• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persaudaraan Dunia dalam Dialog Gagasan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Persaudaraan Dunia dalam Dialog Gagasan (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

“Persaudaraan Dunia” dalam Dialog:

Gagasan Dialog Antar Peradaban dalam Pemikiran Rabindranath Tagore

Oleh: Alexander Pambudi

Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (email: [email protected])

A.Rabindranath Tagore : Konteks Politik, Sosial, Kultural dan Religius

Rabindranath Tagore (Bahasa Bengali: Rabindranath Thakur, sebutan untuk para dewa—semisal Gusti dalam Bahasa Jawa1) lahir di Jorasanko, Kalkuta, India, 7 Mei 1861,

meninggal 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun. Dikenal juga dengan nama Gurudev. Tagore adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan

sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali.

Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama

samaran Bhanushingho (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia

mengenyam pendidikan dasar di rumah (home schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan

tidak suka atau patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj (pemerintah kolonial Inggris), rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta

kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas

Visva-Bharatimembuat, maka Tagore memberikan dukungan pada gerakan kemerdekaan

India dan berteman dengan Mahatma Gandhi..

Beberapa karya besarnya antara lain Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced),

dan Ghare-Baire (The Home and the World), serta karya puisi, cerita pendek dan novel

yang dikenal dan dikagumi dunia. Ia juga seorang reformis kebudayaan

dan polymath yang memodernisasikan seni budaya di Benggala. Dua buah lagu dari

aliran Rabindra Sangeet (sebuah aliran lagu yang ia ciptakan) kini menjadi lagu kebangsaan Bangladesh (Amar Shonar Bangla) dan India (Jana Maha Gana).

1

(2)

2

Di dunia internasional Tagore adalah bintang sejarah sastra. Ia menerima hadiah

nobel sastra (1913) untuk karya-karyanya—khususnya Gitanjali—karena dianggap mampu memberikan ekspresi sastrawi yang menyatukan budaya Barat dan Timur yang

kala itu sedang terlibat perseteruan panjang di ladang dan tambang kolonialisme dan

imperialisme2.

Rabindranath Tagore hidup dalam masa kolonialisme Inggris dan nasionalisme

India. Dua situasi ini mau tidak mau berdampak terhadap pemikirannya yang cenderung

nasionalis dan sangat dipengaruhi Barat.

B) Biografi Intelektual

Tagore menuntut ilmu sejarah, astronomi, bahasa sansekerta, dan sastra klasik India

di kota Shantiniketan. Tahun 1877 mulai dikenal luas sebagai penyair dengan menerbitkan

puisi dan cerita pendek. Tahun 1978 Tagore berkelana ke Inggris untuk menuntut ilmu

hukum di Brighton kemudian melanjutkan studi di College University London. Tahun

1880 Tagore pulang ke India menikah dengan Mrinalini Devi. Karya-karya Tagore

kemudian banyak diterjemahkan dalam bahasa Inggris sehingga mulai populer di Eropa

sampai akhirnya tahun 1913 ia mendapat penghargaan nobel bidang sastra.

Di India Rabindranath Tagore mendirikan Shantiniketan, ―tempat tinggal yg damai‖, sebuah sekolah yang khas dengan budaya lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat umum

saat itu. Sekolah ini adalah sebagai usaha perlawanannya terhadap pendidikan kolonial

Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‗terpelajar‘.

Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat

untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya

sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang

lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, pembela utama sistem kolonial, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut

diterima oleh rakyat India yang ‗tak beradab‘.

Tagore memulai kegiatannya dalam situasi kolonialisme. Menurutnya, rakyat tidak

punya pilihan lain kecuali mengembalikan kepribadian (rakyat) India pada akar tradisinya

sendiri. Ia membangun proses pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah

2

(3)

3

sampai sekolah tinggi yang bertolak dari pengalaman para siswa. Sementara dalam

pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek dari para guru sebagai pengambil

keputusan, di Shantiniketan anak-anak diberi keleluasaan mengembangkan diri dan berlaku sebagai subyek pendidikan.

Keistimewaan karya-karya Tagore adalah idealisme yang tinggi, menyentuh emosi,

menyuarakan kesengsaraan masyarakat kecil serta mudah diterima di pembaca di luar

India (Eropa). Kiprah Tagore memang tak terbatas pada syair-syairnya. Selain aktif

terlibat dalam gerakan kemerdekaan nasionalis India dan membangun sekolah

eksperimental di Santiniketan (Visva-Bharati University), tahun 1921 Tagore dan seorang

ekonom pertanian, Leonard Elmhirst, mempersiapkan institusi pendidikan itu untuk

rekonstruksi pedesaan. Ia juga menumbuhkan perhatian terhadap kesadaran akan adanya

diskriminasi kasta3.

Salah satunya dengan mendirikan sekolah pertanian dengan merekrut sarjana-sarjana

pertanian dan penggalangan dana. Tahun 1878 -1932 Tagore kembali berkelana

mengunjungi lebih dari 30 negara di 5 benua, perjalanan ini sangat penting artinya dalam

mengenalkan karya-karyanya, serta memaparkan ide-ide politiknya di dunia internasional.

Negara-negara yang ia kunjungi antara lain Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet,

Jerman, Denmark, Jepang, Iraq, Srilanka, Peru, Meksiko, Argentina, Italia, Indonesia,

Malaysia, Thailand dan Singapura. Di berbagai belahan dunia tersebut Tagore

mempupulerkan semua karya-karyanya, berinteraksi dengan berbagai tokoh besar:

presiden, sastrawan dan kalangan akademisi.

Pengaruh Tagore tidak hanya di Eropa dan Amerika, di Indonesia pun Tagore

dikenal baik. Pengaruh-pengaruh Tagore dalam dunia pendidikan banyak diadopsi oleh

para pejuang kemanusiaan, termasuk Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia.

Shantiniketan menjadi sumber inspirasi Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman

Siswa di Yogyakarta.Taman pendidikan Shantiniketan dijadikan sebagai salah satu acuan

dalam sistem pelaksanaan pendidikan di Pondok Gontor (Ponorogo), Universitas Al-Azhar

di Kairo (Mesir), Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Aligarh di India.

Karya-karya besar Rabindranath Tagore antara lain:

3

(4)

4

1) Novel dan non-fiksi. Tagore menulis delapan novel, termasuk Chaturanga, Shesher

Kobita, Char Odhay, Noukadubi, dan Ghare Baire (The Home and the World).

Karya-karya non-fiksinya banyak mengambil topik sejarah India hingga ilmu bahasa

(linguistik), dan juga termasuk karya otobiografi, catatan perjalanan, esai, materi

kuliah dan ceramah di berbagai belahan dunia yang di kumpulkan dalam beberapa

bagian, ikut di dalamnya adalah Iurop Jatrir Patro (Surat dari Eropa) dan Manusher

Dhormo (Agama Manusia).

2) Musik dan seni rupa. Tagore juga seorang musisi dan pelukis yang berbakat, yang

telah mencipta dan menulis sekitar 2.230 lagu. Tagore juga menjadi satu-satunya

orang di dunia yang menulis dan menciptakan dua lagu kebangsaan bagi dua negara

yang berbeda. Lagu kebangsaan India (Jana Gana Mana) dan Bangladesh (Amar

Sonaar Baanglaa). Karya seni rupa berupa pahatan, seni lukis dan patung juga banyak

dipamerkan di seantero Eropa.

3) Drama dan teater. Karyanya dibidang teater antara lain drama-opera Valmiki

Pratibha, Dak Ghar (Kantor Pos), Chandalika (Gadis yang Tak

Tersentuh), Raktakaravi (Oleander Merah), Chitrangada, Raja, dan Mayar Khela. 4) Cerita pendek. Karya besarnya yang berupa cerpen antara lain: Galpaguchchha

(karya yang dikemas dalam tiga volume), The Fruitseller from Kabul, Nastanirh (The

Broken Nest), Atithi, Strir Patra ("The Letter from the Wife"), Musalmani Didi,

Darpaharan .

5) Puisi. Karya Tagore dalam bentuk puisi antara lain: Africa and Camalia

Manasi, Sonar Tori (Golden Boat), Balaka (Wild Geese), Sonar Tori, dan Gitanjali.

C) Gagasan umum:

Pendidikan

Sebelum memulai karya intelektalnya, Tagore melakukan perjalanan panjang

berkeliling India. Perjalanan itu tak saja membuka mata dan pengetahuan, tapi juga

pemahaman yang mendalam tentang arti dunia. Berkelana mempertemukan Rabindranath

Tagore dengan Mahatma Gandhi. Keduanya bersahabat menentang British Raj (pemerintahan kolonial Inggris), dan saling membangun gerakan kemerdekaan India.

Tagore dan Gandhi adalah dua pemimpin besar India yang pemikirannya berpengaruh

(5)

5

dua pemikiran tersebut. Kakeknya, Dwarkanath Tagore, adalah seorang ilmuwan

terpandang yang menguasai bahasa Arab, juga Parsi. Kombinasi itu pula yang

menyumbang kearifan pada Tagore muda. Pengetahuan Sansekerta digabung dengan

pemahaman Islam yang ditularkan oleh sang kakek, ditambah juga dengan literatur Persia

yang kaya filsafat, membuat pemikirannya begitu mendalam dan berpengaruh.

Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shantiniketan, sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‗terpelajar‘. Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial.

Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin

dan cara berpikir kolonial Inggris. Ia berusaha keras membebaskan rakyat dari kemiskinan

dan kebodohan dengan cara meningkatkan pendidikan dan keterampilan rakyat.

Pendidikan baginya adalah proses membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri

untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakikat dan pendidikan

adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Pendidikan yang dibutuhkan

adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak

teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut

dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik

dari kenyataan hidup yang ada. Selain itu pendidikan adalah salah satu alternatif agar

peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya. Peserta didik akan selalu

dibenturkan dengan problem-problem kongkret dan aktual yang ada, untuk selanjutnya

berupaya menganalisis menggunakan ―pisau analisis‖ atau ―sudut pandang‖ yang sesuai,

guna menemukan pemecahan yang komprehensif. Ia mengedepankan bahwa individu

harus bersatu dengan alam. Menurutnya orang sering hanya berkonsentrasi belajar dari

buku dan melupakan utk belajar dari alam bebas yg sebenarnya lebih kaya. Alam baginya

baginya adalah realitas utama–kosmologis atau Tuhan Imanen didalamnya. Pemikirannya

tentang alam ini menghantarkan dia pada pemikiran tentang Tuhan yang personal dan

impersonal.

Hampir sama dengan Gandhi, Tagore meyakini bahwa kebenaran harus digali dan

bersumber pada subjek atau pribadi yang otonom. Pembentukan karakter individu yang

bebas dan mandiri harus dibentuk melalui sistem pendidikan yang berbasis pada kondisi

(6)

6

peserta didik bekal untuk memahami kehidupan dan bukan hanya pendidikan yang berorientasi bagi pemenuhan atau bekal ―penghidupan‖.

Tuhan: Personal dan Impersonal

Pemikiran Rabindranath Tagore dibedakan dalam Tuhan yang personal dan

impersonal. Sehubungan dengan yang pertama, dapat dikatakan bahwa Tuhan dengan manusia itu ―tidak berjarak‖. Hal ini dia jelaskan dengan mengutip bahwa literatur yang paling menggejala di India menunjukkan kenyataan tersebut. Tidak adanya jarak dengan

Tuhan, bagaimanapun tidak dapat dipahami melulu dalam makna denotatif, melainkan

implisit mengandung pengertian bahwa secara konotatif Tuhan dalam arti tertentu dekat

dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia dapat menghadirkan Tuhan dalam

tataran yang paling intim secara signifikan, artinya, penghadiran Tuhan merupakan

penghadiran sebuah makna dalam hidup sehari-hari manusia mempunyai kehendak untuk

merealisasikannya. Di samping itu, fenomena alam menginspirasikan kehadiran Tuhan

dalam hubungannya dengan pemahaman manusia di dalam menginterpretasikan

fenomena alam tersebut. Alam dan kehidupan sehari-hari manusia seolah-olah

mengikutsertakan ke-ada-an Tuhan. Tuhan personal mengejawantah dalam intensitas

kehidupan manusia. Tuhan impersonal disebut sebagai ―Yang Absolut‖. Meskipun

Tagore lebih menekankan Tuhan Personal, tampaknya dia mengafirmasi bahwa Yang

Absolut merupakan suatu hal yang positif, konkret dan realitas universal 4.

Anti-Kolonialisasi

Dalam sebuah surat kepada C.F. Andrews, Tagore pernah berkata demikian:

―[T]he problem of race conflict is the greatest of all that men have been called upon to solve… different races and nations of the Earth have come nearer each other than ever they did before. But we have not been ready to accept the responsibilities of this wider humanity. Men are still under the thraldom of the spirit of antagonism which has been associated with a narrow sentiment of nationality … I feel that the time has come, and after all kinds of patch-work of superficial experiments the spiritual nature of

4

(7)

7

man is getting ready to take up the task and broaden the path of reconciliation of all different races and creeds‖5.

Kutipan surat ini memberi gambaran bahwa Tagore mencoba menempatkan dirinya sebagai ―agen‖ rekonsiliasi antara Timur dan Barat. Dia prihatin dengan adanya konflik antar ras-budaya yang berkepanjangan. Yang lebih memprihatinkan konflik-konflik ini

seringkali diikuti dengan tindak kekerasan yang mau tidak mau harus memakan korban,

khususnya orang-orang miskin dan tersingkir yang tidak mempunyai kekuatan untuk

melawan atau menghindar. Tidak perlu jauh-jauh, dia bercermin pada pengalaman

penjajahan bangsanya sendiri oleh Inggris. Kemudian dalam tulisan-tulisan dan

korespondensinya, Tagore fokus pada usaha menentang adanya kolonialisasi. Dia tidak

ingin melihat lagi kolonialisasi karena hanya sebagai ajang untuk memperlebar konflik

kepentingan.

D). Gagasan khusus tentang Hubungan antar Umat Beragama:

“Persaudaraan Dunia” dalam Dialog Antar Peradaban

Dalam salah satu pidatonya di Amerika Tagore pernah berbicara demikian:

Tiap individu mempunyai perasaan kasih pada dirinya sendiri. Dalam hal ini nafsu hewaninya memimpin dia untuk berjuang dengan orang lain sekedar untuk mengejar kepentingan dirinya saja. Tapi selain dari ini manusia itu mempunyai pula perasaan-perasaan luhur untuk berkasih sayang dan tolong-menolong terhadap sesamanya manusia. Seseorang yang tidak mempunyai kekuatan budi yang luhur ini dan oleh karena tidak bisa bergaul dan bersahabat dengan orang lain, akan hancur atau hidup dalam keruntuhan. Hanyalah orang-orang yang bersemangat kuat untuk kerjasama dapat hidup langsung dan menyelesaikan peradaban. Kita lihat bahwa manusia itu dari permulaan jalannya sejarah harus memilih antara pertempuran satu sama lain dan pergaulan serta kerjasama, antara mencari kepentingan untuk diri sendiri atau kepentingan untuk seluruhnya6.

5

Michael Collins, ―History and the Postcolonial‖ dalam The International Journal of Humaties,Vol.4, No.9, Common Ground Publishing Pty Ltd, Melbourne, 2007, 79.

6

Salah satu bagian teks pidato Tagore di Amerika. Pada kesempatan itu ia berbicara tentang

(8)

8

Tagore berusaha untuk menyeimbangkan kecintaannya terhadap perjuangan

kemerdekaan India dengan kepercayaannya kepada humanisme yang universal dan

kekhawatirannya akan ekses-ekses nasionalisme. Tagore sengaja melepaskan gelar kebangsawanan ―knighthood‖ yang dianugerahkan Inggris kepadanya sebagai protes terhadap pembantaian yang dilancarkan tentara Inggris di Jallianwala Bagh di Amritsar

pada tahun 1919. Tagore punya nyali, seperti dikemukakan oleh Prof. Amartya Sen dalam

tulisannya, untuk mengkritik kampanye Swadeshi yang dilancarkan Mahatma Gandhi dan

penggunaan alat pemintal benang atau Charkha seperti yang dianjurkan oleh sang

Mahatma.

Tagore juga ingin memperbaiki kebudayaaan India lama dengan cara mengadakan

kombinasi yang seimbang dari idealisme Timur (India) dan realisme Barat. Tagore

bercita-cita mewujudkan persaudaraan dunia, tanpa mengenal perbedaan kasta, kulit,

bangsa, dan agama. Cara yang tempuh adalah dengan beberapa langkah:

1) Tahun 1912 Tagore mulai menerjemahkan essai, puisi dan prosanya dalam bahasa

Inggris. Proses penerjemahan ini dibantu rekan-rekannya dari Barat (Inggris).

2) Berkorespondensi dengan tokoh-tokoh intelektual Barat (Inggris) untuk bertukar dan

menyebarkan ide, diantaranya W.B. Yeats, C.F. Andrews and E.J. Thompson.

Tentang metode yang dipakai Tagore ini, Michael Collins berkomentar ―However, …Tagore believed that building friendships and communicating ideas from East to West was a method—if not a model—for achieving political change and progress.7‖ Lebih lanjut Michael Collins menyatakan, bagi Tagore, kebebasan individual akan tercipta dalam

harmoni keseluruhan, baik masyarakat ataupun kosmos, spiritual8.

Bagi Tagore, usaha menciptakan ―persaudaraan dunia‖ dapat dimulai dari lingkup ―kecil‖, yaitu India sendiri. Dari India, lalu menuju persaudaran di seluruh Asia dan akhirnya persaudaran seluruh dunia. Ia berusaha menghindarkan diri dari egoisme

kebangsaan. Menurut Tagore nasionalisme itu sama saja dengan individualisme massa

yang menjadi pokok pangkal bencana peperangan. Maka, dia tidak setuju dengan nasionalisme ―sempit‖. Dalam karya-karyanya kental suasana usaha menjembatani

7

Michael Collins, Rabindranath Tagore and the Politics of Friendship dalam South Asia: Journal of South Asian Studies, 35:1, 119.

8

(9)

9

nilai antar agama di dunia. Terlebih lagi usahanya menciptakan garis penghubung antara

Barat dan Timur. Bahkan Tatang Sastrawiria menyebut, ―Di dalam pikiran Tagore

bertemulah Timur dan Barat...9‖. Bagi beberapa komentar Barat, Tagore mempunyai kontrisbusi positif bagi Barat, sebagai contoh dalam hal ―menangkap kemunduran

pemikiran Eropa dalam hal materialisme‖10. Singkat kata, bagi Tagore kemanusiaan

adalah ―jembatan‖ yang paling tepat. Tak peduli Barat atau Timur, kemana pun wajah dihadapkan, kemanusiaan harus dijunjung tinggi sebagai entitas paling luhur.

E. Catatan Kritis

Hal pertama patut dicatat pada pemikiran Rabindranath Tagore adalah usahanya

menjembatani jurang yang terbentang antara dunia Barat dan Timur. Sebagai orang Timur,

orang India, ia berusaha senasib dengan bangsanya. Ia berjuang menentang upaya

kolonialisasi yang dilakukan Barat, khususnya Inggris. Meskipun demikian, ia tidak serta

merta membenci orang-orang Barat, dalam hal ini Inggris, tetapi justru menempatkan dan

melibatkan mereka sebagai agen perubahan bangsa India. Usaha penerjemahan

karya-karyanya oleh W.B. Yeats, C.F. Andrews and E.J. Thompson, yang adalah orang-orang

Inggris, membuktikan hal ini. Tagore sungguh-sungguh berkemauan keras untuk menjadi

agen perubahan bagi bangsa India.

Bicara Rabindranath Tagore juga tidak dapat dilepaskan dari perjuangan

kemanusiaan. Kalau dikaitkan dengan pejuangan kemanusiaan di Indonesia, kita belum

menemukan tokoh yang sekaliber Tagore. Pramudya Ananta Toer, W.S. Rendra dan penyair

Indonesia lain menurut saya belum dapat dinyatakan sebagai sosok yang mampu mewakili

perjuangan dan proses kehidupan Tagore.

Perlu disebut juga di sini tentang konsep pendidikan Tagore. Usahanya untuk

mencetak generasi muda India yang penuh dengan humanitas, dengan menciptakan model ―sekolah alam‖, membawa angin segar bagi dunia pendidikan di India yang kala itu dipenuhi intrik-intrik kolonial. Tidak hanya di India, konsep pendidikan Tagore pun dipakai di

Indonesia melalui Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan

Nasional Indonesia. ―Alam‖ dalam konsep Tagore tidak sebatas alam fisik (hutan, lautan),

9

Rabindranat Tagore, Nasionalisme, 11.

10

(10)

10

tetapi juga termasuk lingkungan sekitar, termasuk pluralitas dan keberagaman budaya.

Penulis melihat bahwa pandangan humanitas Tagore berakar pada konsepnya tentang

pendidikan. Konkretnya, melalui pendidikanlah ia mencetak generasi muda yang humanis

(mencintai kemanusiaan). Pendidikan Tagore menghasilkan pribadi-pribadi yang menghargai

dan menjunjung tinggi martabat manusia dalam segala bentuknya.

Tagore berusaha untuk menyeimbangkan kecintaannya terhadap perjuangan

kemerdekaan India dengan kepercayaannya kepada humanisme yang universal dan

kekhawatirannya akan ekses-ekses nasionalisme. Tagore sengaja melepaskan gelar kebangsawanan ―knighthood‖ yang dianugerahkan Inggris kepadanya sebagai protes terhadap pembantaian yang dilancarkan tentara Inggris di Jallianwala Bagh di Amritsar pada tahun

1919. Tagore punya nyali, untuk mengeritik kampanye Swadeshi yang dilancarkan Mahatma

Gandhi dan penggunaan alat pemintal benang atau Charkha seperti yang dianjurkan oleh sang

Mahatma.

Dengan selalu bersikap positif dan berorientasi kepada tindakan (action), Tagore telah banyak merangsang kita untuk berpikir dan bertindak. Seperti yang dikatakannya ―Saya telah menjadi seorang yang optimis menurut versi saya sendiri. Jika saya tidak berhasil mencapainya dengan melewati satu pintu, saya akan mencobanya dengan melewati pintu yang lain. Atau saya harus membuat sebuah pintu baru. Sesuatu yang luar biasa akan saya

capai betapapun gelapnya masa sekarang ini‖.

Kalau Tagore lebih pada tindakan dalam memperjuangkan karya dan perjuangan

untuk kemanusiaan, tapi bagaimana penyair Indonesia? Tagore mengkritik pemimpin yang

berkhianat pada rakyatnya melalui jembatan puisi, lukisan, cerpen dan karya-karyanya untuk

melawan pemimpin yang sewenang-wenang. Sebaliknya, penulis melihat banyak kaum

intelektual Indonesia yang lebih ahli berbicara, tapi belum terbukti dalam tindakan. Kasus

pencatutan nama presiden terkait urusan dengan PT. Freeport dan berbagai kasus

suap-korupsi belakangan ini menjadi salah satu contoh ketidakberpihakkan pemimpin republik ini

pada kemanusiaan. Kalau mereka berpihak pasti tidak akan ada usaha-usaha memperkaya diri

melalui tugas dan tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat. Kasus-kasus ini juga

menimbulkan pertanyaan besar bagi sistem pendidikan di Indonesia yang

(11)

11

munculnya Tagore-Togore muda di Indonesia yang akan meneruskan orientasi humanisnya,

(12)

12

DAFTAR PUSTAKA

Collins, M.,

2012 ―Rabindranath Tagore and the Politics of Friendship‖, South Asia: Journal

of South Asian Studies, 35:1, 118-142.

Collins, M.,

2007 ―History and the Postcolonial‖ dalam The International Journal of

Humaties,Vol.4, No.9, Common Ground Publishing Pty Ltd, Melbourne.

Pasaribu, S.,

2000 Gitanjali:Kidung Persembahan, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.

Purwantari, BI.,

2006 ―Penulis India Menjadikan Dunia Manusiawi‖, Kompas, Sabtu 16

September, 41.

Sahadewa, N.W.,

2003 Makna eksistensi diri dalam filsafat Rabindranath Tagore, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Sastrawiria, T.,

Referensi

Dokumen terkait