• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEWASPADAI PERKEMBANGAN AVIAN INFLUENZA id

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEWASPADAI PERKEMBANGAN AVIAN INFLUENZA id"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MEWASPADAI PERKEMBANGAN AVIAN

INFLUENZA (AI) DAN KERAGAMAN GENETIK

VIRUS AI/H5N1 DI INDONESIA

N.L.P. Indi Dharmayanti1), Kusuma Diwyanto2), dan Sjamsul Bahri1,2)

1)Balai Besar Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

Telp. (0251) 8331048, 8334456, Faks. (0251) 8336425

e-mail: balitvet@litbang.deptan.go.id

2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59 Bogor 16152,

Telp. (0251) 8322183, 8328383, 8322138, Faks. (0251) 8328382 e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id

Diajukan: 22 Februari 2012; Disetujui: 26 April 2012

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal ... .

ABSTRAK

Virus avian influenza (AI) H5N1 di Indonesia telah bersirkulasi lebih dari sembilan tahun. Tingginya kasus AI H5N1 pada manusia dan status endemis AI pada peternakan memungkinkan munculnya virus AI H5N1 yang lebih mudah beradaptasi pada manusia. Sementara itu, hasil penelitian tentang karakter virus AI H5N1 asal unggas yang menginfeksi manusia maupun yang berasal dari peternakan masih sangat terbatas. Keterbatasan dalam beberapa hal menyebabkan penelitian virus AI asal Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Makalah ini membahas karagaman genetik virus AI H5N1 Indonesia sebagai hasil dari evolusi virus H5N1. Sejak kejadian AI pada tahun 2003, virus AI telah berevolusi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kelompok virus yang masih serupa dengan tetuanya, yaitu virus AI H5N1 tahun 2003; (2) kelompok virus yang mempunyai mutasi spesifik yang diisolasi di sekitar kasus manusia terinfeksi H5N1; dan (3) kelompok virus antigenic drift yang tercipta karena tekanan imunologis akibat vaksinasi. Tiga kelompok virus tersebut memiliki perbedaan karakter genetik yang cukup nyata sehingga kebijakan pemerintah dalam menanggulangi AI melalui vaksinasi harus didasarkan pada kajian ilmiah. Pengendalian, surveilans, dan peningkatan frekuensi pemantauan sirkulasi virus juga diperlukan untuk mewaspadai timbulnya virus baru yang mungkin lebih berbahaya dan lebih mudah beradaptasi pada manusia.

Kata kunci: Virus avian influenza, keragaman genetik, Indonesia

ABSTRACT

The Genetic Variation of Avian Influenza H5N1 Indonesian Viruses

(2)

H5N1 human cases; and (3) the antigenic drift viruses created by immunological pressure due to vaccination. From this grouping, there were genetic character differences between the groups of viruses, so the government vaccination policy should be based on scientific assessment. Control measures, surveillance and improvement of monitoring of virus circulation should also been conducted for the alert to the emergence of new virus which is likely to be more dangerous and more adaptable to humans.

Keywords: Avian influenza virus, H5N1, genetic variation, Indonesia

PENDAHULUAN

Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya virus highly pathogenic avian influenza

(HPAI) H5N1 dilaporkan dapat meng-infeksi manusia dan ditransmisikan secara langsung dari unggas ke manusia di Hong Kong. Virus ini menyebabkan enam orang meninggal dari 18 orang yang terinfeksi virus tersebut (Claas et al. 1998; Shortridge

et al. 1998; Subbarao et al. 1998; Katz et al. 2000). Pada tahun 1999, dua kasus infeksi virus AI H9N2 pada manusia juga dilaporkan terjadi di Hong Kong (Peiris

et al. 1999). Selanjutnya pada tahun 2003, dilaporkan 349 orang menderita kon-jungtivitis dan seorang dokter hewan meninggal akibat wabah HPAI H7N7 di Belanda (Koopmans et al. 2004), dan pada Februari 2004, virus AI H7N3 dilaporkan menginfeksi manusia di Kanada (Tweed et al. 2004).

Pada awal tahun 2003, dua kasus infeksi virus H5N1 terjadi kembali di Hong Kong (Peiris et al. 2004). Sejak akhir 2003, virus H5N1 telah menyebar ke Asia, Eropa, dan Afrika dan menyebabkan wabah penyakit dan kematian pada unggas domestik dan burung liar. Pada September 2006, sekitar 40 laboratorium mengkonfirmasi kasus infeksi virus H5N1 pada manusia yang dilaporkan ke World Health Organization

(WHO), karena lebih dari 50% infeksi pada manusia tergolong fatal (Centers for Disease Control and Prevention 2004).

Di Indonesia, wabah AI pertama kali diidentifikasi pada akhir 2003 di Kabupaten Tangerang dan Blitar. Wabah AI menye-rang ayam ras petelur, ayam ras pedaging, ayam kampung, dan itik. Berdasarkan hasil pemeriksaan lapang, gejala klinis dan patologik (Damayanti et al. 2004a), serta imunohistokimia (Damayanti et al. 2004b), wabah tersebut didiagnosis sebagai wa-bah AI subtipe H5. Spesimen dari wawa-bah tersebut telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dengan menggunakan serum positif AI sebagai virus AI subtipe H5 (Wiyono et al. 2004). Dharmayanti et al. (2004) juga telah mengidentifikasi wabah ini dengan teknik RT-PCR dan menemukan penyebabnya yaitu virus AI subtipe H5. Konfirmasi wabah penyakit AI selanjutnya dilakukan oleh Dharmayanti

et al. (2005a, 2005b). Analisis genetik menunjukkan bahwa sebagian besar virus H5N1 dari unggas dan manusia di Asia termasuk dalam genotipe Z, serupa dengan virus yang pertama kali diidentifikasi pada unggas di China Selatan (Guan et al.

2004; Li et al. 2004; Puthavathana et al.

2005; WHO 2005).

(3)

pada bulan Januari sampai April, ber-samaan dengan perubahan musim dari musim hujan ke musim kemarau.

Pedoman untuk pencegahan, pengen-dalian, dan pemberantasan AI telah di-tetapkan oleh World Health Organization for Animal Health (OIE) dan WHO dan dapat digunakan sebagai acuan dalam program pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan AI di seluruh dunia. Peme-rintah Indonesia melalui SK Dirjen Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/ F/02.04 juga telah menetapkan langkah-langkah strategis untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan AI. Dalam rangka mengeradikasi dan menu-runkan penyebaran virus HPAI di Indo-nesia, pemerintah melalui Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, menetapkan sembilan langkah strategis pengendalian penyakit AI, yaitu: (1) bio-sekuriti; (2) vaksinasi; (3) depopulasi selektif; (4) pengendalian lalu lintas unggas, produk, dan limbahnya; (5) surveilans dan penelusuran; (6) pengisian kandang kembali; (7) stamping out di daerah tertular baru; (8) peningkatan kesadaran masyarakat; serta (9) moni-toring dan evaluasi.

Vaksinasi sebagai salah satu cara pengendalian AI telah dilakukan peme-rintah sejak Agustus 2004 dengan mela-kukan vaksinasi massal beberapa jenis unggas, seperti ayam ras, ayam buras, puyuh dan itik dengan menggunakan vaksin autogenus. Setahun setelah program vaksinasi massal pada unggas dilakukan, pada Juli 2005 dilaporkan kematian manusia yang pertama kali terinfeksi virus AI subtipe H5N1 di Indonesia (Sedyaningsih et al. 2007). Jumlah kasus kematian akibat infeksi AI pada manusia bertambah setiap tahun dan sampai saat ini, AI masih merupakan

masalah serius yang perlu mendapat perhatian mengingat korban meninggal akibat infeksi virus ini terus bertambah. Sampai Maret 2012, dilaporkan 155 orang meninggal dunia akibat infeksi virus AI (WHO 2012).

Karakter molekuler virus AI mengalami perubahan yang cukup dinamis sejak diidentifikasi pada tahun 2003. Makalah ini mengulas perubahan virus HPAI yang menciptakan keragaman genetik virus HPAI di Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kewas-padaan terhadap kemungkinan perubahan keganasan virus AI yang lebih mudah beradaptasi pada manusia.

EVOLUSI VIRUS AI H5N1 DI INDONESIA

Evolusi virus H5N1 terjadi secara terus-menerus terutama pada glikoprotein permukaan virus dan pada segmen gen lainnya. Keragaman virus merupakan hasil dari akumulasi perubahan molekul pada delapan segmen RNA, yang terjadi melalui mekanisme mutasi titik (antigenic drift), gene reassortment (antigenic shift), defective-interfering particles, dan rekombinasi RNA. Setiap mekanisme ini berkontribusi terhadap evolusi virus AI (Webster et al. 1992).

(4)

untuk mutasi sehingga dapat menjadi dominan melalui seleksi positif (Webster

et al. 1992).

Di Indonesia, virus H5N1 genotipe Z telah menjadi endemis pada unggas sejak tahun 2003 (Smith et al. 2006). Berdasarkan analisis filogenetik, virus AI asal Indonesia dan Vietnam berasal darisumber tunggal dan diduga berasal dari unggas domestik di China Selatan (Li et al. 2004; WHO 2005; Chen et al. 2006).

Virus AI dari Indonesia membentuk

sublineage yang berbeda dari virus H5N1 genotipe Z. Virus ini diduga berasal dari sumber tunggal yang kemudian menye-bar ke seluruh Indonesia (Smith et al. 2006). Smith et al. (2006) menyatakan, sebagian besar virus AI dari Indonesia mempunyai motif rangkaian asam amino basa pada daerah cleavage site yang merupakan karakter dari virus HPAI, yaitu PQRERRRKKR/G. Sekuen asam amino pada cleavage site sebagai penanda patogenisitas virus AI, sebagian besar mempunyai motif rangkaian asam amino basa yang menunjukkan HPAI. Pada tahun 2003-2005, sebagian besar isolat virus AI dari unggas di Indonesia menunjukkan motif PQRERRRKKR//G. Namun pada Maret 2005, Dharmayanti dan Indriani (2007) menemukan isolat virus AI dari unggas yang mengalami mutasi R→S pada posisi -6 HA sehingga mempunyai motif PQRESRRKKR//G. Tiga bulan setelah itu, pada Juni 2005, untuk pertama kalinya di Indonesia terdapat kasus manusia yang terinfeksi AI dan sekuen cleavage site

virus ini sama dengan motif isolat yang ditemukan Dharmayanti dan Indriani (2007).

Studi evolusi virus AI sangat penting untuk mengetahui jenis seleksi yang mengendalikan gen, terutama pada protein HA yang berhubungan dengan evolusi

virus untuk memprediksi galur vaksin. Dharmayanti (2009) melaporkan, sebagian besar mutasi kemungkinan diakibatkan oleh seleksi positif pada protein hema-glutinin.

Virus H5N1 Asal Unggas dan Kasus Manusia Terinfeksi H5N1

Virus H5N1 yang diisolasi dari unggas atau lingkungan di sekitar manusia yang ter-infeksi H5N1 memberi petunjuk epi-demiologi asal infeksi virus ini. Hasil penelitian Dharmayanti (2009) dan Dhar-mayanti et al. (2011a) tentang karakter virus H5N1 yang diisolasi dari unggas dan di sekitar manusia yang terinfeksi virus H5N1 menunjukkan mutasi spesifik tidak banyak ditemui pada virus H5N1 Indonesia atau virus di luar Indonesia. Dharmayanti (2009) menyatakan, virus H5N1 yang di-analisis masih mengenal avian receptor

(α2-3) dan belum mengenal human receptor (α2-6) (Stevens et al. 2006) sehingga infeksi pada manusia kemung-kinan akibat tertular unggas yang terlebih dahulu terinfeksi virus H5N1.

Berkaitan dengan virulensi, C-terminal virus AI protein NS1 memiliki urutan konsensus dari PDZ domain ligand. Motif yang dapat terikat ke PDZ mengandung protein yang terlibat dalam jalur sinyal seluler inang. Hasil penelitian Dharmayanti

(5)

H5N1 Indonesia mempunyai motif terse-but dan juga virus H5N1 tahun 2007 yang diisolasi di Arab (Monne et al. 2008). Virus lainnya yang mempunyai motif PDZ seperti motif virus influenza manusia adalah virus Pessel/BPPVRII/07 yang mempunyai motif RSEV. Virus Pessel/ BPPVRII/07 dan Inhu/BPPVRII/07 diisolasi dari ayam di sekitar kasus infeksi virus AI H5N1 pada manusia dan ternyata mem-punyai karakter genetik pada NS1 yang mungkin berkorelasi dengan adaptasi virus pada manusia.

Dharmayanti (2009) juga menemukan adanya delesi pada posisi 80-84 pada lima dari enam virus, kecuali virus Pessel/ BPPVRII/07. Delesi residu lima asam amino berkontribusi dalam meningkat-kan virulensi. Semua virus yang diguna-kan dalam penelitian ini mempunyai asam aspartat pada posisi 92, bukan asam glu-tamat pada molekul NS1. Asam gluglu-tamat pada posisi 92 merupakan faktor penting dalam virulensi dan resistensi terhadap sitokin antiviral. Namun, virus H5N1 dengan asam amino residu ini tidak lagi beredar di alam dan asam glutamat tidak ditemukan pada protein NS1 virus in-fluenza tipe A.

Hasil penelitian menunjukkan virus Pessel/BPPVRII/07 mempunyai kemiripan kesamaan sekuen asam amino dan kede-katan yang tinggi berdasarkan analisis filogenetik dengan virus HK/497/97, dan HK/498/97, yang merupakan virus H3N2. Virus Pessel/BPPVRII/07 memiliki HA, NA, dan M yang berasal dari virus H5N1 Indonesia, sedangkan protein NS1 berasal dari virus H3N2 Hong Kong. Hasil ini memperlihatkan bahwa virus Pessel/ BPPVRII/07 telah mengalami genetic

reassorment sehingga kemungkinan

virus Pessel/BPPVRII/07 merupakan virus

reassortant. Virus reassortant di

Indo-nesia pernah dilaporkan oleh Yuk Lam et al. (2008), namun dalam penelitiannya tidak ditemukan virus reassortant antar-strain atau campuran genetik dari antar-strain yang berbeda.

Penemuan virus Pessel/BPPVRII/07 sebagai virus reassortant antara H5N1 dan H3N2 di Indonesia mungkin adalah yang pertama kali dilaporkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah harus semakin serius mengendalikan penyakit ini mengingat pandemi influenza pada tahun 2009 merupakan pandemi novel H1N1. Situasi virus H5N1 di Indonesia yang telah menjadi penyakit endemis memerlukan kewaspadaan terhadap ke-mungkinan terjadinya genetic reassort-ment antara virus H5N1 dan novel H1N1 (yang sekarang menjadi wabah di dunia) maupun virus influenza lainnya, seperti H1N1/H3N2 seasonal flu, yang dapat menyebabkan virus H5N1 lebih mudah beradaptasi pada manusia.

Prediksi Kemungkinan Virus AI Menginfeksi Manusia

(6)

dianalisis dalam penelitian ini juga memiliki motif pada M1 dan M2, seperti motif pada virus AI asal unggas yang diisolasi dari sekitar kasus manusia terinfeksi H5N1. Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah mutasi pada matriks protein pada virus

antigenic drift berkaitan dengan pening-katan adaptasi ke manusia. Hal ini tentunya membutuhkan penelitian yang kompre-hensif untuk mengetahui apakah vaksi-nasi pada unggas dapat menciptakan virus yang lebih mudah beradaptasi pada manusia.

Penelitian Buckler-White et al. (1986) memperlihatkan bahwa gen M pada virus manusia dan hewan dibedakan berdasar-kan adanya substitusi pada protein M1 dan M2. Hal ini menunjukkan bahwa protein M1 dan M2 kemungkinan berperan penting dalam memprediksi apakah virus AI dapat menginfeksi manusia atau tidak. Motif pada protein M ini hanya secara khas ditemukan pada virus asal Indonesia dan tidak dite-mukan pada virus asal Vietnam, Thailand, dan China.

Penemuan Virus Antigenic Drift

Virus AI H5N1 di Indonesia yang diisolasi selama tahun 2003-2005 menunjukkan motif rangkaian asam amino basa pada

cleavage site HA yang merupakan ka-rakteristik virus HPAI (PQRERRRKKR//G) (Dharmayanti et al. 2005b; Nidom 2005; Smith et al. 2006). Motif tersebut mulai berubah seperti yang dilaporkan oleh Dharmayanti dan Indriani (2007), bahwa terdapat satu virus H5N1 yang diisolasi pada bulan Februari 2005 mempunyai motif PQRESRRKKR//G. Hal ini menarik karena motif pada cleavage site virus tersebut serupa dengan virus H5N1 manusia, yaitu

A/Indonesia/5/05 yang merupakan kasus pertama infeksi virus ini pada manusia.

Pada tahun 2005, Dharmayanti et al.

(2005c) melaporkan mulai adanya mutasi titik pada gen HA pada virus AI di Indo-nesia. Selain pada gen HA, mutasi juga terjadi pada virus H5N1 asal Indonesia. Smith et al. (2006) menyatakan bahwa virus AI asal Sumatera menunjukkan mutasi Ser31Asn pada protein M2. Mutasi ter-sebut mengindikasikan bahwa virus AI dari Sumatera telah mengalami resistensi terhadap amantadin. Cheung et al. (2006) menyatakan bahwa 6,3% virus H5N1 Indo-nesia telah resisten terhadap amantadin. Data terkini menunjukkan bahwa 60% virus H5N1 Indonesia telah resisten terhadap amantadin (Dharmayanti et al. 2010).

(7)

melak-sanakan program vaksinasi massal pada unggas yang dimulai pada tahun 2004.

Dharmayanti (2009) melaporkan bahwa virus yang diisolasi dari flok yang melakukan vaksinasi AI memiliki mutasi subsitusi nonsinonim dan mengalami

antigenic drift yang jauh lebih besar dibandingkan virus yang tidak berasal dari unggas yang divaksinasi AI. Hal ini kemungkinan akibat adanya tekanan imunologis. Pada tahun 2006-2008, virus

antigenic drift hanya ditemukan pada peternakan ayam di Jawa Barat (Sukabumi, Purwakarta, dan lainnya), namun pada tahun 2010, Dharmayanti et al. (2012) melaporkan virus yang diisolasi dari peternakan ayam yang melakukan vaksinasi AI mempunyai karakter genetik yang serupa dengan virus antigenic drift 2006 (Pwt-Wij/2006). Virus AI yang diisolasi dari unggas yang tidak divak-sinasi AI pada tahun 2009, tidak mengalami mutasi yang signifikan.

Pada tahun 2010, Dharmayanti et al.

(2012) melaporkan bahwa virus yang berhasil diisolasi dari unggas di berba-gai kabupaten di Indonesia (Bengkulu, Palembang, Lampung, Cianjur, Purwakarta, Banyuwangi, Tangerang, Bandung, dan Sukabumi) sebagian besar memiliki karakter genetik seperti virus antigenic drift AI tahun 2006-2008 (A/West Java/ Pwt-Wij/2006 dan A/West Java/Smi-M6/ 2008). Virus AI yang diidentifikasi sebagian besar berasal dari unggas yang divaksinasi AI. Hal ini menambah bukti baru bahwa penggunaan vaksin yang tidak tepat dapat menginduksi kecepatan mutasi virus.

Penelitian virus AI pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar virus di Indonesia telah mengalami mutasi

antigenic drift yang cukup nyata. Oleh karena itu, Dharmayanti (2009) menyata-kan vaksin AI yang beredar di Indonesia

harus segera dievaluasi selain melanjut-kan program monitoring karakter genetik virus AI yang bersirkulasi di Indonesia untuk mengetahui perubahan virus AI ter-kini. Saran ini hendaknya dapat dijadikan pertimbangan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai pemegang kebijakan tertinggi dalam pe-ngendalian dan pemberantasan penyakit AI di Indonesia.

Mutasi yang terjadi pada protein HA virus antigenic drift mengakibatkan penurunan tempat glikosilasi sehingga virus hanya memiliki lima tempat glikosilasi. Virus yang mengalami penurunan tempat glikosilasi dapat menciptakan populasi virus yang mengalami peningkatan afinitas terhadap reseptor dan juga menghasilkan populasi virus yang lebih tahan terhadap netralisasi daripada induknya (Schulze 1997). Hasil analisis filogenetik gen HA virus H5N1 asal Indonesia memperlihatkan bahwa virus antigenic drif membentuk kelompok yang berbeda dengan virus H5N1 Indonesia lainnya. Virus H5N1 dalam kelompok virus bukan antigenic drift ma-sih ditemukan bersirkulasi di Indonesia (Dharmayanti et al. 2012).

EVALUASI PROGRAM VAKSINASI

(8)

Gambar 1. Pohon filogenetik berdasarkan gen hemaglutinin (HA) virus avian influenza di Indonesia tahun 2003-2008 (Dharmayanti 2009).

Kelompok virus bukan antigenic drift

Kelompok virus antigenic drift 2006-2007 dan 2010

Kelompok virus antigenic drift 2008

A/Turkey/Langkat/BBPVI/2005 A/Indonesia/CDC599/2006 A/Chicken/Langkat/BBPV1576/2005 A/Chicken/Pulau Rampang/BBPVII/2006

A/Chicken/Duma/BBPVII/2005 A/Chicken/Padang/BBPVII/2006

A/Chicken/Taput/BBPV1576/2005 A/Chicken/Karo/BBPVII/2006 A/Chicken/Medan/BBPV1571/2005 A/Chicken/Deli Serdang/BPPV1/2005 A/Chicken/Pidie/BPPV1/2005

A/Ck/Jakarta/DKI31/2005 A/Ck/West Java/1074/2003 A/chicken/Indonesia/11/2003 A/Chicken/West Java/HAMD/2006 A/chicken/Indonesia/7/2003 A/Ck/East Java/BL-IPA/2003

A/Duck/Bufeleng/BPPV1/2005 A/Duck/Pali/BBVW1358/2005 A/Duck/Tabanan/BPPV1/2005 A/Chicken/West Java/GARUTMAY/2006 A/Chicken/Indonesia/Soppeng163171/2007 A/Quail/Central Java/SMRG/2006 A/Chicken/Indonesia/Kulon163147/2006 A/Chicken/Indonesia/Magelang163157/2007 A/Chicken/Gunung Kidul/BBVW/2006 A/Chicken/Madiun/BBVW1420/2005 A/Chicken/Way Kanan/BBPVIII/2006 A/Chicken/Palembang/BPPVIII/2005 A/Chicken/Bandar Lampung/BBPVIII/2006 A/Indonesia/7/2005

A/Duck/Indramayu/BBPW109/2006 A/Ck/West Java/Smi-Hay/2005 A/Chicken/Indonesia/Rejang Lebong163122/ A/Indonesia/5/2005

A/Chicken/Murao Jambi/BBPVII/2005 A/Chicken/Pakun Baru/BPPVII/2005

A/Chicken/West Java/SMIENDRI1/2006 A/Indonesia/CDC390/2006 A/Chicken/West Java/TASIKSOL/2006

A/Chicken/Indonesia/Garut163151/2006 A/Indonesia/CDC610/2006 A/Indonesia/CDC835/2006 A/Indonesia/CDC836/2006 A/Muscovy Duck/Jakarta/HABWIN/2006 A/Chicken/Indonesia/Bandung163149/2006

(9)

cara yang cukup efektif untuk mencegah penyebaran virus AI, namun risikonya da-pat mengancam keanekaragaman genetik ayam lokal/ kampung. Tindakan tersebut juga akan berdampak pada hilangnya materi genetik, yaitu ayam lokal yang resisten terhadap AI. Gen Mx yang menyandi protein Mx adalah komponen kunci yang mengkode protein yang di-induksi interferon (IFN) dan menghambat replikasi RNA virus (Ko et al. 2002). Resistensi genetik ditunjukkan sebagai hasil dari perbedaan struktur genom baru gen Mx.

Ayam adalah inang alami dari virus AI (Easterday 1975). Gen Mx berada pada sitoplasma dan terdiri atas 705 asam amino yang disandi oleh ekson 13. Substitusi asam amino pada posisi 631 diidentifikasi dan digunakan untuk menentukan per-bedaan antara akitivitas antiviral pada ayam terkait dengan protein Mx. Asam amino asparagin (Asn) berkaitan dengan aktivitas antiviral positif, yang dikenal dengan Mx+, sedangkan serin (Ser) ber-kaitan dengan aktivitas antiviral negatif atau (Mx-) (Ko et al. 2002; Li et al. 2006; Seyama et al. 2006; Watanabe 2007). Me-tode ini digunakan untuk menentukan resistensi penyakit AI secara molekuler sehingga seleksi dapat dilakukan dengan mengkonfirmasi keberadaan gen Mx. Metode ini dapat diaplikasikan untuk menghasilkan bibit ayam lokal yang tahan terhadap AI.

Penanganan kasus AI saat ini masih terfokus pada upaya membasmi virusnya dengan penerapan biosekuriti yang ketat dan vaksinasi, padahal virus mudah sekali bermutasi sehingga vaksinasi sering tidak efektif. Pemilihan vaksin AI yang tidak tepat dapat menimbulkan banyak perma-salahan, antara lain timbulnya virus baru akibat tekanan imunologis melalui

vak-sinasi. Lebih dari 20 jenis vaksin AI yang terdaftar dan beredar di Indonesia meng-gunakan beberapa galur virus AI sebagai bibitvaksin, misalnya galur isolat lokal H5N1 (Legok/2003), H5N2(A/Ck/Mexico/ 232/94; A/Turkey/England/N28/73), dan H5N9 (A/Turkey/ Wisconsin/68) (Syam-sudin 2009).

Penggunaan virus LPAI sebagai bibit vaksin di Indonesia kemungkinan ber-dasarkan pertimbangan bahwa galur virus HPAI kurang umum digunakan sebagai vaksin inaktif karena membutuhkan peralatan yang spesifik, fasilitas high-biocontainment, dan titer virus yang diperoleh dari telur embrio bertunas sa-ngat terbatas dibandingkan jika meng-gunakan galur virus LPAI. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa galur vi-rus LPAI dapat memproteksi ternak dari virus HPAI (Swayne et al. 1999) sehingga produksi vaksin LPAI lebih mengun-tungkan karena lebih mudah memproduksi kandungan antigen yang tinggi. Selain itu, galur LPAI lebih mudah ditangani dan tidak memerlukan fasilitas khusus (Swayne dan Kapczynski 2008).

(10)

Studi yang dilakukan Swayne et al. (1999) dengan menggunakan virus HPAI sebagai virus tantang dan galur vaksin yang mempunyai kemiripan pada protein HA sebesar 86% memperlihatkan bahwa vaksin mampu memberikan proteksi yang baik pada ayam.

Peternakan ayam komersial seperti peternakan ayam petelur dan pembibitan ayam, umumnya melakukan vaksinasi secara intensif, termasuk vaksinasi AI. Vaksinasi AI umumnya dilakukan minimal tiga kali sepanjang umur produksi ayam. Peternak sering kali mengombinasikan beberapa galur vaksin, misalnya kom-binasi vaksin H5N1 dan H5N2 atau H5N2 dan H5N9.

Berkaitan dengan vaksinasi dengan menggunakan seed vaksin heterolog, Dharmayanti dan Darminto (2009) meng-isolasi dan mengidentifikasi virus anti-genic drift dari peternakan ayam yang menggunakan vaksin H5N2. Pada tahun 2006 dilaporkan bahwa beberapa galur virus yang diisolasi dari lapangan telah lolos dari proteksi vaksin komersial, misalnya ditemukan galur varian di Shanxi, China pada tahun 2006 (Zhigao 2007). Beberapa virus juga telah diidentifikasi di Indonesia dan Mesir pada tahun 2006 dan awal tahun 2007, yang secara antigenik berbeda dengan virus H5N1 sebelumnya. Virus ini menyebabkan kematian pada ayam yang divaksinasi dengan galur vaksin dari Amerika Utara dan beberapa bibit dari galur Eurasian (Swayne dan Kapczynski 2008). Indriani et al. (2011) juga menyatakan bahwa vaksin H5N1 membe-rikan proteksi yang lebih baik dibanding-kan dengan vaksin heterolog yang beredar di Indonesia yang mengandung bibit vaksin H5N2, H5N9 pada unggas yang ditantang dengan virus H5N1 yang bersirkulasi di Indonesia.

Virus yang diisolasi dari peternakan ayam yang melakukan vaksinasi AI mengalami antigenic drift, yaitu sekitar 1% asam amino berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, virus AI di Indonesia sudah berbeda dengan virus asalnya (Dharma-yanti 2009). Antigenic drift adalah evolusi gradual dari galur virus yang mengaki-batkan mutasi (Both et al. 1983). Pada virus influenza manusia, mutasi terjadi rata-rata 2-8 tahun sebagai respons terhadap tekanan seleksi untuk menghindar dari imunitas pada manusia (Plotkin et al. 2002; Smith et al. 2004; Koelle et al. 2006). Proses antigenic drift terjadi pada tingkat nukleotida yang kadang tidak mengubah atau mengubah sebagian kecil asam amino. Mutasi ini melibatkan mutasi titik dalam tempat melekatnya antibodi pada protein HA, NA atau keduanya yang terjadi setiap saat ketika virus bereplikasi (Fitch et al.

1991; Boni et al. 2004; Finkenstadt et al. 2005; Koelle et al. 2006).

Sebagian besar mutasi bersifat netral karena tidak berakibat pada konformasi protein, namun beberapa mutasi dapat menyebabkan perubahan pada protein viral, seperti mutasi pada pengikatan antibodi dari antibodi inang. Hal ini mengakibatkan infeksi virus tidak dapat dihambat oleh antibodi inang (Webby dan Webster 2001).

(11)

et al. 1999). Hasil penelitian tersebut me-nunjukkan bahwa kemiripan antara virus vaksin dan tantang harus lebih dari 82%. Penurunan replikasi virus dan shedding

dari saluran pernapasan bervariasi dan secara langsung berkorelasi dengan kemi-ripan asam amino antara virus vaksin dan virus tantang. Semakin dekat kekerabatan antara virus tantang dan virus vaksin, semakin sedikit virus tantang yang dikeluarkan ke lingkungan (Swayne et al. 1999). Pada penelitian ini, kemiripan asam amino antara virus pav-AI dengan bibit vaksin Mexico/232/94 dan Wisconsin/68 pada tingkat molekuler kurang dari 80% sehingga dapat menurunkan potensi vaksin tersebut dalam proteksi infeksi.

Data tersebut mendukung permasa-lahan yang ada di lapangan, yaitu kasus kegagalan penggunaan vaksin heterolog untuk memproteksi ayam komersial dari virus H5N1. Hasil analisis tersebut mem-perlihatkan bahwa penggunaan vaksin heterolog sebenarnya kurang tepat. Hasil penelitian uji tantang yang dilakukan Swayne (2007) terhadap semua vaksin yang beredar di Indonesia juga memper-lihatkan bahwa vaksin yang digunakan tidak mampu memberikan proteksi yang baik terhadap virus WJ/Pwt-Wij/06 yang diisolasi dari peternakan ayam yang melakukan vaksinasi H5N2.

Akibat munculnya virus antigenic drift, Indriani dan Dharmayanti (2009, komunikasi pribadi) menggunakan virus

antigenic drift tahun 2006 (WJ/Smi-Wij/ 06) sebagai bibit vaksin dan ditantang dengan virus HPAI tahun 2003-2007. Vaksin tersebut mampu memberikan proteksi 80-100% terhadap ayam yang divaksinasi dan maksimal sheeding virus terjadi sampai hari ketujuh. Namun, vaksin tersebut gagal memberikan proteksi ke-tika ditantang dengan virus antigenic

drift tahun 2008 (WJ/Smi-M6/2008) dan sheeding virus terjadi sampai hari ke-14. Perbedaan antara galur virus dengan WJ/ Smi-M6/2008 kurang dari 3% atau 14 asam amino. Hasil ini memperlihatkan bahwa dalam penggunaan vaksin AI, tidak hanya kemiripan yang menjadi ukuran kese-suaian bibit vaksin, tetapi perlu pula di-perhitungkan adanya mutasi yang dapat memengaruhi keberhasilan suatu vaksin. Hal tersebut dibuktikan oleh Dharmayanti

et al (2011b) bahwa kegagalan vaksin WJ/ Pwt-Wij/06 dalam memproteksi virus WJ/ Smi-M6/08 dikarenakan virus WJ/Smi-M6/ 2008 telah mengalami substitusi asam amino yang terletak pada permukaan protein HA. Protein HA virus AI adalah target primer dari antibodi netralisasi. Virus AI dapat menghindar dari sistem imun inang dengan melakukan mutasi pada daerah yang memengaruhi netralisasi sehingga antibodi tidak dapat melekat pada virus. Mutasi umumnya terjadi pada daerah HA1 di sekitar conserved receptor binding site.

Hasil visualisasi prediksi 3D protein HA memperlihatkan bahwa perbedaan asam amino dari virus WJ/Pwt-Wij/2006 dengan WJ/Smi-M6/2008 sekitar 14 residu asam amino, termasuk tiga asam amino yang terdapat pada permukaan molekul yang terletak pada epitop B. Mutasi pada daerah ini dapat menyebabkan bibit vaksin virus Pwt-Wij/2006 tidak dapat memproteksi virus Smi-M6/2008 (Dharmayanti et al.

(12)

berubah dibandingkan bagian yang lain. Beberapa studi menyebutkan bahwa 35% substitusi nukleotida terjadi hanya 18 dari 329 kodon pada virus H5 (Ferguson et al. 2003). Letak dari 18 mutasi ini pada lima tempat perlekatan antibodi atau epitop pada molekul HA (Treanor 1989) sehingga

antigenic drift yang terjadi tidak netral dan berakibat nyata terhadap kemampuan protein dalam melakukan binding terhadap antibodi netralisasi (Finkenstadt et al. 2005; Koelle et al. 2006).

Berdasarkan hasil penelitian ini maka vaksinasi sebagai strategi dalam pe-ngendalian AI harus dibarengi dengan perubahan bibit vaksin sesuai dengan virus yang bersirkulasi di lapangan, yaitu minimal dilakukan setiap dua tahun. Secara rutin juga perlu memantau dinamika virus AI di lapangan untuk mengetahui keco-cokan antara virus bibit vaksin dengan virus yang bersirkulasi di lapangan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Penyakit AI telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik terhadap industri peternakan ayam maupun kesehatan masyarakat. Keberadaan ayam kampung yang menyebar cukup luas dan sebagian resisten terhadap virus AI menyebabkan pemerintah tidak mengambil kebijakan pemusnahan massal. Upaya pemberan-tasan AI di Indonesia antara lain dilakukan dengan vaksinasi, namun hal ini ber-potensi menimbulkan tantangan baru bila tidak dilakukan dengan tepat.

Berdasarkan keragaman genetik, virus H5N1 di Indonesia menunjukkan tiga kelompok virus yang bersirkulasi, yaitu:

(1) virus yang masih serupa dengan virus AI H5N1 tahun 2003; (2) virus yang mem-punyai mutasi spesifik yang diisolasi di sekitar kasus manusia terinfeksi H5N1; dan (3) virus antigenic drift yang kemung-kinan tercipta akibat tekanan imunologis akibat vaksinasi yang tidak tepat. Sirku-lasi ketiga jenis virus ini memerlukan kewaspadaan karena virus H5N1 telah menjadi penyakit endemis di Indonesia sehingga memungkinkan terjadinya

genetic reassortment antara virus H5N1 dan novel H1N1 maupun virus influenza lainnya, seperti H1N1/H3N2 seasonal flu.

Keragaman jenis virus akan menyebab-kan virus H5N1 lebih mudah beradaptasi pada manusia. Pengendalian, surveilans, dan pemantauan sirkulasi virus harus terus ditingkatkan dan dilakukan secara rutin untuk mewaspadai timbulnya virus baru yang kemungkinan lebih berbahaya dan lebih mudah beradaptasi pada manusia.

Implikasi kebijakan

Pengendalian dan pemberantasan virus AI H5N1 di Indonesia dihadapkan pada masalah belum harmonisnya pemegang kebijakan di bidang kesehatan hewan dengan kesehatan manusia, serta belum digunakannya hasil kajian ilmiah dalam mendukung kebijakan pemberantasan virus tersebut. Sementara itu, dukungan pemerintah sangat diperlukan dalam penelitian virus AI H5N1 untuk mengetahui status dan karakter virus terkini yang akan berguna dalam menentukan langkah-langkah pengendaliannya.

(13)

me-lakukan koordinasi dalam pengambilan kebijakan strategis terkait pengendalian dan pemberantasan AI pada hewan maupun manusia dengan melibatkan dua kementerian teknis dan dua kementerian koordinator. Secara teknis masing-masing kementerian dapat melakukan pengenda-lian dan pemberantasan AI berdasarkan hasil penelitian ilmiah terkini, baik dalam pengembangan vaksin AI untuk unggas maupun pemilihan isolat untuk vaksin, atau pemilihan vaksin yang boleh diguna-kan dan diedardiguna-kan. Kebijadiguna-kan pendukung lainnya adalah penelitian, pemantauan, dan evaluasi perkembangan virus AI yang bersirkulasi di Indonesia secara berke-lanjutan.

Kebijakan lain yang harus ditinjau ulang adalah strategi penggunaan vaksin AI H5N2 yang berdasarkan hasil pene-litian sudah tidak efektif, bahkan berisiko mempercepat terjadinya mutasi virus H5N1. Demikian pula peredaran vaksin AI komersial yang sudah tidak sesuai lagi berdasarkan temuan penelitian terbaru, harus segera dihentikan.

Mengingat permasalahan penyakit AI sudah endemis dan terjadi perubahan struktur molekulernya sehingga pengen-daliannya semakin komplek, perlu diben-tuk Konsorsium AI undiben-tuk pengendalian pada hewan. Melalui Konsorsium AI diharapkan upaya pengendalian dan pemberantasan AI pada hewan akan lebih terfokus karena para pakar dan pemegang kebijakan di bidang kesehatan hewan berkumpul dalam satu wadah.

DAFTAR PUSTAKA

Boni, M.F., J.R. Grog, V. Andreasen, and F.B. Christiansen. 2004. Influenza drift and epidemic size: The race between

generating and escaping immunity. Theor. Popul. Biol. 65(2) : 179-191. Both, G.W., M.J. Sleigh, N.J. Cox, and

A.P. Kendal. 1983. Antigenic drift in influenza virus H3 hemagglutinin from 1968 to 1980: multiple evoluntionary patways and sequential amino acid changes at key antigenic sites. J. Virol. 48(1): 52-60.

Buckler-White, A.J., C.W. Naeve, and B.R. Murphy. 1986. Characterization of a gene coding for M protein which is involved in host range restriction of an avian influenza A virus in monkeys. J. Virol. 57(2): 697-700.

Centers for Disease Control and Pre-vention. 2004. Cases of influenza A (H5N1)-Thailand 2004. Morb. Mortal. Wkly. Rep. 53(5): 100-103.

Chen, H., G. J. Smith, K.S. Li, J. Wang, X.H. Fan, J.M. Rayner, D.Vijaykrishna, J.X. Zhang, L.J. Zhang, C.T. Guo, C.L. Cheung, K.L. Xu, L. Duan, K. Huang, K. Qin, Y.H. Leung, W.L. Wu, H.R. Lu, Y. Chen, N.S.Xia, T.S. Naipospos, K.Y. Yuen, S.S. Hassan, S. Bahri, T.D. Nguyen, R.G. Webster, J.S. Peiris, and Y. Guan. 2006. Establishment of multiple sub-lineages of H5N1 influenza virus in Asia: Implications for pandemic control. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 103(8): 2845-2850.

Cheung, C.L., J.M. Rayner, G.J. Smith, P. Wang, T.S. Naipospos, J. Zhang, K.Y. Yuen, R.G. Webster, J.S. Peiris. Y. Guan, and H.Chen. 2006. Distribution of amantadine-resistant H5N1 avian influenza variants in Asia. J. Infect Dis. 193(2): 1626-1629.

(14)

patho-genic avian influenza virus. Lancet 351(9101): 472-477.

Damayanti, R., N.L.P.I. Dharmayanti, R. Indriani, A. Wiyono, dan Darminto. 2004a. Deteksi antigen H5N1 pada organ ayam yang terserang flu burung sangat patogenik (HPAI) pada kasus wabah di Jawa Timur dan Jawa Barat dengan teknik imunohistokimia. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 9(3): 197-203. Damayanti, R., N.L.P.I. Dharmayanti, R. Indriani, A. Wiyono, dan Darminto. 2004b. Gambaran klinis dan patologis ayam yang terserang flu burung sangat patogenik (HPAI) di beberapa peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat.Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 9(2): 128-135.

Dharmayanti, N.L.P.I., R. Damayanti, A. Wiyono, R. Indriani, dan Darminto. 2004. Identifikasi virus avian influenza virus isolat Indonesia dengan metode

reverse transcriptase polymerase chain reaction RT-PCR. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 9(2): 136-143. Dharmayanti, N.L.P.I., R. Indriani, R.

Damayanti, and A.Wiyono. 2005a. Isolasi dan identifikasi wabah avian influenza pada bulan Oktober 2004-Maret 2005 di Indonesia. J. Biol. Indones. 9: 341-350.

Dharmayanti, N.L.P.I., R. Damayanti, R. Indriani, A. Wiyono, dan R.M.A. Adjid. 2005b. Karakterisasi molekuler virus avian influenza isolat Indonesia pada wabah Oktober 2003-2004. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10(2): 127-133.

Dharmayanti, N.L.P.I., R. Indriani, R. Damayanti, A. Wiyono, dan R.M.A. Adjid. 2005c. Karakter virus avian influenza isolat Indonesia pada wabah gelombang kedua. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10(3): 217-226.

Dharmayanti, N.L.P.I. dan R. Indriani. 2007. Patogenisitas molekuler virus avian influenza yang diisolasi pada tahun 2005. MKH 23(2): 68-73.

Dharmayanti, N.L.P.I. 2009. Perubahan Genoma Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 pada Unggas di Indonesia. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta. 278 hlm.

Dharmayanti, N.L.P.I. dan Darminto. 2009. Mutasi virus AI di Indonesia: Anti-genic drift protein hemaglutinin (HA) virus influenza H5N1 tahun 2003-2006. MKH 25(1): 1-8.

Dharmayanti, N.L.P.I., F. Ibrahim, and A. Soebandrio. 2010. Amantadine resistant of Indonesian influenza H5N1 subtype virus during 2003-2008. Microbiol. Indones. 5(1): 11-16.

Dharmayanti, N.L.P.I., F. Ibrahim, Darminto, and A. Soebandrio. 2011a. Influenza H5N1 virus of birds surrounding H5N1 human cases have specific charac-teristics on the matrix protein. Hayati J. Biosci. 18(2): 82-90.

Dharmayanti, N.L.P.I., G. Samaan, F. Ibrahim, R. Indriani, Darminto, and A. Soebandrio. 2011b. The genetic drift of Indonesian avian influenza A H5N1 viruses during 2003-2008. Microbiol. Indones. 5(2): 68-80.

Dharmayanti, N.L.P.I., A. Ratnawati, D.A. Hewajuli, dan R. Indriani. 2012. Sirkulasi virus avian influenza H5N1 tahun 2010: Virus genetic drift mirip A/ Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 ditemukan di beberapa kabupaten di Sumatera dan Jawa. J. Biol. Indones. 8(1): 103-119.

(15)

Ferguson, N.M., A.P. Galvani, and R.M. Bush. 2003. Ecological and immuno-logical determinants of influenza evolution. Nature 422(6930): 428-433.

Finkenstadt, B.F., A. Morton, and D.A. Rand. 2005. Modelling antigenic drift in weekly flu incidence. Statist. Med. 24(22): 3447-3461.

Fitch, W.M., J.M.E. Leiter, and P. Palese. 1991. Positive darwinian evolution in human influenza A viruses. Proc. Natl. Sci. 88: 4270-4274.

Guan, Y., L.L.M. Poon, C.Y. Cheung, T.M. Ellis, W. Lim, A.S. Lipatov, K.H. Chan, K.M. Strum-Ramirez, C.L. Cheung, Y.H.C. Leung, K.Y. Yuen, R.G. Webster, and J.S.M. Peiris. 2004. H5N1 influenza: A protean pandemic threat. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 102(21): 8156-8161. Holland, J., K. Spindler, F. Horodyski, E.

Grabau, S. Nichol, and S. VandePol. 1982. Rapid evolution of RNA genomes. Science 215: 1577-1585.

Indriani, R., N.L.P.I. Dharmayanti, dan R.M.A. Adjid. 2011. Tingkat proteksi beberapa jenis vaksin avian influenza unggas terhadap infeksi isolat lapang A/Chicken/West Java/Smi-Pat/2006 dan A/Chicken/West Java/Smi-Mae/ 2008 dalam kondisi laboratorium. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(2): 153-161. Katz, J.M., X. Lu, A.M. Frace, T. Morken, S.R. Zaki, and T.M. Tumpey. 2000. Pathogenesis of and immunity to avian influenza A H5 viruses. Biomed. Pharmacother. 54(4):178-187.

Ko, J.H., H.K. Jin, A. Asano, A. Takada, A. Ninomiya, H. Kida, H. Hokiyama, M. Ohara, M. Tsuzuki, M. Nishibori, M. Mizutani, and T. Watanabe. 2002. Poly-morphisms and the differential antiviral activity of the chicken Mx gene. Genome Res. 12(4): 595-601.

Koelle, K., S. Cobey, B. Grenfell, and M. Pascual. 2006. Epochal evolution shapes the phylodynamics of inter-pandemic influenza A (H3N2) in humans. Science 314(5807): 1898-1903.

Koopmans, M., B. Wilbrink, M. Conyn, G. Natrop, H. van der Nat, A. Vennema, A. Meijer, J. van Steenbergen, R. Fouchier, A. Osterhaus, and A. Bosman. 2004. Transmission of H7N7 avian influenza A virus to human beings during a large outbreak in commercial poultry farms in the Netherlands. Lancet 363(9409): 587-593.

Li, K.S., Y. Guan, J.Wang, G.J. Smith, K.M. Xu, L. Duan, A.P. Rahardjo, P. Puthavathana, C. Buranathai, T.D. Nguyen, A.T. Estoepangestie, A. Chai-singh, P. Auewarakul, H.T. Long, N.T. Hanh, R.J. Webby, L.L. Poon, H. Chen, K.F. Shortridge, K.Y. Yuen, R.G. Webster, and J.S. Peiris. 2004. Genesis of highly pathogenic and potentially pandemic H5N1 influenza virus in eastern Asia. Nature 340(6996): 209-213.

Li, X.Y., L.J. Qu, J.F. Yaou, and N. Yang. 2006. Skewed allele frequencies of an Mx gene mutation with potential resistance to avian influenza virus in different chicken populations. Poult. Sci. 85(7): 1327-1329.

(16)

Nidom, C.A. 2005. Analisis Molekuler Genoma Virus Avian Influenza H5N1 di Indonesia. Disertasi. Program Pasca-sarjana Universitas Airlangga, Sura-baya.

Peiris, M., K.Y. Yuen, C.W. Leung, K.H. Chan, P.L. Ip, R.W. Lai, W.K. Orr, and K.F. Shortridge. 1999. Human infection with influenza H9N2. Lancet 354(189): 916- 917.

Peiris, J.C., W.C. Yu, C.W. Leung, C.Y. Cheung, W.F. Ng, J.M. Nicholls, J.K. Ng, K.H. Chan, S.T. Lai, W.L. Lim, K.Y. Yuen, Y. Guan. 2004. Re-emergence of fatal human influenza A subtype H5N1 disease. Lancet 363(9409): 617-619. Plotkin, J.B., J. Dushoff, and S.A. Levin.

2002. Hemagglutinin in sequence clusters and antigenic evolution of influenza A virus. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 99(9): 6263-6268.

Puthavathana, P., P. Auewarakul, P.C. Charoenying, K. Sangsiriwut, P. Pooruk, K. Boonnak, R. Khanyok, P. Thawachsupa, R. Kijphati, and P. Sawanpanyalert. 2005. Molecular characterization of the complete genome of human influenza H5N1 virus isolates from Thailand. J. Gen. Virol. 86(2): 423-433.

Schulze, I.T. 1997. Effect of glycosylation on the properties and functions of influenza virus hemagglutinin. J. Infect. Dis. 176(1): S24-28.

Sedyaningsih, E.R., S. Isfandari, V. Setya-wati, L. Rifati, S. Harun, W. Purba, S. Imari, S. Giriputra, P.J. Blair, S.D. Putnam, T.M. Uyeki, and T. Soendoro. 2007. Epidemiology of cases of H5N1 virus infection in Indonesia, July 2005-June 2006. J. Infect. Dis. 196(4): 522-527.

Seyama, T., J.H. Ko, M. Ohe, N. Sasaoka, A. Okada, H. Gomi, A. Yoneda, J. Ueda,

M. Nishibori, S. Okamoto, Y. Maeda, and T. Watanabe. 2006. Population research of genetic polymorphism at amino acid position 631 in chicken Mx protein with differential antiviral activity. Biochem. Genet. 44(9-10): 437-448.

Shih, A.C.C., T.C. Hsiao, M.S. Ho, and W.H. Li. 2007. Simultaneous amino acid substitutions at antigenic sites drive influenza A hemagglutinin evolution. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 10(15): 6283-6288.

Shortridge, K.F., N.N. Zhou, Y. Guan, P. Gao, T. Ito, Y. Kawaoka, S. Kodihalli, S. Krauss, D. Markwell, K.G. Murti, M. Norwood, D. Senne, L. Sims, A. Takada, and R.G. Webster. 1998. Characterization of avian H5N1 influenza viruses from birds in Hong Kong. Virology 252(2): 331-342. Smith, G.J., A.S. Lapendes, J.C. de Jong,

T.M. Bestebroer, G.F. Rimmelzwaan, A.D.M.E. Osterhaus, and R.A.M. Fouchier. 2004. Mapping the antigenic and genetic evolution of influenza virus. Science 305: 371-376.

Smith, G.J., T.S. Naipospos, T.D. Nguyen, M.D. de Jong, D. Vijaykrishna, T.B. Usman, S.S. Hassan, T.V. Nguyen, T.V. Dao, N.A. Bui, Y.H. Leung, C.L. Cheung, J.M. Rayner, J.X. Zhang, L.J. Zhang, L.L. Poon, K.S. Li, V.C. Nguyen, T.T. Hien, J. Farrar, R.G. Webster, H. Chen, J.S. Peiris, and Y. Guan. 2006. Evolution and adaptation of H5N1 influenza virus in avian and human hosts in Indonesia and Vietnam. Virology 350(2): 258-268.

(17)

Characteri-zation of low-pathogenicity H5N1 avian influenza viruses from North America. J. Virol. 81(21): 11612-11619. Stevens, A., O. Blixt, T.M., Tumpey, J.K. Taubenberger, J.C. Paulson, and I.A. Wilson. 2006. Structure and receptor specificity of the hemagglutinin from an H5N1 influenza virus. Science 312: 404-410.

Subbarao, K., A. Klimov, J. Katz, H. Regnery, W. Lim, H. Hall, M. Perdue, D. Swayne, C. Bender, J. Huang, M. Hemphill, T. Rowe, M. Shaw, X. Xu, K. Fukuda, and N. Cox. 1998. Charac-terization of an avian influenza A (H5N1) virus isolated from a child with a fatal respiratory illness. Science 279(5349): 393-396.

Swayne, D.E., J.R. Beck, M. Garcia, and H.D. Stone. 1999. Influence of virus strain and antigen mass on efficacy of H5 avian influenza inactivated vaccines. Avian Pathol. 28: 245-255. Swayne, D.E., M. Garcia, J.R. Beck, N.

Kinney, and D.L. Suarez. 2000. Pro-tection against diverse highly patho-genic H5 avian influenza viruses in chickens immunized with a recom-binant fowlpox vaccine containing an H5 avian influenza hemagglutinin gene insert. Vaccine 18(11-12): 1088-1095.

Swayne, D.E. 2007. Overview of avian influenza vaccine and vaccination. International Avian Influenza Vaccina-tion Seminar, Jakarta, 11-12 June 2007. Swayne, D.E and D. Kapczynski. 2008. Strategies and challenges for eliciting immunity against avian influenza virus in birds. Immunol. Rev. 225: 314-331.

Syamsudin, T.R. 2009. Evaluasi dan rencana kebijakan vaksinasi AI di Indonesia. Rapat Kebijakan Vaksinasi

AI dengan Pakar/Ahli, Jakarta, 20-21 Maret 2009. Direktorat Jenderal Peter-nakan, Jakarta.

Treanor, J.J., M.H. Snyder, W.T. London, and B.R. Murphy. 1989. The B allele of the NS gene of avian influenza viruses, but not the A allele, attenuates a human influenza A virus for squirrel monkeys. Virology 171: 1-9.

Tweed, A.A., D.M. Skowronski, S.T. David, A. Larder, M. Petric, W. Lees, Y. Li, J. Katz, M. Krajden, R. Tellier, C. Halpert, M. Hirst, C. Astell, D. Lawrence, and A. Mak. 2004. Human illness from avian influenza H7N3 in British Columbia. Emerg. Infect. Dis. 10(12): 2196-2199. Watanabe, T. 2007. Polymorphisms of the

chicken antiviral Mx gene. Cytogenet. Genome Res. 117(1-4): 370-375. Webby, R.J and R.G. Webster. 2001.

Emergence of influenza A viruses. Philos. Trans. R. Soc. Lond. B. Biol. Sci. 356(1416): 1817-1828.

Webster, R.G., W.J. Bean, O.T. Gorman, T.M. Chambers, and Y. Kawaoka. 1992. Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbiol. Rev. 56(1): 152-179. Wiyono, A., R. Indriani, N.L.P.I. Dhar-mayanti, R. DaDhar-mayanti, dan Darminto. 2004. Isolasi dan karakterisasi virus highly pathogenic avian influenza subtipe H5 dari ayam asal wabah di Indonesia. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 9(1): 61-71.

WHO (World Health Organization). 2005. Global influenza program surveillance network, 2005. Evolution of H5N1 avian influenza viruses in Asia. Emerging Infect. Dis. 11(10): 1515-1521.

(18)

Yuk Lam, T.S., C.C. Hon, O.G. Pybus, S.L.K. Pond, R.T.Y. Wong, C.W. Yip, F. Zeng, and F.C.C. Leung. 2008. Evolutionary and transmission dynamics of reassor-tant H5N1 influenza virus in Indonesia. PLoS Pathogen. 4.8: e1000130. www. plospathogens.org.

Gambar

Gambar 1.  Pohon filogenetik berdasarkan gen hemaglutinin (HA) virus avian influenza di Indonesiatahun 2003-2008 (Dharmayanti 2009).

Referensi

Dokumen terkait