• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran dan Signifikansi Migrant CARE seba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran dan Signifikansi Migrant CARE seba"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Makalah Kelompok Mata Kuliah Masyarakat Transnasional Nama : Tiara Maharanie (1206210856)

Peran dan Signifikansi Migrant CARE sebagai NGO Pembela HAM Buruh Migran Indonesia yang Bekerja pada Ranah Domestik di Malaysia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Peningkatan arus globalisasi yang terjadi pada saat ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia baik dari aspek sosial, politik, budaya, ekonomi hingga lingkungan. Globalisasi telah mendorong berbagai perubahan yang terjadi, selain itu, globalisasi juga mendorong munculnya fenomena baru atau mendorong signifikansi fenomena tertentu yang sebelumnya diabaikan. Salah satu fenomena tersebut yaitu semakin meningkatnya arus perpindahan manusia lintas-batas negara yang dilakukan atas motif ekonomi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Salah satu contoh fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya buruh migran yang datang ke Malaysia dari berbagai negara. Salah satu pemasok buruh migran terbesar ke Malaysia yaitu Indonesia. Berdasarkan data dari Malaysian Ministry of Human Resources diketahui bahwa terdapat 2.109.954 buruh migran yang saat ini bekerja di Malaysia dan sebanyak 50 persen dari pekerja tersebut berasal dari Indonesia (IOM, 2010). Besarnya jumlah buruh migran dari Indonesia ketimbang negara lain ini didukung oleh faktor geografis dimana wilayah Indonesia dan Malaysia berbatasan langsung sehingga secara geografis kedua negara ini sangat berdekatan (IOM, 2010). Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:

(Sumber: IOM, 2010)

(2)

terhadap buruh migran Indonesia. Berdasarkan data yang disampaikan oleh NGO di Malaysia, pada tahun 2006-2007, terdapat 1.050 pelanggaran HAM terhadap buruh migran Indonesia di Malaysia yang berhasil didokumentasikan (Le Fevre, 2007). Kemudian, pada tahun 2011, NGO Migrant CARE dari Indonesia melaporkan bahwa terdapat 17 pekerja migran Indonesia di Malaysia yang dijatuhi hukuman mati dan 348 lainnya memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk dikenai hukuman mati. Selain itu, Migrant CARE di tahun yang sama juga mencatat bahwa terdapat 14.074 buruh migran Indonesia yang tidak mendapatkan gaji, 3.070 buruh migran mengalami kekerasan fisik, 1.234 buruh migran mengalami kekerasan seksual dan 1.203 buruh migran meninggal dunia (The Jakarta Post, 2011).

Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi inilah yang mendorong munculnya NGO-NGO baik di Malaysia maupun di Indonesia sendiri yang berupaya untuk mengadvokasi permasalahan ini. Dari berbagai macam NGO tersebut, makalah ini akan memfokuskan pada peran NGO Migrant CARE dalam mengadvokasi pelanggaran HAM buruh migran Indonesia yang bekerja pada ranah domestik di Malaysia. Hal ini menjadi menarik karena Migrant CARE merupakan NGO yang memiliki link langsung di Malaysia dan juga terhubung dengan jaringan NGO lain di tingkat internasional. Hal ini mempermudah Migrant CARE untuk bekerja dalam arena kebijakan maupun pada grassroot level (Ford & Susilo, 2010).

1.2 Pertanyaan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka makalah ini berusaha menjawab pertanyaan: “Bagaimana peran dan signifikansi Migrant CARE sebagai NGO yang membela hak-hak buruh migran Indonesia yang bekerja pada ranah domestik di Malaysia?”

1.3 Kerangka Teori

Makalah ini akan menggunakan tulisan Forsythe yang berjudul “Human Rights in International Relations” sebagai kerangka teori untuk melakukan analisis terhadap peran dan signifikansi peran NGO, yang dalam hal ini adalah Migrant CARE, dalam isu perlindungan HAM buruh migran Indonesia di Malaysia.

(3)

Dalam tulisannya, Forsythe (2000, 166-172), menjelaskan empat prosedur peran dan aktivitas yang dijalankan NGO dalam upaya untuk memberikan dukungan dan mengupayakan perubahan terhadap isu yang diperjuangkan. Prosedur peran tersebut terdiri dari:

1. Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan

NGO berusaha untuk mengumpulkan seluruh data dan informasi terkait isu yang diperjuangkan termasuk data dan informasi yang dianggap kurang penting oleh entitas lain. Selain itu, NGO juga memiliki kemampuan untuk mengumpulkan jenis informasi dan data yang sulit diakses oleh pihak lain. Data dan informasi tersebut harus diolah dengan baik oleh NGO sehingga informasi tersebut dapat disebarluaskan secara akurat.

2. Melakukan persuasi terhadap otoritas publik

Persuasi dilakukan untuk mengupayakan perubahan terhadap standar HAM yang telah ada dan menerapkan perubahan tersebut. Aktivitas ini disebut dengan lobbying. Namun, karena sifatnya yang non-politik, NGO cenderung menggunakan kata ‘edukasi’ terhadap aktivitas tersebut. Salah satu bentuk persuasi yang dilakukan NGO yaitu melalui kampanye.

3. Mempublikasikan informasi yang di dapat untuk edukasi jangka panjang

Dalam aktivitasnya, NGO tidak mengharapkan perubahan langsung. Tujuan NGO yaitu untuk mempengaruhi proses jangka pendek agar dapat memiliki pengaruh yang bersifat jangka panjang. Dengan publikasi informasi yang dilakukannya, NGO berupaya untuk menarik perhatian masyarakat terhadap isu yang diangkat dan menyuarakan pentingnya perubahan kepada pemerintah, seperti perubahan terhadap kebijakan pemerintah.

4. Menyediakan bantuan langsung

NGO juga memberikan bantuan langsung kepada civil society yang diperjuangkan. Bantuan ini dapat berbentuk judicial lobbying dimana NGO memberikan bantuan legal kepada civil society yang menjadi korban baik melalui saran dan edukasi terkait permasalahan hukum hingga melakukan lobi di tingkat pengadilan.

B. Signifikansi Peran dan Pengaruh Aktivitas NGO

(4)

tulisannya memformulasikan empat tingkat keberhasilan NGO (Forsythe, 2000) yang terdiri dari:

1. Sukses untuk meletakkan agenda atau subjek tertentu sebagai bahan diskusi 2. Sukses untuk memicu terjadinya diskusi yang mendalam

3. Sukses untuk memicu perubahan prosedural atau institusional

4. Sukses dalam menghasilkan perubahan substantif pada kebijakan yang dapat memperbaiki atau mengatasi permasalahan yang ada.

Tingkatan tersebut memperlihatkan sejauh mana signifikansi peran dan kesuksesan aktivitas NGO dalam mengadvokasi isu tertentu. Pada dasarnya, banyak cara yang dapat digunakan untuk menjadi indikator kesuksesan aktivitas NGO, namun semua hal ini tergantung pada konteks kasus. Sehingga, yang terpenting dalam hal ini yaitu melihat aktivitas NGO yang mampu membuka ruang dan kemungkinan untuk perubahan yang lebih baik di masa yang akan datang.

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Perkembangan NGO di Indonesia

Non-Governmental Organisation atau NGO di Indonesia biasa disebut sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat). Perkembangan organisasi masyarakat di Indonesia telah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka, dimana menurut Sakai (2002, 161-162), hal ini terlihat dari adanya organisasi masyarakat yang berlandaskan nilai agama dan edukasi seperti pesantren, lumbung desa, dan sabak (sistem pengawasan irigasi di Bali). Meski demikian, akar organisasional NGO Indonesia modern yang berlaku saat ini berawal dari abad ke-19 yaitu saat modernisasi dimulai. Modernisasi memfasilitasi kelompok-kelompok elit-menengah untuk belajar dari Barat dan mulai aktif memperjuangkan perubahan sosial dan kultural akibat kolonisasi. Pergerakan masyarakat pun dimulai oleh berbagai organisasi yang datang bersamaan dengan nilai nasionalisme seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1909), Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926).

(5)

pada tahun 1970-an. Ketiga, munculnya kelompok-kelompok strategis yang mulai aktif menyuarakan idenya. Sebagian besar dari mereka merupakan masyarakat menengah-keatas, dimana menurut Sakai juga banyak memiliki relasi personal dengan elit pemerintah sehingga memungkinkan terjadinya negosiasi dan pengaruh terhadap pemerintah. Keempat, adanya dukungan teknis dan finansial dari komunitas internasional yang menstimulasi formasi NGO sebagai pihak penerima (Sakai, 2002, 163).

Lebih lanjut, meski jumlah NGO diperkirakan telah mencapai angka belasan ribu di Indonesia, namun organisasi yang telah tercatat dalam data resmi masih terbatas. Hal ini terlihat pada perkiraan total NGO pada pertengahan 1990-an yaitu sekitar 7.000 – 12.000, namun yang tercatat hanya sekitar 10% sampai 20% dari seluruhnya. Menurut Kementerian Dalam Negeri, pada tahun 1985 terdapat 1.810 NGO, 3.251 NGO pada 1989, dan 7.000 pada pertengahan 1990-an (Sakai, 2002, 165). Hal ini kemudian memperlihatkan bahwa pertumbuhan aktivitas NGO di Indonesia memang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Perubahan lingkungan politik dari Orde Baru kearah Reformasi kemudian memberikan ruang gerak yang semakin terbuka bagi aktivitas NGO. Meski masih terdapat tantangan bagi NGO dalam mempengaruhi birokrasi, serta masih lemahnya implementasi hukum dan regulasi terkait isu tertentu, namun keterlibatan civil society—termasuk NGO— menjadi salah satu karakteristik utama dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dari beragam bidang permasalahan yang ada, isu buruh migran merupakan salah satu yang paling menyita perhatian NGO dan civil society secara luas di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa terdapat beragam permasalahan kompleks yang terjadi pada isu tersebut sehingga memicu banyaknya NGO-NGO baru yang fokus pada permasalahan buruh migran, salah satunya Migrant CARE. (Sylvia Yazid, 2008, 1-2).

2.2 Pelanggaran HAM terhadap Buruh Migran Indonesia di Malaysia

(6)

89.00% 6.00% 4.00% 1.00%

Eksploitasi Terhadap Pekerja Domestik Indonesia

Malaysia Timur Tengah Indonesia Singapore

(Sumber: Andrevski & Lyneham, 2014)

Pelanggaran HAM yang terjadi terhadap buruh migran yang bekerja di ranah domestik di Malaysia terjadi dalam berbagai bentuk. Pelanggaran tersebut mulai dari tidak mendapatkan gaji, jam kerja yang melebihi batas, tidak mendapat waktu libur mingguan, kondisi kehidupan yang buruk, pekerjaan yang tidak aman, tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan domestik dan larangan untuk pindah kerja. Selain itu, terdapat pula eksploitasi dalam bentuk kekerasan psikologis dan mental kekerasan fisik, kekerasan seksual hingga perdagangan manusia (Andrevski & Lyneham, 2014).

(7)

(Sumber: Andrevski & Lyneham, 2014)

Kemudian, berbagai jenis pelanggaran HAM lainnya juga cukup sering terjadi. Sebanyak 86% buruh migran Indonesia yang bekerja di ranah domestik di Malaysia mengalami kekerasan psikologis dan mental. Selain itu, 63% mengalami kekerasan fisik dan 16% mengalami kekerasan seksual hingga pemerkosaan. Kemudian, dilaporkan pula bahwa sebayak 63% mengalami pencabutan hak untuk makan dan minum yang mengakibatkan mereka mengalami kelaparan, 85% tidak mendapatkan gaji sama sekali, dan 94% mengalami jam kerja yang berlebihan seperti bekerja lebih dari 8 jam per hari hingga harus selalu siaga selama 24 jam. Selanjutnya, dapat dilihat pula bahwa 63% mengalami kesulitan untuk mengakses jasa kesehatan, 39% harus hidup dalam kondisi yang tidak layak dan tidak sehat, serta 38% mengalami perdagangan manusia (Andrevski & Lyneham, 2014). Pelanggaran tersebut dapat dilihat dalam diagram berikut:

(Sumber: Andrevski & Lyneham, 2014)

(8)

panas, dipukuli dengan berbagai objek hingga ditekankannya setrika panas ke punggung dan dada Nirmala Bonat (Le Fevre, 2007). Kemudian, penyiksaan kepada Kunarsih dan Komariyah merupakan penyiksaan yang berakhir dengan kematian dari kedua buruh migran tersebut. Kunarsih meninggal setelah empat bulan bekerja dimana Ia mengalami pemukulan dengan benda tumpul hingga meninggal (Le Fevre, 2007). Sedangkan Komariyah meninggal setelah tiga tahun bekerja karena kelaparan dan mengalami penyiksaan fisik (Channel News Asia, 2014).

2.3 Peran Migrant CARE sebagai NGO yang Membela HAM Buruh Migran Indonesia di Malaysia

Saat ini, terdapat lebih dari 100 NGO di Indonesia yang menangani permasalahan terkait buruh migran (Le Fevre, 2007). Salah satu NGO tersebut yaitu Indonesian Association for Migrant Workers’ Sovereignty atau yang lebih dikenal sebagai Migrant CARE yang muncul sejak 22 Juni 2004 (Yazid, 2012). Migrant CARE merupakan NGO yang fokus untuk mendorong perubahan kebijakan dengan menggunakan kampanye melalui media dan mengadakan dialog dengan pemerintah (Le Fevre, 2007). Meskipun NGO ini masih termasuk baru, namun NGO ini telah mendapatkan reputasi di tingkat nasional dan internasional. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Ford dalam tulisannya yang mengatakan bahwa Migrant CARE “has taken on much of the advovacy promile formerly held by Kopbumi” (Yazid, 2012). Dalam menjalankan tugasnya, Migrant CARE menjalankan empat strategi utama yang terdiri dari konseling, advokasi, penelitian dan edukasi. Selain itu, Migrant CARE juga memiliki dua program yang ingin segera diwujudkan yaitu membangun kerja sama untuk advokasi pekerja migran di Asia Tenggara dan memberikan respon secara cepat (Humantrafficking.org).

(9)

KontraS, HRWG, Solidaritas Perempuan, INFID, Jala PRT dan NGO lainnya (Humantrafficking.org). Kemudian, Migrant CARE juga melakukan kerja sama dengan Human Rights Watch dan ILO (Humantrafficking.org, mfasia.org). Sehingga berdasarkan kerja sama tersebut dapat dilihat bahwa Migrant CARE telah membangun jaringan dengan NGO lainnya di tingkat nasional, regional hingga internasional. Kemudian, terkait hubungannya dengan pemerintah, Migrant CARE memiliki kantor perwakilan di Kuala Lumpur Malaysia (Yazid, 2012). Sedangkan terkait hubungannya dengan pemerintah Indonesia, Migrant CARE berhubungan langsung dengan DPR RI, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), dan Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia. Akan tetapi, hubungan Migrant CARE dengan BNP2TKI sendiri masih berjalan dengan kurang harmonis. Kemudian, terkait hubungannya dengan masyarakat sipil, selain mampu berhubungan langsung dengan Calon TKI, TKI dan keluarga TKI, Migrant CARE juga menjalin hubungan yang sangat baik dengan media massa (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013). Indonesia di rekrut untuk menjadi pekerja migran pada ranah domestik (mfasia.org). Selain itu, Migrant CARE juga mengumpulkan informasi-informasi untuk melakukan kajian mengenai keadilan global bagi buruh migran (Humantrafficking.org). Kajian ini sejalan dengan fungsi penelitian yang dijalankan oleh Migrant CARE. Selain itu, informasi yang dikumpulkan juga digunakan untuk menyusun laporan terkait kondisi buruh migran. Seluruh informasi ini, dikumpulkan dari berbagai sumber dan diolah untuk dipublikasikan kepada masyarakat sehingga dapat memberikan informasi yang akurat.

(10)

migran yang disebut Divisi Advokasi Kebijakan. Peran aktif Migrant CARE dapat dilihat dalam seminar atau diskusi yang dilakukan dalam Pers Room DPR RI yang selalu dihadiri Migrant CARE untuk mendesak DPR agar segera melakukan langkah konkret untuk membahas berbagai RUU terkait ketenagakerjaan (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013). Selain pada tingkat nasional, Migrant CARE juga menjalankan peran persuasi otoritas publik pada tingkat regional dimana Migrant CARE melakukan advokasi kepada sekertariat ASEAN agar mempunyai agenda terkait permasalahan buruh migran (IOM, 2010).

Peran selanjutnya dari NGO yang disampaikan oleh Forsythe yaitu peran untuk melakukan publikasi informasi untuk tujuan memberikan edukasi jangka panjang kepada masyarakat. Peran NGO dalam hal ini juga dijalankan oleh Migrant CARE. Hal ini terlihat dalam program pengembangan wacana keadilan global dari Migrant CARE pada poin pertama dan ketiga. Poin pertama menyebutkan bahwa Migrant CARE melaksanakan penyebaran isu keadilan global pada forum-forum nasional, regional dan internasional. Lalu pada poin ketiga, Migrant CARE melaksanakan programnya untuk mempublikasikan dan mendokumentasikan keadilan global dalam bentuk jurnal dan reportase (IOM, 2010). Selain itu, Migrant CARE juga menjalankan aktivitas ini melalui pembuatan modul dan training untuk mencegah perdagangan manusia yang disampaikan kepada masyarakat serta melalui pembuatan dan mempublikasikan buku panduan untuk buruh migran (Humantrafficking.org). Lebih lanjut, Migrant CARE juga mempublikasikan informasi melalui website resminya dan menerbitkan Buletin Migrant CARE dan Newsletter Migrant CARE yang dipublikasikan secara rutin setiap enam bulan (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013).

(11)

direalisasikan dengan membentuk Divisi Advokasi Kasus (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013).

Menurut Setyoningsih, Fitriyah dan Hermini, disampaikan bahwa divisi ini fokus pada upaya untuk melakukan penanganan kasus dan memberikan bantuan hukum dalam bentuk pembelaan dan konsultasi hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Divisi ini melaksanakan kegiatan pendampingan kepada calon TKI, TKI itu sendiri dan keluarga TKI. Kasus yang ditangani Migrant CARE sebagian besar merupakan kasus yang dilaporkan langsung oleh keluarga TKI atau TKI itu sendiri. Dalam aktivitasnya, Migrant CARE tidak hanya memberi bantuan di negara dimana buruh migran itu berada namun juga bantuan untuk memperoleh perlindungan dan bantuan hukum dari Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia dan BNP2TKI (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013).

2.4 Signifikansi Peran/Pengaruh Migrant Care

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab I Kerangka Teori, terdapat empat tahapan menurut Forsythe terkait signifikansi pengaruh NGO. Namun demikian, berdasarkan studi literatur, hingga saat ini Migrant CARE secara individual sebagai NGO belum mencapai pada empat tahap signifikansi menurut Forsythe. Meski telah banyak berbagai aktivitas yang dijalankan oleh Migrant CARE terkait buruh migran, namun hal ini belum sesuai dengan signifikansi tersebut. Hal ini berdasarkan berbagai fakta yang ada sebagai berikut.

Pertama, Migrant CARE belum mencapai pada tahap satu, yaitu sukses untuk meletakkan agenda atau subjek tertentu sebagai bahan diskusi. Hal ini dikarenakan permasalahan mengenai buruh migran, khususnya buruh migran di Malaysia telah menyita perhatian pemerintah dan publik bahkan sebelum Migrant CARE dibentuk pada 2004. Diskusi dan penyusunan hukum terkait buruh migran Indonesia dan para TKI di Malaysia telah sebelumnya dibahas oleh berbagai NGO seperti Solidaritas Perempuan ataupun Kopbumi (gabungan dari berbagai NGO) sejak tahun 2002 (Yazid, 2010). Oleh karena itu, argumen ini kemudian membawa pada poin signifikansi kedua, yaitu sukses untuk memicu terjadinya diskusi yang mendalam—yang juga belum berhasil dilakukan oleh Migrant CARE sendiri. Hal ini mengingat bahwa permasalahan buruh migran Indonesia di Malaysia telah banyak dibahas oleh berbagai NGO dan pemerintah, tidak hanya atas dorongan oleh Migrant CARE.

(12)

melalui media. Migrant CARE belum secara signifikan memberikan perubahan pada level pemerintah ada prosedural terkait masalah buruh migran di Malaysia. Hal ini terlihat berdasarkan paparan sebelumnya bahwa Migrant CARE banyak menangani kasus dan melakukan advokasi terkait buruh migran. Kalaupun terjadi perubahan, peran NGO khususnya Migrant CARE terbatas pada peran lobbying elit pemerintah melalui pendekatan personal (Yazid, 2010). Sebagai contoh, saat hukum No. 39/2004 dianggap tidak cukup dalam menjaga hak para buruh migran Indonesia dan perlu di amandemen, Migrant CARE melalui Wahyu Susilo hanya dapat melakukan lobi personal terhadap beberapa anggota parlemen, seperti Muhaimin Iskandar dan Pramono Agung. Terlebih lagi, tidak ada jaminan bahwa lobi personal ini akan sukses membawa agenda yang diajukan oleh Migrant CARE, mengingat bahwa pengambilan keputusan bergantung pada suara mayoritas di DPR.

(13)

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Andrevski, H., & Lyneham, S. (2014). Experiences of Exploitation and Human Trafficking Among a Sample of Indonesian Migrant Domestic Workers. Australian Institute of

Criminology. Retrieved 21 April 2014, from

http://aic.gov.au/media_library/publications/tandi_pdf/tandi471.pdf

Channel News Asia,. (2014). Malaysian couple to hang for starving Indonesian maid to death

- Channel NewsAsia. Retrieved 3 May 2014, from

http://www.channelnewsasia.com/news/asiapacific/malaysian-couple-to-hang/1024102.html

Ford, M., & Susilo, W. (2010). Organising for migrant worker rights. Insideindonesia.org. Retrieved 2 May 2014, from http://www.insideindonesia.org/feature-editions/organising-for-migrant-worker-rights

Forsythe, D. (2000). Human rights in international relations (1st ed.). Cambridge [England]: Cambridge University Press.

humantrafficking.org,. (n.d.). Migrant CARE Mission Statement. Retrieved 3 May 2014, from

http://www.humantrafficking.org/uploads/publications/migrant_care_mission_statement. pdf

International Organization for Migration,. (2010). Labor Migration from Indonesia. Jakarta: IOM.

IRIN News Indonesia,. (2009). INDONESIA-MALAYSIA: Abuse case highlights need for

stricter laws. Retrieved 3 May 2014, from

http://www.irinnews.org/report/85664/indonesia-malaysia-abuse-case-highlights-need-for-stricter-laws

Kaur, A. (2009). Labor Crossings in Southeast Asia: Linking Historical and Contemporary Labor Migration. New Zealand Journal Of Asian Studies, 11(1), 276--303.

Le Fevre, J. (2007). Indonesian domestic workers in Malaysia - abuse rape deadly beatings. photo-journ's newsblog by John Le Fevre. Retrieved 3 May 2014, from http://photo-journ.com/death-of-maid-in-malaysia-highlights-endemic-foreign-worker-abuse/#axzz30wYS9fqf

(15)

from http://www.mfasia.org/home/447-statement-of-human-rights-watch-and-migrant-care-indonesia-parliament-approves-migrant-workers-convention

Refworld,. (2004). Refworld | Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia. Retrieved 3 May 2014, from http://www.refworld.org/docid/412ee7434.html

Refworld,. (2004). Refworld | Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia. Retrieved 3 May 2014, from http://www.refworld.org/docid/412ee7434.html

Setyoningsih, E., Fitriyah, & Hermini. (2013). Peran LSM Migrant CARE dalam Membantu TKI Bermasalah di Arab Saudi Tahun 2009 dan 2010. Journal of Politic and Government Studies, 2(1).

Shinichi Shigetomi. (2002). The State and NGOs: Perspective from Asia. Singapore [Singapore]: Seng Lee Press Pte Ltd.

Thejakartapost.com,. (2011). ‘Govt fails migrant workers’. Retrieved 4 May 2014, from http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/20/govt-fails-migrant-workers.html

VOAIndonesia.com (2012). ‘Migrant CARE: Iklan ‘TKI on Sale’ Tidak Boleh Ditoleransi’. Retrieved 10 May 2014, from http://www.voaindonesia.com/content/migrant-care-iklan-tki-on-sale-tidak-boleh-ditoleransi/1535294.html

Yazid, S. (2014). Activism Of Indonesian NGOs On the Issue Of Women Migrant Workers: Engaging In National and International Cooperation (Undergraduate).

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian kinerja merupakan salah satu dari rangkaian fungsi manajemen sumber daya manusia, kegunaan penilaian kinerja adalah untuk mengukur kemampuannya dalam melakukan

Waktu kontak sediaan dengan permukaan kulit juga berpengaruh pada absorpsi obat melalui kulit.Semakin besar waktu kontak obat pada kulit maka konsentrasi obat

T ext mining juga dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk menemukan suatu informasi atau tren baru yang sebelumnya tidak terungkap dengan memroses dan

Kepuasan pernikahan terjadi pada wanita yang dijodohkan terjadi karena pemenuhan aspek dari kepuasan pernikahan tersebut sangat baik, baik dari komunikasi subjek

pelanggar menyingkirkan, mencegah, melakukan atau mengembalikan pada keadaan semula apa yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.. Penarikan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah sikap masyarakat Surabaya terhadap isi pesan iklan layanan masyarakat Peringatan Perlintasan Kereta

Oleh karena itu, kisah yang sangat menginspirasi dari teman-teman yang ada di network ini perlu dipublikasikan untuk menjadi bukti bahwa ternyata kita tidak

Berdasarkan hasil uji pada tampilan nilai t, maka diperoleh hasil variabel kecerdasan emosi merupakan variabel mediator untuk peranan humor cognitive terhadap stres