iffah Naf ’atu Fina - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kurdi Fadal - IAIN Pekalongan

Ridhoul Wahidi - Universitas Islam Indragiri Riau

Peer-Reviewer

Johanna Pink - Albert-Ludwigs- Universität Freiburg Germany

Mohamad Anton Athoillah - UIN Sunan Gunung Djati Indonesia

Jajang A. Rohmana - UIN Sunan Gunung Djati Bandung Indonesia

Sahiron Syamsuddin - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia

Umma Farida - IAIN Kudus Indonesia

Islah Gusmian - IAIN Surakarta Indonesia

Ervan Nurtawab - IAIN Metro Indonesia

Aicha L’hdiri - Ez-Zitouna Tunisia

Muhammad Ali - University of California USA

Jasser Auda - Qatar Faculty of Islamic Sciences Doha Qatar

Majid Daneshgar - Albert-Ludwigs- Universität Freiburg Germany

Abdullah Saeed - University of Malbourne Australia

Muhammad Alfatih Suryadilaga - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia

Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis already evaluated in Arjuna and it has been nationally accredited Sinta 2 by the Ministry of Research

(5)

Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis – ISSN: 1411-6855 (p); 2548-4737 (e) Vol. 22, No. 1 (Januari 2021), hlm. 1-18, doi: 10.14421/qh.2021.2201-01

Article History:

Submitted: 28-10-2020 Revised: 17-12-2020 Accepted: 20-01-2021

Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur'an Hadis is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License.

KEHARMONISAN DALAM TRADISI PERKAWINAN MERARIQ

DI LOMBOK SEBAGAI BENTUK PENGALAMAN AL-

QUR’AN

HARMONY IN MERARIQ MARRIAGE TRADITION IN LOMBOK AS A MANIFESTATION OF THE QUR’AN

M. Ardi Kusumawardana

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya Email: [email protected]

Abstract

A number pieces of research show that the wedding tradition of merariq practiced by Sasak community is susceptible for intra-family conflicts, such as the disagreement over the dowry, disputes between the families, subordination of women, violence, polygamy, and divorce. This is understandable, for merariq culturally situates women in the subordinate position. This research, on the other hand, highlights the harmony within families in merariq context. The questions to be investigated is: what factors lead to harmony within families in merariq culture? This is a qualitative research using phenomenological approach. In doing so, the field work was conducted directly over the interlocutors. The data compilation technique was semi-structured interviews that were performed directly over the informants. In addition to that, this research also follows the relevant literature. It argues that there is a discernible struggle to achieve harmony from the part of women (wives). They took this extra effort as inspired by a particular interpretation of the Qurʾān. In addition to that motivation to put the family and children interests above all has structured women to be permissive and succumb. Keywords: Merariq, Lombok, Al-Qur’an, Women, Harmony

Abstrak

Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa budaya perkawinan merariq yang dipraktikkan oleh masyarakat suku Sasak rentan menimbulkan konflik keluarga, mulai dari penentuan mahar nikah, konflik antar keluarga, pelemahan posisi perempuan, KDRT, poligami, dan perceraian. Hal ini dapat dipahami, karena merariq secara adat memposisikan pada titik subordinatif. Penelitian ini, pada sisi lain, menyoroti keharmonisan keluarga dalam tradisi merariq. Pertanyaan yang akan ditelusuri adalah faktor apakah yang menciptakan keharmonisan keluarga dalam budaya merariq tersebut? Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Hal ini dilakukan dengan studi lapangan untuk mengambil data secara langsung pada objek penelitian. Adapun teknik pengambilan data yang dilakukan dengan menggunakan wawancara semi terstruktur secara face to face dan observasi dengan mengamati keseharian dan

(6)

gerakan tubuh informan saat diwawancarai. Dan juga penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan digunakan untuk mengambil data yang bersifat teori yang digunakan sebagai literature penunjang dalam penelitian. Artikel ini menyimpulkan bahwa ada perjuangan yang dimiliki perempuan dalam mengharmoniskan keluarganya. Upaya tersebut merupakan akibat dari penerimaannya atas suatu interpretasi atas al-Qur’an

dan sikap memprioritaskan keluarga dan anak-anak membentuk perempuan sebagai pihak yang menerima dan mengalah demi keutuhan keluarga.

Kata Kunci : Merariq, Lombok, Al-Qu’an, Perempuan, Harmoni.

Pendahuluan

Tidak seperti di Indonesia dan masyarakat Muslim lainnya yang memulai prosesi perkawinan dengan cara khitbah atau melamar, masyarakat Muslim Sasak justru umumnya menggunakan tradisi kawin lari atau yang lebih dikenal dengan istilah merariq1. Merariq

merupakan wujud kearifan lokal yang di dalamnya terdapat suatu keyakinan masyarakat bahwa melarikan anak gadis untuk dinikahi merupakan bukti keberanian seorang laki-laki pada calon istrinya.2 Selain itu, membawa lari gadis untuk dinikahi dipandang lebih terhormat

dibandingkan dengan meminta gadis kepada orang tuanya.

Penelitian ini mengkaji tentang keharmonisan keluarga di balik konflik budaya merariq

dan posisi perempuan yang tersubordinasi adat dalam membangun keharmonisan keluarga. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa budaya merariq rentan menimbulkan konflik mulai dari penentuan mahar nikah,3 konflik antar keluarga,4 pelemahan posisi perempuan,5

KDRT, poligami, dan perceraian.6 Namun, di balik konflik yang ditimbulkan oleh budaya merariq, ada pula keluarga yang hidup dengan harmonis7 seperti yang dialami oleh keluarga

Awana dan keluarga Mirah.

1 Fatma Amilia, Zusiana Elly, and Samsudin, “Reinterpretasi Tradisi Merariq (Kawin Lari) Sebagai Resolusi Konflik Adat (Studi Pemikiran Tokoh Agama Dan Tokoh Adat Di Ntb),” Istinbath 16, no. 2 (December 25, 2017): 469–490,

2 Farida Ariany, “Adat Kawin Lari ‘Merariq’ Pada Masyarakat Sasak (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Tengah),” Jurnal Sangkareang Mataram 3, no. 3 (September 2017), hal. 10–13.

3 Amilia, Elly, and Samsudin, “Reinterpretasi Tradisi Merariq (Kawin Lari) Sebagai Resolusi Konflik Adat (Studi Pemikiran Tokoh Agama Dan Tokoh Adat Di Ntb),” 465–490.

4 Widodo Dwi Putro, “Perselisihan Sociological Jurisprudence Dengan Mazhab Sejarah Dalam Kasus Merarik : Kajian Putusan Nomor 232/Pid.B/2008/PN.Pra,” Jurnal Yudisial 6, no. 1 (April 2013), hal. 48–63.

5 Titi Fitrianita, Siti Kholifah, and Rabiatul Adawiyah, “Perempuan Nyurlembang Dalam Tradisi Merarik,”

SIMULACRA 1, no. 2 (November 2018), hal. 123–140.

6 Tina Afiatin and DKK, Psikologi Perkawinan Dan Keluarga : Penguatan Keluarga Di Era Digital Berbasis Kearifan

Lokal (Sleman: Kanisius, 2018).

7 Indikator keluarga harmonis menurut Nick Stinnet dan John Defrain. Lihat : Nick Stinnett et al., Fantastic

(7)

3

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

Sejauh ini isu pernikahan dalam budaya Sasak telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Setidaknya terdapat tiga kecenderungan dalam kajian atas hal ini. Pertama, kajian yang memfokuskan pada ranah akulturasi Islam dalam budaya sasak (Ahmad Abd Syakur, 2006); kedua, studi tentang berbagai konflik yang timbul dari proses tradisi merariq (Fatma Amalia, dkk, 2015); dan ketiga, kajian yang memfokuskan pada nilai-nilai Pancasila dalam

merariq pada masyarakat Sasak (Nopita Anggraini, Dkk, 2018).

Banyak pihak yang berpandangan adat merariq ini menjadi salah satu penyumbang legalisasi pernikahan dini di Indonesia.8 Banyak perempuan yang menikah dini pada

masyarakat suku Sasak belum siap secara psikologis untuk membangun rumah tangga, sehingga tidak sedikit yang bermuara pada perceraian. Praktik merariq ini disebut mengambil perlindungan dari agama dan budaya dalam pelegalan kasus pernikahan anak.9 Dalam adat

suku Sasak juga, ketika seorang gadis sudah dinikahi maka ia akan dibawa oleh suaminya. Namun ketika suami belum memiliki rumah sendiri, maka istri akan ikut tinggal bersama di rumah mertuanya. Hal ini juga terkadang memicu konflik baru antara menantu wanita dan mertua.10

Pada prosesinya, merariq juga rentan menimbulkan konflik, baik berupa pelanggaran dalam norma adat ataupun sengketa antara kedua belah keluarga, terutama bagi mereka yang menikah tanpa persetujuan keluarga. Biasanya, keluarga perempuan yang keberatan anaknya

“diculik” akan memperkarakannya sampai di pengadilan. Bahkan tak jarang pula konflik antar

keluarga ini mengganggu keharmonisan bermasyarakat hingga berujung pada pertumpahan darah.11

Bagi perempuan, merariq membuat mereka merasa memasuki ruang pertentangan yang menyebabkan keretakan identitas sosial sebagai seorang gadis, meskipun secara fisik mereka masih perawan. Banyak perempuan yang menggambarkan merariq ini sebagai sebuah sikap yang menempatkan mereka pada situasi atau kondisi yang sudah terlanjur.12 Perempuan

tidak memiliki kuasa untuk menolak. Gadis yang gagal melakukan perkawinan akan 8 Rosdiana, Arman, and Andi Muh. Multazam, “Praktik Merariq Pada Masyarakat Sasak Di Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat,” Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia 1, no. 3 (2018), hal. 166– 178.

9 Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, “Merariq Adat as Means to End Child Marriage: Rights and Vulnerability of Girls” 21, no. 1 (2016).

10 Hendra Sipayung, Menantu VS Mertua : Trik Ampuh Membina Hubungan Baik Antara Menantu Dan Mertua (Jakarta: Alex Media Komputindo, 2010).

11 Ahmad Fathan Aniq, “Potensi Konflik Pada Tradisi Merariq Di Pulau Lombok,” Al-Qalam 28, no. 3 (2011), hal. 559–584.

12 Maria Platt, “‘Sudah Telanjur’: Perempuan Dan Transisi Ke Perkawinan Di Lombok,” Jurnal Studi Pemuda 1, no. 2 (September 2012), hal. 165–178.

(8)

menimbulkan rasa malu bagi dirinya dan keluarga. Bagi laki-laki, mereka akan dilabeli dengan

‘pengantin burung’ yang artinya pengantin yang batal.

Budaya merariq juga menempatkan seorang laki-laki dalam posisi yang sangat kuat,

menguasai, dan mampu “menjinakkan” kondisi sosial psikologis calon istri. Terlepas apakah

merariq dilakukan dengan kesepakatan ataupun tanpa kesepakatan kedua calon mempelai,

merariq tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas laki-laki dan inferioritas bagi perempuan. Dengan demikian, pada tahap ini tampak bagaimana karakter suami maupun istri dibentuk dalam kolektif budaya, yang mana menyiratkan wanita sebagai sosok yang lemah dan kurang dihargai.13

Selain posisi wanita yang terlemahkan, ada pula tuntutan dalam masyarakat pada diri wanita terkait dengan harga mahar (ajikarma). Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial seorang perempuan maka semakin tinggi pula nilai tawarnya; begitu pula sebaliknya. Akan tetapi akan menjadi bahan gunjingan masyarakat jika perempuan bermahar tinggi kemudian dianggap tidak cekatan dalam mengerjakan pekerjaan rumah, tidak mempunyai skill, atau pekerjaan tetap. Dengan kata lain, jumlah mahar yang besar harus dipertanggungjawabkan dengan kualitas diri pengantin perempuan tersebut.14

Perkawinan merariq menimbulkan banyak dampak negatif seperti terjadinya perilaku atau sikap otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga, terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi istri, beban ganda pada perempuan, terjadinya praktik kawin cerai, peluang untuk berpoligami bagi suami lebih besar, dan jarang dikenalnya pembagian harta bersama dikarenakan harta hanya milik suami.15

Menurut data dari koran Tempo, di Lombok mayoritas yang menggugat cerai adalah perempuan. Gugatan yang dilayangkan perempuan banyak disebabkan oleh perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan poligami. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan menggugat perceraian karena tak tahan pada posisinya yang terlemahkan. Namun ada pula perempuan yang memilih bertahan pada situasi tersebut dan bahkan memiliki keluarga yang harmoni. Peneliti berasumsi bahwa ada perjuangan yang dimiliki perempuan dalam mengharmoniskan keluarganya dengan taat kepada suami, sesuai yang ada dalam dalam

al-13 Tina Afiatin and DKK, Kontroversi Adat Pernikahan Merariq Dalam Budaya Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara

Barat, hal. 157.

14 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 160.

15 Tina Afiatin and DKK, Kontroversi Adat Pernikahan Merariq Dalam Budaya Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara

(9)

5

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34 dan kasih sayang keluarga dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 21 untuk selalu tunduk kepada suami.

Nijole V. Benokraitis mengartikan keluarga sebagai sebuah unit yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan, atau dengan diadopsi, yang hidup bersama dalam sebuah unit ekonomi.16 Dalam Islam, perkawinan bertujuan untuk

membentuk keluarga yang sakinahmawadah wa rahmah atau yang yang disebut dengan keluarga harmonis. Menurut Nick Stinnett, keluarga harmonis bukanlah keluarga yang hidup tanpa masalah; mereka tetap memiliki masalah sebagaimana halnya keluarga yang lain. Namun, keluarga yang harmonis merupakan keluarga yang mampu bertahan dalam krisis yang mereka hadapi. Keluarga harmonis adalah tempat yang menyenangkan untuk melakukan interaksi positif antara sesama anggota keluarga. Di dalamnya, sesama anggota keluarga dapat saling mengandalkan dan memberi dukungan satu sama lain, berbagi cinta dan kesetiaan, serta memiliki komunikasi yang baik sesama anggota keluarga.

Nick Stinnett mengemukakan enam kualitas yang dikatakan sebagai keluarga harmoni. Pertama, komitmen antar anggota keluarga; kedua, saling menghargai dan menyayangi; ketiga, komunikasi yang positif; keempat, menghabiskan waktu bersama; kelima, kesejahteraan spiritual dan keagamaan; keenam, kemampuan untuk mengatasi stress dan krisis.17

Peneliti menggunakan teori habitus Pierre Bordieu untuk menganalisis habitus yang dimiliki oleh perempuan suku Sasak yang tersubordinasi adat dalam membangun keluarga yang harmonis. Karena dibalik upaya perempuan suku Sasak untuk menciptakan keluarga yang harmonis, ada fenomena yang berhubungan dengan beberapa dimensi, di antaranya: dimensi budaya, ekonomi, psikologi, dan sosial. Dengan kata lain, satu hal yang tak bisa dihindarkan adalah adanya hubungan antara para agen (perempuan suku Sasak) di dalam keluarga dengan berbagai aspek dalam kehidupannya18.

Untuk menciptakan keluarga yang harmonis ada suatu pembiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh para agen untuk membentuk perilaku tertentu dan direproduksi sebagai perilaku yang dapat dipahami bersama. Proses pembiasaan suatu tindakan yang 16 Namun dengan lahirnya teknologi, definisi dari keluarga ini menjadi lebih kontrovesial Dengan perkembangan teknologi sekarang memumngkinkan seorang bayi memiliki beberapa orang tua. Hal ini dikarnakan proses pendonoran sel telur, sperma, bayi tabung, dan keinginan mengadopsi anak. Lihat : Nijole V. Benokraitis, Marriages & Families : Changes, Choices, and Constraints, Seventh (United States of America: Pearson Education, 2011), hal. 5

17 Nick Stinnett et al., Fantastic Families : 6 Proven Steps to Building a Strong Family, hal. 7-11.

18 Achmad Yafik Mursyid, “RESEPSI ESTETIS TERHADAP AL-QUR’AN (Implikasi Teori Resepsi Estetis Navid Kermani Terhadap Dimensi Musikalik Al-Qur’an)” (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013).

(10)

dilakukan secara berulang-ulang tersebut oleh Pierre Bourdieu diistilahkan dengan habitus. Secara formal Bordieu mendefinisikan habitus sebagai berikut :

“System of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is as principle which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ands or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’ and ‘regular’

without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively

orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor”.19

“Sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan, struktur yang telah terbentuk yang (kemudian) diasumsikan berfungsi sebagai pembentuk struktur-struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengendalikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlakukan untuk

mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tapi bukan

produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang

pelaku”.20

Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang penanaman individu (process of inculcation), dimulai sejak masa kanak-kanak, yang kemudian menjadi semacam ‘pengindraan kedua’ (second nature).21 Dalam mewujudkan habitus, dibutuhkan suatu arena yang

memungkinkan struktur-struktur habitus bekerja secara optimal. Arena diibaratkan sebagai medan perjuangan yang mengandaikan terjalinnya struktur-struktur yang menunjang dan menuntun strategi-strategi yang digunakan oleh para pemangku posisi, baik secara individual maupun kelompok. Arena adalah prototipe pasar terbuka yang kompetitif tempat berbagai

19 Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, trans. Richard Nice (California: Stanford University, 1990), hal. 53. 20 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Budaya, trans. Yudi Santosa, 2nd ed. (Bantul: Kreasi Wacana, 2012), hal. 15-16.

(11)

7

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

jenis modal digunakan dan disebarkan. Dengan demikian, posisi berbagai agen di dalam arena ditentukan oleh jumlah bobot relatif modal yang dimiliki.22

Penelitian ini menggunakan studi lapangan dilakukan untuk mengambil data secara langsung pada objek penelitian. Adapun teknik pengambilan data yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur secara tatap muka dan observasi gerakan tubuh informan saat diwawancarai serta keseharian mereka. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan, yang digunakan untuk mengambil data yang bersifat teoretis dari literatur-literatur penunjang penelitian. Data ini didapatkan dari buku-buku sumber maupun artikel-artikel jurnal, dokumen-dokumen, internet dan media cetak yang ada kaitannya dengan budaya merariq, keluarga harmoni, dan habitus perempuan Suku Sasak.

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data Miles and Huberman, yang berarti bahwa penulis harus melakukan analisa sepanjang penelitian dilakukan. Teknik ini diterapkan melalui tiga alur, yaitu : reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan setelah melakukan verifikasi data.23 Tahap reduksi data peneliti lakukan

dengan memilih dan memilah data terkait sebab keharmonisan keluarga dan upaya dari istri. Setelah memilih berdasarkan permasalahan yang diajukan, peneliti langsung melakukan analisis dan verifikasi data guna mendapatkan hasil yang valid guna menemukan jawaban terkait tentang apek harmoni dan disharmoni keluarga suku Sasak, habitus dan modal perempuan suku Sasak.

Mengenal Tradisi Perkawinan adat Merariq

Perkawinan merupakan sebuah ikatan dan perjanjian suci yang terjalin antara laki-laki dan perempuan yang diresmikan berdasarkan hukum adat, hukum agama, dan hukum negara. Dalam adat Sasak, perkawinan ini disebut dengan istilah merariq. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata Merariq, di antaranya adalah berari yang berarti berlari.24 Namun dalam

perkembangannya terjadi perluasan makna dari kata ini. Awalnya, merariq hanya merupakan istilah untuk sebuah tindakan membawa lari seorang gadis dengan maksud untuk menikahinya. Akan tetapi, istilah merariq sekarang digunakan untuk menyebut seluruh rangkaian perkawinan adat Sasak.

22 George Ritzer, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Kedelapan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 903.

23 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods) (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 247-253. 23 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan..., hal. 151

(12)

Pada zaman ini sering kali kawin lari dijadikan sebagai alternatif bagi pasangan yang tidak mendapat restu dari orang tua, terutama dari pihak keluarga perempuan. Padahal perkawinan masyarakat Sasak memiliki beraneka ragam prosesi, seperti: mematik (melamar),

perondongan (dijodohkan), kawin gantung (lelaki-perempuan dijodohkan sejak kanak-kanak oleh kedua keluarga sembari menunggu waktu yang tepat untuk dinikahkan), dan nikah tadong

(pernikahan ditunda sampai laki-laki dan perempuan cukup umur menurut hukum formal).25

Setidaknya ada dua pendapat tentang sejarah munculnya tradisi merariq di Pulau Lombok. Pertama, mengenai orisinalitas merariq. Kawin lari dianggap sebagai produk lokal dan merupakan ritual asli yang sudah dipraktikkan oleh leluhur masyarakat Sasak bahkan sebelum datangnya kolonial Bali dan kolonial Belanda. Nieuwenhuyzen, seorang peneliti asal Belanda, mengatakan bahwa walaupun adat Sasak memiliki banyak kesamaan dengan adat suku Bali, akan tetapi adat merariq Sasak merupakan produk asli dan cipta karsa dari masyarakat Sasak.26

Kedua, mengenai akulturasi merariq. Kawin lari dianggap sebagai produk impor dan bukan asli (genuine) dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan oleh masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Menurut John Ryan Bartolomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologi-historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya An Antrhopology of Religion and Magic (1975) dan James Boon Dalam bukunya The Antropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam merariq.27 Selain itu, Solichin Salam juga

mengungkapkan hal yang serupa. Tradisi atau adat kawin lari kemungkinan besar terpengaruh dengan adat budaya Bali mengingat Lombok pernah dijajah oleh Kerajaan Karang Asem Bali sekitar 150 tahun. Padahal adat kawin lari di Bali itu semula disebabkan karena perbedaan kasta.28

Secara garis besar, terdapat dua pandangan dalam tradisi kawin lari dalam masyarakat, yaitu mereka yang setuju dan yang menolak. Masyarakat yang menyetujui kawin lari ini kebanyakan berasal dari tokoh adat Sasak yang bertujuan untuk melestarikan tradisi.

25 Kaharuddin Sulkhad, Merarik Pada Masyarakat Sasak : Sejarah, Proses, dan Pandangan Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hal. 84.

26 Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995).

27 John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, trans. Imron Rosidi, 1st ed. (Yogyakatra: Tiara Wacana, 2001), hal. 203.

(13)

9

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

Sedangkan para tokoh agama menolak tradisi ini dengan alasan bahwa kawin lari merupakan tradisi Hindu Bali, sementara Islam sendiri memiliki khitbah.29

Menurut Kepala Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional Nusa Tenggara Barat, Lalu Mukripuddin, sebagaimana dikutip dari republika.co.id, NTB adalah salah satu provinsi dengan angka perceraian yang cukup tinggi, yakni 58%.30 Data ini menunjukkan

bahwa Lombok menjadi penyumbang angka perceraian terbanyak (di atas 20%) dibandingkan dengan kabupaten lain di Pulau Sumbawa (di bawah 18%).31 Perceraian di

Lombok terjadi disebabkan oleh pernikahan dini,32 faktor ekonomi, perselingkuhan, poligami

dan bahkan akibat dari bekerja sebagai Tenaga Kerja di luar negeri. Dari banyaknya kasus tersebut, tercatat bahwa pengunggat perceraian lebih banyak datang dari pihak perempuan. Gugatan yang dilayangkan perempuan banyak disebabkan oleh perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan poligami.

Jika bertolak pada dominasi maskulinitas yang ada di suku Sasak, menjadi wajar bila perempuan yang tak tahan dengan posisi terlemahkan menjadi penggugat terbanyak perceraian. Dominasi maskulinitas di suku Sasak bukan hanya terlembagakan pada ranah keluarga, agama, dan politik33 melainkan juga pada prosesi perkawinan adat sekalipun. Dalam merariq, superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan terlihat jelas. Seorang laki-laki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi psikologis calon istri. Baik dilakukan dengan persetujuan kedua pihak ataupun tidak, merariq tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas laki-laki. Pada sisi lain, merariq menggambarkan sikap inferioritas yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Bertahannya praktik merariq, namun demikian, juga disebabkan oleh sikap yang muncul dari kaum perempuan itu sendiri, yaitu rasa pasrah atau bahkan menikmati situasi inferioritas yang memaparinya.34

29 Ahmad Fathan Aniq, Konflik Peran Gender Pada Tradisi Merarik di Pulau Lombok, hal. 23-26.

30 Citra Listya Rini, “Tingkat Perceraian Di NTB Sangat Tinggi,” October 11, 2016, accessed April 10, 2020, https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/10/11/oew2av299-tingkat-perceraian-di-ntb-sangat-tinggi.

31 Imam baihaqi, “Lombok Pulau Janda,” Mei 2017, accessed April 10, 2020, https://www.kompasiana.com/imam_baihaqi/592253b5549773470c73e856/lombok-pulau-janda.

32 SUARANTB.com, “Tinggi, Angka Pernikahan Dini Dan Perceraian Di Lobar,” July 28, 2017, accessed April

10, 2020,

https://www.suarantb.com/lombok.barat/2017/07/242748/Tinggi,Angka.Pernikahan.Dini.dan.Perceraian.di .Lobar/.

33 Maria Platt, “‘Sudah Telanjur’: Perempuan Dan Transisi Ke Perkawinan Di Lombok,” 34 M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan..., hal. 169-170.

(14)

Aspek dan Pengaruh Hubungan Harmoni dan Disharmoni Keluarga Suku Sasak Pernikahan merupakan wujud komitmen tertinggi dalam sebuah hubungan.35

Seseorang yang memutuskan untuk menikah umumnya adalah orang yang siap untuk terikat dengan berbagai aturan yang telah disepakati. Namun fakta bahwa tingginya angka perceraian di suku Sasak membuat kita berpikir ulang, bahwa pernikahan dan komitmen tidak selamanya berjalan beriringan. Tak sedikit pasangan yang telah memutuskan untuk menikah berujung pada perceraian dengan berbagai alasan seperti faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, dan lain-lain. Akan tetapi, semua faktor ini hanya berposisi sebagai pemicu konflik. Faktor paling dasar dari perceraian adalah tidak adanya komitmen antara masing-masing pasangan dalam mencapai tujuan pernikahan.36

Menurut Nijole V. Benokraitis, komitmen dapat muncul dari (1) rasa percaya antara pasangan, (2) agama, hukum, atau kepercayaan terhadap kesakralan dari sebuah perkawinan, (3) perasaan optimis terhadap hal indah di masa depan, (4) keterkaitan emosional yang kuat, kepercayaan, dan rasa cinta.37 Pada hubungan yang baik komitmen dapat memunculkan rasa

kasih sayang, persahabatan, dan kepercayaan38. Pasangan dituntut selalu ada untuk satu sama

lain, bukan hanya dalam menghadapi masa-masa sulit saja, melainkan setiap hari dan setiap waktu. Namun jika salah satu pasangan tergoda untuk berlaku tidak setia dikarenakan kurangnya perhatian yang didapatkan atau kewalahan dalam menjalani masa-masa sulit pernikahan, maka di sinilah letak pentingnya komitmen. Ada dua bentuk komitmen pernikahan dalam keluarga suku Sasak yaitu komitmen terhadap Tuhan dan komitmen terhadap sesama anggota keluarga.

Komitmen Terhadap Tuhan

Komitmen terhadap Tuhan dalam keluarga Suku Sasak ditunjukkan dengan anggapan bahwa pernikahan bukan hanya bertujuan untuk menyatukan perasaan cinta semata, melainkan juga untuk mencapai tujuan dari pernikahan dalam Islam yaitu sakinah mawaddah wa rahmah, sebagaimana disampaikan dalam al-Qur’an surat al-Rūm ayat 21:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan 35 Nijole V. Benokraitis, Marriages & Families..., hal. 140.

36 Budhy Prianto, Nawang Warsi Wulandari, and Agustin Rahmawati, “Rendahnya Komitmen Dalam Perkawinan Sebagai Sebab Perceraian,” Jurnal Komunitas 5, no. 2 (2013): hal. 208–218.

37 Nijole V. Benokraitis, Marriages & Families..., hal. 141.

38 Achmad Yafik Mursyid, “Endonezya’daki Mushaf Basım Faaliyetlerinin Osmanlı Geleneksel Mushaflarıyla İlişkisi,” İlahiyat Tetkikleri Dergisi, 2020, https://doi.org/10.29288/ilted.684750.

(15)

11

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”

Salah seorang narasumber memberikan kesaksian terkait hal ini. Ia menyebut bahwa

dalam pernikahahan, diperluka adanya kasih sayang antara pasangan. “Orang Lombok, kalau

kawin lari, kemudian cerai, itu salah. Tergantung orangnya mengartikan perkawinan seperti apa. Tujuan pernikahan itu ya samawa (sakinah mawaddah wa rahmah),” tutur Awana.39 Lebih

lanjut, ia menyebut bahwa dalam Islam, tujuan dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Menurut Qur’an, tujuan penciptaan manusia yang

berpasang-pasangan adalah untuk kedamaian, cinta, dan kasih sayang, Dengan demikian, seyogianya keluarga dibangun atas dasar pernikahan, dan harus selalu mensyukuri pernikahan sebagai nikmat yang paling indah dari tuhan. Oleh karena itu, hendaklah keluarga juga dijadikan sebagai wadah untuk menggapai rida Tuhan.

Selain itu, bagi keluarga suku Sasak, pernikahan merupakan hal sakral. Dalam prosesi ijab kabul pernikahan terdapat suatu pernyataan kesanggupan kepada Tuhan untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan, serta kesanggupan untuk hidup bersama dalam kondisi apapun. Anggapan bahwa pernikahan itu merupakan suatu hal yang sakral dan melibatkan Tuhan di dalamnya, pada dasarnya dapat menolak tren sosial yang menjadikan perceraian sebagai solusi mudah untuk mengatasi konflik dalam keluarga.40 Dengan demikian,

pertimbangan kesakralan dari sebuah pernikahan dapat menjadi fondasi untuk pernikahan yang permanen.

Komitmen Terhadap Anggota Keluarga

Selain komitmen terhadap Tuhan, karakteristik lain dari komitmen keluarga suku Sasak adalah komitmen terhadap sesama anggota keluarga. Semua informan penelitian sepakat bahwasanya keluarga adalah hal yang utama. Mereka tidak akan membiarkan aspek-aspek kehidupan lainnya melemahkan komitmen mereka terhadap keluarga. Salah satunya Awana. Awana mengatakan bahwa anak juga menjadi prioritas utama ia bertahan dalam segala konflik rumah tangga dan situasi berat yang dialami. Berikut penuturannya :

39 Wawancara dengan Awana, 6 Maret 2020.

(16)

“Dan kita harus berpikir panjang, kalau sekiranya ada suatu keegoan masing-masing, kembalikan dia ke apa sih tujuan kita berumah tangga. Apakah rumah tangga untuk cerai atau apa? Ada anak-anak juga yang memotivasi kita hidup”.41

Anak memang kerap dijadikan alasan perempuan untuk bertahan dalam situasi keluarga yang tidak memungkinkan. Perempuan kerap berpikir jauh ke depan tentang kehidupan anak, sehingga hal tersebut menjadikan mereka bertahan dan bahkan mengurangi keegoan dalam konflik rumah tangga.42 Bagi Awana, anaknya menjadi alasan untuk bertahan

dalam segala kondisi, baik itu ketika terjadi konflik dengan suami maupun dalam tekanan ekonomi. Anaknya menjadi motivasinya untuk terus hidup dan berjuang. Awana juga tidak ingin anak mengalami hal yang sama seperti yang ia alami di awal pernikahan.

Hampir sama dengan Awana, Mirah juga menjadikan keluarga sebagai prioritas utama. Sudah 3 tahun Mirah ditinggal oleh suaminya untuk bekerja di luar negeri demi mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari dan untuk membangun rumah pribadi. Di desanya, pekerjaan sebagai TKI adalah pekerjaan yang paling menjanjikan secara finansial. Namun pasangan yang bekerja sebagai TKI rawan terhadap perselingkuhan dan perceraian, baik itu yang dilakukan oleh istri maupun suami.43 Walaupun demikian, hal ini tida Astri Hanjarwati,

“Building Resilience of Women Victim of Violence in Indonesia” (Diskusi Publik presented

at the Daya Tahan Dan Pemulihan Trauma Dalam Kehidupan Perempuan : Belajar Dari Amerika dan Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Oktober 2019).k terjadi bagi Mirah. Mirah memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan keluarganya. Ia selalu mengingat suaminya yang bersusah payah bekerja, sehingga menjadikannya tidak berniat untuk selingkuh dan taat kepada suami. Baginya, suami adalah pemimpin bagi keluarganya, seperti al-Qur’an surat an-Nisā’ ayat 34.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah 41 Wawancara dengan Awana, 6 Maret 2020.

42 Astri Hanjarwati, “Building Resilience of Women Victim of Violence in Indonesia” (Diskusi Publik presented at the Daya Tahan Dan Pemulihan Trauma Dalam Kehidupan Perempuan : Belajar Dari Amerika dan Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Oktober 2019).

43 Kurnia Novianti, “Analisis Trend Dan Dampak Pengiriman TKI: Kasus Dua Desa Di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat,” Jurnal Kependudukan Indonesia 5, no. 1 (2010): hal. 15–39; 44.

(17)

13

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka jangan lah kamu mencari-cari jalan untuk

menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Selain itu, Mirah juga kerap di nasihati oleh keluarganya untuk selalu menjaga diri. Keluarga juga yang mendukung Mirah untuk selalu bertahan.44

Habitus Perempuan Suku Sasak Dalam Keluarga

Perempuan memiliki posisi yang sangat lemah dalam budaya suku Sasak. Dominasi maskulinitas bukan hanya tergambar pada prosesi perkawinan adat merariq saja, melainkan juga terlembagakan sampai di ranah keluarga, agama, dan politik.45 Turner mengistilahkan

dominasi maskulinitas ini dengan istilah patriarki.46 Patriarki akan memunculkan diskriminasi

gender yang umumnya merugikan perempuan, baik berupa stereotip, subordinasi, marginalisasi, dan beban ganda. Perbedaan gender ini menciptakan pandangan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi di atas perempuan, seperti dalam al-Qur’an surat an-Nisa’

ayat 34. Perbedaan ini juga semakin diperkuat dengan otoritas agama yang berlaku.

Pemahaman agama masyarakat memang bisa dijadikan sebagai legitimasi dalam ideologi gender, terutama yang berkaitan dengan status ontologis berupa peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Tafsiran tentang perempuan sebagai makhluk nomor dua yang secara ontologis diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok merupakan salah satu bentuk stereotip yang mendapat justifikasi keagamaan.47 Ideologi gender memang

sangat kental dalam penulisan kitab suci. Agama mengatakan bahwa istri haruslah tunduk kepada suami. Padahal Allah yang Maha Adil tidak menciptakan yang demikian. Orientasi manusiawi (sosiologis) menutupi orientasi Illahi. Pandangan-pandangan ini begitu permanen dan termanifestasikan dalam kehidupan keseharian. Dalam praktis kehidupan rumah tangga, pandangan ini menjadi ideologi yang melatarbelakangi semua urusan dalam rumah tangga.48

Masyarakat memang tidak mudah membedakan antara ketentuan Allah yang sesungguhnya dengan konstruksi yang dibangun oleh manusia. Patriarki memang mampu untuk menaturalisasikan perbedaan, sehingga, menurut Bourdieu, inilah alasan patriarki

44 Wawancara dengan Mirah, 1 Maret 2020.

45 Maria Platt, “‘Sudah Telanjur’: Perempuan Dan Transisi Ke Perkawinan Di Lombok.”

46 Marcia C. Inhorn, Infertility and Patriarchy : The Cultural Politics of Gender and Family life in Egypt (United States of America: University of Pennsylvania Press, 1996), hal. 3.

47 Inayah Rohmaniyah, Gender & Konstruksi Patriarki Dalam Tafsir Agama (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, 2017), hal. 23.

48 A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya, Dan Keluarga, vol. 2 (Magelang: Indonesiatera, 2004), hal. 199.

(18)

mampu bertahan sampai sekarang.49 Bourdieu menyebut dominasi maskulinitas ini

merupakan kekerasan simbolik atau kekerasan yang tak kasat mata. Korban dari dominasi tersebut memang tidak melihat hal tersebut sebagai sebuah kekerasan, malah menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan alami. Ada proses yang bertanggungjawab atas perubahan dari sejarah menjadi seakan-akan sesuatu yang alamiah, dari budaya menjadi seakan-akan menjadi sesuatu yang sudah semestinya, kemudian menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang dikuasai oleh laki-laki, lalu diterima dan didukung oleh struktur sosio-budaya dan pengorganisasian masyarakat.50

Perempuan dengan stereotip yang disandangnya sebagai makhluk yang lemah dan emosional tidak diberikan ruang dan kesempatan untuk menjadi pemimpin dan menempati berbagai posisi strategis, baik di wilayah domestik maupun publik. Di wilayah domestik, perempuan sebagai ibu dan/atau istri sering tidak dilibatkan dalam berbagai keputusan strategis keluarga, karena pembuatan keputusan menjadi wewenang laki-laki/bapak sebagai kepala keluarga berdasarkan perintah dari Allah yang termaktub dalam al-Qur’an.51

Dalam keluarga suku Sasak, pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki yang berperan sebagai kepala keluarga. Sedangkan perempuan lebih cenderung tunduk pada keputusan suami. Perilaku tunduk yang dilakukan oleh perempuan Suku Sasak bisa disamakan dengan tindakan mengalah terhadap keputusan suami dan tidak memperdebatkannya. Hal ini dikarenakan perempuan tidak ingin terjadi konflik yang lebih panjang dalam keluarga yang bisa bermuara pada perceraian. Berikut salah satu penuturan

Awana: “Tapi ya kita gamau mementingkan ego, nanti ujung ujungnya kelahi juga”.52

Agama dan budaya memang kerap menjadi faktor munculnya suatu kebiasaan (habitus) yang melekat dalam diri seseorang, yang lambat laun akan menggumpal dalam pikiran yang kemudian mampu memunculkan makna, fungsi, dan nilai-nilai yang akan tetap untuk diikuti oleh agen. Hal ini termanifestasi dalam sikap perempuan suku Sasak untuk menerima posisi yang terdiskriminasi, mulai dari mengalah dalam pengambilan keputusan rumah tangga, beban ganda, dan posisi yang tersubordinasi dan termarginalisasi oleh laki-laki dalam arena keluarga.

49 Pierre Bourdieu, Masculine Domination (Sanford California: Stanford University, 1998), hal. 1.

50 Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian : Pemikiran Kritis Post-Strukturalis (Yogyakatra: PT Kanisius, 2016), hal. 57.

51 Inayah Rohmaniyah, Gender & Konstruksi..., hal. 26. 52 Wawancara dengan Awana, 6 Maret 2020.

(19)

15

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

Perilaku mengalah dan menerima posisi yang terdiskriminasi ini dilakukan oleh perempuan karena bagi mereka, keutuhan keluarga adalah sesuatu yang lebih penting dibandingkan dengan mendahulukan keegoan. Perilaku ini akan terus berulang pada perempuan setiap terjadi konflik dalam rumah tangga karena ingin mempertahankan keluarga dan tidak memperpanjang konflik dengan suami. Dengan demikian, perilaku seperti ini lambat laun akan menjadi kebiasaan (habitus) secara permanen bagi perempuan dalam arena. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Dalam proses perolehan keterampilan itu, struktur-struktur yang dibentuk berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas dan sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif.53 Perilaku mengalah dan taat kepada

suami yang dilakukan oleh perempuan dalam keluarga menjadi struktur yang distrukturkan kembali oleh perempuan setiap terjadi konflik baru dalam keluarga. Perilaku ini menjadi habitus yang tak kan pernah usai. Namun, penerimaan perempuan pada posisi yang terdiskriminasi inilah yang pada kenyataannya menjadikan keluarga suku Sasak tetap bertahan dan tanpa terjadi perceraian.

Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian secara saksama terkait praktik perkawinan adat merariq

suku Sasak Lombok dari berbagai literatur serta analisis terhadap data yang diperoleh, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam keluarga suku Sasak hanya ada dua aspek harmoni yang muncul, yaitu komitmen pernikahan berupa komitmen terhadap Allah dengan anggapan bahwa pernikahan adalah suci dan komitmen terhadap sesama anggota keluarga dengan mengutamakan anggota keluarga di atas segalanya. Selain itu aspek harmoni yang kedua yaitu kesejahteraan spiritual yang ditandai dengan pengamalan ajaran Islam dalam keseharian.

Habitus perempuan suku Sasak dalam upaya mempertahankan keluarganya adalah dengan menerima posisinya yang terdiskriminasi dalam keluarganya. Saat terjadi konflik dalam keluarga, perempuan lebih memilih untuk mengalah dan tidak memperpanjang masalah dengan tujuan untuk menghindari konflik yang lebih serius yang berdampak pada

(20)

keutuhan keluarga. Hal ini akan terus berulang setiap terjadi konflik baru dalam keluarga sehingga perilaku ini menjadi semacam habitus bagi perempuan suku Sasak.

Daftar Pustaka

A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya, Dan Keluarga, vol. 2 Magelang: Indonesiatera, 2004.

Amilia, Fatma, Zusiana Elly, and Samsudin. “Reinterpretasi Tradisi Merariq (Kawin Lari) Sebagai Resolusi Konflik Adat (Studi Pemikiran Tokoh Agama Dan Tokoh Adat Di

Ntb).” Istinbath 16, no. 2 (December 25, 2017):

Aniq, Ahmad Fathan. “Potensi Konflik Pada Tradisi MerariqDi Pulau Lombok,” Al-Qalam

28, no. 3 2011.

Ariany, Farida. “Adat Kawin Lari ‘Merariq’ Pada Masyarakat Sasak (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Tengah),” Jurnal Sangkareang Mataram 3, no. 3 September 2017.

Bacchiocchi, Samuele “The Marriage Covenant,” April 5, 2000, Endtime Issues No.

42 edition.

Baihaqi, Imam. “Lombok Pulau Janda,” Mei 2017, accessed April 10, 2020,

https://www.kompasiana.com/imam_baihaqi/592253b5549773470c73e856/lomb ok-pulau-janda.

Bartholomew, John Ryan. Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, trans. Imron Rosidi, 1st ed. Yogyakatra: Tiara Wacana, 2001.

Benokraitis, Nijole V. Marriages & Families : Changes, Choices, and Constraints, Seventh United States of America: Pearson Education, 2011.

Bourdieu, Pierre. Masculine Domination Sanford California: Stanford University, 1998.

Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice, trans. Richard Nice California: Stanford University, 1990. Budhy Prianto, Nawang Warsi Wulandari, and Agustin Rahmawati, “Rendahnya Komitmen

Dalam Perkawinan Sebagai Sebab Perceraian,” Jurnal Komunitas 5, no. 2 2013. Fajriyah, Iklilah Muzayyanah Dini. “Merariq Adat as Means to End Child Marriage: Rights

and Vulnerability of Girls” 21, no. 1 2016.

Fitrianita, Titi. Siti Kholifah, and Rabiatul Adawiyah, “Perempuan Nyurlembang Dalam Tradisi Merarik,” SIMULACRA 1, no. 2 November 2018

Hanjarwati, Astri. “Building Resilience of Women Victim of Violence in Indonesia” Diskusi

Publik presented at the Daya Tahan Dan Pemulihan Trauma Dalam Kehidupan Perempuan : Belajar Dari Amerika dan Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Oktober 2019.

(21)

17

M. Ardi Kusumawardana

Vol. 21, No. 2 (Juli 2020)

Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian : Pemikiran Kritis Post-Strukturalis Yogyakatra: PT Kanisius, 2016.

Inhorn, Marcia C. Infertility and Patriarchy : The Cultural Politics of Gender and Family life in Egypt

United States of America: University of Pennsylvania Press, 1996.

Mursyid, Achmad Yafik. “Endonezya’daki Mushaf Basım Faaliyetlerinin Osmanlı Geleneksel Mushaflarıyla İlişkisi.” İlahiyat Tetkikleri Dergisi, 2020. https://doi.org/10.29288/ilted.684750.

———. “RESEPSI ESTETIS TERHADAP AL-QUR’AN (Implikasi Teori Resepsi Estetis

Navid Kermani Terhadap Dimensi Musikalik Al-Qur’an).” Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga, 2013.

Nick Stinnett, Nick. et al., Fantastic Families : 6 Proven Steps to Building a Strong Family New York: Howard Books, 1999.

Novianti, Kurnia “Analisis Trend Dan Dampak Pengiriman TKI: Kasus Dua Desa Di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat,” Jurnal Kependudukan Indonesia 5, no. 1 2010.

Pierre Bourdieu, Pierre. Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Budaya, trans. Yudi Santosa, 2nd ed. Bantul: Kreasi Wacana, 2012.

Platt, Maria. “‘Sudah Telanjur’: Perempuan Dan Transisi Ke Perkawinan Di Lombok,” Jurnal Studi Pemuda 1, no. 2 September 2012.

Putro, Widodo Dwi. “Perselisihan Sociological Jurisprudence Dengan Mazhab Sejarah Dalam Kasus Merarik : Kajian Putusan Nomor 232/Pid.B/2008/PN.Pra,” Jurnal Yudisial 6, no. 1 April 2013.

Rini, Citra Listya. “Tingkat Perceraian Di NTB Sangat Tinggi,” October 11, 2016, accessed

April 10, 2020,

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/10/11/oew2av299-tingkat-perceraian-di-ntb-sangat-tinggi.

Ritzer, George. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Rohmaniyah, Inayah. Gender & Konstruksi Patriarki Dalam Tafsir Agama Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, 2017.

Rosdiana, Arman, and Andi Muh. Multazam, “Praktik Merariq Pada Masyarakat Sasak Di

Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat,” Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia 1, no. 3 2018.

Salam, Solichin Lombok Pulau Perawan Jakarta: Kuning Mas, 1992.

Sipayung, Hendra. Menantu VS Mertua : Trik Ampuh Membina Hubungan Baik Antara Menantu Dan Mertua Jakarta: Alex Media Komputindo, 2010.

(22)

SUARANTB.com, “Tinggi, Angka Pernikahan Dini Dan Perceraian Di Lobar,” July 28,

2017, accessed April 10, 2020,

https://www.suarantb.com/lombok.barat/2017/07/242748/Tinggi,Angka.Pernika han.Dini.dan.Perceraian.di.Lobar/.

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods) Bandung: Alfabeta, 2012.

Sulkhad, Kaharuddin. Merarik Pada Masyarakat Sasak : Sejarah, Proses, dan Pandangan Islam

Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.

Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat Jakarta: Depdikbud, 1995.

Tina Afiatin, and DKK, Kontroversi Adat Pernikahan Merariq Dalam Budaya Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat.

Tina Afiatin, Tina and DKK, Psikologi Perkawinan Dan Keluarga : Penguatan Keluarga Di Era Digital Berbasis Kearifan Lokal Sleman: Kanisius, 2018.

Wawancara dengan Awana, 6 Maret 2020. Wawancara dengan Mirah, 1 Maret 2020.

(23)

URNAL STUDI ILMU ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS is a journal that is

J

administered by the Department of the Qur'anic Studies, Faculty of

Usuluddin and Islamic Thought, State Islamic University (UIN) Sunan

Kalijaga.

URNAL STUDI ILMU ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS is peer-reviewed

J

journal that aims to encourage and promote the study of the Qur’an and

designed to facilitate and take the scientific work of researchers, lecturers,

students, practitioner and so on into dialogue. The journal contents that discuss

various matters relate to the Qur’anic Studies, the Exegesis Studies, the Living

Qur’an, the Qur’an and Social Culture, thoughts of figures about the Qur'anic

Studies, the Exegesis Studies and so on; Similarly, matters relating to the Hadith,

the Hadith Studies, Living Hadith, Hadith and Social Culture, thoughts of figures

about hadith and so on.

URNAL STUDI ILMU ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS was first

J

published by the Department of Qur’an Hadith Studies of the Faculty of

Usuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta in July December 2000 and

published twice within one year i.e. January and July.

Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelusuran penulis, isu-isu gender dalam buku Tafsir Nusantara tidak hanya membahas pernyataan-pernyataan Abd Al- Rauf Singkel dan Quraish Shihab, tapi

1) Hukum yang secara tegas ditetapkan di dalam al-Qur‟ân, hadîts dan ijmâ‟ sahabat adalah wajib, haram, dan mubah. Tidak ada ruang bagi akal untuk terlibat

Berdasarkan olahan data statistik penelitian yang telah dijabarkan diatas, penelitian ini dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: a) terdapat pengaruh

Setelah mengurai dan menganalisis juga mencermati pemaparan di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan di antaranya; Pertama, bahwa pendidikan yang melahirkan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikembangkan di atas, maka perumusan masalah yang dirumuskan oleh penulis adalah “Apakah Return on Investment, Earning per Share,

diarahkan pada penguasaan mahasiswa terhadap materi perkuliah yang ada dalam berbagai literatur tersebut dangan menerapkan proses pembelajaran barbasis literutur

Hasil dari berbagai telaah literatur ini akan digunakan untuk mengidentifikasi potensi dari model flipped classroom berbasis living values education program sebagai

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa bagi hasil yang di berikan kepada nasabah yang mana segala sesuatu yang dilakukan BMT baik dalam mengeluarkan produk