indoprogress.com
http://indoprogress.com/2015/04/menolakpahamsesatlokalitasgerakanmengaitkankembalimemoriakarsejarahpergerakanmahasiswadi indonesia/
Harian Indoprogress
Menolak Paham Sesat Lokalitas Gerakan: Mengaitkan Kembali
Memori Akar Sejarah Pergerakan Mahasiswa di Indonesia
Tanggapan Untuk Andre Barahamin
MEMBACA tanggapan Andre Barahamin[1] terhadap tulisan saya di IndoPROGRESS[2], bagi saya memiliki beberapa poin yang cenderung akan memukul mundur (regresif) arah gerakan mahasiswa itu sendiri. Alihalih menyodorkan antitesis terkait perbaikan arah gerakan mahasiswa sekarang, bagi saya
tanggapan tersebut malahan seperti remaja galau yang menolak belajar dari masa lalu. Mereka yang menganggap tidak penting dan membuangbuang waktu untuk belajar dari sejarah.
Kemudian hanya asyik dengan dunianya sendiri tanpa melihat realitas di sekitarnya.
Ada dua poin utama dari Barahamin dalam tanggapannya, yaitu menolak ‘memori dan romantika’ dalam gerakan mahasiswa dan
yang berkarakter regresif adalah lontaran proposal yang menekankan gerakan mahasiswa untuk mengutamakan masalah lokalitas dalam gerakan mereka, yaitu dengan menentang komodifikasi universitas. Dalam beberapa argumen, saya
http://indoprogress.com/2015/04/menolakpahamsesatlokalitasgerakanmengaitkankembalimemoriakarsejarahpergerakanmahasiswadiindonesia/ 2/9
komersialisasi pendidikan. Namun tawaran tersebut seharusnya tidak mengurung gerakan mahasiswa dalam lokalitas kampus semata.
Mencari dan Mengaitkan Kembali ke Akar Sejarah
Gerakan mahasiswa saat ini perlu memahami bahwa ia tidak bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Itu
mengapa menemukan kembali tradisi sejarah atau akar historis menjadi sesuatu yang penting dalam gerakan mahasiswa. Hal inilah yang coba saya kemukakan dalam tulisan terdahulu, sehingga saya melakukan pembabakan gerakan sejarah mahasiswa Indonesia dari masa ke masa. Namun patut diakui bahwa perunutan sejarah tersebut memerlukan penelitian lebih jauh sebagaimana kritik yang dilontarkan Barahamin dalam tulisannya.
Namun aspek terpenting sebagai cara untuk menemukan dan mengaitkan kembali pergulatan Indonesia hari ini ke akar sejarahnya adalah ‘memori’. Milan Kundera menulis, “langkah pertama untuk memusnahkan suatu bangsa cukup dengan menghapus memorinya. Hancurkan bukubukunya, kebudayaannya dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu, bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan melupakannya lebih cepat” (Priyatmoko, 2009). Langkah inilah yang dilakukan rejim Orde Baru ketika menjalankan politik kontrarevolusi paska1965, dengan memberantas gerakan politik rakyat, memberikan imajinasi ketakutan melalui berbagai propaganda keji dan mendesain rakyat menjadi massa mengambang (floating mass). Langkahlangkah tersebut sukses membuat rakyat Indonesia terputus dari memori yang menjadi sumber semangat perjuangan ‘menyelesaikan revolusi nasional Indonesia’ yang telah mengalami pergulatan selama 300 tahun dan terbentuk selama tahun 19121965.
Hasil dari proses kontrarevolusi itulah yang kita alami hingga saat ini. Hal yang juga membuat gerakan mahasiswa
sekarang terputus dari proses dialektika sejarah perjuangan politik Indonesia yang terentang dari masa kolonial sampai era revolusi nasional. Era dimana rakyat dan mahasiswa memiliki memori dan imajinasi untuk melakukan perubahan melalui politik. Bentuk yang melalui proses panjang, namun dihancurkan oleh regim Orba selama 32 tahun berkuasa (Lane, 2014). Kenyataan tersebut membuat sebagian besar generasi saat ini tidak memiliki memori perjuangan yang berakar kuat pada sejarah. Akibatnya gerakan politik rakyat dan mahasiswa kehilangan pedomannya. Yang kemudian membuka ruang
Proses kontrarevolusi juga menjadi karpet merah bagi berkembangnya kapitalisme di Indonesia yang menggurita sampai sekarang. Kebijakan pemerintah yang berpondasikan neoliberalisme, akhirnya berjung pada kapitalisasi kampus,
penghisapan rakyat dan fasilitasi terhadap hakhak eksklusif kaum pemilik modal. Sehingga perlawanan yang harus dilakukan gerakan mahasiswa ke depan mestilah menghubungkan dan membangun kembali dan bahkan melampaui perjuangan politik rakyat yang terbentuk pada 19121965 ketika berhasil menentang kolonialisme. Itu mengapa kita perlu teori sebagai pondasi gerakan dan praktek di lapangan. Artinya memori pergerakan harus dibimbing untuk tidak
mengingkari pergulatan akar sejarah kita sebagai bangsa dan romantika, pada titik tertentu. menjadi penting sebagai alat propaganda dan agitasi untuk menggelorakan semangat kesadaran serta perjuangan massa.
http://indoprogress.com/2015/04/menolakpahamsesatlokalitasgerakanmengaitkankembalimemoriakarsejarahpergerakanmahasiswadiindonesia/ 4/9 Foto diambil dari https://www.bing.com
Menghancurkan Sekat Lokalitas Gerakan Mahasiswa
Menghadapi fakta mencuatnya kapitalisme di dalam segala sendi kehidupan (termasuk di universitas), Baharamin
kemudian mengajukan proposal yang menekankan gerakan mahasiswa mengutamakan masalah lokalitas dalam gerakan mereka yaitu menentang kapitalisme di universitas. ‘Solidaritas lintas sektor’ baginya, ‘seberapa pentingnya sekalipun, tidak dapat dijadikan pembenaran untuk meninggalkan arena pertarungan gerakan pelajar’. Lebih lanjut Barahamin menjelaskan bahwa:
…universitas tak lain adalah pabrik, tenaga administrasi dan para pengajar berperan sebagai buruh, dan pelajar adalah produk yang dihasilkan dari mata rantai produksi tersebut. Gerakan pelajar mesti memahami dengan benar dan serius bahwa medan pertarungan dirinya yang sejati tidaklah terletak di luar institusi pendidikan, tetapi di dalam kampus. Meninggalkan kampus tidak lain merupakan bentuk impotensi dan cacat filosofis yang hari ini marak di tengah gerakan pelajar. Ironisnya hal tersebut sering dilabeli dengan heroik untuk menutupi logika jungkir balik di tengah serikatserikat pelajar saat memandang dirinya.
Gagasan Andre Barahamin ini sebenarnya sudah jauhjauh hari dibantah dan bertentangan dengan gagasan Lenin tentang peran ‘intelektual sosialdemokrat’ dalam gerakan politik proletar, gagasan Gramsci tentang ‘intelektual organik’ dan kritik tajam dari Ernest Mandel ketika menghadiri dan berpidato di ‘Majelis Internasional Mahasiswa Revolusioner”’ pada tahun 1968.
Memang benar bahwa universitas sekarang tak ubahnya mesin yang memproduksi para ‘proletar’, yang mana membuat mahasiswa tidak memiliki kesempatan menentukan kehidupan mereka sendiri di dalam kampus. Begitu pula untuk
menentukan kurikulum pendidikan. Kenyataan tersebut membuat mahasiswa teralienasi dalam kehidupan mereka. Akar penyebab utama keadaan tersebut tak lain adalah ‘kapitalisme’, artinya selama masih ada kapitalisme maka proses alienasi dan penghisapan masih akan terus terjadi. Sehingga penghancuran sistem kapitalisme ini tidak bisa dilakukan hanya di kampus saja, karena proses kerja kapitalisme berada di segala sendi kehidupan masyarakat.
Artinya kesadaran gerakan ini harus dimulai dan dilakukan di masyarakat, dengan menyebarluaskan gagasan dan
kesadaran massa guna membangun blok historis untuk memukul sistem kerja kapitalisme ini. Berupaya mengubah sistem ini hanya di kampus semata adalah sebuah kekonyolan, karena tidak akan dapat menghancurkan kapitalisme itu sendiri. Perlu dicermati bahwasanya kampus adalah bagian dari masyarakat, sehingga yang diperlukan adalah gerakan di tengah masyarakat secara luas. Gerakan mahasiswa harus mampu menyadari bahwa komersialisasi pendidikan yang telah dan sedang berlangsung di kampuskampus, tak bisa dilepaskan dari menjalarnya kapitalisme dalam segala sendi kehidupan.
Perlawanan terhadap kapitalisme berarti menyaratkan mahasiswa untuk bergerak lintas sektor untuk membentuk blok historis. Itulah mengapa, sebagaimana dikatakan Lenin, mahasiswa yang telah memiliki kesadaran sebagai intelektual sosialdemokratik perlu membawa kesadaran dan teorinya ke tengahtengah gerakan buruh dan gerakan petani (Lenin, 1902). Sehingga perlawanan yang dapat dilakukan oleh gerakan mahasiswa revolusioner adalah perlawanan untuk
menghantam kapitalisme di dunia. Itu dapat dimulai dari kampus, melebar lintas kampus, ke basis gerakan buruh, gerakan petani dan juga bersolidaritas serta bergabung dengan gerakan lintas negara (Internationale) dengan tujuan revolusioner yang sama.
Namun ada hal yang penting untuk dipahami sebagaimana pidato D.N Aidit pada 1 Mei 1958, yang isinya masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang sebagai negara pinggiran bahwa:
http://indoprogress.com/2015/04/menolakpahamsesatlokalitasgerakanmengaitkankembalimemoriakarsejarahpergerakanmahasiswadiindonesia/ 6/9
imperialis, untuk mengebiri perjuangan rakyatrakyat terjajah.
Blok Historis dan Organisasi Revolusioner
Ernest Mandel mengatakan bahwa memahami kapitalisme secara utuh dan tentang apa yang harus dilakukan oleh
gerakan mahasiswa tak lain adalah pergulatan dengan teori dan praktek. Tidak lagi ada pembedaan antara kerja intelektual dengan kerja manual. Kita harus berpandangan bahwa tidak akan ada teoretisi yang baik jika tidak terlibat dalam
aksi, dan tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima, memperkuat, dan memajukan teori. Keduanya sama pentingnya dan saling mengisi.
Melawan kapitalisme, tidak bisa hanya dengan membatasi diri pada sekat atau sektor tertentu semata. Ketidakadilan dan eksploitasi sebagai akibat dari kapitalisme itu terjadi secara luas di masyarakat, termasuk yang sedang terjadi di lingkup universitas. Sehingga penentangan pada kapitalisme tidak dapat hanya dilakukan di universitas tapi harus meluas. Mengingat juga bahwa seseorang tidak akan selamanya berada di universitas dan menyandang status sebagai
mahasiswa. Rentang waktunya terbatas antara 47 tahun. Hal yang jelas berbeda dengan kondisi yang dialami buruh ataupun petani. Itulah mengapa Ernest Mandel menekankan pentingnya fungsi dari organisasi revolusioner untuk mereproduksi perlawanan tersebut.
Gerakan mahasiswa, gerakan buruh dan gerakan petani harus mampu membangun blok historis karena mereka memiliki kesamaan nasib di bawah dominasi kapitalisme. Blok historis ini akan menjadi pijakan terbentuknya organisasi revolusioner berupa Partai Pelopor sebagaimana yang ditekankan oleh Lenin. Ernest Mandel lebih lanjut menjelaskan bahwa
…untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di mana mahasiswa dan bukan
Kegunaan permanen dari organisasi revolusioner ini adalah untuk menyediakan integrasi timbal balik antara
mahasiswa, perjuan gan kelas buruh dan perjuangan kelas tertindas lainnya oleh para pelopornya secara terus menerus. Bukan sekedar kesinambungan dalam batas waktu tertentu saja, akan tetapi berkelanjutan di antara kelompokkelompok sosial yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis revolusioner yang sama. Mereka harus memiliki alat propaganda dan agitasi massa serta alat organisator kolektif sebagaimana ditekankan oleh Lenin dalam pamphlet berjudul Dari Mana Kita Mulai (1901), yaitu Koran. Peran Koran menjadi penting untuk menyebarluaskan gagasan, pandangan dan pendidikan politik kepada massa.
Penutup
Dalam konteks Indonesia saat ini, gerakan mahasiswa revolusioner harus dapat menemukan dan mengaitkan akar sejarah pergulatan bangsa Indonesia. Peran memori pergerakan menjadi sangat penting agar mahasiswa tak terjebak dan
akhirnya melupakan akar sejarah pergerakan. Penghancuran memori yang dilakukan oleh rezim Soeharto telah memutus benang kesadaran dalam “menyelesaikan revolusi nasional Indonesia” yang telah berlangsung semenjak tahun 19121965.
Mahasiswa harus belajar dari kekurangan dan kegagalan terdahulu semenjak proses kontrarevolusi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Strategi livein (hidup dan berjuang bersama) di tengahtengah masyarakat yang tereksploitasi sebagai akibat proses kerja kapitalisme menjadi penting untuk membangun kesadaran politik. Gerakan mahasiswa harus bergerak lintas sektoral, membentuk kesatuan blok historis yang merupakan sintesis dari aspirasi dan identitas dari kelompok kelompok yang berbedabeda dalam proyek yang mampu melampaui kepentingan masingmasing sektor. Penciptaan organisasi revolusioner juga sangat mendesak untuk dilakukan oleh para mahasiswa sosialdemokratik untuk memelihara keberlangsungan gerakan revolusioner
http://indoprogress.com/2015/04/menolakpahamsesatlokalitasgerakanmengaitkankembalimemoriakarsejarahpergerakanmahasiswadiindonesia/ 8/9
Penulis adalah Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (ISIPOL) – UGM 2010. Berbagai tulisannya dapat dinikmati di arifnovianto.wordpress.com / Kontak: arif.novianto@mail.ugm.ac.id
Kepustakaan:
Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks: Catatancatatan Dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lane, Max. 2014. Unfinished Nation. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe.
Lenin, V.I. (1902). Apa Yang Harus Dikerjakan?: MasalahMasalah Mendesak Gerakan Kita. Sumber:
http://www.marxistsfr.org/indonesia/archive/lenin/1902/ApaYang/index.htm diakses pada 08 April 2015
Lenin, V.I. (2014 [1901]). Dari Mana Kita Mulai?, Sumber:
https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1901/Dimana.htm diakses pada 08 April 2015. Mandel, Ernest. (2002 [1968]). Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek. Sumber
http://www.marxistsfr.org/indonesia/archive/mandel/001.htm diakses pada 08 April 2015
Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 19121926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
————
[1] Andre Barahamin, “Menolak Memori dan Romantika: Proposal Awal Tentang Otonomi Kognitif untuk Skema Perebutan Ruang dalam Institusi Pendidikan”, Harian IndoPROGRESS, 6 April 2015, diakses 9 April 2015