• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Makan Daging Buaya untuk Pengobata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Makan Daging Buaya untuk Pengobata"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH AGAMA ISLAM

Hukum Memakan Daging Buaya dalam Pengobatan Suatu Penyakit

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Agama

Islam

Dosen Pengampu : E. Baihaqie,Drs

Nama Anggota/ NPM : Anisa Setia Wardani (A 141 059)

Hj. Marwatul Zamil (A 141 077)

Kelas : Reguler Pagi B

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA BANDUNG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta kasih sayang dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada seluruh ciptaan-Nya, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.

Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Memakan Daging Buaya

dalam Pengobatan Suatu Penyakit”.

Adapun tujuan dari Penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas mata kuliah Agama Islam. Dalam Penyusunan makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan dan hambatan, hal ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan yang kami miliki.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya. Aamiin.

Kami sebagai penyusun sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk membangun.

Bandung, Maret 2015

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...6

C. Tujuan Makalah ...6

BAB II PEMBAHASAN ...8

BAB III PENUTUP ...19

A. Kesimpulan ...19

B. Saran...19

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Buaya termasuk hewan yang haram dimakan, selain karena hidup di dua alam, yang utama alasannya karena buaya adalah binatang buas. Binatang buas pemakan daging termasuk kelompok hewan yang haram dimakan.

Sedangkan kebolehan memakan sesuatu yang haram hanya berlaku dalam kondisi darurat yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta dan agama. Misalnya, di tengah gurun pasir saat tidak ada makanan untuk menyambung hidup, kita dibolehkan memaka ular gurun yang kebetulan kita temukan. Meski ular itu haram dimakan pada dasarnya, tetapi dengan alasan darurat, untuk saat itu saja, boleh dimakan sekedar untuk menyambung hidup.

Ular itu langsung berubah menjadi haram kalau tiba-tiba ada jenis makanan lain yang halal, meski harus berjalan jauh untuk mendapatkannya. Semua ini menganut pada asas dan kaidah bahwa kedaruratan itu bisa menghalalkan yang haram, namun keharaman akan segera kembali bila kedaruratan itu hilang. Adapun untuk pengobatan, sebenarnya tidak ada istilah darurat, apalagi bila tidak terkait dengan kepentingan pertolongan pertama yang bersifat darurat. Tapi hanya sekedar alternatif biasa. Maka prinsip dasar yang telah ditetapkan syariah adalah bahwa Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Dan obat yang Allah turunkan itu bukan pada makanan yang diharamkan. Dari Ummi Salamah ra bahwa Nabi SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan obat untuk kamu pada hal-hal yang telah diharamkannya." (HR Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini).

(5)

Maka tidak mungkin Allah SWT menjadikannya sebagai obat untuk suatu penyakit. Minum khamar tetap haram meski tujuannya untuk obat.

;

رفممخملمام نمعم يل بفنللام لم أمسم اممهكنمعم هكلللام يم ضف رم دديمومسك نم بم قم رفاطم نل أم يي مفرمضم حم لمام لد ئفاوم نم عم وم

. " , " , ?

ا مم هكركيمغموم دموكادم وبكأم وم مملفسممك هكجمرمخمأم ءمادم اهمنلكفلموم ءداومدمبف تمسميملم اهمنلإف لماقمفم ءفاومدلللف اهمعكنمصميم

Dari Wail Al-Hadhrami bahwa Thariq bin Suwaid ra. bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum khamar yang dijadikan obat. Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Khamar itu bukan obat melainkan racun" (HR. Muslim)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya juga. Maka pandangan anda benar, makanan yang haram bila dijadikan obat hukumnya akan tetap haram. Tidak dibenarkan memakan bagian dari tubuh buaya, karena buaya termasuk binatang buas yang hukumnya haram dimakan. Keharamannya ditambah lagi dengan satu hal, yaitu buaya itu mati sebagai bangkai, karena tidak pernah mati dengan cara disembelih sesuatu syariah. pengobatan suatu penyakit yang diharamkan dalam islam ?

4. Apakah terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini ?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui haram atau tidaknya daging buaya yang bisa

dijadikan sumber pengobatan suatu penyakit kita konsumsi.

(6)

3. Untuk mengetahui selain buaya apakah ada hewan lain yang

diharamkan meskipun dijadikan sumber pengobatan.

4. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pendapat antar ulama

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

Buaya termasuk hewan yang haram dimakan, selain karena hidup di dua alam, yang utama alasannya karena buaya adalah binatang buas. Binatang buas pemakan daging termasuk kelompok hewan yang haram dimakan.

Sedangkan kebolehan memakan sesuatu yang haram hanya berlaku dalam kondisi darurat yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta dan agama. Misalnya, di tengah gurun pasir saat tidak ada makanan untuk menyambung hidup, kita dibolehkan memaka ular gurun yang kebetulan kita temukan. Meski ular itu haram dimakan pada dasarnya, tetapi dengan alasan darurat, untuk saat itu saja, boleh dimakan sekedar untuk menyambung hidup.

Ular itu langsung berubah menjadi haram kalau tiba-tiba ada jenis makanan lain yang halal, meski harus berjalan jauh untuk mendapatkannya. Semua ini menganut pada asas dan kaidah bahwa kedaruratan itu bisa menghalalkan yang haram, namun keharaman akan segera kembali bila kedaruratan itu hilang.

Adapun untuk pengobatan, sebenarnya tidak ada istilah darurat, apalagi bila tidak terkait dengan kepentingan pertolongan pertama yang bersifat darurat. Tapi hanya sekedar alternatif biasa. Maka prinsip dasar yang telah ditetapkan syariah adalah bahwa Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Dan obat yang Allah turunkan itu bukan pada makanan yang diharamkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:

ممرلحم امميفف ممككءمافمشف لم عمجميم مملم هملللام نلإف لماقم يي بفنللام نم عم اهمنمعم هكلللام يم ضف رم ةممملمسم ميأك نمعموم

, "

نابلحف نك بماف هكحم حل صم وم يي قفهميمبملمام هكجم رمخمأم ممككيملمعم

(8)

Karena itu, pengobatan dengan menggunakan khamar tetap diharamkan, lantaran khamar adalah minuman yang diharamkan Allah. Maka tidak mungkin Allah SWT menjadikannya sebagai obat untuk suatu penyakit. Minum khamar tetap haram meski tujuannya untuk obat.

; Rasulullah SAW tentang hukum khamar yang dijadikan obat. Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Khamar itu bukan obat melainkan racun" (HR. Muslim)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya juga. Maka pandangan anda benar, makanan yang haram bila dijadikan obat hukumnya akan tetap haram. Tidak dibenarkan memakan bagian dari tubuh buaya, karena buaya termasuk binatang buas yang hukumnya haram dimakan. Keharamannya ditambah lagi dengan satu hal, yaitu buaya itu mati sebagai bangkai, karena tidak pernah mati dengan cara disembelih sesuatu syariah.

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang hukum daging buaya, hal itu dikarenakan apakah binatang tersebut dimasukkan kedalam kelompok binatang amfibi yang hidup di dua alam atau tidak? dan apakah ia termasuk binatang buas atau tidak ?

DR Wahbah memasukkan buaya kedalam kelompok binatang yang hidup di dua alam, seperti halnya katak, penyu, kepiting, ular, anjing laut dan lainnya. Dan didalam hukum binatang amfibi ini terdapat tiga pendapat, yaitu :

1. Para ulama Hanafi dan Syafi’i mengatakan bahwa binatang itu semua tidak halal dimakan dikarenakan termasuk kedalam binatang yang menjijikan dan memiliki racun seperti ular. Nabi saw melarang membunuh katak. Dan seandainya dibolehkan memakannya maka beliau saw tidak akan melarang untuk membunuhnya.

(9)

pelarangan binatang-binatang yang menjijikkan adalah apa yang didalamnya terdapat pernyataan dari syariat dan segala yang dianggap menjijikkan oleh diri seseorang selama belum ada nashnya maka ia tidaklah haram.

3. Para ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa setiap hewan yang hidup di darat yang termasuk kedalam kelompok binatang melata laut maka tidak ia tidaklah halal tanpa disembelih, seperti burung laut, kura-kura, anjing laut kecuali yang tidak memiliki darah seperti kepiting, dan menurut Ahmad bahwa binatang ini boleh meski tanpa disembelih karena termasuk hewan laut yang hidup di darat, tidak memiliki darah mengalir sehingga tidak memerlukan penyembelihan yang mana hal ini berbeda dengan binatang yang memiliki darah mengalir yang tidak halal tanpa disembelih. Dan yang paling benar, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Muflih bahwa kepiting tidak halal kecuali dengan disembelih.

Kemudian beliau mengatakan bahwa buaya tidaklah halal untuk dimakan. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2800)

Alasan lainnya yang menjadikan buaya tidak halal menurut para ulama yang mengharamkannya untuk dimakan adalah bahwa ia termasuk kedalam kelompok binatang buas, sebagaimana riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melarang semua binatang buas yang memiliki taring dan semua burung yang memiliki cakar.” (HR. Bukhori Muslim) juga yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda bahwa memakan semua binatang buas yang memiliki taring adalah haram”

Dikatakan binatang buas bertaring dikarenakan biantang itu menerkam mangsanya dan menyerangnya dengan taring yang dimilikinya, dan perilaku ini terdapat pada buaya. Bahkan buaya bukan hanya pemakan daging sesama hewan akan tetapi tidak jarang juga ia memangsa manusia dengan cara menerkam dan menyerangnya dengan taringnya.

Hukum Asal Hewan yang Hidup di Dua Alam

(10)

alam (laut dan darat) kecuali untuk katak. Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya kembali ke kaedah: “Hukum asal segala sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

a) Perselisihan Ulama

Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah hewan yang hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.

Ulama Malikiyah : Membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting.

Ulama Syafi’iyah : Membolehkan secara mutlak kecuali katak. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.

Ulama Hambali : Hewan yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah.

Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.

b) Haramnya Katak

Adapun dalil haramnya memakan katak adalah hadits,

(11)

c) Apakah Buaya Halal Dimakan?

Mayoritas ulama menyatakan bahwa buaya itu haram dimakan. Imam Ahmadrahimahullah memiliki pendapat,

حم اسم ممتيلاوم عم دم فمضي لا للإف رفحمبملما يفف امم لي كك لك كم ؤميك

“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”

Jika kita memakai pendapat ulama yang mengatakan bahwa hewan air itu menjadi haram jika ia memiliki kemiripan dengan hewan darat, maka jadinya buaya pun bisa diharamkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa buaya adalah binatang bertaring dan ia memangsa buruannya dengan taringnya. Dari sini buaya bisa saja masuk dalam pelarangan hewan bertaring sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ممارمحم هكلككمأم فم عفابمسيلا نممف بدانم يذف ليكك

“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)

Namun qiyas (analogi) buaya dengan dalil di atas kuranglah tepat. Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhohullah mengatakan,

“Adapun para ulama yang memiliki pendapat dengan mengqiyaskan hewan air dengan hewan darat yang diharamkan, maka ini tidaklah tepat. Qiyas semacam ini bertentangan dengan nash (dalil tegas) yaitu firman Allah Ta’ala,

هكمكاعمطم وم رفحمبملما دكيمصم مم كك لم لل حفأك

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).”

(12)

d) Pendapat Ulama Besar Mengenai Buaya, Kura-kura, Kepiting dan Landak Laut

Pertama : Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Pertanyaan : Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut, buaya, landak laut ? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?

Jawaban:

Landak laut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan keumuman ayat,

امبدم ومأم ةبتميممم نموككيم نمأم للإف هكمكعمطم يم مد عفاطم ىلمعم امبرلحممك يل لمإف يم حف وأك امم يفف دكجفأم لم لم قك

هفبف هفلللا رفيمغملف للهفأك اقبسم فف ومأم سم جم رف هكنلإففم رديزفنمخف ممحملم ومأم احبوفكسممم

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi–karena sesungguhnya semua itu kotor–atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).

Hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang menyatakannya haram. Adapun hewan kura-kura, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan meskipun tidak disembelih. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

هكمكاعمطم وم رفحمبملما دكيمصم مم كك لم لل حفأك

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).

Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut,

هكتكتميممم لي حف لما هكؤكامم ركوهكطل لا ومهك

“Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69, An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361, Malik 43, Ad Darimi 729)

(13)

keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Sebagian lainnya mengatakan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat) adalah pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).

Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang telah lewat, juga dihalalkan karena tidak adanya dalil penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil tegas), sehingga kuda laut pun lebih pantas dinyatakan halal.

Kedua: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin

Dalam Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, Syaikh rahimahullah mengatakan, “Seluruh hewan air itu halal bahkan untuk orang yang sedang ihrom. perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS. Al Maidah: 96)

(14)

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya” (QS. Ibrahim: 34). Mufrod mudhof dalam kata nikmat menunjukkan atas seluruh nikmat.

Jadi pendapat yang menyatakan halalnya seluruh hewan air (tanpa pengecualian), itulah yang lebih tepat. Sebagian ulama mengecualikan katak, buaya, dan ular (yang hanya hidup di air). Mereka menyatakan hewan-hewan ini tidak halal. Namun pendapat yang tepat hewan-hewan tadi tetap halal (kecuali katak, pen). Seluruh hewan air itu halal, baik ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 129, side A]

Dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh rahimahullah ditanya, “Apa hukum makan katak, ular (yang hanya hidup di air), dan kepiting?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Kalau kita melihat keumuman firman Allah Ta’ala,

ةفرمايلسل للفوم ممكك لم اعباتممم هكمكاعمطم وم رفحمبملما دكيمصم مم كك لم لل حفأك

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96), menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut halal kecuali katak. Ia bukanlah hewan air. Katak hidup di darat dan di air sehingga ia tidak masuk dalam keumuman ayat tadi. [Liqo’ Al Bab Al Maftuh kaset no. 112, side B]

Beliau juga ditanya dalam kajian Nur ‘ala Ad Darb, “Daging buaya dan kura-kura itu halal dimakan ataukah haram? Karena kami menemukan makanan semacam itu di negeri kami, Sudan. Berilah penjelasan pada kami. Barakallahu fiikum.”

Beliau menjawab, “Semua hewan air itu halal, baik yang ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. Allah Ta’ala berfirman,

(15)

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96) Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa “shoidul bahr” maknanya adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup. Sedangkan “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditangkap dalam keadaan mati. Akan tetapi sebagian ulama katakan bahwa buaya itu tidak halal karena buaya termasuk hewan yang bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan hewan yang bertaring baik itu hewan buas. Sedangkan hewan darat piaraan (jinak) yang bertaring pun diharamkan. Akan tetapi, zhohir (tekstual) surat Al Maidah ayat 69 menunjukkan akan halalnya buaya. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 137, side A]

Syaikh rahimahullah pernah menyannggah orang yang mengharamkan buaya dengan alasan bahwa buaya itu bertaring. Syaikh menyatakan bahwa yang dimaksud larangan dalam hadits adalah untuk hewan darat yang bertaring. Sedangkan hewan buas yang hidup di air, maka ia memiliki hukum tersendiri. Oleh karena itu, dihalalkan memakan ikan hiu. Padahal ikan hiu juga memiliki taring yang digunakan untuk memangsa buruannya. (Lihat Syarhul Mumthi’, 15/34-35)

Ulama saat ini yang juga menghalalkan buaya adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah (Fatwanya, 23/24) sebagaimana beliau pun mendukung pendapat ini dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang telah lewat.

Ringkasan : Penjelasan ini menunjukkan bahwa buaya, kura-kura dan kepiting itu halal dimakan. Halalnya hewan-hewan ini sesuai dengan pendapat ulama Malikiyah karena mereka menganggap setiap hewan air itu halal.

(16)

katak ada dalil tegas yang menunjukkan akan haramnya karena ia termasuk hewan yang tidak boleh dibunuh.

e) Lalu bagaimana cara membunuh kepiting dan kura-kura agar jadi halal? Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang bisa hidup di daratan, maka tidak halal kecuali dengan disembelih. Contohnya adalah burung air,kura-kura, dan anjing laut. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki saluran darah seperti kepiting. Kepiting itu dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad pernah ditanya,

: : .

لم لم اقم ؟ حكبمذميك هكلم لم يقف هفبف سم أمبم لم نك اطم رمسل لا

“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas bagaimana ia disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”

Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan yang mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara mengeluarkan darah dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir darah dalam tubuhnya tidak butuh untuk disembelih.”

Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia mati, tetap membuatnya halal.

Kesimpulan Mengenai Hewan Air

Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:

Pertama : Hukum seluruh hewan air (yang hanya hidup di air) adalah halal. Begitu pula, hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan darat) adalah halal.

Kedua : Katak itu haram karena ada dalil yang melarang membunuhnya. Ada kaedah, setiap hewan yang dilarang dibunuh, maka tidak boleh dimakan.

(17)

Keempat : Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia termasuk dalam keumuman ayat,

ةفرمايلسل للفوم ممكك لم اعباتممم هكمكاعمطم وم رفحمبملما دكيمصم مم كك لم لل حفأك

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96).

Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharamkannya.

Kelima : Hewan air yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut) seperti anjing laut, kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan dengan jalan disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah seperti kepiting.

Keenam : Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

امبيحفرم ممككبف نماكم هملللا نلإف ممككسم فكنمأم اولكتكقمتم لموم

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)

ةفكم لكهمتللا ىلمإف ممككيدفيمأمبف اوقكلمتك لموم

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195)

Ringkasnya, hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan hewan lainnya yang dapat membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi.

(18)

selainnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap hewan buas yang bertaring makan memakannya haram.”

Juga karena hewan ini tergolong hewan yang khabits (buruk), dengan begitu pengharamannya berdasar pada keumuman ayat, “Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk,”

Sementara telah terdapat keterangan larangan dari as-sunnah, berobat dengan sesuatu yang haram. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian.”

Dan juga dari hadits Abu ad-Darda`, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesunguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit. Namun janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.”

Dan terdapat beberapa hadits lainnya yang senada. .

(19)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Buaya termasuk hewan yang haram dimakan, selain karena hidup di dua alam, yang utama alasannya karena buaya adalah binatang buas. Binatang buas pemakan daging termasuk kelompok hewan yang haram dimakan. Tidak dibenarkan memakan bagian dari tubuh buaya, karena buaya termasuk binatang buas yang hukumnya haram dimakan. Keharamannya ditambah lagi dengan satu hal, yaitu buaya itu mati sebagai bangkai, karena tidak pernah mati dengan cara disembelih sesuatu syariah. Alasan lainnya yang menjadikan buaya tidak halal menurut para ulama yang mengharamkannya untuk dimakan adalah bahwa ia termasuk kedalam kelompok binatang buas, sebagaimana riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melarang semua binatang buas yang memiliki taring dan semua burung yang memiliki cakar.” (HR. Bukhori Muslim) juga yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda bahwa memakan semua binatang buas yang memiliki taring adalah haram”

Dikatakan binatang buas bertaring dikarenakan biantang itu menerkam mangsanya dan menyerangnya dengan taring yang dimilikinya, dan perilaku ini terdapat pada buaya. Bahkan buaya bukan hanya pemakan daging sesama hewan akan tetapi tidak jarang juga ia memangsa manusia dengan cara menerkam dan menyerangnya dengan taringnya.

B. Saran

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Diakses melalui : m.eramuslim.com/makanan/haramkah-daging-buaya-walau-untuk-obat.html. Pada tanggal 09 Maret 2015

Diakses melalui : http://rumayasho.com/umum/hukum-hewan-yang-hidup-di-dua-alam-1046. Pada tanggal 11 Maret 2015

Referensi

Dokumen terkait

SMP Negeri 3 Kebakkramat pada semester genap tahun ajaran 2016/2017.. 2) Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Stick dengan Media Audio Visual dalam

Demikian Pengumuman Pemenang Seleksi Sederhana Pengadaan Jasa Konsultansi ini dibuat dengan penuh tanggungjawab, untuk menjadi bahan selanjutnya. Barabai, 05 Mei 2017 Unit

Darajat (2012, hlm 49) adalah “ Instrumen yang bila digunakan beber apa kali untuk mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang sama”.

Explaining dan demonstrating materi adalah suatu tahapan dimana guru harus terlihat segar dan antusias, menjelaskan serta mendemonstrasikan tiap step atau benda-benda yang

Personel Polsek Piyungan mengamankan jalannya kirab budaya dalam rangka HUT Desa Srimartani ke 71 di Balai Desa Srimartani Piyungan, Minggu (19/11/2017).. Selain

Other planes on the same building are reconstructed following the same procedure by using the non-ground LIDAR points near to the local image lines, which are either parallel

Peningkatan tingkat kurs mata uang Rand disebabkan adanya penurunan nilai inflasi sebesar 5,6% pada bulan Mei 2013, sehingga menyebabkan terjadinya beberapa

fleksibilitas panggul terhadap hasil kecepatan panjat tebing kategori speed. Dengan rumusan masalah penelitian