• Tidak ada hasil yang ditemukan

BB Hukum Pidana Lanjutan Harry Uniba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BB Hukum Pidana Lanjutan Harry Uniba"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Kuliah : Hukum Pidana Lanjutan

Kode Mata Kuliah : WHI 3217

Team Pengajar : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.MH

I Wayan Suardana, SH.MH

AA Ngurah Wirasila, SH.MH

Fakultas Hukum

Universitas Udayana

(2)

HUKUM PIDANA LANJUTAN

1. Deskripsi Mata Kuliah

Materi perkuliahan hukum pidana lanjutan lebih terfokus pada

pemahaman asas­asas hukum pidana sebagai kelanjutan dari mata kuliah

hukum pidana. Ada 7 (tujuh) pokok bahasan yakni : 1) Percobaan

(

poging

); 2) Penyertaan (

deelneming

) ; 3) Pembantuan

(Medeplightigheid); 4)

Perbarengan (

samenloop

) ; 5) Recidive ; 6) Delik aduan (

klachtdelict

) ; 7)

Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi,

amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Deskripsi masing­masing pokok bahasan

adalah sebagai berikut :

a.

”Percobaan” (

poging

) : Terdapat berbagai pandangan dengan

dasar pemimiran masing­masing dalam percobaan (

poging

).

Perbedaan pandangan tersebut tidak dapat dilepaskan dengan

tidak ditemukannya batasan tentang percobaan dalam KUHP.

Syarat­syarat percobaan (”poging”) pada dasarnya juga merupakan unsur percobaan, yakni : 1) niat (vornemen); 2) permulaan pelaksanaan (begin van uitvoerings handeling); 3) tidak selesainya pelaksanaan delik, bukan semata­mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. MvT (Memorie van Toelichting) menguraikan tentang percobaan (”poging”) sebagai telah dimulainya perbuatan (tindakan), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai. Penjelasan berdasarkan Pasal 53 KUHP dan MvT, menjadi sumber adanya perbedaan pandangan yang berkenaan dengan permasalahan : Apakah perkataan ”permulaan pelaksanaan” dalam rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP harus ditafsirkan sebagai permulaan pelaksanaan atau sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri. Di samping itu, muncul pula pandangan yang mempersoalkan, apakah percobaan (”poging”) merupakan perluasan (pengertian) perbuatan pidana atau merupakan perluasan pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana. b.

”Penyertaan” (

deelneming

) : D

alam hukum pidana yang

(3)

dari setiap peserta terhadap delik yang dilakukannya. Di dalam doktrin penyertaan (deelneming) dibagi kedalam 2 bentuk, yaitu 1) penyertaan yang berdiri sendiri (Zelfstandige Vormen van Deelneming), yang dalam hal ini pertanggungjawaban pidana tiap peserta dinilai sendiri­sendiri; dan 2) penyertaan yang tidak berdiri sendiri (Onzelfstandige Vormen van Deelneining) yang dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban pidana dari seorang peserta digantungkan kepada perbuatan peserta lainnya.

c. Pembantuan (Medeplightigheid) merupakan salah satu bentuk penyertaan (deelneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Ada pembantuan apabila dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masing­masing sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medeplichtige). Ada 2 macam pembantuan, yaitu : 1) pembantuan pada waktu kejahatan dilakukan tanpa daya upaya tertentu; dan 2) pembantuan yang mendahului/sebelum dilakukan kejahatan dengan daya upaya tertentu (ditentukan secara limitatif). Persoalan pokok dalam pembantuan (Medeplightigheid), adalah masalah pertanggungjawaban pidana yang di satu sisi dibatasi tetapi di sisi lain diperluas.

d.

Perbarengan (

samenloop

) :

apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan, dan dengan melakukan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dimana masing­masing perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri­sendiri, dan terhadap salah satu dari perbuatan pidana tersebut belum ada putusan hakim, dan terhadap beberapa tindak pidana tersebut diadili sekaligus. Diadakannya pengaturan tentang perbarengan (samenloop), untuk menentukan ukuran pidana (hukuman), artinya pidana apa dan berapakah jumlahnya yang akan dijatuhkan karena ’pelaku’ melakukan beberapa tindak pidana yang masing­masing berdiri sendiri. Ada 4 sistem Pemidanaan dalam samenloop, yaitu : absorptie stelsel ; comulatie stelsel ; verscherpte ; dan gematigde comulatie stelsel.

e.

Recidive

Recidive terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim, dan pidana tersebut telah dijalani oleh terpidana. Namun setelah mereka selesai menjalani masa pidana, dalam jangka waktu tertentu, ia kembali lagi melakukan tindak pidana. Recidive merupakan alasan pemberatan pidana.. Sistem penjatuhan pidana dalam recidive ada 3 macam, yaitu : 1) recidive umum (algemene recidive atau generale recidive); 2) recidive khusus ( speciale recidive atau bijzondere recidive) ; dan 3)tussen stelsel.

(4)

umum belum boleh melakukan tuntutan. Dalam hal delik aduan, diadakan tidaknya persetujuan dari yang dirugikan artinya Jaksa hanya dapat menuntutnya sesudah adanya pengaduan dari yang dirugikan. Sebagai satu­satunya alasan dari pembuat KUHP. untuk menetap delik aduan itu adalah adanya pertimbangan bahwa didalam beberapa hal tertentu kepentingan dari yang dirugikan agar supaya perkaranya tidak dituntut adalah lebih besar dari pada kepentingan negara untuk melakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu : delik aduan absolut (mutlak) dan delik aduan relatif (nisbi).

g.

Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana

Gugurnya hak menuntut pidana ada yang diatur dalam KUHP dan ada pula yang diatur di luar KUHP. Ada 4 jenis alasan gugurnya hak menuntut pidana dalam KUHP, yaitu Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), matinya tertuduh (Pasal 77 KUHP), kedaluwarsa (Pasal 68 – 81 KUHP) dan penyelesaian di luar proses peradilan ”Afdoening buiten proces” (Pasal 82 KUHP). Alasan gugurnya hak menuntut pidana di luar KUHP, adalah abolisi dan amnesti, yang diatur dalam UUD dan hanya dapat diberikan oleh kepala negara. Abolisi merupakan kewenangan kepala negara berdasarkan UU untuk menghentikan atau meniadakan tuntutan, sedangkan amnesti merupakan wewenang kepala negara dengan UU atau atas kuasa UU untuk menghapuskan semua akibat hukum dari orang­orang yang melakukan tindak pidana. Ada 2 alasan yang menyebabkan gugurnya hak untuk menjalankan pidana, yaitu matinya terhukum (Pasal 83 KUHP), dan kedaluwarsa (Pasal 84 ­ 85 KUIIP).

h.

Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

Grasi merupakan hak kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap. Grasi tidaklah menghilangkan putusan hakim, dalam artian putusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanannya ditiadakan/dihilangkan atau dikurangi ataupun jenis pidananya dirubah.

2. Pokok Bahasan

1. PERCOBAAN (POGING)

Pertemuan ke 1 :

a. Syarat dan Unsur­unsur Percobaan (poging)

(5)

disebabkan karena kehendaknya sendiri. MvT (Memorie van Toelichting) menguraikan tentang percobaan (”poging”) sebagai telah dimulainya perbuatan (tindakan), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai. Penjelasan berdasarkan Pasal 53 KUHP dan MvT, menjadi sumber adanya perbedaan pandangan yang berkenaan dengan permasalahan : Apakah perkataan ”permulaan pelaksanaan” dalam rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP harus ditafsirkan sebagai permulaan pelaksanaan atau sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri. Di samping itu, muncul pula pandangan yang mempersoalkan, apakah percobaan (”poging”) merupakan perluasan (pengertian) perbuatan pidana atau merupakan perluasan pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana. Mereka yang lebih menekankan pada tindakan pelaku yang membahayakan suatu kepentingan, menyatakan bahwa percobaan merupakan perluasan perbuatan pidana, sedangkan di sisi lain menyatakan percobaan bukan menentukan bentuk khusus dari tindakan pidana, melainkan hanya menentukan tentang suatu kelakuan yang ada hubungannya dengan suatu perumusan perbuatan pidana.

b. Kasus

Abraham, bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di suatu rumah di kawasan pemukiman elite di daerah Sanur, yang sedang ditinggalkan oleh pemiliknya ke Jakarta. Untuk memuluskan aksinya, Abraham mempersiapkan sebuah anak kunci palsu yang akan dipergunakan untuk membuka paksa pintu kamar yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan barang­barang berharga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian, Abraham bersembunyi di semak­semak sambil menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Pada saat Abraham memulai aksinya dengan cara memanjat tembok pekarangan rumah yang akan dijadikan sasaran pencurian, iapun ditangkap oleh satuan pengamanan lingkungan setempat.

c. Pertanyaan :

1. Apakah dalam kasus di atas, maksud Abraham untuk melakukan pencurian dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan ?

2. Baca secara cermat kasus di atas, kemudian saudara bahas tentang ’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar pemikiran yang ada dalam doktrin !

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 510 ­ 551

(6)

4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 ­ 36

5. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :

Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265

7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 ­ 15

8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

9. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

10. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 ­ 81 11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 1 ­ 32

Pertemuan ke 2 :

a. Pemidanaan terhadap Pelaku Percobaan (poging) dan Pengunduran Diri secara Sukarela sebagai Alasan Tidak Dipidananya Percobaan

Sistem Pemidanaan untuk percobaan agak menyimpang dari sistem Pemidanaan delik selesai (sempurna) pada umumnya, yang mengancamkan pidana apabila unsur­unsur delik telah terpenuhi. Di dalam percobaan, pemidanaan diadakan, sebelum terjadi suatu yang merugikan kepentingan hukum seperti yang seutuhnya dilindungi dalam (pasal) tindak pidana yang bersangkutan. Ada 2 pandangan yang berbeda tentang pemidanaan percobaan, yaitu : 1) pandangan subyektif yang bertolak dari diri atau jiwa pelaku (yang dinilai adalah niat dari pelaku untuk melakukan kejahatan); dan 2) pandangan obyektif yang bertolak dari tindakan atau perbuatan yang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh Undang­undang. KUHP tidak menentukan secara tegas teori mana yang dianut, sehingga dalam masalah pemidanaan terhadap pelaku percobaan­pun muncul berbagai penafsiran.

b. Kasus

(7)

penadahnya. Abdulah tertarik dengan cerita Sanusi, dan pada kesempatan itu juga ia bersepakat untuk melakukan pencurian di suatu tempat di malam itu juga. Pada waktu dan tempat yang telah dijanjikan, keduanya bertemu dan langsung melakukan aksinya. Namun sebelum niat itu terlaksana, Abdulah dengan niat sendiri mengurungkan rencananya, sedangkan Sanusi memutuskan untuk melakukan aksinya seorang diri dan aksinya tersebut diawali dengan merusak gembok tempat penyimpanan benda­benda sakral di pura. Namun sebelum aksi Sanusi terlaksana, anggota banjar yang sedang melakukan ronda memergokinya sehingga niat tersebut tidak kesampaian.

c. Pertanyaan :

1. Dilihat dari kesepakatan antara Abdulah dengan Sanusi untuk melakukan pencurian , apakah menurut pandangan subyektif dan obyektif, sudah dapat dijadikan dasar untuk memidana Abdulah dan Sanusi ?

2. Apakah mengurungkan niat dengan kesadaran sendiri, seperti apa yang dilakukan Abdulah, merupakan alasan tidak dapat dipidananya pelaku percobaan ?

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 510 ­ 551

3. Muljatno 1980.Delik­delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23.

4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 ­ 36

5. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :

Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265

7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 ­ 15

8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

9. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

10. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 ­ 81 11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan

(8)

Pertemuan ke 3 :

a. Pertanggungjawaban Pidana dalam perbuatan Pidana Percobaan.

Pertanggungjawaban pidana dalam perbuatan pidana percobaan secara tegas diatur dalam Pasal 53 KUHP bahwa maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan (“poging”) dikurangi sepertiganya. Namun demikian pembentuk Undang­undang mengecualikan pertanggungjawaban pidana dalam ketentuan Buku II untuk pelaku percobaan, di samping pula menentukan secara tegas bahwa pelaku percobaan “pelanggaran” tidak dapat dipidana.

b. Kasus

Pagi ini, senin tanggal 1 Januari 2008, Alimudin diadili di Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus percobaan pencurian sepeda motor di bilangan Pasar Kereneng. Di dalam melakukan aksinya, Alimudin biasanya melakukan pemantauan tempat yang biasanya luput dari pengawasan juru parkir ataupun Satpam Pasar. Untuk memuluskan aksinya, Alimudin telah mempersiapkan kunci leter T yang dipersiapkan jauh sebelum aksinya dilakukan. Pada saat yang tepat, Alimudin berangkat dari rumahnya di kawasan Renon dengan mengendarai sepeda motor, dan untuk mempersingkat perjalanannya, iapun memacu sepeda motor menerobos larangan masuk. Niat untuk menerobos jalan tersebut kemudian diurungkan karena di ujung jalan ia melihat ada seorang petugas Polantas yang sedang berjaga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian, Alimudin menunggu waktu yang tepat sambil mempersiapkan peralatan yang akan dipergunakan melakukan perbuatannya.

c. Pertanyaan :

Di dalam melakukan aksinya, Alimudin dalam kasus di atas telah pula mencoba untuk melakukan pelanggaran dengan memasuki rambu larangan masuk. Bagaimana pendapat saudara ?

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 510 ­ 551

3. Muljatno 1980.Delik­delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22, 23.

4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 ­ 36

(9)

6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265

7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 ­ 15

8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

9. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

10. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 76 ­ 81 11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 1 – 32

2. PENYERTAAN (DEELNEMING)

Pertemuan ke 4 :

a. Pelaku dalam Hukum Pidana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP, dalam hukum pidana yang digolongkan/dianggap sebagai pelaku (dader) ada 4 macam yaitu: 1) mereka yang melakukan sendiri sesuatu perbuatan pidana (plegen); 2) mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana (doen plegen); 3) mereka yang turut serta (bersama­sama) melakukan sesuatu perbuatan pidana (medeplegen); dan 4) mereka yang dengan sengaja menganjurkan (menggerakkan) orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (uitloking). Yang menjadi persoalan pokok didalam ajaran “deelneining” adalah menentukan pertanggungan jawab dari setiap peserta terhadap delik yang dilakukannya, karena apabila dalam suatu delik tersangkut beberapa orang, maka pertanggungan jawab setiap orang yang merupakan peserta di dalam delik, dapat berheda satu sama lain. Di dalam doktrin penyertaan (deelneming) dibagi kedalam 2 bentuk, yaitu 1) penyertaan yang berdiri sendiri (Zelfstandige Vormen van Deelneming), yang dalam hal ini pertanggungjawaban pidana tiap peserta dinilai sendiri­sendiri; dan 2) penyertaan yang tidak berdiri sendiri (Onzelfstandige Vormen van Deelneining) disebut juga accessoire vormen van deelneming, yang dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban pidana dari seorang peserta digantungkan kepada perbuatan peserta lainnya.

b. Kasus.

(10)

masih berstatus sebagai karyawan Burhan. Dalam usahanya untuk memuluskan aksinya, Ali menyuruh Yudi pada malam yang telah ditentukan untuk tidak mengunci pintu kantor tempat penyimpanan brankas, sedangkan Yuda ditugaskan untuk menyiapkan tangga yang akan dipergunakan sebagai alat bantu memanjat tembok menuju ke tempat brankas. Untuk melakukan aksinya, Ali membujuk Budi pada malam yang ditentukan untuk mengambil semua isi brankas di kantor Burhan untuk kemudian dibawa ke rumah Ali. Hasil dari tindak pidana tersebut kemudian dibagi­bagi secara merata di antara keempat orang tersebut.

c. Pertanyaan :

a. Jelaskan status masing­masing pelaku tindak pidana dalam contoh kasus di atas !

b. Tentukan ancaman pidana untuk masing­masing pelaku ! c. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 556 ­ 627

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36

4. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :

Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265

6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39

7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 82 – 97 10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 32 – 49 Pertemuan ke 5 :

(11)

Dalam ”menyuruh orang lain” (Middelijk Daderschaft), di dalamnya ada : orang yang menyruh lakukan (midelijk dader atau manus domina) dan orang yang disuruh (onmiddelijk dadre atau materiele dader atau manus ministra). Syarat terpenting untuk mempertanggungjawabkan mereka yang menyuruh lakukan adalah, orang yang disuruh untuk melakukan tindak pidana adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana (Pasal 44, 48, 51 ayat (2)) dan orang yang disuruh melakukan tidak mempunyai unsur ogmerk (niat) seperti yang menyuruh.

Di dalam bersama­sama melakukan suatu tindak pidana KUHP tidak memberikan penjelasan, tetapi dalam doktrin dapat ditemukan pendapat bahwa bersama­sama melakukan berarti mereka bersma­sama bekerjasama secara fisik/jasmani. Pendapat kedua mensyaratkan bahwa diantara mereka harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerja sama untuk melakukan suatu delik.

Di dalam penganjuran (uitloken) juga seperti pada ”menyuruh lakukan” dalam artian ada penganjur (auctor intellectualis atau intelectuelo dader) dan ada orang yang dianjurkan (auctor materialis atau materiele dader) Pasal 55 ayat (1) ke 1 menyebutkan secara limitatif daya upaya untuk terjadinya penganjuran, yaitu : 1) memberi atau menjanjikan sesuatu ; 2) menyalahgunakan kekuasaan atau martabat ; 3) dengan kekerasan ; 4) memakai ancaman atau penyesatan ; dan 5) memberikan kesempatan, sarana atau keterangan.

b. Kasus

(12)

c. Pertanyaan :

1. Muklas dalam melaksanakan perintah Muhaimin, secara tidak langsung berhubungan dengan statusnya sebagai bawahan Muhaimin dalam struktur organisasi kantor tempatnya bekerja. Apakah dalam kasus di atas, Muklas dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana ? 2. Dalam kasus di atas, tentukan posisi masing­masing pelaku. Siapa yang

berstatus sebagai penganjur (auctor intellectualis atau intelectuelo dader) dan siapa yang bertindak selakuauctor materialis atau materiele dader. 3. Dari kasus di atas, tentukansiapa­siapa yang dapat

dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana dan sispa­siapa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berikan argumen untuk mendukung pendapat saudara !

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 556 ­ 627

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36

4. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :

Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265

6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39

7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 82 – 97 10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan

Yuridika, hal. 32 – 49

3. PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)

Pertemuan ke 6 :

(13)

Pembantuan (Medeplightigheid) merupakan salah satu bentuk penyertaan (deelneining) sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Ada pembantuan apabila dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masing­ masing sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medeplichtige). Dari perumusan Pasal 56 dapat diketahui adanya 2 macam pembantuan, yaitu : 1) pembantuan pada waktu kejahatan dilakukan tanpa daya upaya tertentu; dan 2) pembantuan yang mendahului/sebelum dilakukan kejahatan dengan daya upaya tertentu (ditentukan secara limitatif) yaitu memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Persoalan pokok dalam pembantuan (Medeplightigheid), adalah masalah pertanggungjawaban pidana yang di satu sisi dibatasi tetapi di sisi lain diperluas.

b. Kasus

Abu Bakar berniat untuk melakukan penganiayaan terhadap Ibrahim di suatu tempat yang luput dari pantauan orang lain. Rencana tersebutpun disampaikan kepada Maliki, dan Abdurrahman teman dekatnya. Untuk memuluskan rencananya, Abu Bakar membutuhkan bantuan Maliki, untuk mengetahui jalan­jalan yang akan dilalui oleh Ibrahim, pulang dari tempat kerjanya. Maliki dengan senang hati memberikan keterangan bahwa Ibrahim biasanya melewati Jalan setapak di pinggiran desanya pada jam 17.00 sore. Berkat keterangan Maliki, Abu Bakar dapat menyusun rencananya dan menunggu kedatangan Ibrahim pada tempat yang ditunjukkan oleh Maliki bersama­sama dengan Abdurrahman. Ketika Ibrahim tiba di tempat tersebut, Abu Bakar menyerang Ibrahim, namun karena teknik perkelahian yang dimiliki Ibrahim, Abu Bakar terdesak. Pada saat itulah, Abdurrahman melemparkan sepotong kayu kepada Abu Bakar, yang kemudian dipergunakan oleh Abu Bakar untuk memukul kepala Ibrahim sampai tidak sadarkan diri, namun sebelumnya, Abdurrahman memberikan kode­kode dengan isyarat fisik kepada Abu Bakar untuk melumpuhkan Ibrahim.

c. Pertanyaan :

1. Tentukan status masing­masing pelaku tersebut dalam contoh kasus di atas !

2. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan secara fisik ataun non fisik. Dengan memperhatikan contoh di atas, tentukan status Maliki dan juga Abdurrahman !

d. Bahan Bacaan

(14)

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 556 ­ 627

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36

4. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :

Citra Aditya Bakti, hal. 209 ­265

6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 ­ 62

7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 ­ 164

10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 50 – 64

3. PERBARENGAN (SAMENLOOP).

Pertemuan ke 7 :

a. Pengertian

(15)

d. Kasus

Hamid di kampungnya lebih dikenal dengan sebutan ”Drunken Master”. Pada suatu malam di pesta sunatan anak teman karibnya, ia minum minuman beralkohol secara berlebihan sampai mabuk. Lewat waktu tengah malam Hamid dengan sepeda motornya, pulang menuju rumahnya yang jaraknya kurang lebih 5 Km. Di perjalanan, Polantas sedang melakukan razia surat­surat dan kelengkapan kendaraan bermotor. Hamid distop untuk diperiksa kelengkapan surat­surat sepeda motornya. Pada saat Hamid dihentikan, ia marah­marah dan memaki polisi lalu lintas yang sedang menjalankan tugasnya, bahkan perlakuan Hamid tidak hanya memaki tetapi juga memukul polisi, dan kemudian melarikan diri dengan memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Karena kurang kontrol, Hamid kemudian menabrak nenek Saonah, seorang pejalan kaki yang sedang menyeberang.

c. Pertanyaan :

Apakah perbuatan Hamid seperti yang tertera dalam contoh kasus di atas dapat dikatakan sebagai perbuatan berlanjut (samenloop van Strafbaarfeiten) ? dan tentukan pula pemidanaan yang dapat diterapkan. d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 642 ­683

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 ­ 40

4. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :

Citra Aditya Bakti, hal. 175 ­ 189

6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58

7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164

(16)

Pertemuan ke 8 :

a. Bangunan dan Bentuk­bentuk Samenloop

Di dalam doktrin, ada perbedaan paham mengenai beberapa bangunan dalam samenloop, yaitu mengenai :1) pengertian feit; 2) bilamanakah perbuatan seseorang dianggap sebagai eenfeit ataukah meerdere feit; dan 3) pengertian tentang vorgezette handeling. Dilihat dari segi bentuknya, ada 4 bentuk samenloop, yaitu : Eendaadse samenloop (concursus idealis) : terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan melakukan satu perbuatan tersebut, ia melanggar beberapa peraturan pidana dalam artian ia melakukan beberapa tindak pidana (Pasal 63 KUHP) ; meerdaadse samenloop (concursus realis) : terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan mana merupakan tindak pidana sendiri­sendiri dan terhadap perbuatan tersebut diadili sekaligus (Pasal 65 KUHP) ; dan voorgezette handeling : terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing­masing sebagai tindak pidana tersendiri, tetapi di antara perbuatan tersebut ada hubungan yang demikian erat sehinga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP).

1. Kasus

Aminah, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah Drs. Said Karim, pada suatu hari mengambil barang berupa perhiasan yang terdiri dari beberapa rangkaian yang terpisah­pisah. Pertama­tama ia mengambil cincin berlian, dan seminggu kemudian ia mengambil kalung, disusul 3 hari kemudian mengambil gelang emas milik Nyonya Said Karim. Sebulan kemudian, Aminah mengambil barang­barang koleksi kesayangan Drs. Said Karim berupa patung porselen berwujud burung yang bagian­bagiannya bisa dilepas. Pertama­tama aminah mengambil bagian kepala patung, dan secara berturut­turut mengambil sayap, badan dan kaki. Barang­barang tersebut diambil dalam kurun waktu sama, yaitu 5 hari, sampai semua bagian patung diambilnya. Menjelang hari raya Idul Fitri, Aminah minta ijin kepada Drs Said Karim untuk mudik, tetapi Aminah tidak kembali lagi bekerja di rumah keluarga Drs Said Karim. Bersamaan dengan hal itu, keluarga Drs Said Karim menyadari bahwa barang­ barangnya telah hilang.

2. Pertanyaan :

a. Dengan mencermati bangunan serta bentuk­bentuk Samenloop, perbuatan Aminah termasuk dalam bentuk yang mana ?

(17)

3. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar­dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru, hal. 642 ­683

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40

4. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana. Bandung :

Citra Aditya Bakti, hal. 175 – 189

6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58

7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

8. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

9. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164

10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 64 ­ 84

4. RECIDIVE

Pertemuan ke 9 :

a. Recidive

(18)

tertentu setelah menjalani masa pidana, tindak pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang­undang.

b. Kasus

Lima tahun setelah Andi selesai menjalani masa pidana di LP Kelas II Kerobokan dalam kasus perampasan sepeda motor, kembali diadili di Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus pencurian, penipuan dan penggelapan barang­barang milik perusahaan tempatnya ia bekerja di bilangan Kuta. Andi selesai menjalani masa pidana pada akhir tahun 2000, dan setelah itu ia bekerja di CV Jaya Garment yang bergerak di bidang manufacturing dan eksport garmen. Di perusahaan tersebut, ia juga menanamkan saham sebesar 20 %. Pada akhir tahun 2005, Andi dilaporkan ke Polda Bali dalam kasus pencurian, penipuan dan penggelapan barang­barang milik perusahaan. Atas laporan tersebut, penyidikan dilakukan dan sampai berlanjut ke proses pemeriksaan di persidangan. Hakim memutuskan bahwa andi terbukti bersalah dalam kasus tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

c. Pertanyaan :

1. Karena Andi memiliki saham di perusahaan tempat ia melakukan tindak pidana, apakah unsur­unsur tindak pidana yang disangkakan dapat terpenuhi ?

2. Dalam kasus di atas, Andi dapat dijatuhi pidana lebih berat, kenapa ? d. Bahan bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40

3. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :

Universitas Sebelas Maret, hal. 59 ­ 62

5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

6. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

7. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164

(19)

5. DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)

Pertemuan ke 10 :

a. Delik Aduan

Delik aduan ialah delik yang hanya dituntut atas dasar adanya pengaduan. Ini berarti bahwa sebelum adanya pengaduan dari pihak yang berkepenting, maka jaksa/penuntut umum belum boleh melakukan tuntutan. Dalam hal delik aduan, diadakan tidaknya persetujuan dari yang dirugikan artinya Jaksa hanya dapat menuntutnya sesudah adanya pengaduan dari yang dirugikan. Sebagai satu­satunya alasan dari pembuat KUHP. untuk menetap delik aduan itu adalah adanya pertimbangan bahwa didalam beberapa hal tertentu kepentingan dari yang dirugikan agar supaya perkaranya tidak dituntut adalah lebih besar dari pada kepentingan negara untuk melakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu : delik aduan absolut (mutlak) dan delik aduan relatif (nisbi). Delik aduan absolut adalah tiap­tiap delik yang dalam keadaan apapun tetap merupakan delik aduan. Tindak pidana yang digolongkan sebagai delik aduan absolut, adalah penghinaan, kecuali penghinaan terhadap seorang pejabat pada waktu melakukan tugas dan juga beberapa tindak pidana terhadap kesusilaan. Delik aduan yang relatif, adalah : tiap­tiap delik yang hanya dalam keadaan tertentu saja merupakan delik aduan. Kejahatan­kejahatan yang termasuk golongan delik aduan ini adalah pencurian dalam kalangan keluarga (familie diefstal), dan delik­delik kekayaan/harta benda (vermogensdlicten), yang kurang lebih sejenis, Pasal 367 KUHP

b. Kasus

Abdul Kadir merasa terhina oleh kata­kata yang diucapkan oleh Hasan, sehubungan isue peselingkuhan Abdul Kadir dengan Ngatimin istri tetangganya, yaitu Pak Komarudin. Komarudin punya bukti­bukti bahwa benar Ngatimin berselingkuh dengan Abdul Kadir. Kabar yang berkembang di kampung berakibat Abdul Kadir merasa terusik, kemudian melaporkan Hasan ke polisi karena menurutnya telah memfitnah dirinya. Dalam pemeriksaan polisi, Ngatimin yang diminta sebagai saksi, ternyata membenarkan isue tersebut, namun Pak Komarudin tidak melaporkan perselingkuhan istrinya dengan Abdul Kadir ke polisi.

c. Pertanyaan :

(20)

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40

3. Satochid K.,Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373, 364, 382. 4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :

Universitas Sebelas Maret, hal. 59 ­ 62

5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik Khusus. h, 76­ 77.

6. Sianturi, SR 198 Azas­Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311

7. Tresna, R 1959. Azas­azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal. 157 – 164

8. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal. 94 ­ 101

6. GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA

Pertemuan ke 11 :

a. Gugurnya Hak Menuntut Pidana menurut Ketentuan KUHP

(21)

telah dilakukana, dengan ijin pejabat yang ditunjuk dalam undang­undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.

b. Kasus

Drs Zulfikar Direktur PT Suka Bangun yang bergerak di bidang usaha real estate di kota Denpasar. Perusahaannya adalah perusahaan yang sah dan dalam membangun perumahan ia selalu mengurus perijinan di Dinas Tata Kota Denpasar. Berdasarkan persyaratan perijinan, serta gambar perencanaan (site plan) PT (Persero) Bank Tabungan Negara Cabang Denpasar telah mengeluarkan persetujuan kredit dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dalam gambar perencanaan (site plan) sesuai dengan peraturan perundang­ undangan yang berlaku, dicantumkan beberapa lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pada saat penyerahan perumahan kepada konsumen, Drs Zulfikar ternyata tidak menyerahkan fasos dan fasum kepada konsumen, dalam artian tidak ada pelepasan hak atas tanah­tanah yang di dalam gambar perencanaan dicantumkan sebagai fasos dan fasum, bahkan sebagian dari tanah­ tanah tersebut telah disertifikatkan atas namanya sendiri, dan dijual kepada pihak ketiga. Delapan tahun kemudian, para kreditur menyadari bahwa mereka telah menjadi korban penipuan dan penggelapan. Untuk itu, para konsumen yang merasa dirugikan melaporkan kasusnya ke Poltabes Denpasar.

c. Pertanyaan :

Cermati kasus di atas, apakah kasus tersebut termasuk kasus pidana atau sengketa perdata !

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40

3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu

4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal 102 ­109

Pertemuan ke 12 :

a. Alasan Gugurnya Hak menuntut Pidana Diluar KUHP

(22)

negara. Abolisi merupakan kewenangan kepala negara berdasarkan UU untuk menghentikan atau meniadakan tuntutan, sedangkan amnesti merupakan wewenang kepala negara dengan UU atau atas kuasa UU untuk menghapuskan semua akibat hukum dari orang­orang yang melakukan tindak pidana. Abolisi hanya rnenggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dipidana. Amnesti : mempunyal akibat hukum yang jauh lebih luas, sebab amnesti dapat diberikan kepada mereka yang sudah dipidana maupun yang belum dipidana. Artinya : tidak hanya tindakan penuntutan yang ditiadakan akan tetapi semua akibat hukum yang berupa apapun ditiadakan juga. Sedangkan yang dimaksud UU adalah bahwa apabila Presiden hendak memberikan amnesti dan abolisi harus diberikan dengan U.U., artinya harus dengan persetujuan DPR. Jadi UU nya harus diadakan lebih dahulu sebelum memberikan abolisi dan amnesti. Yang jelas, pemberian abolisi dan amnesti berkaitan erat dengan kepentingan negara

b. Kasus

Khairudin dan Hasannudin adalah orang­orang yang ditangkap karena melakukan kegiatan kejahatan politik dalam era pemerintahan Presiden Abu Nawas. Terhadap kedua orang tersebut, Khairudin masih dalam proses penyidikan sedangkan Hasannudin telah diperiksa di pengadilan dan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, Hasanuddin terbukti melakukan tindak pidana. Kemudian terjadi reformasi di negaranya. Presiden Abu Nawas turun dan digantikan oleh Presiden Balang Tamak. Presiden Balang Tamak, ternyata mengambil sikap berbeda dengan Presiden Abu Nawas, dengan memberikan abolisi kepada Khairudin dan Amnesti kepada Hasanuddin.

c. Pertanyaan :

Apakah dalam pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus di atas, tindakan Presiden Abu Nawas dapat dibenarkan ?

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40

3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu

(23)

Pertemuan ke 13 :

a. Hal­hal yang Menyebabkan Gugurnya Hak untuk Menjalankan Pidana

Ada 2 alasan yang menyebabkan gugurnya hak untuk menjalankan pidana, yaitu matinya terhukum (Pasal 83 KUHP), dan kedaluwarsa (Pasal 84 ­ 85 KUIIP). Lamanya kedaluwarsa yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan pidana adalah 2 tahun bagi segala pelanggaran; 5 tahun bagi kejahatan­kejahatan yang dilaksanakan dengan alat­alat pencetak ; 1/3 lebih lama dari jangka waktu kedaluwarsa yang dapat menggugurkan menuntut pidana bagi lain­lain kejahatan. Sehingga berdasarkan ini maka perhitungan 8 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan, penjara yang tidak lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat 2 dan tambah dengan 1/3 tahunnya). l6 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana penjara yang lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat (3) dan tambah dengan 1/3 nya/tahunnya). Akan tetapi mengenai lamanya jangka waktu ini terdapat pembatasan yaitu bahwa lamanya untuk menggugurkan hak untuk menjalankan pidana sekali­kali tidak boleh dikurangi dengan/kurang dengan lamanya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim (Pasal 84 ayat 3). Oleh karena itu hak untuk menjalankan pidana penjara seumur hidup tidak dapat gugur karena kedaluwarsa, juga hak untuk menjalankan pidana mati tidak dapat gugur karena kedaluwarsa (Pasal 84 ayat 4).

b. Kasus

Ali seorang redaktur koran kenamaan di kota Medan, pada tahun 2000 melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yang korbannya adalah seorang artis ibu kota bernama Diana. Pada tahun 2002, Diana melaporkan perbuatan Ali ke Polisi, namun dengan alasan tidak cukup bukti, penyidikan terhadap kasus tersebut tidak dilanjutkan. Pada tahun 2005, berkat penjelasan seorang ahli (saksi ahli), polisi memperoleh bukti­bukti baru dan menurut penilaian polisi dan jaksa, benar perbuatan Ali merupakan tindak pidana.

c. Pertanyaan :

Apakah tindakan yang dilakukan Ali termasuk kategori tindak pidana dengan menggunakan alat percetakan ? Kalau ’ya’ tentukan kapan gugurnya hak menuntut pidana !

d. Bahan Bacaan

(24)

2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40

3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu

4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan Yuridika, hal 102 ­109

Pertemuan ke 14 :

a. Grasi dan Rehabilitasi

Grasi merupakan hak kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap. Grasi tidaklah menghilangkan putusan hakim, dalam artian putusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanannya ditiadakan/dihilangkan atau dikurangi ataupun jenis pidananya dirubah. Sesuai dengan prinsip bahwa pengadilan adalah badan yang berdiri sendiri dan bebas, maka Kepala Negara sebagai badan eksekutif tertinggi, tidak dapat menghilangkan/meniadakan keputusan hakim. Apabila Kepala Negara berpendapat bahwa keputusan hakim itu terlalu keras/tinggi, maka Kepala Negara hanya dapat meringankan pelaksanaannya saja dari keputusan hakim itu, yaitu dengan jalan: 1) tidak mengeksekusi seluruh putusan; 2) hanya mengeksekusi sebagian saja dan putusan ; dan 3) mengadakan komutasi, yaitu jenis pidana dirubah/diganti, misalnya pidana mati diganti menjadi pidana penjara seumur hidup, pidana penjara diganti dengan pidana kurungan, pidana kurungan diganti dengan pidana denda. Rehabilitasi berarti mengembalikan terpidana pada kedudukan semula.

b. Kasus

(25)

c. Pertanyaan :

Apakah tanpa persetujuan terpidana, pengacara ataupun keluarga terpidana dapat mengajukan permohonan grasi ?

d. Bahan Bacaan

1. Undang­Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 2. Undang­undang tentang Grasi

3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab Undang­undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40

4. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu

Referensi

Dokumen terkait

22 tahun 1999, mengandung beberapa prinsip: otonomi daerah harus memperhatikan demokrasi, keadilan, pemerataan dan potensi serta keanekaragaman daerah; implementasi

Pada pelaksanaan tindakan siklus I, dari tabel 1 menunjukkan bahwa: 60,00% tingkat kreativitas berfikir siswa dalam hal mempunyai banyak gagasan mengenai konsep operasi

Irakurtzeko zailtasun maila altuagoa badute ere (poesia irakurtzeko dagoen ohitura gutxi dela medio), heldu baten laguntzaz iristeko aukera ematen dute Colomer-ek eta Durán-ek

Sebelum peneliti mengadakan uji coba produk (buku ajar), terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan dengan pakar bidang penyusunan buku ajar bahasa Arab untuk

Peramalan Pada Masa Yang Akan Datang Dengan menggunakan distribusi weibull dan distribusi eksponensial serta data waktu tunggu yang digunakan sampai pada tanggal 11 April 2012 maka

Dalam penelitian ini siswa SLTP memilih bergabung di bimbingan belajar Quantum Inovatif Pekanbaru karena menyadari pengetahuan yang di dapat dari sekolah masih sangat

Data dan informasi dari aspek-aspek tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui cara pengelolaan mangrove yang lebih baik pada ekosistem tersebut.Tujuan dari penelitian ini

S druge strane, vodorazrjedivi premazi su puno više podložniji utjecaju vanjskih faktora te nakon određenog vremena gube prvotna fizikalna svojstva (npr. prionjivost u jako