• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENATAAN

SIGN

PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM

UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN

MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR

BUDAYA

Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti

Jurusan Arsitektur, FTSP ITS, Surabaya, Indonesia Kampus ITS Keputih, Surabaya 60111, Telp. 031-5922425

e-mail: ismail.widodo@gmail.com

ABSTRAK

Kawasan Tunjungan merupakan pusat Kota Surabaya yang meliputi Embong Malang – Blauran – Praban – Tunjungan. Sebagai pusat bisnis, maka fasade kawasan ini tidak lepas dari keberadaan reklame ruang luar atau yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai sign. Masalah yang terjadi adalah keberadaan private sign di ruang luar bangunan konservasi tidak harmonis dengan wajah bangunannya yang dilindungi oleh Undang-undang Cagar Budaya. Ketidakharmonisan tersebut berakibat pada perubahan image bangunan dan koridor di jalan Tunjungan sebagai bagian dari kawasan cagar budaya Tunjungan. Oleh dari itu penelitian ini berupaya untuk menemukan faktor, kriteria, prinsip dan konsep arahan untuk penataan sign yang sesuai dengan wajah koridor Tunjungan sebagai kawasan cagar budaya. Kajian teori yang digunakan meliputi kajian image, kajian karakter bangunan konservasi, kajian sign dan preseden. Hasil dari kajian terhadap referensi tersebut menghasilkan 4 aspek, yaitu aspek estetika, aspek bangunan, aspek efektifitas dan aspek keselamatan dengan masing-masing aspek memiliki komponen penyusunnya. Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan metode rasionalistik yang menggabungkan bukti empiris lapangan dan etika penataan fasade bangunan cagar budaya. Dengan menggunakan Metode Perancangan Kota Moughtin (1999) maka dilakukan 4 proses dalam penelitian ini yang meliputi analysis-synthesis-appraisal-decision. Pembacaan terhadap koridor dan bangunan kawasan ini menggunakan teknik Walkthrough Analysis dan Character Appraisal . Kemudian hasil pembacaan tersebut dilakukan evaluasi dan pengkajian ulang terhadap referensi terpilih untuk mendapatkan kriteria, penyusunan konsep dan memberikan arahan desain untuk penataan sign di koridor jalan Tunjungan. Pada akhirnya penelitian ini menghasilkan kriteria desain fungsional, konsep desain dan arahan teknis berdasarkan evaluasi terhadap aspek-aspek penataannya. Dengan penataan berdasarkan pengkajian tersebut maka dihasilkan sign yang bisa mempertahankan image kawasan konservasi, mempertahankan keutuhan bangunan konservasi, efektif dan efisien bagi pembaca sign, serta menjaga keselamatan pengguna jalan dan kekuatan struktur bangunan akibat penempatan dari sign yang terpasang pada bangunan tersebut.

Kata Kunci : Cagar Budaya, Image kawasan konservasi, Metode, Sign ABSTRACT

Tunjungan area is the center of Surabaya covering Embong Malang - Blauran - Praban - Tunjungan. As a business center, building facade in the area can not be separated from the existence of outdoor advertisement, or in this study, will be named as sign. In fact, private signs outside the buildings alongside the corridor are experiencing visual disharmony order with their facade based on the fact that the buildings are preserved by Heritage Act. As a result, building image along the corridor as heritage preservation area is deteoriating. Therefore, factors, criteria, principles, and arrangement concept of sign arrangement which appropriately match with the image of conservation area are needed. The study consists of image assessment, conservation building character assessment, sign and precedent assessment. The result of the study has four aspects: aesthetic, building, effectiveness, and safety aspects which have their own constituent component. The study is a descriptive research with rationalistic method of approach which combines empirical evidence and building facade arrangement ethics at preservation area. By using Urban Design Methods by Moughtin (1999), four process is carried out in this study: analysis - synthesis - appraisal - decision. The corridor and buildings at the area are analyzed using main technique: Walkthrough Analysis and Character Appraisal. Then the analysis is evaluated and cross checked with the selected references to get criteria, preparation of design concepts, and to provide guidance for the arrangement of building sign along Tunjungan corridor.Through these methods, it can be identified functional design criteria, design concept, and technical referral based on evaluation of arrangement aspects. Based on the assessment, the result of the study are: conservation area representative sign, maintain the integrity of conservation building, effectiveness and efficiency for sign readers, as well as maintaining the safety of road users and the strength of building structure due to the placement of a sign mounted on the building.

(2)

BUDAYA

PENDAHULUAN

Surabaya Utara adalah kawasan dengan keunikan warisan budaya yang menjadi awal per-jalanan panjang sejarah kota Surabaya. Kawasan Surabaya Utara tersebut merupakan pusat regio-nal yang menjadi awal mula sejarah perkem-bangan kota Surabaya dan kemudian dikenal sebagai kota bawah (Benedenstad) atau kota-tua

(Oude stad). Pusat pemerintahan ketika itu masih

berada di Utara Jembatan Merah, sehingga segala pusat kegiatan masyarakat, termasuk di dalamnya perdagangan dan jasa serta permukiman berada di sekitar Jembatan Merah, Ampel dan Kembang Jepun (Handinoto, 1996). Sementara kawasan lain di luar Benedenstad termasuk kawasan Atas

(Bovenstad).

Pada awal tahun 1900-an, perkembangan kota mulai mengarah ke Selatan dan Timur. Seki-tar tahun 1905, kegiatan perdagangan mulai meluas dan menyentuh kawasan Tunjungan. Per-tumbuhan kota ini kemudian diikuti terbentuknya pemerintah Surabaya (Gemeente Soerabaia) pada 1906 dan pembangunan kantor pemerintahan serta penunjangnya berupa rumah sakit, sekolah, permukiman serta klub-klub sosial melengkapi kawasan elit Eropa yang tumbuh di kawasan Gu-beng, Ketabang, Darmo-Kupang, dan Tegalsari-Sawahan (Purwono, 2006).

Dalam perkembangannya, kawasan Tun-jungan ini berkembang dengan sangat cepat dan menjadi pusat kegiatan perkotaan, mulai pusat kegiatan bisnis, wisata dan keagamaan. Wajah bangunannya berubah secara drastis mengikuti kebutuhan dan perkembangan jaman. Di sepan-jang koridor muncul papan reklame/billboard dan

sign/penanda yang menutupi wajah bangunan sehingga mengakibatkan menurunnya estetika arsitektural dari bangunan yang tertutupi.

Reklame sebagai salah satu jenis elemen penandaan (sign) memiliki arti penting bagi ma-syarakat, swasta, Pemerintah Kota maupun bagi perencana kota. Reklame bagi pengusaha meru-pakan salah satu media pemasaran yang cukup efektif untuk menyampaikan informasi produk-nya. Sedangkan bagi masyarakat, media reklame merupakan media penting untuk mendapatkan in-formasi bukan saja inin-formasi yang sifatnya ko-mersial tetapi juga yang sifatnya non-koko-mersial. Bagi Pemerintah Kota, adanya reklame berarti adanya peluang untuk meningkatkan PAD, se-dangkan bagi perencana kota, reklame merupa-kan elemen pendukung kota yang harus diatur/di-rancang sedemikian rupa sehingga tercipta ling-kungan kota yang indah dan tertib (Natalivan, 1997).

Gambar 1. Eksisting sign yang menutupi wajah

bangunan eks gedung Handelsbon (bekas kantor perdagangan Hindia Belanda) di pojok persimpangan jalan Tunjungan-Praban Kota

Surabaya dimana Proporsi a : b : c = lebar reklame : lebar gedung : bagian gedung yang

tampak dari muka

Pada saat ini, keberadaan reklame yang mendominasi wajah kawasan Tunjungan, membentuk rangkaian (sequence) street picture

yang tidak teratur, baik dikarenakan isi reklame/ konten, dimensi, penempatan dan jenis medianya tidak mendukung kultur dan karakter dari kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi. Ketidak sesuaian keberadaan reklame di kawasan ini mengakibatkan rusaknya nilai sejarah kawasan dan nilai arsitektural kawasan.

Tabel 1. Daftar bangunan konservasi di koridor Tunjungan yang menjadi obyek pengamatan

Bangunan Konservasi SK Walikota

1. Toko Lalwani (jl. Tunjungan

30)

2. Rabo Bank (jl. Tunjungan 60)

3. Eks- Master Springbed (jl.

Tunjungan 62)

4. Kantor Badan Pertanahan

Nasional (jl. Tunjungan 80)

5. Museum Perjuangan Pers

(jl.Tunjungan 100)

6. Tunjungan City/SIOLA

(jl.Tunjungan 1)

7. PT. Gading Murni (jl.

Tunjungan 27)

8. Tiger Office Chair (jl.

Tunjungan 33)

9. Yayasan Nurussalam (jl.

Tunjungan 39)

10. Grha Bank Benta

(jl.Tunjungan 41)

11. CIMB Niaga (jl. Tunjungan

47)

12. Eks-Gedung BCA (jl.

Tunjungan 51)

13. Hotel Mojopahit (jl.

Tunjungan 65)

Sumber: SK. Walikota Surabaya nomor 188.45/251/402.1.04/ 1996 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan SK. Walikota Surabaya nomor 188.45/004/402.1.04/1998 tentang Penetapan Benda Cagar Budaya Di Wilayah Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya

a b

(3)

Gambar 2. Sequence yang terbentuk dari sign

pada muka bangunan saat ini dibandingkan wajah bangunan aslinya pada th. 1945

(sumber : kiri:hasil survey, 2012; kanan: N. Purwono, 2006)

METODE PENELITIAN

Pustaka

Kajian pustaka yang digunakan dalam pengkajian aspek estetika ini adalah kajian Image tentang kawasan cagar budaya. Image suatu ka-wasan merupakan sebuah gambaran mental yang terekam dalam memori orang yang melakukan pengamatan terhadap kawasan tersebut ataupun orang yang hanya sekedar melewati kawasan ter-sebut saja. Image yang terekam dalam memori seseorang adalah sejarah pertumbuhan, tipologi bangunan dan morfologi kota (Rossi, 1982). Image bisa direkam dan disusun dalam bentuk rangkaian bingkai-bingkai gambar potret (Ashi-hara, 1986). Image yang dipotret tersebut dapat dipotret dalam bingkai geometrik dan estetika-nya. Bingkai ruang perkotaan adalah fasade dan ketinggian massa (elevation) serta mempunyai nilai estetis yang dapat membuatnya diterima sebagai ruang kota (urban space) (Krier, 1979).

Bidang – bidang image membentuk keter-hubungan, akan membentuk sebuah serial vision yang membentuk streetscape. Streetscape meli-batkan semua elemen arsitektural agar menjadi sebuah peristiwa menarik. Vision yang tercipta harus bisa membangkitkan memori dan pengala-man pengguna jalan. Estetika dipengaruhi 3 hal; Orientasi, Posisi dan Isi (Cullen, 1961). Umum-nya pengamat dalam mengamati sebuah

street-scape kawasan lebih cenderung melihat bagian

vertikal dari bidang muka bangunan secara lebih dominan dibandingkan horizontalnya. Perulangan garis vertikal imajiner dan tingkat kerapatan garis vertikal sejajar akan memperkuat persepsi pem-baca ruang dari bidang yang digambarkannya (Ching, 1979). Image selain bisa dilihat juga harus bisa ‘dirasakan’ sense of place-nya untuk memperkuat kesan visual kawasan. Elemen fisik dibutuhkan untuk membentuk kesan visual dengan penataan yang mempunyai tujuan penyampaian (Lynch, 1960).

Image suatu kawasan dapat dinilai dari aspek Estetikanya, yang tentu saja berkaitan dengan estetika arsitektural dari

bangunan-bangunan penyusunnya. Penilaian estetika terhadap tampak bangunan dari sebuah karya arsitektural secara intuisi dan rasional harus mengikuit prinsip-prinsip estetika yang meliputi: sumbu (axis), simetri, hirarki, irama, pengu-langan, datum, transformasi, proporsi, skala, keseimbangan, emphasis/ tekanan, solid/rongga dan warna (Ching, 1979). Pertimbangan estetika meliputi pertimbangan rasional dan pertimbangan intuisi. (Purwadarminto, 1976 dalam Wondoami-seno, 1994). Pertimbangan rasional yang paling sering digunakan dalam merancang tampak bangunan adalah (1) keseimbangan (balance), (2) kesatuan (unity), (3) proporsi (proportion) dan (4) skala (scale).

Penelitian yang dilakukan ini adalah pene-litian deskriptif. Tujuan dari penepene-litian deskriptif ini adalah membuat pencandraan (deskripsi) se-cara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Deskripsi yang dilakukan tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, melakukan test ‘hipotesis’ (jawaban sementara terhadap masalah penelitian), membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasi. Peneliti-an ini hPeneliti-anya ditujukPeneliti-an untuk mencari informasi faktual yang secara detail mencandra yang ada (Darjosanjoto, 2006).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan rasionalistik. Pendekatan rasionalistik adalah proses pengujian kebenaran yang tidak hanya dilakukan melalui empiri sensual semata (diukur dengan indera) tetapi dilanjutkan dengan pemaknaan dengan menggunakan empiri logik dan etik. Berdasarkan empiri sensual, empiri logik, empiri etik serta didukung oleh landasan teori yang sesuai dengan bahasan penelitian, komponen tersebut sebagai alat yang digunakan untuk memaknakan kembali hasil dari analisis data (hasil hipotesa), mempresentasikan temuan serta pembahasan (pemaknaan hasil temuan) (Moehadjir, 2000).

(4)

BUDAYA

data tambahan atau menganalisa data melalui metode yang lain.

Gambar 3. Desain proses dalam pengembangan

kriteria, konsep dan arahan penataan kawasan Tunjungan

(sumber : Moughtin, 1999)

Langkah Penelitian

Gambar 4. Metode Urban Desain dalam

pengembangan kriteria, konsep dan arahan penataan kawasan Tunjungan

(sumber : Moughtin, 1992 dan Moughtin, 1999)

Langkah penelitian ini merupakan turunan dari proses umum dalam Urban Planning, Urban Design dan Arsitektur yaitu Analysis – Synthesis

– Appraisal–Decision. Dengan memadukan

proses dalam perencanaan urban dan perencanaan arsitektur serta memasukkan proses induksi dan deduksi untuk menjaga keberlangsungan proses ilmiah, maka disusunlah proses ilmiah yang memasukkan permasalahan dalam teori yang ada, untuk kemudian dilakukan deduksi logis. Setelah melakukan pengamatan lapangan akan ditemukan permasalahan-permasalahan baru yang perlu dikaji kembali dengan peraturan dan teori yang ada dan dilakukan proses investigasi serta penyusunan program. Setelah itu dilakukan proses evaluasi terhadap ide dan keputusan yang diambil dari teori yang sudah dipilih dan dilanjutkan untuk penentuan solusi praktis dan dikaji ulangkan kembali dengan teori sehingga terbentuk konstruksi skema penyelesaian masalah yang bisa disebut sebagai kriteria, konsep dan arahan penataan kawasan (Moughtin, 1999).

Aspek Penelitian dan Alat Analisa

Penelitian ini menitikberatkan pada aspek Estetika yang bertujuan untuk memberi gambaran mengenai pemahaman terhadap image suatu koridor, menjelaskan komponen-komponen pembentuk sebuah image, menjelaskan bagaimana image ditangkap pembaca dan proses membaca sebuah image (Rossi, 1982; Krier, 1979; Ashihara, 1986; Ching, 1979; Cullen, 1961) dan menjelaskan bagaimana unsur pembentuk image yang tercipta memberikan pengaruh estetika pada sebuah koridor ruang kota (Shirvani, 1985; Ching, 1979).

Alat analisa yang digunakan pada penelitian ini memiliki dasar untuk memberikan penilaian secara kualitatif. Alat analisa tersebut

Walkability/Walkthrough Analysis (Manaugh,

2011) dan Character Appraisal (UDT, 2006). Dalam pelaksanaannya, teknik

Walk-through Analysis dilakukan dengan melakukan

pengamatan dan presentasi data yang dilakukan pada sepenggal ruas jalan dengan pengelompokan data bangunan konservasi. Dalam teknik ini, bangunan didokumentasikan sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan fasade bangunan dan sign/reklame ruang luar agar dapat dijadikan sebagai sumber data lapangan dari penelitian ini. Data dan/atau informasi diperoleh dari dokumentasi pribadi, serta catatan dan dokumentasi stakeholder terkait yang dalam hal ini adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya serta responden dari kalangan ahli konservasi dirangkum dalam tulisan dan/ atau tampilan gambar/sketsa yang memperlihatkan segmen-segmen wilayah penelitian.

Character appraisal digunakan dalam

(5)

bagi pengguna jalan untuk mengenali karakter

sign di koridor jalan Tunjungan.

Komponen Penelitian

Manaugh (2011) menjelaskan bahwa

walkability adalah ukuran sejauh mana

masyarakat mau menikmati pergerakan dan melakukan aktifitas lainnya dengan berjalan kaki secara baik dan menyenangkan. Sedangkan Grant (2009) menegaskan bahwa Walkabilitas dapat ditingkatkan dengan peningkatan keterbacaan koridor (legibility) dan kejelasan sign

(wayfinding sign). Faktor yang mempengaruhi

adalah (1) Kesinambungan (Connectivity), berkaitan dengan Kesinambungan antar bangunan dalam satu koridor (serial vision) yang mempengaruhi bentuk dan tatanan sign di fasade bangunan; (2) Kejelasan (Conspicious), berkaitan dengan kemudahan sign untuk dilihat.

Kesinambungan dipahami sebagai keterkaitan antara fasade bangunan satu dengan bangunan berikutnya, bangunan dengan sign di muka bangunan dan bangunan dengan street furniture, dengan parameternya adalah jarak dalam satuan meter antara bangunan satu dengan bangunan berikutnya dan keselarasan bentuk dasar antara bangunan satu dengan bangunan berikutnya.

Sedangkan Kejelasan dipahami sebagai kemampuan Sign dalam memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami pembacanya dengan parameter ukur berupa ukuran huruf sesuai aturan proporsi perbandingan jarak baca antara pembaca dengan tulisan dan desain tulisan memiliki kesesuaian antara dimensi, warna dan pencahayaannya.

Untuk memperkuat kedua komponen tersebut, maka dipergunakan teknik character

appraisal. Character Appraisal dipahami

sebagai proses identifikasi dari pola perkembangan yang khas dari suatu kawasan yang memberikan gambaran menyeluruh dari lingkungan tersebut mulai awal waktu pengembangan hingga saat ini(UDT, 2006). Wondoamiseno (1994) memberikan kesimpulan bahwa unsur-unsur bentuk arsitektur bangunan yang umum digunakan untuk penilaian estetika setidaknya bisa dinilai dari aspek keseimbangan

(balance), kesatuan (unity), proporsi (proportion)

dan skala (scale).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Walkthrough Analysis

Walkthrough analysis ini digunakan dengan cara penelusuran pada jalan Tunjungan yang dibagi dalam 2 sekuen jalan.

Gambar 5. Pembagian koridor wilayah

pengamatan

Komponen Kesinambungan

a. Reklame berbentuk bando/melintang di tengah jalan dan JPO memutus kesinambungan dari enclosure sebuah koridor menjadi terputus.

Gambar 6. Bangunan JPO Tunjungan

Electronic Center yang memutus kesinambungan koridor bangunan

b. Ketinggian kanopi pohon, ketinggian atap bangunan dan ketinggian pemasangan sign

pada levelling bangunan dapat membantu membentuk sebuah garis koneksi yang menghubungkan antar bangunan sehingga membentuk rangkaian kesinambungan antar bangunan.

Jl. Praban Wetan III

JL. KE NARI dibagi dalam 2 sekuen;

(6)

BUDAYA

Gambar 7. Kesinambungan terbentuk dari

kesamaan tinggi atap bangunan

c. Kemunduran bangunan dari Ruang Milik Jalan mempengaruhi lebar Garis Sempadan Bangunan juga mempengaruhi kesinam-bungan garis enclosure koridor. Semakin mundur suatu bangunan, maka akan membu-at “lubang” pada garis massa bangunan kawasan yang membuat garis enclosure ter-putus di suatu titik.

Gambar 8.“Lubang” yang tercipta akibat

perbedaan D/H antar bangunan

d. Jarak antar bangunan yang semakin rapat atau memiliki D/H<1 membentuk kesinam-bungan antar bangunan yang erat pada kori-dor jalan Tunjungan. D/H adalah perban-dingan antara jarak lebar antar bangunan dengan ketinggian bangunan. Jika D/H <1 maka kesannya adalah sempit, D/H=1 maka kesannya harmonis, dan D/H>1 maka kesan yang timbul adalah sunyi/lengang (Ashihara, 1970). Jarak antara bangunan dan sign

mempengaruhi bentuk massa bangunan, sehingga semakin dekat jarak bangunan dengan sign maka kesinambungan massa bangunan tidak terputus.

e. Kecepatan berkendara mempengaruhi pengamatan terhadap sign di fasade bangu-nan, dimana jika pengendara menjalankan kendaraan semakin cepat maka sign akan se-makin tidak terlihat. Dimana hal ini selaras dg pendapat Motloch (2011), dimana derajat konsentrasi pengendara meningkat seiring bertambahnya kecepatan kendaraan : yaitu ketika kecepatan pengendara semakin me-ningkat, perasaan dan waktu reaksi menjadi lebih penting, jumlah stimulan visual sema-kin meningkat dan relevansi dari informasi yang terlihat menjadi lebih penting sekali.

Penglihatan berfokus pada jalur di depan, dimana path atau jalur jalan terlihat secara langsung di depan mata secara nyata.

f. Pengamatan terhadap enclosure koridor Tunjungan terbentuk dari garis imajiner yang tersambung antar ketinggian bangunan dan keteraturan massa bangunan yang jika dilihat dari ujung jalan Tunjungan akan membentuk sebuah garis maya yang memu-sat ke sebuah titik di ujung jalan. Enclosure juga terbentuk dari sign di muka bangunan, baik yang terpisah ataupun bersatu dengan bangunan. Sehingga posisi sign juga mem-bantu terbentuknya jalinan antar bangunan. Sesuai dengan Cullen (1961) yang menyata-kan bahwa sebuah kota tidak dapat dilihat dalam satu titik saja, melainkan juga suatu proses pengamatan di dalam gerakan. Cullen memakai istilah ‘optik’ untuk proses terse -but dan membagi dua kelompok, yang

perta-ma existing view yang berfokus pada satu

daerah saja dan yang kedua emerging view

yang berfokus pada kaitan antara satu daerah dengan yang lain. Enclosure termasuk dalam bagian proses emerging view, dimana sering kali seseorang ketika berorientasi terhadap lingkungannya melakukannya tanpa sadar.

Komponen Kejelasan

a. Tinggi huruf dan panjang kata dalam sign

sangat mempengaruhi kejelasan pembacaan terhadap sebuah sign bagi pengguna kendaraan bermotor.

Tabel 2. Hubungan antara kecepatan dengan tinggi huruf yang ekuivalen untuk membaca

sign dengan pembacaan lateral untuk 6 huruf

6 Huruf Kecepatan

(km/jam)

Ketinggian huruf capital (mm) yang ekuivalen dengan jarak pembacaan lateral offset (meter)

30 25 20 15 12 10

60 392 335 278 221 187 164

70 401 344 287 230 196 -

80 409 352 295 238 204 -

90 418 361 304 247 - -

100 426 369 312 255 - -

110 434 377 320 - - -

120 443 386 - - - -

Sumber : Roadside Advertising Guide (2013:48)

b. Sudut pandang seorang pengamat ketika melihat sign yang berada di zona ‘nyaman melihat’ sangat mempengaruhi keterbacaan dari pesan yang ada dalam sign, sehingga selain sudut pandang dari pembaca terhadap

(7)

Gambar 3. (a) Hubungan antara kecepatan berkendara dengan jarak fokus pengemudi dan (b) hubungan antara kecepatan berkendara

dengan sudut pheriperal vision (Sumber : Motloch, 2001 : hal. 127)

Gambar 4. Sudut yang dibutuhkan pembaca

berkendaraan bermotor dengan posisi sign

menghadap tegak lurus kepada pembaca (Sumber : Grove, 2006)

c. Pengendara bermotor di jalan Tunjungan akan mengalami kesulitan dalam mengamati

sign jika bergerak terlalu cepat, umumnya

kecepatan bergerak di jalan ini saat kondisi

peak hour adalah antara 10-30 km/jam.

Se-hingga disarankan agar pengamatan menjadi efektif untuk berada pada kecepatan 5 m/s atau 18 km/jam. Jumlah huruf yang banyak mempersulit pembacaan, karena membutuh-kan waktu yang lebih banyak. Untuk pembacaan salah satu sign terpanjang yaitu “ASURANSI WAHANA TATA”, jumlah hurufnya adalah 18 huruf, sehingga dengan rumus DMR (2002) dan Motloch (2001) didapatkan bahwa Jarak pembaca mulai melakukan observasi terhadap sign (L) ada-lah 76,77 m; Jarak pembaca mulai membaca

sign (2/3L) adalah 50,8 m; Jarak pembaca harus menghentikan pembacaan sign (S cot θ) adalah 28,356 m; dan Panjang jarak yang diperbolehkan seorang pembaca membaca

sign (0,25Nv) adalah 22, 5m. Artinya serang pembaca bermotor dengan kecepatan 18 km/jam harus bisa membaca sign dalam waktu kurang dari 4,5 detik. Dengan batasan tersebut, maka pembacaan sign untuk semua bangunan dari Yayasan Nurussalam-Rabo Bank hingga Museum Pers masih bisa

dila-kukan, namun tidak untuk deret bangunan eks-Pasar Tunjungan mulai dari BPN hingga gedung Museum Pers. Sign pada gedung museum pers tidak dapat dibaca dari arah Jalan Tunjungan karena posisi sign berada di bagian Selatan-Barat menghadap jalan Em-bong Malang, sedangkan jalan Tunjungan merupakan jalan satu arah dari Utara ke Selatan, sehingga untuk membaca sign ba-ngunan ini harus dilihat dari arah Embong Malang. Sehingga disimpulkan bahwa pem-bacaan terhadap sign yang memiliki arah hadap searah dengan jalan Tunjungan me-nyulitkan bagi pengguna jalan disebabkan sudut yang dibentuk berada di luar kurva sudut pandang yang nyaman digunakan untuk membaca. Selain itu pembacaan sign

dengan sudut pandang yang sulit terbaca dapat membahayakan keselamatan berken-dara bagi pengguna kenberken-daraan bermotor. Sebaliknya pembaca sign yang berjalan di atas pedestrian ways yang terletak di bawah kanopi bangunan tidak mengalami kesulitan ketika membaca sign yang berada di sebe-rang jalan, akan tetapi justru mengalami ma-salah ketika membaca sign yang berada di sisi jalan yang sama dengan pembaca. Hal ini dikarenakan sign terletak di fasade bangunan, sedangkan pembaca berada di bawah kanopi bangunan atau memiliki sudut baca yang diluar zona nyaman. Oleh karena itu bangunan di jalan Tunjungan memerlu-kan jenis marquee sign dan projected sign

yang menghadap ke arah pembaca agar identitasnya bisa dikenali.

Character Appraisal

Komponen Keseimbangan

a. Keseimbangan visual yang dimaksud adalah kondisi dimana obyek-obyek dalam formasi yang bersangkutan telah demikian menyatu-nya. Obyek yang dimaksud adalah sign dari bangunan itu sendiri dengan bangunannya. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan (Wondoamiseno, 1996).

b. Di antara bangunan-bangunan tersebut yang sudah memiliki keseimbangan dalam bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan adalah sign milik Kantor BPN, Hotel Mojopahit, Rabo Bank dan Toko Lalwani.

c. Ukuran keseimbangan bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan bersifat sangat subyektif namun bisa dirasa-kan oleh pengamat. Pengamatan terhadap

(8)

BUDAYA

komponen ini hanya bisa dilakukan oleh pembaca sign yang berjalan kaki, sedangkan pengamat berkendaraan bermotor tidak akan bisa mengamati dikarenakan posisi penga-mat yang tidak menghadap tegak lurus pada fasade bangunan yang diamati.

Gambar 5. Contoh bangunan yang memiliki

keseimbangan dalam bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan

d. Secara formasi sign, di jalan Tunjungan terdapat 7 bangunan konservasi yang meng-gunakan keseimbangan simetris, 3 bangunan asimetris dan 3 bangunan tidak memiliki formasi keseimbangan sign. Secara umum formasi penempatan sign di bangunan ko-lonial pada umumnya menggunakan formasi keseimbangan simetris terhadap bangunan.

Komponen Kesatuan

a. Kesatuan yang dimaksud adalah melihat

sign dan bangunan sebagai satu keseluruhan utuh (dominasi, pengulangan dan kesinam-bungan) (Wondoamiseno, 1996).

Gambar 6. Contoh bangunan yang memiliki

kesatuan dalam dalam dominasi, pengulangan dan keseimbangan dengan karakter bangunan

b. Kesatuan dari sign dengan bangunan diperoleh dari keberadaan ukuran dimensi

sign yang tidak mendominasi terhadap bangunan. Dimensi sign memiliki ukuran yang sesuai dengan bagian bangunan yang bisa ditempeli sign namun tetap bisa terlihat dengan baik oleh pengguna jalan. Ke

tidak-dominanan sign yang baik dapat dilihat pada bangunan Hotel Mojopahit, museum Pers atau pada Rabo Bank.

c. Kesatuan dari sign dengan bangunan akibat pengulangan/repetisi dari bisa dilihat dari Museum Pers yang menempatkan beberapa

sign di sisi bangunan sebagai penguatan dan pengenalan identitas bangunan dengan de-sain sign yang senada dan pada hotel Mojo-pahit yang melakukan ekstensifikasi bentuk

sign dengan bentuk wallsign, free standing

sign, projected sign dan awnings yang

selaras dengan tema langgam bangunan. d. Kesatuan dari sign dengan bangunan juga

diperoleh dengan pengulangan/repetisi yang menempatkan beberapa sign di sisi bangunan sebagai penguatan dan pengenalan identitas bangunan dengan desain sign yang senada dan ekstensifikasi bentuk sign

dengan bentuk wallsign, free standing sign, projected sign dan awnings yang selaras dengan tema langgam bangunan.

Komponen Proporsi

a. Proporsi sign mengambil perbandingan panjang dan lebar sign dengan bangunan, dimana pengamatan proporsi ini dilakukan dengan menggunakan pengamatan secara visual (Wondoamiseno, 1996). Proporsi yang dimaksud bukan hanya pada bagian tu-lisan pengenal bangunan saja, tetapi menca-kup juga pada material penyangga/bidang papan sign yang menyangga sign ke tembok bangunan.

Gambar 7. Contoh bangunan yang memiliki

proporsi baik dalam pada koridor jalan Tunjungan

(9)

c. Sedangkan yang menggunakan bidang papan atau bahan fiber dengan pencahayaan internal sebagai landasan tulisan, yang proporsinya baik adalah milik Yayasan Nurussalam dan Rabo Bank. Papan sign

milik Yayasan Nurussalam bisa terlihat menyatu dengan bagian bangunan karena tersamarkan dengan bentuk tutupan angin-angin dari gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan sign. Sedangkan papan fiber milik Rabo Bank terkesan seolah-olah membentuk dinding penghalang tampias hujan untuk gedung.

d. Bangunan juga memiliki proporsi visual yang baik jika papan sign bisa terlihat menyatu dengan bagian bangunan karena tersamarkan dengan bentuk salah satu komponen fasade bangunan dari gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan

sign atau terkesan seolah-olah membentuk salah satu komponen fasade bangunan.

Komponen Skala

a. Pendekatan skala mirip dengan pendekatan proporsi, hanya saja pada skala ini menggunakan perbandingan skala manusia dengan bangunan dan manusia dengan sign

(Wondoamiseno, 1996). Pengamatan terhadap skala ini juga dilakukan dengan menggunakan pengamatan secara visual, dimana pengamat tidak melakukan pengukuran secara teknis tapi hanya membandingkan dari sudut pandang pengguna jalan.

b. Bangunan yang sudah memiliki skala visual baik, pada umumnya menggunakan bentuk

sign dari tulisan yang di-emboss keluar. Kesan yang menarik terlihat karena skala

sign tidak menguasai bangunan dan bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat. Bangunan yang menjadi contoh adalah Museum Pers, Hotel Mojopahit dan Tunjungan City.

Gambar 8. Contoh bangunan yang memiliki

skala sign yang baik pada koridor jalan Tunjungan

c. Sedangkan yang menggunakan bidang papan atau bahan fiber dengan pencahayaan internal sebagai landasan tulisan, yang skalanya sudah cukup baik adalah milik Yayasan Nurussalam dan Rabo Bank. Skala papan sign milik Yayasan Nurussalam terlihat tidak dominan terhadap fasade bangunan karena tersamarkan dengan bentuk tutupan angin-angin dari gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan

sign dan membentuk kesamaan bentuk horizontalitasnya. Sedangkan papan fiber milik Rabo Bank membentuk skala yang sesuai dengan ukuran dinding penghalang tampias hujan.

d. Khusus pada sign milik CIMB Niaga ada beberapa catatan khusus, secara skala memang ukuran sign ini sudah terlihat sesuai dengan ukuran dan bentuk gedung, akan tetapi penempatan yang menutupi beberapa elemen detil bangunan perlu menjadi pertimbangan tersendiri untuk melakukan desain ulang terhadap bentuk, dimensi dan penempatannya.

e. Sehingga disimpulkan bahwa : (1) Skala

sign yang baik adalah yang tidak menguasai bangunan dan bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat. (2) Skala

sign yang baik adalah yang tidak dominan terhadap fasade bangunan dengan cara menyamarkan ukuran dengan komponen fasade gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan sign dan membentuk kesamaan bentuk horizontalitasnya. (3) Skala sign

yang baik adalah yang memiliki penempatan di fasade bangunan yang tepat, sehingga tidak menutup bidang pandang ke komponen fasade dari bangunan konservasi.

Proses berikutnya setelah mendapatkan hasil penelusuran melalui Walkthrough dan penguatan data bangunan melalui Character Appraisal adalah penyusunan appraisal dan decision. Agar lebih mudah terbaca maka disusun dalam tabulasi dengan susunan sebagai berikut :

Gambar 9. Susunan posisi penyusunan

Alternatif pemecahan masalah hingga pengambilan keputusan akhir pemilihan arahan

(10)

BUDAYA

Pembahasan hasil Walkthrough pada Aspek Kesinambungan dan Kejelasan

Fakta Lapangan :

a. Reklame berbentuk bando/melintang di tengah jalan dan JPO dapat membuat bentuk kesinambungan dari enclosure sebuah koridor menjadi terputus.

b. Ketinggian kanopi pohon, ketinggian atap bangunan dan ketinggian pemasangan sign

pada levelling bangunan dapat membantu membentuk sebuah garis koneksi yang menghubungkan antar bangunan sehingga membentuk rangkaian kesinambungan antar bangunan.

c. Kemunduran bangunan dari Ruang Milik Jalan mempengaruhi lebar Garis Sempadan Bangunan juga mempengaruhi kesinambu-ngan garis enclosure koridor. Semakin mun-dur suatu bangunan, maka akan membuat “lubang” pada garis massa bangunan kawa-san yang membuat garis enclosure terputus di suatu titik.

d. Kecepatan berkendara mempengaruhi pengamatan terhadap City gate, dimana jika pengendara menjalankan kendaraan semakin cepat maka City gate akan semakin tidak terasa.

e. Pengamatan enclosure koridor terbantu dengan ketinggian bangunan dan keteraturan massa bangunan yang memudahkan pengamat melihat detil bangunan, termasuk di dalamnya sign sebagai bagian bangunan yang bisa membantu membentuk sebuah enclosure dalam deret sign yang tercipta pada sebuah koridor.

f. Tinggi huruf dan panjang kata dalam sign

sangat mempengaruhi kejelasan pembacaan terhadap sebuah sign bagi pengguna kendaraan bermotor.

g. Sudut melihat sign yang berada di zona nya-man melihat sangat mempengaruhi keterba-caan dari pesan yang ada dalam sign, se-hingga selain sudut pandang dari pembaca terhadap sign maka sudut penempatan sign

terhadap bangunan juga harus diletakkan tegak lurus dengan fasade bangunan agar bisa terlihat oleh pembaca baik yang berja-lan kaki maupun berkendaraan bermotor.

Faktor pertimbangan dari referensi :

a. Pembentuk kesinambungan dalam deret bangunan pada sebuah koridor ditentukan oleh 3 hal; yaitu : Orientasi, Posisi dan Isi (Cullen, 1961).

b. Pemahaman kesinambungan menggunakan asumsi dengan melihat “kesamaan umum”

antara bangunan lama-bangunan baru, bangunan lama-bangunan lama dan bangunan baru-bangunan baru yang terdapat pada koridor jalan Tunjungan dengan melihat seperti pada kesamaan ketinggian, kesamaan bahan material dan kesamaan massa bangunan (Brolin, 1980).

c. Hendraningsih (1985) menjelaskan bahwa ciri-ciri visual tersebut tidak bisa berdiri secara independen, tetapi terpengaruh oleh pada suatu keadaan, antara lain : a) Perspek-tif atau sudut pandang pengamat; b) Jarak pengamat terhadap benda tersebut; c) Kea-daan pencahayaannya; d) Lingkungan visual yang mengelilingi benda obyek tersebut. d. Penempatan sign agar jelas terlihat harus mempertimbangkan : a) Penempatan longitudinal (membujur); b) Penempatan lateral dan ketinggian; c) Tata letak jalan, lingkungan dan topografi; d) Orientasi permukaan sign sehubungan dengan para pengemudi (Grove, 2006).

f. Penandaan diharapkan tidak terlalu detail atau berantakan sehingga membuat sign tak bisa dibaca oleh lalu lintas kendaraan (Verona Design Guidelines Version 1.0. 2009).

g. Pasal 10c UU. No 11 th 2010 : Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila: memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun; h. Pasal 80 UU no.11 th 2010 : (1) Revitalisasi

potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya asli berdasarkan kajian. (2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya.

Hasil Evaluasi

(11)

Ketinggian sign antara yang di fasade ataupun free standding sign disamakan agar membentuk garis levelling dan garis enclosure koridor Sign tidak terlalu detail agar mudah

terbaca lalu lintas kendaraan

Sign dipasang menghadap pembaca b. keberadaan JPO yang dijadikan struktur

penyangga billboard menyalahi peraturan perundangan Cagar Budaya dan pengaturan koridor secara teoritis. Keberadaan JPO menyalahi pasal 10C dan pasal 80 UU no.11 th 2010 karena merusak fungsi ruang kawasan konservasi dan melemahkan informasi tentang Cagar Budaya.

c. peletakan sign antar muka bangunan yang belum teratur belum bisa menggambarkan enclosure koridor di masa lalu, sehingga keberadaan sign yang ada pada saat ini masih belum bisa menguatkan kawasan sebagai koridor kawasan cagar budaya d. Pembaca sign memerlukan kemudahan

dalam untuk membaca sign di jalan Tunjungan, oleh karena itu dengan menyesuaikan dimensi jalan dan posisi bangunan terhadap jalan maka bangunan konservasi di jalan Tunjungan memerlukan

sign yang posisinya tegak lurus terhadap jalan dan sejajar terhadap jalan agar bisa dibaca dengan baik oleh pejalan kaki yang berjalan di pedestrian dan pengendara kendaraan yang berada di badan jalan.

Kriteria terpilih

a. Untuk membentuk kesinambungan garis

enclosure, maka sign pada fasade bangunan

dalam 1 koridor harus dipasang segaris pada ketinggian yang sama dengan mempertimbangkan garis ketinggian

levelling bangunan di jalan Tunjungan.

b. Sign harus mudah terbaca oleh pengguna jalan

c. Panjang huruf dibatasi agar mudah terbaca pengguna kendaraan bermotor

Konsep terpilih

a. Ketinggian sign antara yang di fasade ataupun free standing sign disamakan setinggi pada garis levelling bangunan dalam koridor

b. Sign dipasang untuk melayani kebutuhan bagi orang yang membacanya dan bukan untuk kebutuhan dari bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, arah hadap Sign dipasang dengan menghadap kepada pembacanya, sehingga harus ada sign yang dipasang sejajar bangunan agar mudah dibaca pejalan kaki dari seberang jalan dan tegak lurus terhadap bangunan agar mudah dibaca pengguna kendaraan bermotor maupun pejalan kaki yang berjalan di bawah kanopi bangunan.

c. Sign tidak terlalu detail agar mudah terbaca lalu lintas kendaraan, yaitu dengan

mencantumkan logo yang mudah dikenali masyarakat, membatasi tulisan dalam 1 hingga 2 kata pendek dan ditulis dalam 1 lajur. Sign hanya perlu menunjukkan produk yang ditawarkan dalam bangunan. Sedangkan untuk konten penunjang yang lain bisa dipajang dalam storefront atau di bagian lain yang bersifat lebih internal dari gedung dan tidak mengganggu fasade bangunan.

Gambar 10. Penempatan sign untuk

membentuk enclosure bangunan

Gambar 11. Penempatan sign yang

menghadap arah lalu lintas pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor

Pembahasan hasil Character Appraisal pada Aspek Keseimbangan, Kesatuan, Proporsi dan Skala.

Fakta Lapangan :

a. Di antara bangunan-bangunan tersebut yang sudah memiliki keseimbangan dalam bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan adalah sign milik Kantor BPN, Hotel Mojopahit, Rabo Bank dan Toko Lalwani.

b. Kesatuan dari sign dengan bangunan diperoleh dari keberadaan ukuran dimensi

sign yang tidak mendominasi terhadap bangunan. Dimensi sign memiliki ukuran yang sesuai dengan bagian bangunan yang bisa ditempeli sign namun tetap bisa terlihat dengan baik oleh pengguna jalan. Ketidak-Bentuk dan dimensi ukuran sign kurang dari setengah

luas bidang yang boleh dipasangi sign

Sign dipasang sejajar garis levelling lantai

Sign tidak terlalu detail dan menghadap arah lalu lintas

2 buah Sign dipasang dalam 1 bangunan, untuk memudahkan dibaca pengguna jalan

sign dipasang sejajar bangunan, agar mudah terbaca pejalan kaki

(12)

BUDAYA

dominanan sign yang baik dapat dilihat pada bangunan Hotel Mojopahit atau Rabo Bank. c. Bangunan yang sudah memiliki proporsi

visual baik, pada umumnya menggunakan bentuk sign dari tulisan yang di-emboss keluar. Proporsi ini selain memberikan kesan menarik, juga terlihat tidak menguasai bangunan dan bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat. Bangunan yang menjadi contoh adalah Museum Pers, Hotel Mojopahit dan Tunjungan City. Ada pula proporsi yang terbentuk dari bidang papan atau bahan fiber dengan pencahayaan internal sebagai landasan tulisan dengan kualitas baik, seperti milik Yayasan Nurussalam dan Rabo Bank. Papan fiber milik Rabo Bank terkesan seolah-olah membentuk dinding penghalang tampias hujan untuk gedung

d. Bangunan-bangunan yang dianggap sesuai antara bentuk 2D-nya secara umum mengikuti bentuk dasar dari bidang yang ditempati. Jika bidang bangunan dominan segi empat, maka bentuk sign juga segi empat, seperti pada Rabo Bank, Yayasan Nurussalam dan CIMB Niaga.

e. Sedangkan komposisi yang sesuai karena tidak terikat dengan fasade bangunan akibat dari bentuknya yang hanya berupa emboss tulisan adalah milik Hotel Mojopahit, Museum Pers dan Tunjungan City.

f. Komposisi yang sifatnya bebas digunakan oleh BPN, karena posisi sign berupa free standing sign yang terpasang diatas gerbang masuk menjadikan sign sebagai sebuah gapura pintu masuk bangunan, sehingga tetap sesuai perannya sebagai pintu yang tidak terikat oleh bentuk fasade bangunan.

Faktor pertimbangan dari referensi :

a. Image suatu kawasan dapat dinilai dari aspek Estetikanya, yang tentu saja berkaitan dengan estetika arsitektural dari bangunan-bangunan penyusunnya. Penilaian estetika terhadap tampak bangunan dari sebuah karya arsitektural secara intuisi dan rasional harus mengikuit prinsip-prinsip estetika yang meliputi: sumbu (axis), simetri, hirarki, irama, pengulangan, datum, transformasi, proporsi, skala, keseimbangan, emphasis/ te-kanan, solid/rongga dan warna (Ching, 1979). Pertimbangan estetika meliputi per-timbangan rasional dan perper-timbangan intu-isi. (Purwadarminto, 1976 dalam Wondoa-miseno, 1994). Pertimbangan rasional yang paling sering digunakan dalam merancang tampak bangunan adalah (1) keseimbangan

(balance), (2) kesatuan (unity), (3) proporsi (proportion) dan (4) skala (scale).

b. pasal 80 UU no.11 th 2010 : (1) Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya asli berdasarkan kajian. (2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya

Hasil Evaluasi

a. Adaptasi sign pada fasade bangunan konservasi harus mempertahankan nilai yang terkandung dalam sebuah bangunan cagar budaya, dimana yang termasuk dalam nilai-nilai tersebut adalah gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan sign

dengan estetika arsitektural bangunannya b. Estetika arsitektural yang dimaksud adalah

estetika terhadap tampak fasade bangunan dari sebuah karya arsitektural yang penilaiannya dilakukan secara intuisi dan rasional dengan mengikuti prinsip-prinsip estetika yang penilaiannya meliputi: sumbu (axis), simetri, hirarki, irama, pengulangan, datum, transformasi, proporsi, skala, keseimbangan, emphasis/ tekanan, solid/rongga dan warna sebagai hasil kajian yang mendalam

c. Bentuk, proporsi, warna dan gaya sign tidak boleh mendominasi bangunan, memberikan kesan menarik dan juga terlihat tidak menguasai bangunan, serta bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat d. Komposisi sign di muka bangunan harus

selaras dengan komposisi 2D fasade bangunan dengan tetap mengacu pada tata ruang dan tata letak yang berlaku pada langgam bangunan

e. Sign yang menggunakan penyangga dan terletak diluar massa bangunan (free standing sign) tidak mempengaruhi komposisi fasade bangunan, sehingga diperbolehkan memiliki bentuk dasar apapun selama sesuai dengan langgam bangunan dan memberikan penguatan informasi tentang bangunan Cagar Budaya

Kriteria Terpilih

a. Sign harus mempertahankan nilai asli bangunan cagar budaya, mampu beradaptasi dengan gaya bangunan konservasi dan harus memiliki nilai estetika arsitektural

(13)

Free standing sign dengan pencahayaan eksternal di Jalan Tunjungan

Desain Free standing sign

dengan pencahayaan internal/eksternal untuk Jalan Tunjungan

c. Sign yang terlepas dari bangunan harus mampu menjadi penguat informasi bangunan

Konsep Terpilih

a. Sign di kawasan konservasi cagar budaya mengikuti pola desain era kolonial, dimana bentuk-bentuk baru dari sign mengikuti bentuk, gaya, pola dan cara pemasangan konstruksinya mengikuti pola pada masa dibangunnya kawasan dimana bangunan konservasi didirikan.

b. Sign yang menempel pada dinding bangunan dibentuk dari cat atau semen yang dicetak membentuk emboss logo atau tulisan, sedangkan yang berbentuk papan dari kayu, logam atau neon box diberi jarak kurang dari 15 cm agar tidak terlihat seperti massa bangunan yang terpisah.

c. Sign yang terpisah dari bangunan tetapi masih berada dalam site bangunan, tetap berfungsi sebagai tanda pengenal bangunan dan bukan reklame produk yang tidak berhubungan dengan kegiatan yang dijual atau dilakukan di dalam bangunan.

Gambar 11. Contoh penggunaan free standing

sign di Jalan Tunjungan pada era-kolonial (sumber :Troppen museum dan hasil analisa, 2013)

SIMPULAN

Hasil diskusi dari penelitian ini memberikan kesimpulan :

 Keberadaan sign yang melintang di tengah jalan merusak jalinan keterhubungan antar bangunan sehingga keberadaannya sangat mengganggu.

 Kemunduran bangunan, kecepatan berkendara, ketinggian huruf, panjang kalimat dalam sign, kedudukan sign

terhadap bangunan dan arah hadap sign

mempengaruhi kejelasan pembacaan terhadap sign.

Nilai estetika sign ketika terpasang pada bangunan konservasi ditentukan pada tingkat gangguan dari sign terhadap bangunan. Semakin sebuah sign menghalangi pengguna jalan untuk melihat fasade dan ornament hiasan bangunan, maka nilai estetikanya semakin rendah. Demikian juga sebaliknya jika sebuah sign mampu menonjolkan dan menguatkan fasade bangunan serta mendukung konsep konservasi kawasan, maka nilai estetikanya semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ashihara, Yoshinobu (1970), Exterior Design in

Architecture, New York : Van

Nostrand Reinhold Company.

Ching, Francis D.K. (1979), Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Tatanan (terjemahan edisi ketiga), Jakarta: Erlangga.

Cullen, Gordon (1961), Townscape, New York: Van Nostrand Reinhold.

Darjosanjoto, Endang T.S. (2006), Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan dan Permukiman, Surabaya: ITS Press. Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan

Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1870-1940), LPPKM UK. Petra Surabaya & Penerbit Andi Yogyakarta.

Krier, Rob (1979), Urban Space. Rizolli International Publications, Inc

Lynch, Kevin (1960), The Image Of The City. U.S: The M.I.T. Press.

Manaugh, Kevin (2011), “Toward a

Comprehensive Understanding Of Walking Behaviour: Incorporating Attitudes, Values, Preferences,

Socio-Economic Factors and Home

Location Decision”, TRAM-Seminar,

McGill-SOUP

Moughtin, James Clifford (1992), Urban Design:

Street and Square. British Library

Cataloguing in Publication Data: Butterworth-Heinemann Ltd.

Moughtin, James Clifford (1999), Urban Design:

Method and Techniques. British

Library Cataloguing in Publication Data: Butterworth-Heinemann Ltd. Moehadjir, Noeng (2000), Metodologi Penelitian

(14)

BUDAYA

Natalivan, Petrus (1997), Pedoman Teknis Penataan Media Reklame Luar Ruangan. Skripsi, ITB, Bandung. Rossi, Aldo (1982), The Architecture Of The

City, England : The MIT Press. Wondoamiseno, Rachmat (1996), “Evaluasi

Penggunaan Teori Pertimbangan

Gambar

Tabel 1. Daftar bangunan konservasi di koridor Tunjungan yang menjadi obyek pengamatan
Gambar 2. Sequence yang terbentuk dari pada muka bangunan saat ini dibandingkan wajah sign bangunan aslinya pada th
Gambar 4. Metode Urban Desain dalam
Gambar 5. Pembagian koridor wilayah
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks tersebut di atas, perlu adanya kebijakan dalam dokumen lain yang mendukung kebijakan tata ruang kota dan langsung berhubungan dengan pengaturan sumber emisi

Salah satu fasilitas di jalan bagi pejalan kaki adalah berupa trotoar. Penyediaan trotoar adalah merupakan tanggungjawab pemerintah dan pemanfaatannya adalah dari

Atas dasar inilah, maka fakta perseroan terbatas, bahwa tiap pesero yang ada di dalamnya hanya menerima saja, dan pernyataan qabul dengan qabul yang lain, tetap

Dengan itu, jelaslah kepada kita bahwa akhlak yang baik itu akan hanya dapat dimiliki oleh seseorang manusia apabila setiap diri mereka tersebut berupaya

Buay

Dalam konteks berbusana, menutup aurat bukan saja baik dan saran, bahkan para perempuan akan jauh terlihat lebih cantik, anggun dan berwibawa dengan busana yang menutup aurat,

Hubungan pernikahan jarak jauh ini juga dirasakan oleh para istri pelaut, dimana suami diharuskan untuk berlayar dan meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang sangat lama.. Dalam

Pihak eksternal yang memiliki kepentingan dalam perusahaan akan berupaya untuk melakukan analisa terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan, salah satu hal