• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Kuno (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Kuno (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 28

PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN BANGUNAN KUNO

KORIDOR UTAMA KOTA LAMA AMPENAN

Riana Rizki Anindita Wiggers, Antariksa, Fadly Usman

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145, Indonesia, Telp./fax. 62-341-7051558

E-mail: rianawiggers@yahoo.com

ABSTRAK

Sebagai Kota Pelabuhan yang potensial pada jaman kolonial Belanda, Kota Lama Ampenan memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi dan pengaruh kolonial yang sangat terasa terutama pada karakter fisik bangunan-bangunan yang ada pada kawasan tersebut. Tujuan studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganlisis karakteristik kawasan dan bangunan kuno di Kota Lama Ampenan. Metode yang digunakan adalah deskriptif, digunakan untuk mengetahui karakteristik kawasan Kota Lama Ampenan, yang terdiri dari karakteristik fisik dan non fisik; analisis pembobotan dengan metode skoring untuk menentukan aspek prioritas pelestarian non fisik, dan menentukan bangunan kuno yang potensial dilestarikan berdasarkan tujuh kriteria makna kultural (estetika, kejamakan, kelangkaan, kieluarbiasaan, peranan sejarah, keaslian, dan keterawatan). Berdasarkan penilaian aspek prioritas pelestarian non fisik, didapatkan prioritas pelestarian non fisik adalah aspek hukum dan ekonomi, yaitu perlunya pengadaan sebuah aturan hukum dan sebuah alokasi dana khusus, dan berdasarkan kriteria-kriteria makna kultural yang telah dilakukan dengan metode pembobotan, maka dapat diketahui bahwa dari 52 bangunan yang diteliti terdapat 10 bangunan dengan potensial tinggi untuk dilestarikan (preservasi), 13 bangunan dengan potensial cukup tinggi (konservasi), 21 bangunan dengan potensial sedang (rehabilitasi), dan 8 bangunan dengan potensial rendah (rekonstruksi).

Kata kunci: pelestarian lingkungan dan bangunan kuno, Kota Lama Ampenan.

ABSTRACT

As an potential seaport in the colonial era, the old Ampenan town has a high sufficient historical value and colonial influence that appear exquisite, especially on the physical characteristic of the buildings in that district. The aim of this study is to identify and analyze the district and the ancient buildings of old Ampenan. The method of this study is descriptive used to identify characteristic of old Ampenan district, which consist of physical characteristic and non physical characteristic; and quality analysis with scoring method to determinee priority aspectt of non physical conservation, and determine ancient building which potential to be conserved based on seven criteria of cultural meaning (aesthetics, plurality, peculiarity, historical role, building authenticity, maintenance). Based on the scoring of priority aspect of non physical conservation, can be found that the law and economy aspect is a priority in non physical conservation that comes with a law policy and a special budget alocation as an implemention, and based on criteria of cultural meaning that already carried out with ranking method, then can be found that from 52 buildings, there are 10 buildings in high potential score to be conserved (preservation), 13 buildings are in medium potential (conservation), 21 buildings in low-medium potential (rehabilitation), and 8 buildings in low potential (reconstruction).

Keywords: preservation of environmental and old buildings, old town Ampenan.

Pendahuluan

(2)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 29 bukan hanya memperhatikan keindahan semata, tetapi juga kualitas lingkungan yang diciptakannya (Lynch 1965).

Sebagai sebuah kota yang dulunya merupakan Kota Pelabuhan yang potensial pada jaman kolonial Belanda, Kota Lama Ampenan memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi dan pengaruh kolonial yang sangat terasa terutama pada karakter fisik bangunan-bangunan yang ada pada kawasan tersebut.

Sejarah lahirnya Kota Lama Ampenan dimulai dari Kerajaan Mataram yang memiliki sejarah perkembangan dimulai sejak tahun 1720 Masehi. Runtuhnya Kerajaan Mataram, diikuti oleh masuknya perwakilan dagang Belanda di Kota Ampenan dengan pimpinan Jenderal JA Vetter tiba di pelabuhan Ampenan pada tanggal 5 Juli 1894, merupakan awal bagi sejarah perdagangan dan seni bangunan kolonial yang mendominasi Kota Lama Ampenan. Kota Lama Ampenan selanjutnya berfungsi sebagai sebuah kota pelabuhan yang menunjang berbagai macam kegiatan perdagangan di dalam kawasan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995). Kota Lama Ampenan juag merupakan kawasan strategis karena dilalui oleh jalan utama yang menghubungkan Mataram sebagai pusat kota dengan kawasan wisata Pantai Senggigi, sehingga para wisatawan yang melalui Kota Lama Ampenan dapat menikmati suguhan pemandangan bangunan-bangunan khas bergaya kolonial yang menjadi ciri khas kawasan ini.

Suasana Kota Lama Ampenan merupakan sebuah potensi historis, karena gaya khas bangunan-bangunan yang ada terutama kompleks pertokoan dan pergudangan bergaya klasik Eropa (Kolonial Belanda) yang memberi warna dan nuansa tersendiri bagi yang memasuki kawasan ini. Saat ini kawasan Kota Lama Ampenan, khususnya pada keenam ruas jalan utama yang membelahnya tidak lagi mempertahankan karakteristik orisinal bangunannya, dalam hal ini adalah orisinalitas bangunan-bangunan bergaya kolonial yang telah banyak berganti menjadi bangunan-bangunan bergaya modern sehingga seakan-akan Kawasan Kota Lama Ampenan telah kehilangan sebagian ciri khasnya. Hanya pada keempat ruas jalan dari enam ruas jalan utama pada kawasan kota lama yang masih menyisakan bangunan-bangunan kunonya yang bergaya kolonial. Bahkan terdapat juga bangunan-bangunan bergaya kolonial yang keadaannya sudah terbengkalai dan tidak terawat, sehingga mengurangi keindahan visualisasi yang seharusnya didapat di dalam sebuah Kawasan Kota Lama.

Pelestarian menjadi urgent karena adanya suatu kejutan yang timbul, yaitu ketika skala pembongkaran-pembongkaran dan bentuk-bentuk penghancuran bangunan-bangunan serta kawasan-kawasan bersejarah semakin besar dan tidak terkendali (Poerbantanoe 2001). Salah satu manfaat yang diperoleh dari upaya pelestarian adalah akan membantu terpeliharanya warisan arsitektur yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau (Sidharta & Budiharjo, 1989). Dengan pertimbangan tersebut maka perlu dilakukan studi Pelestarian Bangunan dan Kawasan Kota Lama Ampenan, yang membahas mengenai karakteristik dan potensi bangunan dan lingkungan kuno di Kawasan Kota Lama Ampenan untuk dilakukan evaluasi dan analisis perkembangannya, dan diarahkan pada kegiatan-kegiatan pelestarian di Kawasan Kota Lama Ampenan. Studi ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi sejarah dan karakteristik Kota Lama Ampenan, mengidentifikasi potensi lingkungan dan bangunan kuno sebagai sebuah kawasan kota lama, serta menentukan tindakan pelestarian lingkungan dan bangunan kuno di kawasan tersebut.

Metode Penelitian

(3)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 30

Sampel bangunan kuno yang digunakan dalam studi ini adalah sampel bangunan sebanyak 52 bangunan, dengan kriteria:

a. Dibatasi pada bangunan-bangunan kuno yang diperkirakan berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, berdasarkan UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 pasal 1 tentang Benda Cagar Budaya;

b. Diutamakan bangunan yang memiliki dominasi yang kuat dan terletak di sepanjang koridor utama dalam lingkup kawasan Kota Lama Ampenan;

c. Keaslian bangunan, dengan batasan badan utama dan fasade bangunan belum berubah;

d. Memiliki gaya arsitektur yang mewakili jamnnya, dalam hal ini arsitektur kolonial, Cina, dan campuran.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif untuk mengetahui karakteristik kawasan Kota Lama Ampenan; analisis pembobotan dengan metode skoring (AHP) untuk menentukan aspek prioritas pelestarian non fisik, dan menentukan bangunan kuno yang potensial dilestarikan berdasarkan tujuh kriteria makna kultural (estetika, kejamakan, kelangkaan, keterawatan, keaslian, keluarbiasaan, dan peranan sejarah); serta analisis

development untuk menentukan arahan pelestarian fisik dan non fisik di Kawasan Kota

lama Ampenan. (Gambar 1)

Gambar 1. Wilayah studi.

Hasil dan Pembahasan

Sejarah perkembangan Kota Lama Ampenan

(4)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 31 Ampenan sudah mempunyai dermaga sejak akhir abad ke-19 (Gambar 2 dan Tabel 1). Pada tahun 1920-an dermaga itu mengalami perbaikan, dan dibangun pula beberapa fasilitas penunjang yang lain, seperti enam buah gudang, sebuah kantor KPM (Koninklijke

Paketvaart Maatschapij), dan kantor Nederlands Indische Handelsbank.

Gambar 2. Pelabuhan Ampenan tahun 1940-an (kiri) dan tahun 2009 (kanan). Sumber: Badan Arsip NTB

Tabel 1. Garis Besar Sejarah Perkembangan Kota Lama Ampenan

Tahun Perkembangan

1894 – akhir abad ke-19 •

Kedatangan Belanda untuk membantu rakyat Sasak memberontak kepemimpinan Raja Karangasem.

• Ampenan menjadi sebuah Kota Pelabuhan.

• Pelabuhan sudah ramai oleh kapal dan perahu dari berbagai daerah

1911 Didirikannya Nederlands Indische Handelsbank (NIH) untuk menunjang kegiatan pelabuhan

1920-an • Dilakukan perbaikan dermaga dan beberapa fasilitas penunjang, seperti enam unit gudang dan Kantor KPM.

• Ekspor beras meningkat

1942–1945 • Masa penjajahan Jepang, kehidupan ekonomi menurun

• Toko-toko dan stok barang banyak yang kosong 1946–1950-an • Peningkatan kembali kegiatan pelabuhan.

• Pelabuhan Ampenan melayani kegiatan ekspor-impor langsung ke negara-negara Asia.

• Pendapatan buruh relatif lebih tinggi dibanding pekerjaan lain pada umumnya di masa itu.

• Permukiman semakin luas dan berkembang.

• PT PELNI mengontrak Kapal NV. Davrik milik Singapura. 1965–1966-an • Pemberontakan G30S PKI di Indonesia.

• Kegiatan pelabuhan lumpuh, kapal/perahu yang singgah hanya sedikit. 1967 • Kegiatan pelabuhan kembali ramai.

• Seiring dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah daerah yang memindahkan pusat perdagangan ke Cakranegara.

1976 • Pelabuhan dipindahkan ke Lembar, Lombok Barat.

• Kota Lama Ampenan menjadi sepi oleh kegiatan pelabuhan.

• Fasilitas pelabuhan seperti gudang dan kantor banyak yang rusak.

Sejarah koridor utama Kota Lama Ampenan

(5)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 32

Gambar 3. Peta sirkulasi Kota Lama Ampenan−Mataram tahun 1920-an.

Sumber: KL Soenda Einianden, Blad 113, i, en m, Willevreden, 1926, dalam Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan 1995.

Gambar 4. Gambar pada tahun 1925 yang menunjukkan telah eksisnya Jalan Yos sudarso dan Koperasi (atas), serta Jalan Pabean (bawah) pada tahun tersebut

Sumber: www.commons.wikimedia.org

Karakteristik elemen pembentuk koridor utama Kawasan Kota Lama Ampenan

Kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang sejak masa kolonial hingga saat ini masih terus berjalan, walaupun sempat mengalami penurunan aktivitas semenjak kegiatan pelabuhan tidak lagi berjalan (Tahun 1976). Guna lahan perdagangan dan jasa yang merupakan arahan kebijakan yang diperuntukkan bagi kawasan, mendominasi di hampir sepanjang koridor utama (Koridor Pabean, Yos Sudarso, Koperasi, dan Niaga II).

Gaya arsitektur yang berkembang di wilayah studi adalah gaya arsitektur kolonial (eropa), arsitektur cina, serta arsitektur modern yang berkembang antara tahun 1950an– 2000-an (Gambar 5-7). Dengan mayoritas nilai intensitas bangunan untuk KDB sebesar 80-90%, KLB sebesar 1-2, serta GSB < 4 m. (Gambar 5)

Gambar 5. Bangunan dengan fungsi perumahan yang memiliki gaya arsitektur cina (kiri), kolonial (tengah), modern ‘90an (kanan).

(6)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 33 penunjang kegiatan penyaluran barang dagangan ke Kota Mataram ataupun Cakranegara tentunya sangat diperlukan.

Berbeda dengan Jalan Niaga II, arus kendaraan di ketiga ruas jalan lainnya, yaitu Jalan Pabean, Yos Sudarso, dan Koperasi mempunyai tingkat kepadatan yang relatif lebih rendah, selain dikarenakan lebar jalan yang cukup besar dibandingkan Jalan Niaga II, pada ketiga jalan tersebut tidak terdapat suatu tarikan kegiatan yang membuat padat arus lalu lintas atau bahkan menimbulkan kemacetan. Sistem parkir pada wilayah studi adalah sistem parkir on street dan off street.

Secara fisik, umumnya kondisi pedestrian di keempat ruas jalan pada wilayah studi berada dalam kondisi baik, hanya pada beberapa titik saja terdapat kerusakan dan terdapat pedestrian yang belum menggunakan perkerasan, yaitu pada ruas Jalan Niaga II, Koperasi, dan Pabean.

Karakteristik elemen citra kawasan

Path yang teridentifikasi adalah Jalan Niaga II sebagai sebuah koridor yang memiliki karakter yang khas (Gambar 6). Batasan (edge) berupa sungai yang berada di sebelah selatan Koridor Niaga II adalah Sungai Jangkok yang bermuara langsung di Pantai Ampenan. Sungai ini merupakan batasan alamiah yang tampak jelas memisahkan Kota

Lama dengan daerah di selatannya. Landmark pada kawasan adalah Tugu Jangkar,

Rumah Makan Batavia, Toko Delta Raya, dan Klenteng Bodhi Dharma. Node antara lain perlimaan Toko Delta Raya dan Pasar Barata Ampenan. Berdasarkan pengamatan penggunaan lahan dapat dikatakan bahwa koridor utama Kota Lama Ampenan sendiri merupakan bagian dari district Kota Lama Ampenan dengan fungsi perdagangan dan jasa (Gambar 6).

Gambar 6. Elemen citra kawasan.

Karakteristik bangunan kuno bersejarah

(7)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 34

Karakteristik sosial budaya ekonomi Kota Lama Ampenan

Masyarakat Kota Lama Ampenan tergolong heterogen. Di samping penduduk asli (Suku Sasak), suku-suku bangsa yang datang menetap di kawasan ini antara lain suku Bali, Jawa, Bugis, Flores, serta dari etnis Cina dan Arab.

Penduduk di sepanjang koridor utama Kota Lama Ampenan paling banyak bekerja pada sektor jasa, yaitu mencapai 47,10%. Jasa yang dimaksud meliputi jasa keuangan/asuransi, perdagangan, penginapan, angkutan, komunikasi. Di samping bidang jasa, mata pencaharian lain yang menominasi adalah ABRI/PNS sebanyak 19,24%, dan pedagang/wiraswasta sebanyak 11,17%. Hal ini menunjukkan bahwa kota lama masih menjalankan fungsinya sebagai kawasan perdagangan dan jasa sejak masa kolonial dilihat dari dominasi penduduknya yang bekerja di sektor ini.

Ampenan sebagai Kota Pelabuhan telah menarik penduduk pendatang, terutama terdiri atas orang Bali, orang Jawa, orang Banjar, orang Bugis-Makassar, dan orang Flores, sedangkan orang asing adalah Arab dan Cina. Kedatangan mereka didorong oleh tujuan ekonomi. Penduduk pendatang ini akhirnya ada yang tinggal menetap di Ampenan. Pendatang dari daerah yang sama umumnya mengelompok di bagian tertentu dari Ampenan, dan biasanya menggunakan nama sesuai dengan nama suku bangsa atau bangsanya. Dengan demikian kita menemukan nama-nama seperti Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Sasak, Kampung Arab, dan Pecinan (Gambar 8).

Gambar 7. Gaya arsitektur bangunan kuno bersejarah.

(8)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 35

Pelestarian non fisik

Berdasarkan penilaian ketiga aspek pelestarian non fisik (aspek hukum, sosial, dan ekonomi) oleh para ahli yang telah ditentukan, didapatkan bahwa aspek hukum dan aspek ekonomi memiliki bobot prioritas paling tinggi. Dengan implementasi berupa aturan hukum dan alokasi dana khusus, sehingga nantinya diharapkan keduanya agar lebih diutamakan dalam penerapan kegiatan pelestarian non fisik di wilayah tersebut.

Pelestarian fisik

Pelestarian lingkungan

Lingkungan pada koridor utama Kota Lama Ampenan dapat dikatakan memiliki potensi untuk dilestarikan. Pelestarian lingkungan terdiri dari penggunaan lahan dan pelestarian citra kawasan. Penggunaan lahan pada koridor utama Kota Lama Ampenan mempertahankan guna lahan eksisting, yaitu perdagangan dan jasa, serta memfungsikan kembali bangunan-bangunan yang kosong dengan fungsinya semula, yaitu perdagangan dan jasa. Pelestarian citra kawasan diperoleh dari presentase preferensi masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Pelestarian terhadap citra kawasan, yaitu mempertahankan kelima elemen pembentuk citra kawasan yang teridentifikasi (landmark, edge, node, path,

dan district) agar dapat memperkuat identitas koridor utama Kota Lama Ampenan

(Gambar 9).

Gambar 9. Pelestarian citra kawasan.

Pelestarian bangunan kuno

(9)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 36

kultural, maka dapat diketahui jumlah bangunan kuno pada tiap-tiap klasifikasi bangunan yang potensial untuk dilestarikan, lalu dapat ditentukan tindakan pelestarian bagi masing-masing bangunan kuno yang ada pada ruas koridor utama Kota Lama Ampenan (Gambar 10).

Berdasarkan perhitungan makna kultural tersebut didapatkan makna kultural yang memiliki tingkat kepentingan paling tinggi adalah kelangkaan. Hal ini menunjukkan bahwa penggolongan bangunan kuno ke dalam beberapa tingkatan klasifikasi dipengaruhi nilai bobot kelangkaan dari tiap-tiap bangunan kuno tersebut. Semakin besar bobot kelangkaan yang dimiliki bangunan kuno, maka semakin besar potensi bangunan kuno tersebut untuk digolongkan ke dalam bangunan dengan potensi pelestarian tinggi. Bangunan pada koridor utama Kota Lama Ampenan yang terdiri dari 52 bangunan diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu bangunan potensial tinggi (Gol. A) dengan tindakan preservasi sebanyak 10 bangunan, potensial cukup tinggi (Gol. B) dengan tindakan konservasi sebanyak 13 bangunan, potensial sedang (Gol. C) dengan tindakan rehabilitasi sebanyak 21 bangunan, dan potensial rendah (Gol. D) dengan tindakan rekonstruksi sebanyak 8 bangunan.

Gambar 10. Klasifikasi tindakan pelestarian.

Kesimpulan

(10)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 1, Mar et 2011 37 kawasan bersejarah. Aspek prioritas pelestarian non fisik adalah aspek hukum dan ekonomi dengan implementasi berupa penyusunan sebuah aturan hukum dan dialokasikannya dana khusus untuk kegiatan pelestarian. Pelestarian bangunan kuno di koridor utama Kota Lama Ampenan diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu bangunan potensial tinggi (Gol. A) dengan tindakan preservasi sebanyak 10 bangunan, potensial cukup tinggi (Gol. B) dengan tindakan konservasi sebanyak 13 bangunan, potensial sedang (Gol. C) dengan tindakan rehabilitasi sebanyak 21 bangunan, dan potensial rendah (Gol. D) dengan tindakan rekonstruksi sebanyak 8 bangunan.

Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil studi, yakni dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dalam hal pengintregasian pelestarian di wilayah tersebut dengan objek wisata pantai yang berada dalam satu Kawasan Kota Lama Ampenan, sehingga menjadi satu kesatuan paket wisata kota yang potensial. Pentingnya studi tentang suatu badan/lembaga pelestarian yang dapat mengontrol kegiatan pelestarian di Kawasan Kota Lama Ampenan. Perlu adanya studi dari aspek ekonomi, yaitu upaya untuk bagaimana menjadikan objek pelestarian mampu membiayai dirinya sendiri atau dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Pemerintah Kota Mataram diharapkan dapat merumuskan sebuah strategi pelestarian yang dapat menjadi acuan dan pedoman dalam segala bentuk kegiatan pelestarian di kawasan Kota Lama Ampenan, khususnya di koridor utama Kota Lama Ampenan.

Daftar Pustaka

Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2005.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Cagar Budaya. Jakarta:

Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Studi Pertumbuhan dan Pemudaran

Kota Pelabuhan, Kasus Ampenan dan Lembar. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan RI.

Lynch, K. 1965. The Image of The City. Cambridge: MIT Press.

Poerbantanoe, B. 2001. Partisipasi Masyarakat di dalam Pelestarian dan

Pendokumentasian Warisan (Arsitektur) Kota Surabaya Tahun 1706 – 1940.

Dimensi Teknik Arsitektur: 43 – 51.

Sidharta & Budiharjo, E. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di

Surakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

http://www.commons.wikimedia.org. Diakses tanggal 30 Oktober 2010.

(11)

Gambar

Gambar 1. Wilayah studi.
Gambar 2. Pelabuhan Ampenan tahun 1940-an (kiri) dan tahun 2009 (kanan). Sumber: Badan Arsip NTB
Gambar 3. Peta sirkulasi Kota Lama Ampenan Sumber: KL Soenda Einianden, Blad 113, i, en m, Willevreden, 1926, dalam Studi Pertumbuhan −Mataram tahun 1920-an
Gambar 6. Elemen citra kawasan.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, Terdapat 5 karakteristik dari putusan konstitusional bersyarat, yaitu: (1) Mahkamah memberikan tafsir atau syarat tertentu agar norma yang diuji tetap konstitusional

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Pendidikan dengan menggunakan data kualitatif untuk mengukur aktivitas guru, aktivitas siswa, dan minat siswa

Paperittomuus on laajempi käsite kuin laiton tai luvaton maahanmuutto, sillä se käsittää esimerkiksi turvapaikanhakijat, joilta puuttuu henkilöllisyystodistus, mutta

Adanya perbedaan di dalam iklim tropis sendiri seperti yang ada pada pemaparan data diatas yaitu Suhu rata-rata di lokasi site yang di daerah pantai memiliki suhu

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam mengevaluasi kesesuaian hasil

Wilayah yang memiliki sebaran empat serotipe (hiperendemis) adalah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Garut, Kota Cirebon, Kota Sukabumi dan Kota Tasikmalaya,

Penulis berargumen bahwa segala bentuk aktivitas yang dilakukan dalam media online tersebut merupakan bagian dari cara mereka untuk menunjukkan identitas

Kedalaman gerusan lokal maksimum rerata di sekitar pilar sangat tergantung nilai relatif kecepatan alur sungai (perbandingan antara kecepatan rerata aliran dan