OTORITAS VETERINER DAN KEBIJAKAN ZONA BASE
Oleh : Rochadi Tawaf
(Dosen Fapet Unpad, Anggota Persepsi Jabar dan BP3IPTEKS Jabar)
Analisis Drh. Bachtiar Moerad dalam Trobos livestock edisi 201 Juni 2016, pemikirannya sungguh diluar dugaan saya, lantaran dalam analisisnya disebutkan bahwa kebijakan maksimum sekuriti dianggap sebagai suatu faktor penyebab terjadi monopoli impor daging dari negara-negara tertentu. Sesungguhnya kebijakan maksimum sekuriti dan kebijakan importasi adalah dua hal yang berbeda. Kebijakan maksimum sekuriti adalah kebijakan yang dimanatkan UU No. 41/2014 tentang PKH (lihat preambulnya) ditujukan untuk melindungi pembangunan peternakan di negeri ini, sedangkan importasi daging sapi selama ini dapat dilakukan dari berbagai negara yang bebas PMK seperti dilansir oleh OIE.
Kebijakan Riskan
Kasus yang terjadi saat ini, ternyata Kementrian Pertanian telah menerbitkan SK Mentan No. 2556/2016 pada tanggal 8 Juni 2016. Melalui SK ini, ternyata pemerintah telah membuka keran impor daging dari India melalui kompartemen (unit usaha) asal pemasukan daging kerbau beku tanpa tulang ke wilayah RI di bebebrapa negara bagian India. Memang sudah diduga sebelumnya bahwa upaya yang dinanti puluhan tahun oleh para importir daging (India), dan analisis Drh. Bachtiar Moerad kini telah membuahkan hasil yaitu dengan terbitnya surat keputusan tersebut.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah ini merupakan kebijakan yang sangat riskan, pasalnya, bahwa UU 41/2014 tentang PKH yang menjadi cantolan hukum dasarnya kini sedang dilakukan proses uji materi di MK. Proses uji materi ini dilakukan oleh komunitas peternak sapi yang merasa khawatir atas dimuatnya kembali kebijakan zona base dalam UU 41/2014 sebagai perubahan atas UU No. 18/2009 yang telah diuji materi tahun 2009 lalu dan dibatalkan oleh MK. UU ini merupakan cantolan hukum atas terbitnya PP No. 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu Yang Berasal Dari Negara Atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan, serta kebijakan lainnya.
Sesungguhnya jika dilihat dari sisi hukum, kebijakan importasi ini boleh dinyatakan sah. Namun demikian yang menjadi keprihatinan adalah, mengenai materi hukum yang ditetapkan dalam kebijakan tersebut yaitu importasi daging asal negara India. Pasalnya, Indonesia sebagai negara hukum dan telah meratifikasi perjanjian pasar bebas dunia (WTO), maka segala kebijakannya harus sesuai dengan kebijakan WTO. Dalam kasus daging sapi ini, Indonesia harus tunduk terhadap kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) tersebut.
Mengabaikan
Selain hal tersebut, pada UU No. 41/2014 dinyatakan dalam preambulnya bahwa, dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, upaya pengamanan maksimal (Maximum Security) terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan, dan produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan zoonosis, penguatan otoritas veteriner, persyaratan halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran kesejahteraan hewan, perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
pertama, munculnya kembali frasa “zona base” dalam pasal 36 UU No. 41/2014, yang telah dilakukan perbaikan oleh putusan MK No. 137/PUU-VII/2009, yaitu bahwa UU ini kembali kepada kebijakan “country base” bukannya zona base. Sehingga terbitnya berbagai kebijakan turunan dalam bentuk PP, Permentan dan SK Mentan mengenai masuknya daging asal India. Dalam pertimbangnnya mengambil maksimum sekuriti lantaran negara belum siap atas siskeswanas dan otritas veteriner sebagai penangkal, karena belum adanya PP tentang hal tersebut.
Kedua, mengenai penguatan otoritas veteriner; UU 41/2014 telah mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai Otoritas Veteriner dan Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, dan Pasal 68D akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pasal-pasal ini, merupakan pasal yang akan sangat menentukan ketangguhan negeri ini terhadap pertahanan dan kemungkinan berjangkitnya penyakit hewan menular utama yang akan muncul di dalam negeri. Namun demikian, ternyata hal ini diabaikan oleh pemerintah, malah justru menerbitkan PP yang sangat riskan terhadap munculnya penyakit PMK dimana negeri ini telah bebas PMK.
Ketiga, mengenai penegakkan hukum, hingga kini kegiatan ini ternyata bukannya memberikan iklim kondusif malah membuat kegaduhan terhadap pembangunan peternakan. Misalnya, panangkapan peredaran daging ilegal yang tidak diproses secara hukum, pemotongan sapi betina produktif yang dibiarkan di RPH serta tidak tunduk Indonesia terhadap kebijakan OIE mengenai kebijakan importasi ternak/produk hewan antar negara dengan menerbitkan SK Mentan No. 2556/2016. Hal ini dikarenakan India belum bebas PMK baik secara negara maupun zona berdasarkan Resolusi No. 16 pada sidang umum ke 84 Majelis Dunia OIE Mei 2016.