• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRAUMA MEDULLA SPINALIS KARYA TULIS ILMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TRAUMA MEDULLA SPINALIS KARYA TULIS ILMI"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

PERIODE 2016/2017

Oleh

CHICI CAHYANTI 0120840049

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH

(2)

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

PERIODE 2016/2017

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh

CHICI CAHYANTI 0120840049

Dosen Pembimbing :

1. dr. Herlambang Budi Mulyono, Sp.OT. 2. dr. Astrina R.I Sidabutar.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA 2017

(3)

Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura

Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah Sarjana

(4)

“I can do all this through Him who gives me strength Philippians 4:13 “

Untuk Tuhan Yesus Kristus, Papa, Mama, Kakak dan Adek, saudara & keluarga, Semua sahabat-sahabat setia, serta rekan-rekan seperjuangan dalam pendidikan serta teman-teman pengajar dan adek-adek ku tercinta di TBS yang selalu ada disisiku.

(5)

limpahan berkat, rahmat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dengan judul“TRAUMA MEDULLA SPINALIS” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih. Dalam menyelesaikan karya tulis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan berupa bimbingan, pengarahan, maupun dukungan moral dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Dr. Onesimus Sahuleka, SH, M. Hum selaku Rektor Universitas Cenderawasih

2. dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih

3. dr. Herlambang B. Mulyono, Sp.OT selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing, mengarahkan, dan membekali penulis dengan penuh kesabaran dan dengan pengetahuan dasar dalam menunjang penulisan karya tulis ilmiah.

4. dr. Astrina R.I. Sidabutar selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, mengarahkan, dan membekali dengan penuh kesabaran dan dengan pengetahuan dasar dalam menunjang penulisan karya tulis ilmiah.

(6)

6. Untuk kedua orang tua (Matius Padaya dan Nona Selvi), Bapak Tua dan Mama Tua (Godlief Dolly Foih dan Helena Padaya) dan juga adik-adik yang selalu memberikan semangat, memberikan dukungan serta perhatian. Untuk kakak Hasriani Rayu yang selalu setia mendampingi, menemani dan memberikan semangat selalu dalam pembuatan Karya Tulis ini

7. Teman-teman FK angkatan 11 (Tahun 2012) yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, rekan-rekan dari Kelas Inspirasi Jayapura dan Papuan Youth Health, IPA 3 SMA N 1 SENTANI 2012, Gengs (Ana Rumabar, Apri Jitmau, Indri Remetwa, Yulians Rumborias, Christian Manoe), Efi Sumarni, Handayani Nurfitriana, Oryza Ayuni, Herold Wilar, dan terlebih buat yang sudah berjuang bersama Irma makaba dan Friska J.Kalay.

8. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini, terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah ini masih banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna penyempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih dan semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Jayapura, 10 Januari 2017 Penulis

(7)

HAL JUDUL…...……….………... i

HAL PENGESAHAN ……….. ii

HAL PERSEMBAHAN...……….……….. iii

KATA PENGANTAR...……….……….. iv

DAFTAR ISI….……… vi

DAFTAR TABEL...……….……….... viii

DAFTAR GAMBAR………. ix

DAFTAR SINGKATAN...………... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...………. 1

1.2 Rumusan Masalah...………. 3

1.3 Tujuan Penulisan...……...…….………. 3

1.4 Manfaat Penulisan...……….... 4

BAB II ISI 2.1 Definisi...………...………... 5

2.2 Epidemiologi...………...……….. 6

2.3 Etiologi...…………...………....……… 6

2.4 Penegakkan Diagnosis...……….... 24

2.4.1 Anamnesis…...…...………. 24

2.4.2 Pemeriksaan Fisik...….……….. 25

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang...………. 29

(8)

2.6 Terapi ……….. 34

2.6.1 Farmakoterapi...……….. 34

2.6.2 Non Farmakoterapi….……… 35

2.7 Komplikasi……….. 38

2.8 Rehabilitasi……….. 39

2.9 Prognosis...……….... 39

2.10 Edukasi...……… 40

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan……….. 41

3.2 Saran...……….. 43

DAFTAR PUSTAKA....………. 44

(9)

Tabel 1 Skala Frankle.……….……… 26 Tabel 2 Skala Standar Neurologis ASIA..……….. 28

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sumsum Tulang Belakang, Medulla Spinalis dan Fungsi…………..….. 5

Gambar 2 Segmen Sumsum Tulang Belakang………... 8

Gambar 3 Anatomi Medulla Spinalis…....………... 9

Gambar 4 Central Cord Syndrome…....…....………...16

Gambar 5 Anterior Cord Syndrome…....………...17

Gambar 6 Brown Sewuard Syndrome……….18

Gambar 7 Kaskade Fase Primer dan Sekunder ……….21

Gambar 8 Scoring Neurologis SI ………...27

Gambar 9 Dermatom Spinal dan Miotom …...……….……….29

Gambar 10 Pemeriksaan X-Ray ……….30

Gambar 11 Pemeriksaan MRI………31

Gambar 12 Servikal Collar Standar………36

(11)

CKV : Cedera Kolumna Vertebralis CNS : Central Nervous System DVT : Deep Vein Thrombosis EMG : elektromiografi

FDA : Food & Drug Administration iPSCs : Induced Pluripotent Stem Cells LMN : Lower Motor Neuron

NCV : Nerve Conduction Velocity

NTSCI : Non Traumatic Spinal Cord Injury SSEP : Somato Senseric Evoked Potential TMS : Trauma Medulla Spinalis

TSCI : Traumatic Spinal Cord Injury UMN : Upper Motor Neuron

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Trauma Medulla Spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan permanen dan mengancam nyawa. Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medulla spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan reflex, baik komplet ataupun inkomplet (Gondowardaja and Purwata, 2014:567 ).

Trauma Medulla Spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di berbagai belahan dunia. . Menurut Centers for Disease Control and Prevention Di Amerika terdapat 12,000 sampai 20,000 kasus trauma medulla spinalis setiap tahunnya, dan sekarang melebihi 200,000 warga Amerika yang hidup dengan trauma medulla spinalis. Kebanyakan penyebab kasus trauma medulla spinalis adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan cidera saat berolahraga. Untuk orang yang umurnya dibawah 65 tahun, penyebabnya adalah kecelakaan lalu lintas sedangkan untuk orang diatas 65 tahun, trauma medulla spinalis kebanyakan karena jatuh (Wang and Pearse, 2015: 16849).

(13)

Prevention Di Amerika bahwa 10 tahun setelah terjadi trauma, hanya sekitar 28% pasien yang dapat kembali menjadi pekerja. Apabila pengoabatan dan perubahan gaya hidup pada pasien dengan trauma medulla spinalis tidak dapat dirubah dan diperhatikan dengan baik maka pasien tersebut akan mengeluarkan biaya yang sangat besar yaitu sekitar 4,5 juta dolar. Secara keseluruhan biaya trauma medulla spinalis secara Nasional lebih dari 20 juta dolar biaya langsung dan tidak langsung. Saat ini kemajuan pengobatan di zaman modern sangat berpengaruh terhadap peningkatan keselamatan pada insiden trauma medulla spinalis, namun disayangkan bahwa saat ini kualitas hidup dari individu pada pasien trauma medulla spinalis menurun drastis, terjadi penurunan fungsi organ pernapasan dan disfungsi pada cabang upper motorneuron, adanya paralisis penuh atau sebagian, nyeri neuropatik, serta perlunya perawatan ekstensif (Doulames and Plant, 2016:1,2).

Trauma medulla spinalis merupakan kompetensi tingkat kemampuan 2 dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia yaitu mendiagnosis dan merujuk, dimana

lulusan dokter diharapkan mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan (SKDI 2012).

(14)

3

pembahasan dari sumber acuan (buku) maupun jurnal tentang trauma medulla spinalis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari trauma medulla spinalis?

2. Bagaimana epidemiologi dari trauma medulla spinalis? 3. Bagaimana etiologi dari trauma medulla spinalis?

4. Bagaimana cara penegakan diagnosis trauma medulla spinalis? 5. Apa diagnosis banding trauma medulla spinalis?

6. Bagaimana terapi trauma medulla spinalis? 7. Apa komplikasi dari trauma medulla spinalis?

8. Bagaimana cara rehabilitasi pasien dengan trauma medulla spinalis? 9. Bagaimana prognosis trauma medulla spinalis?

10. Bagaimana cara edukasi pasien dengan trauma medulla spinalis? 1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi dari trauma medulla spinalis. 2. Mengetahui epidemiologi dari trauma medulla spinalis. 3. Mengetahui etiologi dari trauma medulla spinalis.

4. Mengetahui cara penegakan diagnosis trauma medulla spinalis. 5. Mengetahui diagnosis banding trauma medulla spinalis.

6. Mengetahui terapi trauma medulla spinalis.

7. Mengetahui komplikasi dari trauma medulla spinalis.

8. Mengetahui cara rehabilitasi pasien dengan trauma medulla spinalis. 9. Mengetahui prognosis trauma medulla spinalis.

(15)

1.4 Manfaat Penulisan 1. Bagi penulis

Karya tulis ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu karya tulis kedokteran, sehingga mampu menyusun karya tulis dan menyajikan hasilnya.

2. Bagi Institusi

Karya tulis ini diharapkan sebagai sumber bacaan untuk menambah informasi tentang ilmu neurologi khususnya trauma medulla spinalis bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.

3. Bagi pembaca

(16)

BAB II ISI 2.1 Definisi

Trauma Medulla Spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan permanen dan mengancam nyawa. Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medulla spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan reflex, baik komplet ataupun inkomplet (Gondowadarja and Puwarta, 2014:567 ).

Gambar 1. Gambaran Sumsum Tulang Belakang,Medulla Spinalis, dan Fungsi Motorik/Sensorik dan Otonom dari Akar Saraf Tulang Belakang

(17)

2.2 Epidemiologi

Trauma Medulla Spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di berbagai belahan dunia. Menurut Centers for Disease Control and Prevention di Amerika terdapat dari 12,000 sampai 20,000 kasus trauma medulla spinalis setiap tahunnya, dan sekarang melebihi 200,000 warga Amerika yang hidup dengan trauma medulla spinalis. Kebanyakan penyebab kasus trauma medulla spinalis adalah kecelakaan kendaraan, jatuh, dan cidera saat berolahraga. Untuk orang yang umurnya dibawah 65 tahun, penyebabnya adalah keelakaan kendaraan. Untuk orang diatas 65 tahun, trauma medulla spinalis kebanyakan karena jatuh (Wang and Pearse, 2015: 16849).

Bahrudin (2016: 442) menyatakan bahwa trauma medulla spinalis prevalensinya di USA kurang lebih 200.000 pasien, kira-kira 10.000 orang meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan trauma medulla spinalis. Trauma medulla spinalis sering pada usia sekitar 15-30 tahun, 25% trauma medulla spinalis terjadi pada anak-anak. Kausa trauma medulla spinalis biasanya multipel dan bervariasi untuk tiap daerah, misalnya di daerah industri kecelakaan motor sering sebagai penyebab trauma medulla spinalis. Cedera Kolumna Vertebralis (CKV) menyebabkan cedera saraf atau medulla spinalis kira-kira 15%, dan 55% dari CKV ialah cedera di cervicalis, 15% torakal, 15% torakolumbal dan 15% di daerah lumbo-sakral.

2.3 Etiologi

(18)

7

cord injury) dan NTSCI (non traumatic spinal cord injury). Tiga penyebab paling umum yang terjadi pada TSCI (traumatic spinal cord injury) yaitu kecelakaan lalulintas, jatuh, kekerasan (luka tembak dan terkena pukulan) dan juga olahraga (terutama diving). Kecelakaan lalulintas adalah penyebab utama TSCI ( traumatic spinal cord injury) akibat tidak menggunakan sabuk pengaman saaat berkendara dan akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Jatuh merupakan penyebab kedua pada TSCI ( traumatic spinal cord injury) seperti jatuh dari gedung yang tinggi, jatuh saat berolahraga maupun saat beraktifitas. Penyebab ketiga dari TSCI (traumatic spinal cord injury) adalah kekerasan (trauma akibat terkena pukulan saat perkelahian atau luka tembak). Penyebab NTSCI (non traumatic spinal cord injury) yang paling utama yaitu tumor neoplastik, kondisi degenerative pada tulang belakang, gangguan vaskular dan gangguan autoimun.

2.3.1 Anatomi medulla spinalis

Medulla spinalis adalah suatu silinder panjang langsing jaringan saraf yang berjalan dari batang otak. Struktur ini memiliki panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm dan terbentang dari vertebra C1 sampai L1 (Sherwood, 2011:185 , Baharudin, 2016:13). Pada saat lahir, konus medulla spinalis mencapai L3 dan posisi terakhir maksimal pada usia 10 tahun (Baharudin, 2016:13).

(19)

lengkung tulang berbentuk sayap vertebra-vertebra yang berdekatan. Nervus spinalis diberi nama sesuai bagian dari kolumna vertebralis tempat keluarnya: terdapat 8 pasang nervus servikalis (leher) (yaitu C1-C8), 12 pasang nervus torakalis (dada), 5 pasang nervus lumbalis (perut), 5 pasang nervus sakralis (panggul), dan 1 pasang nervus koksigeus (tulang ekor) (Sherwood, 2011:185)

Gambar 2. Sumsum Tulang Belakang (Segmen

Servikal,Torakal,Lumbal,dan Sacral, Vertebra Tulang Belakang, Saraf Tulang Belakang dan Fungsi Utama dari Sumsum Tulang Belakang.

(Dikutip dari: Bickenbanch et all, 2013)

(20)

9

dipisahkan dari arakhnoid matter oleh rongga subdural. Rongga arakhnoid dipisahkan dari piamater oleh rongga subarachnoid yang terdiri cairan serebrospinal. Pada akhir medulla spinalis di L2 dan dural sac pada level S2 terdapat rongga yang lebih besar yang hanya terdiri atas akar saraf lumbal, sakral dan coccygeal, yang semuanya membentuk cauda equina. Secara klinis, jaras terpenting yang melewati medulla spinalis adalah kornu anterior dan tiga traktus (jaras), yaitu :

a. Traktus kortikospinalis lateralis atau traktus piramidalis (membawa impuls motorik).

b. Traktus spinotalamikus lateralis (membawa impuls nyeri,suhu) dan traktus spinotalamikus anterior (membawa impuls raba).

c. Funikulus posterior atau dorsalis yang membawa impuls deep sensibility maupun proprioseptive (membawa rasa posisi dan getar).

(21)

Gangguan pada traktus spinotalamikus menyebabkan kelainan yang kontralateral, sedangkan gangguan pada funikulus posterior atau dorsalis menyebabkan kelainan yang ipsilateral. Selain ketiga jaras tersebut didalam medulla spinalis juga dilewati saraf otonom simpatis (torako lumbal). Pada lesi medulla spinalis, letak lesi harus di bawah C2, dan gangguan biasanya bilateral meskipun tidak simetris dan akan menimbulkan tiga gejala utama yaitu gangguan motorik, sensorik dan otonom (sesuai dengan jaras yang lewat di medulla spinalis) (Baharudin, 2016:15-16).

A. Vaskularisasi dan Inervasi Medulla Spinalis

Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior dari medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan disfungsi dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom (paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri spinalis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk kolumna dorsalis. Kedua arteri tersebut muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis (Chin 2016:2).

(22)

11

neuron efferent berasal dari substansia grisea dan mengirim akson keluar melalui akar ventral. Karena itu, serat-serat efferent yang membawa sinyal ke otot dan kelenjar keluar melalui akar ventral. Akar dorsal dan ventral di masing-masing level menyatu untuk membentuk nervus spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah nervus spinalis mengandung baik serat afferent dan efferent yang berjalan antara region tertentu tubuh dan medulla spinalis (Sherwood, 2011:187).

2.3.2 Klasifikasi

Fildes (2008:162) menyatakan bahwa trauma medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan sindroma medulla spinalis.

A. Berdasarkan Level

(23)

paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang vertebra yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla spinalis.

Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The Christopher & Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK interactive (2011: 4-7) mengkategorikan trauma medulla spinalis , menjadi:

1) High Cervical Nerves ( C1-C4)

Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara juga terganggu atau menurun.

2) Low Cervical Nerves (C5 – C8)

Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara normal seperti sebelumnya.

a) Trauma C5

(24)

13

berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.

b) Trauma C6

Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.

c) Trauma C7

Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan gangguan ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi. d) Trauma C8

Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.

3) Thoracic Nerves (T1-T5)

Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan otot punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan gangguan ekstremitas atas.

4) Thoracic Nerves (T6 – T12)

(25)

menyebabkan keluhan paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi normal. Pasien masih mampu mengendalikan kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.

5) Lumbar Nerves (L1-L5)

Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki. Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat bantu untuk berjalan.

6) Sacral Nerves ( S1-S5)

Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Pasien mampu berjalan cukup baik.

B. Berdasarkan beratnya defisit neurologis

Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi 4, yaitu :

(26)

15

Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik dibawah level trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit. Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh : sensasi perianal), kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter. Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk dalam sacral sparing.

C. Berdasarkan sindrom medulla spinalis

Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan pemeriksa.

1) Central cord syndrome

(27)

Gambar 4. Central Cord Syndrome (Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)

2) Anterior Cord Syndrome

(28)

17

Gambar 5. Anterior Cord Syndrome (Dikutip dari: Amstrong et all: 2014) 3) Brown Sequard Syndrome

(29)

Gambar 6. Brown Sequard Syndrome (Dikutip dari: Amstrong et all: 2014) 2.3.3 Patofisiologi

A. Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur

Menurut Gondowardaja and Purwata (2014:567 ) trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas. Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:

(30)

19

kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.

2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.

3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah kapiler dan vena

4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi tulang

B. Mekanisme Kerusakan Primer dan Sekunder

(31)

neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma (Gondowardaja and Purwata, 2014:567 ).

(32)

21

respirasi, berbicara, dan mengganggu fungsi usus besar. Pada daerah servikal bawah meyebabkan paralisis sebagian dan penurunan fungsi pada respirasi, usus,dan lengan tangan. Trauma thoraks tergantung pada level dengan trauma level tinggi primer menurunkan fungsi tungkai atas dan kaki serta pada level bawah menurunkan fungsi usus dan kaki. Trauma pada lumbosakral meyebabkan penurunan fungsi usus besar dan penurunan sebagian fungsi pinggul dan kaki, tetapi pasien terkadang mengalami keterbatasan dalam berjalan atau kemampuan berjalan sepenuhnya (Doulames and Plant, 2016:2).

Gambar 7. Kaskade trauma medulla spinalis fase primer dan sekunder yang menyebabkan iskemia, peradangan dan spesies

oksigen eaktif (ROS) yang didasari oleh excitotoxicity. (Dikutip dari Doulames and Plant, 2016)

(33)

Menurut Doulames and Plant (2016:3-5) penelitian sebelumnya meyatakan bahwa mamalia sistem saraf pusat (CNS) dewasa tidak mengalami regenerasi, terutama karena ketidakmampuan neuron untuk meregenerasi akson karena lingkungan yang tidak memungkinkan akibat bekas luka pada glial dan lesi cedera sumsum tulang belakang. Meskipun demikian, beberapa derajat pemulihan fungsional sering terlihat, kemungkinan dikarenakan reorganisasi, hal ini tergantung pada hubungan axonal pada lesi dan keutuhan serabut-serabut saraf. Bukti percobaan telah menunjukkan bahwa regenerasi aksonal dan pengembalian fungsi dapat dilakukan dengan terapi sinergis seperti penambahan neurotrophic growth factors, menghilangkan faktor inhibitor terkait dengan lesi, dan rejimen rehabilitasi dan aktivitas fisik. Meskipun demikian, kemampuan regeneratif bawaan dari system saraf pusat sulit terjadi oleh karena luasnya luka dan perlakuan sangat mempengaruhi.

(34)

23

saraf pusat dengan mengatasi pembentukan bekas luka glial sehingga berfungsi sebagai sistem relay selular atau dengan mempromosikan regenerasi neurite. Dalam beberapa decade terakhir, kemampuan terapis untuk menggantikan neuron dan glia dengan transplantasi intraspinal memperoleh kepentingan yang signifikan dan beberapa telah terlaksana untuk di uji klinis.

Sejumlah eksperimen pra-klinis telah dikembangkan termasuk jembatan saraf perifer, sel Schwann, olfactory glia,mesenchymal stem cells dan neural stem cells. Awalnya, embrio jaringan saraf dicangkokkan ke bagian lesi trauma medulla spinalis yang membantu restorasi anatomi dan fungsi. Heterogenitas dan sumber jaringan diimplant dan dibuat langsung “bench to bedside” translatability dari pendekatan ini sulit dan tidak mungkin untuk mendapatkan persetujuan FDA untuk dijadikan sebagai pengobatan klinis. Embrio neural progenitor sel menyediakan sarana alternatif untuk mengatasi hilangnya sel dan dukunganterhadap trauma medulla spinalis, namun juga menambahkan penghalang etika tambahan yang dapat membahayakan penerapannya sebagai pengobatan klinis yang layak. Terapi yang berasal dari induced pluripotent stem cells (iPSCs) masih tahap awal, tetapi mampu mengatasi banyak halangan pada tingkat seluler.

(35)

Sebuah diagnosis dapat ditegakkan dengan baik apabila adanya Anamnesa, Pemeriksaan Fisik serta Pemeriksaan Penunjang yang memberikan hasil yang optimal.

2.4.1 Anamnesis

Evaluasi klinis pada pasien dengan trauma medulla spinalis membutuhkan penilaian status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan observasi primer.

Pada observasi primer, ABC (Airway,Breathing,Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru dilaksanakan. Dugaan terhadap adanya trauma medulla spinalis didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya deficit motorik atau sensorik. (Chin 2016:1). Meunurut World Health Organization berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :

a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena

b. Paraplegia

c. Paralisis sensorik motorik total

d. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi kandung kemih)

e. Penurunan fungsi pernapasan f. Gagal nafas

(36)

25

Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma (Gondowardaja and Purwata, 2014:569 ).

Menurut Bahrudin (2016:16) pada pasien dengan kelumpuhan pada kedua tungkai (paraplegi) atau keempat ekstermitas (tetraplegi) yang pertama kali kita pikirkan adalah apakah tipe kelumpuhan itu Upper motor neuron (UMN) atau Lower motor neuron (LMN). Untuk menentukan tipe kelumpuhan ini kita tetapkan dengan pemeriksaan neurologis reflex fisiologis, reflex patologis, tonus otot . Pemeriksaan neurologis lain pada trauma medulla spinalis menurut Middendorp et all (2011:2) yaitu dengan menggunakan skala Frankel, 5-titik skala kerusakan, telah banyak digunakan untuk menentukan keparahan dari trauma medulla spinalis (Tabel 1). Pasien diklasifikasikan sebagai lengkap (Kelas A), sensorik saja (kelas B), motorik berfungsi (Kelas C), motorik berfungsi (kelas D), atau tidak ada defisit neurologis atau pemulihan lengkap (kelas E).

Tabel 1. Skala Frankle untuk cedera tulang belakang yang mengklasifikasikan sejauh mana tingkat neurologis/ membagi lima

(37)

A Lengkap Tidak ada fungsi motorik atau sensorik dibawah tingkat lesi

B Hanya Sensorik Tidak ada fungsi motorik, tetapi beberapa sensasi diamankan dibawah tingkat lesi

C Motorik berfungsi Beberapa fungsi motorik tanpa aplikasi praktis D Motorik berfungsi Fungsi motorik berguna dibawah tingkat lesi E Pemulihan Fungsi motorik dan sensorik normal, mungkin

memiliki kelainan reflex (Dikutip dari : Middendorp et all,2011:2)

(38)

27

Gambar 8. Bentuk scoring dari Standar Internasional untuk Neurologis dan Klasifikasi Fungsional Pasien Trauma Medulla Spinalis.

(39)

Pemeriksaan neurologis lain yang digunakan yaitu Amerika Asosiasi Cedera Spinal (ASIA) atau International Spinal Cord Masyarakat (ISCoS) atau skala standar neurologis (AIS). (Middendorp et all, 2011:2)

Tabel 2. The American Spinal Injury Association/International Spinal Cord Society Neurological Standard Scale

(Better known as the “ASIA Impairment Scale”) (Dikutip dari: Middendorp et all,2011)

ASIA Impairment Scale Lesi

A Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5 Kompleks B Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai

segmen sakral S4-S5 Tidak Kompleks

C Fungsi motorik terganggu dibawah level tapi otot-otot

motorik utama masih mempunyai kekuatan <3 Tidak Kompleks D Fungsi motorik terganggu dibawah level, kekuatan otot-otot

motorik utama >3 Tidak Kompleks

E Fungsi motorik dan sensorik normal Normal

Menurut Bahrudin (2016:16) bila pada pemeriksaan kita dapatkan tanda-tanda lesi UMN (reflex fisiologis, tonus otot yang meningkat dan reflex patologis positif), maka kelainan atau topis pada medulla spinalis. Bila tetraplegi lesinya pada medulla spinalis setinggi servikal dan bila paraplegi maka lesinya pada medulla spinalis setinggi torakal. Karena pada medulla spinalis panjang mulai dari C1-L1 maka bila didapatkan lesi pada medulla spinalis harus ditetapkan beberapa hal:

a. Kelainan sensibilitas

(40)

29

Gambar 9. Poin Kunci Sensorik dengan Dermatom Spinal dan Miotom (Dikutip dari Fildes J, 2008)

(41)

Biasanya mengganggu traktus piramidalis sehingga kelumpuhannya tipe spastic/ UMN, misalnya kelainan dari otot bisep, berarti C5-6 terganggu.

c. Kelainan susunan saraf Otonom

Apakah ada gangguan kandung seni. Bila perlu di kerjakan tes perspirasi / tes keringat.

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Chin (2016:1) menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :

A. Radiologis

1. Radiografi Polos - Radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan akhir gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi harus memadai menggambarkan semua vertebra.

Gambar 10. X-ray Menunjukkan Cedera Tulang Belakang Bagian Servikal

(Dikutip dari: Solomon, L et all, 2010)

(42)

31

ketika radiografi polos tidak memadai atau gagal untuk memvisualisasikan segmen kerangka aksial

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) - Digunakan untuk mencurigai lesi medulla spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan lunak lain atau patologi. Modalitas pencitraan ini harus digunakan untuk mengevaluasi lesi nonosseous, seperti hematoma tulang belakang ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan perdarahan pada sumsum tulang belakang, memar, dan / atau edema.

Gambar 11. Foto MRI Sagital T2-Weighted Bagian Servikal Pada Pasien Dengan Cedera Traumatik

Tulang Belakang.

(Dikutip dari: Middendorp, V.J.J et all, 2016)

(43)

Bahrudin (2016:447) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu :

1. Darah perifer lengkap

2. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine C. Neurofisiologi Klinik

Menurut Bahrudin (2016:447) neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu EMG (Elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara menekan aktifitas listrik yang dihasilkan oleh otot-otot skeletal, NCV (Nerve Conduction Velocity) merupakan teknik yang digunakan untuk melihat bagaimana sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP (Somato Senseric Evoked Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk melihat atau mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras somato-sensorik (tidak terjangkau dengan EMG).

2.5 Diagnosis Banding

Chin, (2016:1) menyatakan bahwa diagnosis banding pada trauma medulla spinalis yaitu :

1. Diseksi Aorta

(44)

33

berhubungan dengan komplikasi, sindrom malperfusi dapat memberikan gambaran infark miokard (jika mengenai arteri koroner), stroke (arteri karotis), iskemia organ viseral (arteri mesenterika), gagal ginjal (arteri renalis), hilang pulsasi di ekstremitas (arteri brakiosefalika atau arteri subklavia kiri), ketidakmampuan menggerakan anggota badan atau paraparesis (iskemi medulla spinalis).

2. Infeksi Epidural dan Subdural

Infeksi epidural dan subdural merupakan salah satu klasifikasi infeksi susunan saraf pusat golongan infeksi bacterial. Berbeda dengan jaringan tubuh lainnya, susunan saraf pusat tidak mempunyai sel-sel yang membuat “antibody”. Apabila blood-brain barrier rusak karena infeksi, protein plasma dan leukosit dapat memasuki otak dan medulla spinalis. Dengan demikian proses radang dan reaksi imunologik dapat berkembang disusunan saraf pusat. Manifestasi klinis seperti sakit kepala, nyeri retroorbital, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri oto-otot, pusing, parestesia, fotofobia, letargia, dan delirium.

3. Infeksi tulang belakang

Infeksi tulang belakang terjadi akibat bakteri yang masuk kedalam tulang melalui aliran darah ketika seseorang cedera, dapat juga terjadi pada orang yang baru saja mengalami patah tulang, baru menjalani operasi tulang, maupun orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Gejala dari infeksi tulang belakang salah satunya yaitu rasa sakit dan nyeri yang terjadi di daerah tulang yang terkena serta kesulitan bergerak

(45)

Sifilis merupakan salah satu infeksi spiroketal yang mengganggu susunan saraf secara menyeluruh ialah infeksi spiroketa jenis treponema palidum (penyebab sifilis). Apabila penyebab manifestasi sifilis tahap kedua tidak dikenal, maka infeksi treponema palidum akan terus berjalan tanpa halangan sehingga susunan saraf pusat juga akan mengalami invasi kuman tersebut. Infeksi spenyakit sifilis disebut sebagai syphilitic myelopathy bentuk dari neurosifilis dengan gejala gangguan berjalan (gait ataxia), kehilangan keseimbangan dan reflex sampai kelemahan otot-otot anggota gerak.

5. Fraktur Vertebra

Pada fraktur, yang patah bisa lamina, pedikel, prosesus transverses, diskus intervertebralis bahkan korpus vertebranya. Bersama-sama dengan fraktur tulang belakang, ligamentum longitudinal posterior dan dura bisa terobek, bahkan kepingan tulang belakang bisa menusuk ke dalam kanalis vertebralis. Arteri yang memperdarahi medulla spinalis serta vena-vena yang mengiringinya bisa ikut terputus. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi seperti jatuh terduduk yang dikenal sebagai “whiplash” ialah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.

2.6 Terapi

2.6.1 Farmakoterapi

(46)

35

a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15 menit, 45 menit kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam arakidonat

b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan ; 1) Diazepam 3 x 5-10 mg/hari

2) Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg perhari c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain ;

1) Analgetika

2) Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari 3) Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari

d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi >180/100mmHg) pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi (Bahrudin , 2016: 448-449).

2.6.2 Non Farmakoterapi

Gondowardaja and Purwata ( 2014:569 ) menyatakan bahwa tatalaksana awal yang dapat dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder serta terapi kerusakan primer. Observasi primer terdiri atas:

A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal B: Breathing dan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan D: Disabilitas (status neurologis)

(47)

Terapi kerusakan primer : Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.

Bahrudin (2016:447-448) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma medulla spinalis yaitu:

a. Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis, segera pasang collar fiksasi leher, jangan gerakan kepala atau leher

(48)

37

b. Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkut pasien dalam keadaan tertelungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)

c. Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal

d. Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh darah menurun karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik, akibatnya tekanan darah turun beri infus bila mungkin plasma atau darah, dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu berikan adrenalin 0,2 mg s.k boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut nadi <44 kali/menit, beri sulfas atropin 0,25 mg iv (intravena).

e. Gangguan pernapasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator atau cara lain dan jaga jalan nafas tetap lapang.

f. Jika lesi diatas C-8: termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi hiperhidrosis usahakan suhu badan tetap normal

g. Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau dauer kateter dan jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma

h. Tindakan operasi dilakukan bila :

1) Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis 2) Gambaran neurologis progresif memburuk

3) Fraktur, dislokasi yang labil

(49)

2.7 Komplikasi

Wahyudi (2012:8) menyatakan bahwa komplikasi yang timbul pada kasus trauma medulla spinalis antara lain yaitu :

1. Skin Breakdown disebabkan karena penekanan (posisi statis), gangguan sensori dan gangguan vaskularisasi.

2. Osteoporosis disebabkan karena tidak ada aktivitas otot dan penumpuan berat badan.

3. Pneumonia.

4. Heteropic Ossification yaitu pnulangan pada sekitar sendi, biasa terjadi pada sendi besar seperti hip, knee atau shoulder, resiko terjadi kaku sendi dan penyatuan sendi.

5. Spasticity.

6. Autonomic dysreflexia yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas level T6 atau T7, diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol tekanan darah dan fungsi jantung dapat berakibat hipertensi.

7. Deep Vein Thrombosis (DVT) atau emboli paru. 8. Cardiovascular disease.

9. Syringomyela merupakan pembesaran kanalis sentralis dari medulla spinalis pasca trauma, terjadi pada 1-3% pasien trauma medulla spinalis. 10.Respiratory Dysfunction and Infection.

(50)

39

2.8 Rehabilitasi

Mataliotakis and Tsirikos (2016:7-8) menyatakan bahwa hal penting pada rehabilitasi trauma medulla spinalis yaitu teknik mentransfer, perawatan diri, mobilisasi dan fungsi tangan. Tujuan rehabilitasi adalah untuk menilai dan mengidentifikasi mekanisme untuk reintegrasi ke masyarakat berdasarkan tingkat fungsional dan harian. Pada pasien dengan potensi peningkatan neurologis,teknik stimulasi listrik dapat digunakan untuk menjaga otot-otot yang diaktifkan sampai akhir pemulihan neurologis. Fisioterapi dan mobilitas pemeliharaan sendi merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga fungsional anggota badan. Transfer tendon dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi di ekstermitas atas yang terkena dampak dan tangan.

2.9 Prognosis

(51)

Bahrudin (2016:449) menyatakan bahwa penyulit pada trauma medulla spinalis tergantung beratnya cedera dan waktu datang ke rumah sakit (lewat ‘waktu emas’), tidak dapat sembuh sempurna.

2.10 Edukasi

Menurut Sheperd Centre and KPK interactive (2011:11-13) edukasi yang dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan perawat adalah :

1. Memberikan dukungan serta pelatihan kepada keluarga sebelum melakukan perawatan bagi pasien dirumah.

2. Membina komunikasi yang baik dengan keluarga pasien untuk mendapatkan informasi tentang keadaan pasien dan apa yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga untuk pasien.

(52)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

1. Trauma medulla spinalis merupakan suatu keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan permanen bahkan dapat mengancam nyawa. 2. Di Amerika insiden tercatat berjumlah 12,000 sampai 20,000 kasus

trauma medulla spinalis setiap tahunnya, dan sekarang melebihi 200,000 warga amerika yang hidup dengan trauma medulla spinalis yang disebabkan oleh trauma langsung maupun non trauma.

3. Etiologi pada trauma medulla spinalis dibagi menjadi trauma langsung seperti kecelakaan lalulintas, jatuh, kekerasan, cedera saat olahraga (berenang) maupun pembedahan, dan non trauma seperti tumor neoplastik, penyakit degenerative (osteoporosis), gangguan vascular, bahkan oleh karena infeksi.

4. Sebuah diagnosis dapat ditegakkan dengan baik apabila adanya Anamnesis, Pemeriksaan Fisik serta Pemeriksaan Penunjang.

a) Pada dugaan terhadap nyeri, adanya deficit motorik atau sensorik, kehilangan kontrol kandung kemih, penurunan fungsi pernapasan maupun gagal nafas.

b) Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan nyeri neurologik serta nyeri radikuler berdasarkan scoring ASIA, defisit motorik, defisit sensorik (rasa kurang sensitif terhadap suatu rangsangan raba & suhu), serta adanya disfungsi otonom.

(53)

c) Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah foto X-Ray, CT-Scan, MRI, Pemeriksaan Laboratorium dan Neurofisiologi Klinik.

5. Diagnosis banding pada trauma medulla spinalis yaitu diseksi aorta, infeksi epidural dan subdural, infeksi tulang belakang, sifilis serta fraktur vertebra.

6. Penanganan yang dapat dilakukan pada kasus ini ialah secara Farmakoterapi (Kortikosteroid, Analgetik, Antidepresan, Antikonvulsan, Benzodiazepine) dan Non Farmakoterapi (Evaluasi Primer, Terapi Kerusakan Primer, Fiksasi, Resusitasi, Jaga Suhu Tubuh, Pasang Kateter, Berikan Klisma Bila Ada Gangguan Defekasi).

7. Terdapat 11 komplikasi yang disebabkan oleh trauma medulla spinalis yaitu skin breakdown, osteoporosis, pneumonia, heteropic ossification, spasticity, autonomic dysreflexia, deep vein thrombosis, cardiovascular disease, syringomyela, respiratory dysfunction and infection, dan neuropatic/spinal cord pain.

(54)

43

9. Hal penting pada rehabilitasi trauma medulla spinalis yaitu teknik mentransfer, perawatan diri, mobilisasi, fungsi tangan, teknik stimulasi listrik dan transfer tendon.

10. Edukasi yang dapat diberikan pada pasien dan keluarga ialah menjelaskan dasar-dasar rehabilitasi kepada keluarga hingga pasien kembali ke rumah, memberikan dukungan serta pelatihan kepada keluarga sebelum melakukan perawatan bagi pasien dirumah, serta adanya koordinasi yang baik antara keluarga pasien dengan pihak rumah sakit mengenai perlengkapan yang akan dibutuhkan pasien ketika pasien telah pulang ke rumah dan konsultasi.

3.2 Saran

1. Penulis diharapkan perlu mengetahui faktor-faktor penyebab, pencetus dan pemahaman tentang trauma medulla spinalis agar dapat menambah wawasan dalam ilmu saraf.

2. Kepada institusi diharapkan dapat menambah referensi agar memudahkan penulis berikutnya untuk menulis prevalensi dan epidemiologi tentang trauma medulla spinalis di Papua.

(55)

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2211594314000021

[Accessed 11 Januari 2017]

Bahrudin, M. (2016). Neurologi klinis. Malang: UMM Press, Hal 13-16, 442-449

Bickenbanch, J. et all. (2013). International Perspectives on Spinal Cord Injury. [letter] WHO Library Cataloguing in-Publication Data,The International Spinal Cord Society. Malta

Chin, S.L. (2016). Spinal Cord Injuries. [online] Medscape. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview [Accessed 27

November. 2016].

Dorlan Newman W.A. (2010). Kamus Kedokteran Dorland. 31th ed. Jakarta :EGC

Doulames, M.V. and Plant, W.G. (2016). Induced Pluripotent Stem Cell Therapies fo Cervical Spinal Cord Injury. International Journal of Molecular Sciences, 17(530), pp. 1-5

Esckstaedt, J et all. (2014). Care For The Rehospitalized Patient With Chronic

Spinal Cord Injury. Available at:

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2211594314000021

[Accesed 11 Januari 2017]

Fildes, J. (2008). Advance Trauma Life Support for Doctors. 8th ed. Chicago: American Collage of Surgeons Committee on Trauma.

Gondowardaja, Y. and Purwata, E.T. (2014). Trauma Medulla Spinalis: Pathophysiology, Classification of Spinal Cord Injury Syndromes, Treatment Principles and Controversies. Orthopaedics and Trauma, p.1-9. Available at:

http://www.orthopaedicsandtraumajournal.co.uk/article/S1877-1327%2816%2930086-0/abstract [ Accessed 11 Desember 2016]

(56)

45

Wang, J. and Pearse, D.D (2015). Theraupeutic Hypothermia in Spinal Cord Injury: The status of Its Use and Open Question. International Journal of Molecular Sciences, 16(1422-0067), pp. 16849

Middendorp, V.J.J et all. (2011). Diagnosis and Prognosis of Traumatic Spinal Cord Injury. Global Spine Journal, 1(1), pp. 1-8

Rogers, K.W and Todd, M. (2016). Acute Spinal Cord Injury. Best Practice & Research Clinical Anaesthesiology, 30(1), pp 29

Sheperd Centre and KPK interactive (2011). Understanding Spinal Cord Injury. The National Spinal Cord Injury Association and The Christopher & Dana

Reeve Foundation. Available at:

http://www.spinalinjury101.org/files/understanding-spinal-cord-injury.pdf

[Accesed 22 Oktober 2016]

Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem.6th ed. Jakarta: EGC

Solomon, L et all. (2010). Apley’s System Of Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London: Butterworths Medical Publication.

Wahyudi, L. (2012). Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Post Fraktur Kompresi Vertebra Servikal V Frenkel A di RSO Prof. DR. R. Soeharto Surakarta. Naskah Publikasi, [online] p.5-8. Available at:

http://eprints.ums.ac.id/20469/12/NASKAH_PUBLIKASI.pdf [Accessed 21

Gambar

Gambar 1. Gambaran Sumsum Tulang Belakang,Medulla Spinalis, dan
Gambar 2. Sumsum Tulang Belakang (Segmen
Gambar 3. Anatomi Medulla Spinalis
Gambar 4. Central Cord Syndrome(Dikutip dari: Amstrong et all: 2014)
+7

Referensi

Dokumen terkait