• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Pencahayaan Alami dalam Efi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Optimalisasi Pencahayaan Alami dalam Efi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Optimalisasi Pencahayaan Alami dalam Efisiensi Energi di Perpustakaan UGM

Tri Hesti Milaningrum

Mahasiswa, Program S2 Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract

Lighting is very important in supporting human activities. Poor lighting quality can disturb visual comfort. Library requires good lighting quality so that residents do not have health problems, especially eyestrain problem. However, to achieve good lighting levels result in excessive energy consumption of the building, need to optimizing of daylighting. Daylighting quality is influenced by the distribution of the light coming in through the windows and building orientation. To maximize daylighting needs controls to reduce heat and glare radiation received in the building. UGM Main Library is designed to fulfill the standards of Green Building where design follows the adaptation of tropical buildings such as building orientation, use of shading, material selection, and use energy saving principles such as the use of light sensors on the lights. The purpose of this paper is to study the visual comfort evaluation of the optimizing of daylighting with energy efficiency considerations to the locus of UGM Main Library. Evaluation can be done by measuring illumination with luxmeter then compared to SNI’s standard lighting, simulating natural lighting contour, the identification of the elements that affect the daylighting, daylighting design characteristics at UGM Central Library as well as the perception of the users to get an overview of visual comfort.

Keywords: daylighting; visual comfort; library; energy efficiency

1. Latar Belakang

Pencahayaan merupakan bagian penting dari bangunan dalam menunjang peroduktivitas kerja manusia. Pencahayaan buruk dapat mengganggu aktivitas manusia yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan khususnya gangguan mata. Desain bangunan harus mempertimbangkan fungsi dan kebutuhan agar penghuni dapat merasa nyaman. Pencahayaan yang baik menciptakan kenyamanan visual. Tingkat pencahayaan yang baik dapat dicapai dengan pemanfaatan pencahayaan alami dan buatan. Namun dengan Indonesia yang terletak di iklim tropis dengan penerimaan cahaya matahari berlebih, maka pencahayaan alami dioptimalkan. Tersedianya pencahayaan alami secara optimal sangat diinginkan karena memenuhi dua kebutuhan dasar manusia: kebutuhan visual untuk melihat baik bidang kerja maupun ruangan dan untuk mengalami stimulasi lingkungan dari efek pencahayaan tersebut (Boyce, 1998 dalam IEA, 2000 dalam Thojib dan Adhitama, 2013). Optimalisasi pencahayaan alami dipengaruhi oleh distribusi cahaya matahari yang masuk ke dalam

ruangan yang tergantung pada lebar dan orientasi bukaan.

Selain untuk mencapai kenyamanan visual, optimalisasi pencahayaan alami dapat mereduksi pemakaian energi bangunan. Suatu bangunan tinggi perkantoran yang tipikal, proporsi penggunaan energi umumnya meliputi 55% untuk sistem tata udara (air conditioning), 25% untuk sistem tata cahaya (lighting) dan 20% sisanya untuk peralatan lainnya (lift, pompa, peralatan elektronik, dan lain-lainnya) (Gw dan Kusumo, 2011). Data tersebut menunjukkan bahwa sistem tata cahaya memiliki kontribusi energi terbesar kedua setelah sistem tata udara. Besarnya energi yang dihasilkan oleh sistem tata udara juga akibat dari serapan kalor yang diterima dari radiasi matahari. Semakin lebar bukaan, semakin besar kalor yang diterima yang mengakibatkan sistem tata udara bekerja ekstra. Sehingga perlu adanya kontrol untuk mengendalikan intensitas cahaya yang masuk. Selain mempertimbangkan lebar bukaan dan orientasi bukaan, pemilihan material selubung bangunan juga penting karena material bangunan memiliki kemampuan untuk menyerap dan memantulkan cahaya.

Perpustakaan membutuhkan tingkat kenyamanan pencahayaan alami yang memadai agar pengguna di dalamnya dapat melakukan aktivitas dengan lancar dan memiliki produktivitas kerja yang baik. Kenyamanan visual dapat tercapai jika poin-poin kenyamanan visual teraplikasikan secara optimal antara lain dengan kesesuaian rancangan dengan standar terang yang Tri Hesti Milaningrum

Mahasiswa Program S2 Arsitektur

Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

(2)

direkomendasikan dan penataan layout ruangan yang sesuai dengan distribusi pencahayaan. Perpustakaan merupakan salah satu jenis gedung komersial yang penggunaan energinya besar. Hal ini disebabkan oleh tuntutan pelayanan yang baik kepada pengunjung, meliputi keindahan ruangan (sistem pencahayaan), kenyamanan udara (sistem tata udara), kelengkapan fasilitas dan lain – lain, yang secara keseluruhan merupakan komponen pendukung pelayanan. Predikat atau rangking perpustakaan berdasarkan hasil sertifikasi bangunan hijau dapat dijadikan sebagai tambahan dorongan pengembangan green campus di UGM. Perpustakaan UGM dirancang dengan memenuhi standar Green Building dimana desainnya mengikuti adaptasi dari bangunan tropis seperti orientasi bangunan, penggunaan shading, pemilihan material, dan menggunakan prinsip hemat energi seperti pemakaian sensor cahaya pada lampu. Munanda (2014) mengatakan bahwa jumlah konsumsi keseluruhan bangunan Perpustakaan Pusat UGM Gedung L1 adalah sebesar 951,98 GJ per tahun. Konsumsi energi paling besar adalah pada sistem tata udara yaitu sebesar 561,43 GJ. Sistem tata cahaya mengkonsumsi energi sebesar 64,61 GJ dan konsumsi peralatan listrik sebesar 325,94 GJ. Nilai Intensitas Konsumsi Energi (IKE) bangunan Perpustakaan Pusat UGM Gedung L1 sebesar 49,52 kWh/m2/tahun atau sekitar 4,127 kWh/m2/bulan. Berdasarkan Nilai Standar IKE bangunan ber-AC, Perpustakaan Pusat UGM berada di kategori sangat efisien (4,17-7,92 kWh/m2/bulan). Dengan adanya data tersebut, maka perlu adanya evaluasi dari segi kenyamanan visual dengan mengukur iluminasi dengan luxmeter kemudian dibandingkan dengan standar pencahayaan ruang berdasarkan SNI, simulasi kontur pencahayaan alami, identifikasi elemen-elemen yang mempengaruhi pencahayaan alami, karakteristik rancangan pencahayaan alami di Perpustakaan Pusat UGM serta persepsi pengguna untuk mendapatkan gambaran kenyamanan visual dan juga rekomendasi rancangan pencahayaan.

2. Landasan Teori 2.1. Pencahayaan Alami

Cahaya didefinisikan sebagai bagian dari spektrum elektromagnetik yang sensitif bagi penglihatan mata manusia. 1 Panjang gelombang cahaya yang kasat mata adalah berkisar antara 380–750 nm. Cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan dapat dibedakan menjadi tiga (Szokolay et al, 2001), yaitu:

1. Cahaya matahari langsung; 2. Cahaya difus dari terang langit;

3. Cahaya difus dari pantulan tanah atau bangunan.

2.1.1. Faktor – faktor Pencahayaan Alami

Faktor pencahayaan alami siang hari adalah perbandingan tingkat pencahayaan pada suatu titik dari suatu bidang tertentu di dalam suatu ruangan terhadap tingkat pencahayaan bidang datar di lapangan terbuka

yang merupakan ukuran kinerja lubang cahaya ruangan tersebut. Faktor pencahayaan alami siang hari terdiri dari 3 komponen meliputi:

1. Sky component (SC), yaitu komponen pencahayaan langsung dari cahaya langit;

2. Externally reflected component (ERC), yaitu komponen pencahayaan yang berasal dari refleksi benda-benda yang berada di sekitar bangunan yang bersangkutan;

3. Internally reflected component (IRC), yaitu komponen pencahayaan yang berasal dari refleksi permukaan-permukaan dalam ruangan.

2.1.2. Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan Secara umum, cahaya alami didistribusikan ke dalam ruangan melalui bukaan di samping (side lighting), bukaan di atas (top lighting), atau kombinasi keduanya. Tipe bangunan, ketinggian, rasio bangunan dan tata massa, dan keberadaan bangunan lain di sekitar merupakan pertimbangan – pertimbangan pemilihan strategi pencahayaan (Kroelinger, 2005).

Sistem pencahayaan samping (side lighting) merupakan sistem pencahayaan alami yang paling banyak digunakan pada bangunan. Selain memasukkan cahaya, juga memberikan keleluasaan view, orientasi, konektivitas luar & dalam, dan ventilasi udara. Posisi jendela di dinding dapat dibedakan menjadi 3: tinggi, sedang, rendah, yang penerapannya berdasarkan kebutuhan distribusi cahaya dan sistem dinding. Strategi desain pencahayaan samping yang umum digunakan antara lain:

Gambar 1. Tiga Komponen Cahaya Langit yang sampai

pada Suatu Titik di Bidang Kerja

(sumber: SNI 03-2001, Tata Cara Sistem Pencahayaan

(3)

• Single side lighting, bukaan di satu sisi dengan intensitas cahaya searah yang kuat, semakin jauh jarak dari jendela intensitasnya semakin melemah

• Bilateral lighting, bukaan di dua sisi bangunan sehingga meningkatkan pemerataan distribusi cahaya, bergantung pada lebar dan tinggi ruang, serta letak bukaan pencahayaan.

• Multilateral lighting, bukaan di beberapa lebih dari dua sisi bangunan, dapat mengurangi silau dan kontras, meningkatkan pemerataan distribusi cahaya pada permukaan horizontal dan vertikal, dan memberikan lebih dari satu zona utama pencahayaan alami.

• Clerestories, jendela atas dengan ketinggian 210 cm di atas lantai, merupakan strategi yang baik untuk pencahayaan setempat pada per mukaan horizontal atau vertikal. Perletakan bukaan cahaya tinggi di dinding dapat memberikan penetrasi cahaya yang lebih dalam ke dalam bangunan.

• Light shelves, memberikan pembayangan untuk po sisi jendela sedang, memisahkan kaca untuk pandangan dan kaca untuk pencahayaan. Bisa berupa elemen eksternal, internal, atau kombinasi keduanya.

• Borrowed light, konsep pencahayaan bersama antar dua ruangan yang bersebelahan, misalnya pencahayaan koridor yang didapatkan dari partisi transparan ruang di sebelahnya.

Untuk mengetahui berapa banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan sebagai acuan memenuhi syarat atau tidak, dan bagaimana mengukurnya maka dapat menggunakan alat Luxmeter di setiap sudut ruangan yang di uji.

Diagram matahari memberikan informasi mengenai azimuth dan tinggi matahari pada segala waktu di sepanjang tahun. Kemiringan poros bumi tetap, belahan bumi utara akan menghadap matahari pada bulan Juni dan belahan bumi selatan akan menghadap matahari bulan Desember. Kondisi – kondisi yang ekstrIm akan terjadi pada tanggal 21 Juni ketika kutub utara berada paling dekat dengan arah matahari dan pada tanggal 21 Desember dimana kutub utara berada pada posisi terjauh dari matahari. Pada tanggal 21 September dan 21 Maret matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa (Lechner, 2007). Sehingga waktu yang paling efektif dalam melakukan uji pengukuran sinar matahari adalah 3 (tiga) jam sebelum pukul 12.00, pukul 12.00, dan setelah pukul 12.00.

2.2. Efisiensi Energi dari Segi Pencahayaan Alami D.K Ching (1999) yang mengatakan :

“Sebuah bukaan dapat diorientasikan untuk menerima

cahaya matahari secara langsung. Pengaruh – pengaruh yang mungkin sangat menentukan dari cahaya matahari langsung seperti halnya dengan perasaan silau dan rasa panas yang amat sangat dapat dikurangi dengan alat-alat pelindung yang dibuat menjadi bentuk bukaan atau dibentuk dari pembayangan pohon-pohon di dekatnya

atau struktur-struktur disebelahnya”. Pendapat tersebut memperjelas bahwa pencahayaan alami dapat dimanfaatkan tanpa harus membawa panasnya ke dalam ruangan.

2.2.1. Strategi Desain Optimalisasi Pencahayaan Alami (Ching, 1999 dalam Tirta, 2011) a. Orientasi bangunan dan arah lintasan matahari

Orientasi bangunan yang baik yaitu mengarah pada arah utara-selatan karena mendapatkan sinar matahari yang paling konsisten sepanjang hari dan tahun sehingga ruangan tidak akan mendapatkan panas yang berlebih.

Tabel 1. Orientasi Bangunan terhadap Matahari

Arah bukaan Barat - Timur

Arah bukaan Utara - Selatan • Daerah terkena radiasi

luas

• Daerah terkena radiasi relatif kecil

• Beban pendinginan besar • Beban pendinginan kecil

• Cahaya langsung

menimbulkan sengat dan silau

• Cahaya alami tidak langsung

• Daerah terkena radiasi luas

• Daerah terkena radiasi relatif kecil

Sumber: Eddy, 2004

b. Jenis dan Tipe Bukaan

Prinsipnya semakin besar bukaan atau jendela maka semakin banyak cahaya dari luar yang masuk ke dalam ruangan. Disamping itu, jenis dan variasi tipe bukaan juga dapat menentukan banyaknya cahaya yang masuk.

c. Perlindungan Matahari (Shading)

Perlindungan matahari pada bangunan bertujuan untuk mengurangi intensitas radiasi matahari yang masuk kedalam ruangan. Beberapa elemen yang dapat dijadikan pelindungan matahari antara lain vegetasi, sirip vertikal, sirip horisontal dan kaca pelindung matahari. Sirip horizontal baik digunakan untuk posisi matahari tinggi seperti fasad utara, selatan, barat daya, tenggara, barat laut dan timur laut. Sedangkan sirip vertikal akan efektif jika diletakkan pada posisi matahari rendah seperti bagian fasad barat, barat daya atau barat laut, timur, dan tenggara.

Gambar 2. Sirip Horizontal dan Vertikal

(sumber: Daylighting: Architecture and Lighting Design ,

(4)

Dari gambar terlihat bahwa eksterior shading dapat mengurangi kontribusi panas 90% - 95%. Alat pengontrol sinar alami dapot memasukan sinar sesuai dengan yang diinginkan dan mengeliminer sinar yang berlebihan. Terdapat shading dinamis (dapat diatur/ bergerak) dan statis (tidak dapat diatur/ permanen). Shading statis kurang baik dalam penyesuaian terhadap kondisi langit, sedangkan yang dinamis lebih mudah menyesuaikan terhadap kondisi langit, efisiensi perancangan tinggi, namun membutuhkan perawatan khusus (pembersihan).

d. Mengarahkan Sinar Matahari

Membiaskan cahaya matahari yang masuk kedalam bangunan agar ruangan tidak menjadi silau akibat sinar matahari langsung. Beberapa cara mengarahkan sinar matahari yaitu :

(a) Memantulkan cahaya melalui lantai/ balkon

(b) Memantulkan cahaya melalui langit-langit ruangan dan sirip

e. Aplikasi Solar Panel pada Selubung Bangunan Solar Panel atau Sel Surya merupakan pengembangan bahan semi-konduktor yang dapat mengubah energi surya menjadi energi listrik. Sel surya terdiri dari lapisan mikro tipis yang terdapat kabel filament di setiap lapisannya. Modul – modul sel surya apabila digabungkan akan menjadi satu unit solar panel dimana satu panel terdiri dari 36 sel surya. Sel Surya dapat beroperasi secara maximum jika temperatur sel tetap normal (pada 25° C), kenaikan temperatur lebih tinggi dari temperatur normal pada sel akan melemahkan voltage (Voc). Orientasi dari rangkaian sel surya ke arah matahari secara optimum penting agar dapat menghasilkan energi maksimum. Selain arah orientasi, sudut kemiringan (tilt angle) dari panel/deretan sel surya juga sangat memengaruhi hasil energi maksimum. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Bidang Konversi Energi BPPT menemukan bahwa kemiringan panel untuk mendapatkan energi optimal adalah 10° untuk orientasi utara dengan bentuk atap satu arah, dan 25° untuk orientasi timur-barat dengan bentuk atap dua arah. Sinar matahari jatuh ke sebuah permukaan panel secara tegak lurus akan mendapatkan energi maksimum ± 1000 W/m2 atau 1 kW/m2. Fungsi solar panel umumnya diintegrasikan pada atap, dinding dan fungsi struktur pembayangan pada bangunan (Bonifacius, 2012:39). Terkait fungsi struktur pembayangan (shading), efek yang signifikan berupa reduksi beban pendinginan jendela dan dinding beton, serta penghematan energi sebanyak dua kali nilai maksimum daya listrik yang dihasilkan oleh modul panel surya standar didapat dari integrasi ini (Lianliang Sun, dkk, 2011:7).

2.3. Kenyamanan Visual pada Manusia

Pencahayaan mengandung aspek kuantitas (intensitas cahaya) dan kualitas (warna kesilauan). Kesilauan dapat terjadi secara langsung (tersorot

Gambar 3. Perbandingan Penggunaan Shading

(sumber: Eddy, 2004)

Gambar 4. Cara Mengarahkan Sinar Matahari

(sumber: Form, Space & Order (D.K. Ching, 1999)

Gambar 5. Contoh Desain yang Mengintegrasikan Solar

Panel dan Shading

(sumber: www.gabreport.com, diakses 13 Juni 2015

(5)

lampu) maupun tidak langsung (pantulan). Terlalu banyak cahaya akan menyebabkan pupil mata mengecil terlalu lama, sehingga mata lelah. Terus menerus berada di tempat bercahaya sama merugikannya dengan terus menerus di tempat gelap karena irama gelap-terang membantu pengendalian suhu tubuh serta sekresi hormon ke darah. Manusia menyukai lingkungan yang terang. Pada kumpulan manusia, mereka akan menyukai penerangan yang relatif merata, dan menghindari area yang terlalu terang. Pada umumnya manusia lebih suka berada di tempat redup dan memandang ke tempat yang terang, daripada sebaliknya.

2.3.1. Standar Kebutuhan Iluminasi

lluminansi yang diperlukan sangat bervariasi tergantung dari rumit tidaknya kerja visual. Semakin rumit kerja visual, semakin dibutuhkan iluminansi yang lebih besar.

Dasar pemikiran untuk konsep perancangan sistem penerangan pencahayaan adalah pemenuhan tingkat intensitas terang yang memenuhi syarat untuk tiap-tiap ruang.

Setiap ruang kegiatan memiliki standar kuat penerangan (illumination) yang berbeda-beda sesuai dengan kegiatan yang berlangsung di dalamnya.

Standar terang langit minimal (untuk kegiatan kerja seperti mengetik, menghitung dengan kalkulator dan lain- lain) adalah 3000 lux, dengan daylight factor (perbandingan terang langit di dalam dan di luar ruang) sebesar 4%. Pencahayaan alami ini sering berubah-ubah kualitas maupun kualitasnya. Selain itu untuk kasus ruang tertentu cahaya alami mempunyai keterbatasan untuk masuk, dan keterbatasan pemerataan kuat penerangan dalam ruang, sehingga pencahayaan buatan merupakan suatu hal yang mutlak.

Perancangan pencahayaan yang baik harus diperuntukkan tidak hanya mempertimbangkan tampilan visual, tetapi juga untuk kebutuhan biologis manusia akan cahaya yang juga berhubungan dengan gaya hidup dan kebudayaan.

Menurut William Lam (dalam Sihombing, 2008) beberapa kebutuhan biologis manusia terhadap cahaya adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan akan Orientasi Spasial

Sistem pencahayaan harus dapat membantu menunjukkan tempat dan arah.

2. Kebutuhan akan Orientasi Waktu

Sistem pencahayaan harus dapat memberikan feedback akan jalannya waktu yang dibutuhkan oleh jam internal dalam tubuh manusia.

3. Kebutuhan untuk Mengerti Bentuk Struktur Kebutuhan untuk mengerti bentuk fisik dapat dikacaukan oleh pencahayaan yang bertentangan dengan realita fisik, dengan kegelapan yang pekat, maupun dengan penerangan tersebar yang meratakan penampilan objek.

4. Kebutuhan untuk Fokus pada kegiatan

Pencahayaan dapat membantu membentuk susunan kegiatan dan dengan memberikan penerangan lebih pada area kegiatan yang paling relevan.

5. Kebutuhan untuk Ruang Personal

Cahaya dan daerah gelap pada ruang besar dapat membantu mendefinisikan ruang personal bagi setiap individu.

6. Kebutuhan untuk Ruang yang Menyenangkan Suatu ruang terasa muram bila diharapkan terang, namun ternyata tidak. Maka kombinasi dari cahaya

Tabel 2. Kebutuhan Iluminansi Berdasarkan Aktivitas

(Sumber : Satwiko, 2004)

Tabel 3. Persyaratan Tingkat Pencahayaan Dalam Ruangan

(Sumber : SNI 03, 2000)

(Sumber : Satwiko, 2004)

(6)

langsung, tidak langsung langsung, tidak langsung dan aksentuasi cahaya dapat menciptakan rancangan yang menarik dan menyenangkan. 7. Kebutuhan untuk Masukan Visual yang

Menarik

Ruang yang membosankan tidak langsung terlihat menarik hanya dengan meningkatkan level cahaya. 8. Kebutuhan akan Susunan pada Lingkungan

Visual

Saat order diharapkan namun tidak didapatkan maka akan terlihat kekacauan.

9. Kebutuhan untuk Keamanan

Kegelapan merupakan keadaan dimana informasi visual yang diterima oleh otak sangat kurang. Pada

situasi yang dirasa membahayakan, kekurangan informasi menyebabkan ketakutan.

Dalam menentukan kategori nyaman dan tidak nyaman selain dengan mengukur intensitas cahaya suatu ruangan yang disesuaikan dengan standar kebutuhan cahaya ruangan yang sudah ditentukan SNI, persepsi penghuni ruangan sangat penting untuk dipertimbangkan. Perbedaan persepsi pasti akan terjadi antara penghuni satu dengan lainnya karena kondisi tubuh dan metabolisme setiap manusia berbeda – beda. Selain itu untuk kasus ruang tertentu cahaya alami mempunyai keterbatasan untuk masuk, dan keterbatasan pemerataan kuat penerangan dalam ruang, sehingga pencahayaan buatan merupakan suatu hal yang mutlak.

3. Review Penelitian Sejenis 3.1. Pemetaan Tema Penelitian

Review beberapa penelitian dengan topik bahasan yang sejenis dilakukan sebagai studi literatur, dan mengetahui topik bahasan penelitian yang sudah

dilakukan sehingga didapatkan gap teoritik dan menemukan celah penelitian untuk topik bahasan penelitian selanjutnya.

Tabel 5. Pemetaan Tema Penelitian Tahun

Penelitian Tema Judul Penelitian Peneliti

2008 Evaluasi Intensitas Cahaya

Studi Pemanfaatan Pencahayaan Alami Pada Beberapa Rancangan Ruang Kelas Perguruan Tinggi Di Medan

Ferry Anderson Sihombing

Modifikasi Selubung Bangunan

Optimasi Kinerja Panel Surya dengan Pengaturan Panel sebagai Sun Shading untuk Menekan Biaya Listrik Bangunan. Tesis.

Karlina Romasindah

2009 Modifikasi Bukaan Bangunan

Pengaruh Kombinasi Desain Skylight dan Ventilasi Atap terhadap Kenyamanan pada Pengembangan Rumah Sederhana Tanpa Bukaan Samping (Studi Kasus : Perumahan Pamulang Permai II Tipe 21 di Tangerang)

Sri Kurniasih

2010 Konsep Efisiensi Energi Efisiensi Energi dalam Rancang Bangunan Teti Handayani

2011 Pengaruh Konfigurasi Ruang

Studi Evaluasi Pencahayaan Alami pada Gedung Kuliah Bersama III Universitas Muhammadiyah Malang

Ode Rapija Gw, Beta Suryo Kusumo

Efisiensi Energi dengan Pendekatan Penghawaan dan Pencahayaan Alami

City Hotel dengan Pendekatan Efisiensi Penggunaan

Energi Listrik di Kawasan Glodok Jakarta Daniel Tirta

2013 Evaluasi Kenyamanan dari Persepsi Pengguna

Kenyamanan Visual Melalui Pencahayaan Alami pada Kantor: Studi Kasus Kantor Dekanat Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang

Jusuf Thojib, Muhammad Satya Adhitama

Pengaruh Selubung Bangunan

Pengaruh Desain Fasade Bangunan Terhadap Kondisi Pencahayaan Alami dan Kenyamanan Termal (Studi Kasus: Campus Center Barat ITB)

Rizki Fitria Madina, Annisa Nurrizka, Dea Ratna Komala

Pengaruh Bukaan Bangunan Pengaruh Bukaan Bangunan terhadap Pencahayaan Alami Bangunan Tropis Indonesia

Syahriana Syam, Syarif Beddu & M. Sulaiman Syawal

Modifikasi Bukaan dan Selubung Bangunan

Pengaruh Integrasi Pencahayaan Alami pada Sistem

Pencahayaan terhadap Efisiensi Energi Moch. Rahmat Syahrullah

2015 Pengaruh Selubung Bangunan Pengaruh Fasade Bangunan terhadap Pencahayaan Alami pada Laboratorium Polteknik Negeri Malang

Adila Bebhi Sushanti, Jusuf Thojib, Damayanti Asikin

(7)

Tabel 5 berisi beberapa judul penelitian yang telah dilakukan dengan memetakan berdasarkan tahun kemudian dikelompokkan lagi dengan tema yang lebih umum.

3.2. Pembahasan Kelompok Tema Umum 3.2.1. Elemen Faktor Pencahayaan Alami

Pemanfaatan pencahayaan alami merupakan salah satu strategi dalam arsitektur tropis dimana desain berfokus kepada pemecahan problematik iklim tropis. Kondisi iklim tropis ternyata tidak seluruhnya sesuai dengan kebutuhan manusia dalam rangka memenuhi kenyamanan fisiknya, sehingga perlu suatu solusi yang sistematik terhadap permasalahan arsitektur tropis terutama berkaitan dengan kenyamanan pengguna bangunan. Faktor – faktor bioklimatik menjadi salah satu unsur penting dalam perencanaan arsitektur tropis, seperti temperatur, kelembaban udara, kecepatan dan arah aliran udara, tingkat dan kualitas pencahayaan serta tingkat bising. Arsitektur seharusnya merespon alam dengan mencoba untuk mengoptimalkan elemen-elemen bangunan sebagai climate modifier dan dalam perancangannya juga mempertimbangkan kondisi – kondisi lingkungan yang cukup berpengaruh dalam zona kenyamanan.

Penelitian Syam, dkk (2013) fokus pada pengaruh sistem fenestrasi (bukaan) terhadap pencahayaan alam dalam ruang. Peneliti mengidentifikasi climate modifier bangunan terutama pada passive solar design, kemudian mengkategorisasi elemen-elemen bangunan. Pengujian intensitas cahaya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh bukaan terhadap cahaya yang masuk dengan membandingkan intensitas cahaya beberapa ruang yang telah diidentifikasi terlebih dahulu elemen bangunannya. Parameter besar pencahayaan alami yang masuk ke dalam bangunan

adalah Daylight Factor (DF), dapat didefinisikan rasio iluminasi cahaya matahari dalam bangunan terhadap cahaya di luar. Secara normal, daylight factor akan tergantung pada bentuk geometris bangunan. kecuali ketika bangunan mempunyai alat yang dapat memvariasikan besar cahaya yang masuk dan bayangan yang timbul dari elemen shading devices. Pengaturan sistem daylight pada tiap-tiap ruang dalam bangunan objek penelitian sangat dipengaruhi oleh elemen-elemen bangunan termasuk orientasi bangunan, bentuk fasad bangunan, tipe dan ukuran bukaan, permainan sudut pada bagian atap ataupun dinding, material, tekstur dan warna. Karakter cahaya yang memasuki ruangan, mampu membentuk efek gelap – terang dengan pengaturan elemen – elemen yang bervariasi dan pada ruang-ruang tertentu paling banyak memanfaatkan sistem pola cahaya terpantul, karena sudah mengalami proses penurunan iluminasi dan dapat mencapai terang yang lembut menurut kenyamanan visual, khususnya pada unit bangunan bagian barat yang mewadahi aktivitas yang lebih menuntut keprivasian yang tinggi. Penyebaran cahaya yang tidak merata dimanfaatkan untuk dilakukan konfigurasi ruangan berdasarkan tingkat privasi yang menambah nilai kenyamanan visual dilihat dari fungsi ruangan.

Gw dan Kusumo (2011) mengatakan pendekatan bioklimatik menjadi dasar utama dalam perancangan arsitektur yang memanfaatkan alam semaksimal mungkin dengan meminimalkan penggunaan teknologi maupun peralatan yang menggunakan energi atau dikenal dengan metode pasif. Sistem pasif ini bisa dicapai dengan teknik desain arsitektur yang mengolah tatanan ruang, bidang, massa, dan elemen arsitektur. Pendekatan bioklimatik pada dasarnya bertitik tolak dari dua hal fundamental untuk menentukan strategi desain yang responsif terhadap lingkungan global yaitu kondisi kenyamanan manusia dan penggunaan energi secara pasif. Ruang – ruang suatu bangunan tentu menerima intensitas cahaya yang berbeda, sehingga hal tersebut dapat menjadi dasar dalam pengaturan ruang berdasarkan fungsi. Pengaturan fungsi ruang dilakukan setelah mengetahui intensitas cahaya yang diterima kemudian sesuaikan dengan standar SNI kebutuhan cahaya ruangan.

Selubung bangunan merupakan bagian penting dari perancangan dimana terdapat bukaan yang mengatur keluar masuknya cahaya dan udara ke dalam bangunan. Selubung bangunan berfungsi untuk meminimalisasi efek dari iklim di luar bangunan sehingga pengguna bangunan dapat merasakan kenyamanan. Semakin besar perbedaan suasana di luar bangunan dengan di dalam bangunan, maka semakin besar kebutuhan teknis yang perlu dipenuhi. Penelitian Madina, dkk (2013) yang meneliti efektifitas selubung bangunan sebagai pengatur iklim ruangan menghasilkan bahwa ruang – ruang yang ada di dalam objek penelitian memerlukan perlakuan yang berbeda dalam sistem pencahayaannya. •Gw dan Kusumo (2011)

•Madina, dkk (2013)

•Thojib dan Adhitama (2013) Evaluasi Desain

(8)

Hal ini dipengaruhi dari perletakan dan desain selubung bangunan.

Penelitian Sushanti, dkk (2013) berfokus pada elemen – elemen pembentuk selubung bangunan dengan melakukan uji intesitas cahaya dan menggunakan perhitungan SNI.

Pada 3(tiga) tahap memiliki tingkat pencahayaan yang berbeda-beda dikarenakan untuk mendapatkan pengukuran secara langsung di lapangan diperhitungkan luas jendela, penataan interior dalam ruang yang dapat mempengaruhi cahaya yang masuk dalam bangunan, penghalang cahaya pada bagian luar bangunan berupa bangunan sekitar mapupun vegetasi, orientasi bangunan, orientasi jendela, jara antar bangunan sekitar dan ketinggian bangunan dari tanah.

Untuk pengukuran menggunakan perhitungan sesuai SNI dengan memperhatikan luas jendela, penghalang bangunan berupa bangunan dan vegetasi yang berada di sekitar bangunan yang diteliti dan jarak antar banguan sekitar.

Kesimpulan dari pengujian ini perbedaan intensitas masing-masing ruang dipengaruhi oleh ukuran dan dimensi lubang cahaya, posisi dan orientasi lubang cahaya, bentuk lubang cahaya, dan penghalang cahaya.

3.2.2. Evaluasi Desain Bangunan

Metode evaluasi bangunan selain menggunakan pengujian juga penting meneliti responden dengan memberikan kuisioner yang berisi pertanyaan – pertanyaan mengenai kriteria kenyamanan visual dari beberapa variabel. Hasil pengukuran dan pengamatan lapangan menunjukkan kondisi terang alamiberagam antara kurang – cukup, disebabkan standar iluminasi yang tidak sesuai standar iluminasi yang dipersyaratkan SNI 03-2000 tentang Konservasi Energi Sistem Pencahayaan pada Bangunan Gedung maupun karena adanya berkas sinar matahari langsung yang masuk ke dalam ruang. Respon pengguna terhadap kualitas kenyamanan visual ruang beragam dari positif

– negatif.

Rekomendasi untuk mendukung kenyamanan visual dapat dicapai dengan modifikasi pada ruang, dapat berupa modifikasi interior maupun eksterior. Modifikasi interior dapat berupa penataan kembali layout ruang dan pola tata perabot, penambahan reflektor cahaya dalam ruang, atau dengan

menggunakan bantuan pencahayaan buatan. Modifikasi eksterior dapat dengan menambahkan shading device (elemen pembayangan), memperbesar luasan jendela, atau menambahkan skylight.

3.2.3. Konsep Efisiensi Energi

Handayani (2010), melakukan penghematan terhadap energi (efisiensi energi) bukan berarti mengurangi segala aktifitas terkait penggunaan energi yang berdampak pada pengurangan kualitas hidup, seperti kenyamanan dan produktifitas kerja. Melainkan melakukan penghematan energi dengan mengoptimalkan penggunaan energi sesuai dengan tingkat kebutuhan. Salah satu cara adalah melalui rancangan bangunan yang dapat menghemat penggunaan listrik, baik untuk mendinginkan / menyejukkan udara dalam ruangan maupun untuk pencahayaan. Penggunaan energi pada bangunan banyak dipengaruhi oleh faktor iklim, kualitas lingkungan di sekitar bangunan, arah hadap bangunan, denah bangunan, dan bahan bangunan. Dengan konsep rancangan yang tepat maka bangunan dapat memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim ruang yang nyaman tanpa banyak mengkonsumsi energi listrik, yaitu dengan menghadapkan bangunan ke arah utara atau selatan yang lebih sedikit mendapat paparan sinar matahari, meminimalkan sekat dalam ruangan, memperbesar volume ruangan, membuat ventilasi silang, skylight, menggunakan bahan batu bata sebagai dinding, serta memperhatikan perbandingan ruang terbangun dengan ruang terbuka hijau.

Sustainable desain juga dapat menjadi solusi untuk menekan biaya operasional bangunan dan ramah dengan lingkungan sekitar. Pemakaian energi listrik terbesar dalam sebuah bangunan digunakan untuk keperluan pencahayaan dan penghawaan buatan, besarnya 60-70% dari total energi yang dibutuhkan bangunan tersebut. Angka tersebut dapat ditekan dengan pemanfaatan pencahayaan dan penghawaan alami. Pencahayaan alami memiliki dampak suhu udara pada ruangan meningkat jika radiasi matahari masuk secara bebas kedalam ruangan. Hal ini dapat dipecahkan dengan alat-alat pelindung yang dibuat menjadi bentuk bukaan atau dibentuk dari pembayangan pohon – pohon di dekatnya atau struktur-struktur disebelahnya seperti sirip vertikal/horizontal.

3.2.4. Adaptasi Desain Bangunan

Meningkatkan iluminasi cahaya alami akan mengurangi energi pencahayaan namun berpotensi meningkatkan energi penghawaan karena perolehan panas meningkat pada bangunan. Kondisi ini menjadi permasalahan penelitian untuk mengetahui bagaimana kompromi yang optimal dari integrasi cahaya alami dalam sistem pencahayaan untuk mencapai efisiensi energi dengan melihat pengaruh selubung bangunan. Syahrullah (2013), dalam penelitiannya menggunakan obyek simulasi bangunan hipotetik berlantai banyak,

Tabel 6. Hasil Pengukuran Cahaya dengan Menggunakan

Rumus Menurut SNI

(9)

berpengkondisian udara, fungsi perkantoran, luasan lantai tipikal 1600 m² dalam ukuran 40m x 40m. Variabel WWR ditentukan dalam rentang 10% ‐

70% dan variabel VT 0,1 ‐ 0,9 serta orientasi 0º di

arah utara. Simulasi menggunakan perangkat lunak energyplus v7.0, plugins openstudio v7.0, LBNL Window 6.3 dan Dialux 10.0. Hasil penelitian menunjukkan integrasi pencahayaan alami mampu menekan konsumsi energi pencahayaan hingga 66%, energi penghawaan hingga 6% dan energi total hingga 20%. Kombinasi WWR dan VT saling mempengaruhi dalam penurunan energi. WWR kecil butuh kaca dengan VT rendah, WWR sedang butuh kaca VT menengah dan WWR besar butuk kaca VT tinggi. Energi terbaik diperoleh WWR sedang dengan VT menengah yakni konfigurasi WWR 50% dengan kaca VT 0,5. Sisi timur dan barat tertinggi tingkat iluminasi cahaya alami namun perolehan panasnya juga tinggi, dan Sisi utara dan selatan efektif pencahayaan alaminya jika menggunakan WWR besar. Rasio denah 3:1 adalah yang terbaik untuk performa energi pencahayaan namun Rasio 1:2 adalah yang terbaik untuk performa energi total pada perbandingan konfigurasi yang setara. Komponen shading meningkatkan efisensi energi hingga 2% untuk tipe lightshelf dan 4% untuk tipe overhang. Tingkat efisensi energi ditentukan juga oleh sistem mekanik yang dipilih untuk tipe lighting control, jenis lampu dan jenis AC.

Solar Panel atau Sel Surya merupakan pengembangan bahan semi-konduktor yang dapat mengubah energi surya menjadi energi listrik. Sinar matahari jatuh ke sebuah permukaan panel secara tegak lurus akan mendapatkan energi maksimum ± 1000 W/m2 atau 1 kW/m2. Fungsi solar panel umumnya diintegrasikan pada atap, dinding dan fungsi struktur pembayangan pada bangunan (Bonifacius, 2012:39).

Terkait dengan desain Perpustakaan Pusat UGM yang berprinsip Green Building, penggunaan solar panel belum menjadi pertimbangan, dan masih menggunakan shading statis (passive design). Konsumsi energi Perpustakaaan Pusat UGM masih dapat berkurang jika memaksimalkan perolehan cahaya berlebih dengan mengaplikasikan sel surya diintegrasikan dengan shading yang adaptif.

4. Pembahasan dan Gap Teoritik

Review dari beberapa penelitian dengan topik sejenis menggunakan teori mengenai pemanfaatan pencahayaan alami secara maksimal dan mengembangkan teori tersebut dengan konsep efisiensi energi pada bangunan. Topik yang dibahas umumnya mengenai macam dan faktor pencahayaan alami dan bagaimana memanfaatkannya secara maksimal dengan memepertimbangkan elemen – elemen bangunan yang kemudian dikaitkan dengan pemanfaatan cahaya alami untuk mengurangi penggunaan pencahayaan buatan yang dapat mengurangi jumlah konsumsi energi bangunan.

Prinsip utama dalam pemanfaatan cahaya alami adalah dengan pendekatan bioklimatik yang diterapkan di Arsitektur Tropis. Faktor – faktor bioklimatik menjadi salah satu unsur penting dalam perencanaan arsitektur tropis, seperti temperatur, kelembaban udara, kecepatan dan arah aliran udara, tingkat dan kualitas pencahayaan serta tingkat bising. Arsitektur seharusnya merespon alam dengan mencoba untuk mengoptimalkan elemen-elemen bangunan sebagai climate modifier dan dalam perancangannya juga mempertimbangkan kondisi – kondisi lingkungan yang cukup berpengaruh dalam zona kenyamanan.

Dengan adanya isu global warming, kesadaran dalam penghematan energi semakin ditingkatkan salah satunya dengan mengurangi konsumsi energi bangunan yang ternyata berkontribusi besar. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan alam dengan mengevaluasi ulang desain bangunan dan menggantinya dengan desain yang lebih ramah lingkungan. Selain dengan menggunakan prinsip Arsitektur Tropis, rekayasa bangunan dilakukan terutama pada selubung bangunan dengan mengintegrasikan dengan teknologi yang semakin canggih seperti penggunaan material yang ramah lingkungan sampai penggunaan teknologi solar panel yang dapat membantu mengurangi jumlah energi listrik yang digunakan.

Berdasarkan review penelitian yang telah dilakukan, penelitian yang berfokus pada pemanfaatan pencahayaan alami secara maksimal sebuah bangunan masih banyak yang belum mencapai kategori baik. Penggunaan pencahayaan buatan yang tidak seimbang masih ditemukan di beberapa bangunan. Penggunaan bantuan pencahayaan buatan dikarenakan tuntutan untuk mencapai kenyamanan visual penghuni bangunan. Sehingga pemborosan energi dari sektor pencahayaan masih cukup tinggi. Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya telah membahas mengenai strategi optimalisasi pencahayaan alami dan faktor – faktor yang mempengaruhinya. Penelitian lebih lanjut memerlukan studi simulasi agar menemukan hasil atau formula yang lebih terukur dan aplikatif untuk merancang bangunan yang hemat energi dari berbagai sektor terutama pencahayaan dengan memanfaatkan pencahayaan alami secara maksimal dan meminimalisir pencahayaan buatan namun tetap mempertimbangkan kenyamanan visual penghuni.

5. Celah Penelitian

Indonesia yang terletak di iklim tropis dengan penerimaan radiasi matahari berlebih harus dimanfaatkan semaksimal mungkin di berbagai aspek kehidupan. Energi fosil tidak bisa terus menerus kita harapkan keberadaannya, sehingga harus dimulai dari sekarang menggunakan energi yang renewable.

(10)

strategi efisiensi energi bangunan. Pengujian konsumsi energi Perpustakaan Pusat UGM sudah dibuktikan dengan kategori sangat efisien. Maka perlu dikaji kembali apakah penghematan energi yang dilakukan juga sudah mempertimbangkan kebutuhan dan kenyamanan pengguna bangunan serta fungsi ruangan apakah sudah sesuai dengan standar. Apabila ditemukan ketidaksesuaian, diharapkan adanya solusi desain untuk mengatasinya.

Referensi

1) Ayuningtyas, Azka. (2014). Analisis dan Evaluasi Parameter Green Building pada Perpustakaan Pusat UGM Sayap Selatan (L1). Skripsi. Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

2) D.K. Ching, Francis. (1999). Arsitektur: Bentuk Ruang dan Susunannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.

3) Eddy, Firman. (2004). Pengaruh Pengkondisian Udara, Pencahayaan, dan Pengendalian Kebisingan Pada Perancangan Ruang dan Bangunan. e-USU Repository Universitas Sumatera Utara

4) Gw, Ode Rapija., Kusumo, Beta Suryo. (2011). Studi Evaluasi Pencahayaan Alami pada Gedung Kuliah Bersama III Universitas Muhammadiyah Malang. Media Teknik Sipil, Volume 9, Nomor 1, Februari 2011: 50 – 60.

5) Handayani, Teti. (2010). Efisiensi Energi dalam Rancang Bangunan.

Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 Vol. 1, No. 2 : 102 – 108.

6) Hendra, Tina, Sekar., Majidah, Amah. (2013). Tingkat Pencahayaan Perpustakaan di Lingkungan Universitas Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 6

7) IEA (International Eergy Agency). (2000). Daylight in Bildings; A Source Book on Daylighting Systems and Components. The Lawrence Berkeley National Library: California.

8) Kroelinger, Michael D. (2005). Daylight in Bildings. Dimuat dalam

Implications Vol 03 Issue 3

9) Kurniasih, Sri. (2009). Pengaruh Kombinasi Desain Skylight dan Ventilasi Atap terhadap Kenyamanan pada Pengembangan Rumah Sederhana Tanpa Bukaan Samping : Studi Kasus Perumahan Pamulang Permai II Tipe 21 di Tangerang. Tesis. Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia.

10) Lam, William M.C. (1977). Perception and Lighting as Formgivers for Architecture. Van Nostrad Reinhold : NewYork.

11) Lechner, Norbert. (2009). Heating, Cooling, Lighting: Sustainable Design Methods for Architects. USA : John Willey & Sons. 12) Madina, Rizki Fitria., Nurrizka, Annisa., Komala, Dea Ratna.

(2013). Pengaruh Desain Fasade Bangunan Terhadap Kondisi Pencahayaan Alami dan Kenyamanan Termal : Studi Kasus Campus Center Barat ITB. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013.

13) Mintorogo, Danny Santoso. Strategi Aplikasi Sel Surya (Photovoltaic Cells) pada Perumahan dan Bangunan Komersial.

Dimensi Teknik Arsitektur Vol.28, No.2, hal 129-141.

14) Munanda, Agra Arie. (2014). Simulasi Sistem Energi pada Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada Gedung L1 dengan Energyplus. Tesis. Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

15) Romasindah, Karlina. (2008). Optimasi Kinerja Panel Surya dengan Pengaturan Panel sebagai Sun Shading untuk Menekan Biaya Listrik Bangunan. Tesis. Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. 16) Satwiko, Prasasto. (2004). Fisika Bangunan l. Andi : Yogyakarta 17) Sihombing, Ferry Anderson. (2008). Studi Pemanfaatan

Pencahayaan Alami Pada Beberapa Rancangan Ruang Kelas Perguruan Tinggi Di Medan. Thesis. Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara Medan.

18) SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi Sistem Pencahayaan pada Bangunan Gedung. Badan Standardisasi Nasional.

19) SNI 03-2396-2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan Gedung. Badan Standardisasi Nasional

20) Sushanti, Adila Bebhi., Thojib, Jusuf., Asikin, Damayanti. (2015) Pengaruh Fasade Bangunan terhadap Pencahayaan Alami pada Laboratorium Polteknik Negeri Malang. Jurnal Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Brawijaya Malang Vol. 3 No.2.

21) Syam, Syahriana., Beddu, Syarif., Syawal, M. Sulaiman. (2013). Pengaruh Bukaan Bangunan terhadap Pencahayaan Alami Bangunan Tropis Indonesia. Prosiding Penelitian Teknik Arsitektur Universitas Hassanudin Vol. 7.

22) Syahrullah, Moch. Rahmat. (2013). Pengaruh Integrasi Pencahayaan Alami pada Sistem Pencahayaan terhadap Efisiensi Energi. Tesis. Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

23) Thojib, Jusuf. (1992). Kajian Rancangan Pencahayaan Alami dan Persepsi Pemakai pada Bangunan Kampus. Thesis. Jurusan Teknik Arsitektur Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. 24) Thojib, Jusuf., Adhitama, Muhammad Satya (1992). Kenyamanan

Visual Melalui Pencahayaan Alami pada Kantor: Studi Kasus Kantor Dekanat Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.

Jurnal RUAS, Volume 11` N0 2, Desember 2013, ISSN 1693-3702

Gambar

Gambar 1. Tiga Komponen Cahaya Langit yang sampai    (sumber: SNI 03-2001, Tata Cara Sistem Pencahayaan  pada Suatu Titik di Bidang Kerja Alami pada Bangunan Gedung)
Tabel 1. Orientasi Bangunan terhadap Matahari Arah bukaan  Arah bukaan
Gambar 3. Perbandingan Penggunaan Shading
Tabel 4. Kebutuhan Iluminansi Perpustakaan
+4

Referensi

Dokumen terkait

37 Maddawa-dawa adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam mempersiapkan segala kebutuhan konsumsi pada acara pernikahan yang telah berlangsung di

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan REKSA DANA PENDAPATAN TETAP PANIN DANA PENDAPATAN UTAMA yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum

alam melakukan pembangunan perumahan "ormal di 3ndonesia, Perum Perumnas selaku penyelenggara proyek pembangunan mempunyai prosedur atau tahapan dalam mewu!udkan kawasan

Ada beberapa jenis Pajak Penghasilan yang salah satunya adalah PPh pasal 22 yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah termasuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah

responden diatas dapat kita gambarkan bahwa responden secara umum memiliki persepsi yang sama bahwa Seluruh Kegiatan Yang Dilaksanakan Dalam Pengelolaan BUMDes

Demikian pula kemajuan bidang teknologi informasi (internet) memberi tantangan pada dunia pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar, yaitu dijadikannya

17 Analisis data yang telah di kumpulkan dalam penelitian ini adalah didahului dengan motode deskriptif kualitatif, yaitu bertujuan mendiskripsikan masalah yang ada sekarang