• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBENTUK KARAKTER MULIA PADA ANAK USIA DINI MELALUI CERITA PURANA. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBENTUK KARAKTER MULIA PADA ANAK USIA DINI MELALUI CERITA PURANA. Abstrak"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017 114

MEMBENTUK KARAKTER MULIA PADA ANAK USIA DINI MELALUI CERITA PURANA

Oleh:

Si Luh Nyoman Seriadi Fakultas Dharma Acarya

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail: siluhseriadi@gmail.com

Abstrak

Salah satu kunci keberhasilan bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia. Jika SDM suatu negara baik maka negara tersebut akan baik. Pembentukan SDM dimulai sejak usia dini. Upaya untuk membantu perkembangan pribadi dan potensi anak usia dini dalam menanamkan pendidikan karakter, dapat melalui sebuah media lisan yakni dengan media bercerita. Susastra Hindu telah menyiapkan metode belajar mulai dari anak usia dini hingga mereka para Jnani. Dalam berbagai Kitab Purana ditemukan banyak cerita yang menggambarkan berbagai hal seperti keyakinan, bhakti, kekuatan, tabah hati, keberanian dan berbagai nilai hidup lainnya. Seperti halnya cerita Maharaja Dhruva dan Prahlada, cerita yang sangat populer yang diambil dari Kitab Bhagavata.

Kata Kunci: Karakter Mulia, Purana I. Pendahuluan

Salah satu kunci keberhasilan bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia. Jika SDM suatu negara baik maka negara tersebut akan baik. Pembentukan SDM dimulai sejak usia dini. Semakin dini anak mengenal nilai-nilai baik maka semakin kuat fondasi karakternya dimasa yang akan datang. Kemampuan anak untuk menyerap berbagai informasi disekitarnya sangat luar biasa. Anak usia dini pada masa ini diibaratkan sebagai sebuah spons. Spons akan menyerap air yang ada disekitarnya. Dalam kiasan ini, air adalah segala sesuatu yang diterima anak dan yang kemudian diolah sebagai informasi. Segala sesuatu tersebut dapat berisi hal yang positif atau sebaliknya. Untuk membentuk karakter mulia pada diri anak maka segala sesuatu disekitar anak harus mulia dan positif. Maka dari itu pembentukkan karakter mulia haruslah dimulai sedini mungkin.

Upaya untuk membantu perkembangan pribadi dan potensi anak usia dini dalam menanamkan pendidikan karakter, dapat melalui sebuah media lisan yakni dengan media bercerita. Menurut beberapa survey oleh ahli anak mengatakan bahwa dalam masa perkembangannya anak paling banyak belajar melalui

(2)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017

115

mendengar dan melihat kemudian mempraktekkannya.

Sulistyorini (2009: 2) yang mengatakan bahwa penyadaran nilai moral anak sangat tepat jika dilakukan melalui cerita atau dongeng sebab cerita atau dongeng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai dan estetika kepada anak.

Susastra Hindu telah menyiapkan metode belajar mulai dari anak usia dini hingga mereka para Jnani, orang yang berpengetahuan rohani. Olehnya, dalam berbagai Kitab Purana ditemukan banyak cerita yang menggambarkan berbagai hal seperti keyakinan, bhakti, kekuatan, tabah hati, keberanian dan berbagai nilai hidup lainnya. Cerita Maharaja Dhruva dan Prahlada adalah cerita yang sangat populer yang diambil dari Kitab Bhagavata.

II. Pembahasan

Dewasa ini sangat diperlukan pendidikan pada anak usia dini untuk pembentukan karakter anak, karena Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa. Tentang fenomena degradasi moral yang melanda anak-anak sering dijumpai saat ini. Zaman sekarang anak tumbuh dewasa tanpa adanya pembekalan karakter, untuk itu sebuah pendidikan karakter perlu diberikan kepada anak, mengingat merekalah kelak harapan dalam membangun bangsa.

Menurut Undang Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional juga bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Pada jalur pendidikan formal maka pendidikan yang paling dasar adalah PAUD sehingga pendidikan karakter secara formal juga dimulai di sini. Pendidikan karakter yang kuat dan kokoh merupakan hal yang penting dan harus ditanamkan sejak dini agar anak bangsa menjadi pribadi yang unggul seperti yang diharapkan dalam tujuan Pendidkan Nasional dan dapat memperkokoh bangsa dari pengaruh negatif globalisasi.

Upaya untuk membantu perkembangan pribadi dan potensi anak usia dini dalam menanamkan pendidikan karakter, dapat melalui sebuah media lisan yakni dengan media dongeng atau bercerita serta dibarengi dengan media bermain untuk anak usia dini. Menurut beberapa survey oleh ahli anak mengatakan

(3)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017 116

bahwa dalam masa perkembangannya anak paling banyak belajar melalui mendengar dan melihat kemudian mempraktekkannya.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendidikan berbasis agama dan budaya yang positif. Salah satunya caranya adalah

dengan mengenalkan dan membiasakan anak untuk

mendengarkan, membaca cerita-cerita Purana yang kaya akan nilai moral. Menurut pandangan Sulistyorini (2009: 2) yang mengatakan bahwa penyadaran nilai moral anak sangat tepat jika dilakukan melalui cerita atau dongeng sebab cerita atau dongeng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai dan estetika kepada anak. Tujuan dari hal tersebut yakni melalui cerita-cerita dalam Purana, anak diajarkan untuk mengambil hikmah, kesimpulan dan pesan moral yang berbudi luhur tanpa merasa digurui, karena sebuah cerita lebih berkesan daripada sebuah nasehat murni atau tutur kata yang secara langsung disampaikan. Anak-anak sangat menyukai kegiatan bercerita. Bercerita untuk anak menurut Musfiroh (2008: 20) memberi suatu nilai penting bagi anak dengan beberapa alasan yaitu antara lain:

1. Merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak selain keteladanan;

2. Merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar keterampilan lain seperti menyimak, berbicara, membaca dan menulis;

3. Memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain (melatih kepekaan sosial),

4. Memberi contoh pada anak cara menyikapi suatu masalah, memberi pelajaran pada anak untuk mengendalikan keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat,

5. Memberikan barometer sosial pada anak,

6. Memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat dibandingkan melalui penuturan dan perintah langsung,

7. Memberi ruang gerak pada anak agar nilai yang diperoleh dalam cerita dapat diaplikasikan,

8. Memberi efek psikologis yang positif antara pencerita dan pendengar, seperti kedekatan emosional,

9. Mengembangkan kemampuan untuk merangkai hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa dan membantu anak untuk belajar menelaah kejadian disekitarnya,

10. Memberikan daya tarik pada anak karena memberi efek rekreatif dan imajinatif,

11. Mendorong anak untuk memberikan makna bagi proses belajar terutama mengenai empati sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis dalam memandang masalah dari sudut pandang orang lain.

Dengan demikian kegiatan bercerita memberi nilai positif bagi anak untuk dikembangkan dan menjadi kebiasaan hidup

(4)

sehari-SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017

117 hari. Susastra Hindu telah menyiapkan metode belajar mulai dari

anak usia dini hingga mereka para Jnani, orang yang berpengetahuan rohani. Metode bercerita memang merupakan cara sejak jaman lampau dalam pendidikan anak usia dini. Olehnya, dalam berbagai Kitab Purana ditemukan banyak cerita yang menggambarkan berbagai hal seperti keyakinan, bhakti, kekuatan, tabah hati, keberanian dan berbagai nilai hidup lainnya. Cerita Maharaja Dhruva dan Prahlada adalah cerita yang sangat populer yang diambil dari kitab Bhagavata. Kedua cerita ini dengan tokoh utama anak-anak sehingga dianggap sangat cocok sebagai media pembelajaran unggul.

2.1 Cerita Druva dan Prahlada A. Druva

Menurut kitab Wisnupurana, pada kehidupan sebelumnya, Druwa merupakan seorang brahmana yang berteman dengan seorang pangeran yang tampan dan kaya raya. Brahmana tersebut memuja Wisnu dengan setia. Setelah memperoleh anugrah Wisnu, brahmana tersebut memohon agar ia dilahirkan kembali sebagai seorang pangeran. Maka, brahmana tersebut bereinkarnasi sebagai Druwa, putra Raja Utanapada. Ayah Druwa memiliki istri lain yang bernama Suruci, dan putranya yang lain bernama Utama. Suruci dan Utama lebih disayangi oleh ayahnya daripada dia dan ibunya. Saat Druwa melihat Utama duduk di pangkuan ayahnya, maka sebagai seorang anak timbulah hasratnya untuk menerima kasih sayang seperti yang diterima oleh Utama. Namun Suruci melarangnya karena Utama yang akan dinobatkan sebagai raja dan Druwa kurang disayangi sehingga tak pantas menerima kasih sayang sebagaimana yang diterima oleh Utama. Suruchi berteriak kepadanya, "Kamu tidak boleh duduk di sana. Jika Kamu ingin duduk di pangkuan raja Kamu harus membuktikan kelayakan dan menjalani penebusan dosa yang serius." Kemudian Druva pun sedih lalu mengadukan hal tersebut pada ibunya, Suniti. Suniti mengatakan bahwa Suruci dan Utama telah melakukan perbuatan baik pada kehidupannya dahulu, sehingga ia berhak mendapatkan pahala yang baik. Apa yang diterima oleh Druwa dan Suniti mungkin karena mereka telah melakukan perbuatan yang tidak baik pada kehidupannya yang lampau. Setelah mendengar nasihat ibunya, Druwa merelakan Utama sebagai pewaris tahta, sedangkan ia sendiri bertekad untuk memperoleh apa yang belum pernah diperoleh ayahnya, yaitu pergi ke suatu tempat yang tak seorang pun pernah mencapainya. Dhruva memutuskan untuk pergi ke hutan dan menyerahkan diri kepada Dewa Wisnu dengan berdoa kepada-Nya. Di tengah

jalan ia bertemu Maharsi Narada, yang berusaha

menghentikannya. "Anda hanya seorang anak kecil. Hutan ini penuh dengan binatang berbahaya. Bagaimana Kamu akan tahan dengan musim dingin dan musim panas,pulanglah" katanya.

(5)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017 118

Dhruva menjawab, "O Sang Sadhu yang bijak! Bahkan dengan mengorbankan hidup dan kerasnya hutan, saya akan membuktikan diri layak untuk duduk di pangkuan raja, ayahku, dengan menjalani tapa dan menyenangkan Tuhan." Tapa berarti berpuasa, bermeditasi dan hidup sangat sederhana. Narada senang dengan dedikasi dan keberanian Dhruva, dan ia menunjukkan kepadanya tempat dan metode untuk berlatih penebusan dosa. Kemudian Dhruva mencapai tempat di hutan yang disebut Madhuvan. Dia berdiri di atas satu kaki dan mulai berdoa kepada Tuhan. Dhruva begitu serius dalam Tapa, kesulitan hidup hutan tidak mempengaruhi sama sekali. Dia hanya punya satu tujuan - untuk menyenangkan dan untuk bertemu dengan Tuhan. Ia berdoa selama lebih dari lima bulan, berdiri dengan satu kaki. Suatu hari Bhagwan Wisnu senang dengan pengabdiannya. "Saya senang dengan pengabdianmu, anakku. Katakan padaku, apa yang kau inginkan?" Sebenarnya, Druwa merasa sangat puas karena dapat menyaksikan Wisnu berdiri di hadapannya dan ia tidak menginginkan anugrah apa-apa. Karena Wisnu sudah telanjur datang dan menanyakan keinginannya, maka Druwa memohon agar ia menjadi pemuja Wisnu selamanya. Wisnu sangat berkenan dan memaksa Druwa meminta anugrah lainnya. Akhirnya Druwa meminta agar ia ditempatkan di puncak alam semesta. Wisnu pun mengabulkan permohonan tersebut. Druwa ditempatkan di atas langit, disebuah wilayah yang dikenal sebagai Dhruwaloka, yaitu bintang kutub. Namun itu diberikan setelah Druwa meninggal. Wisnu menyuruhnya kembali kepada ayahnya, karena ia ditakdirkan untuk memerintah kerajaan ayahnya selama 36.000 tahun, sedangkan saudaranya, Utama diramalkan akan hilang dalam sebuah ekspedisi perburuan.

B. Prahlada

Prahlada merupakan anak dari seorang raksasa yang sangat kuat bernama Hiranyakasipu. Pada suatu hari saat Hiranyakasipu sudah menguasai tiga dunia, Prahlada kecil berkata kepada sang ayah, “Ayahanda, aku sudah melihat semua orang terjerat jaring duka cita, karena khayalan tentang adanya “aku” dan “milikku”. Apakah kita dapat memiliki angin? Apakah kita dapat menyimpan sinar matahari? Apakah kita dapat mengurung sinar bulan di dalam kamar kita? Kita dapat udara segar dan angin sepoi-sepoi . Kita dapat berjemur di bawah sinar matahari atau menikmati cahaya purnama, tetapi tidak sekali-kali bisa memiliki, lebih-lebih untuk memonopoli mereka. Aku akan meninggalkan semuanya sehingga aku bisa menemui Dia, asal dan tujuan hidup dari semua makhluk. Beban keterikatan pada dunia inilah yang menghalangiku untuk menemui-Nya.” Kata-kata Prahlada menyinggung perasaan Hiranyakasipu yang ingin memiliki dan memonopoli segalanya. Hiranyakasipu sangat marah dan kemudian mencarikan guru baru bagi Prahlada.

(6)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017

119 Beberapa bulan kemudian Prahlada berkata pada sang ayah,

“ Ayah aku telah memahami sembilan jenis pengabdian: Shravanam (mendengarkan), Smaranam (mengingat berulang-ulang), Kirtanam (menyanyi lagu pujian), Archanam (ibadah), Vandanam (menghormati), Padasevanam (melayani semua ciptaannya), Dasyam (patuh dan melayani), Sakhya (persahabatan) dan Atmanivedanam (menyerahkan tubuh, pikiran dan segala sesuatu).” Hiranyakasipu sangat bangga dan berkata, “Sempurna anakku, bila kau melakukan salah satu saja hal tersebut untuk melayani aku, maka kau sudah memuaskan aku.” Prahlada berkata, “Tapi ayah ini adalah cara untuk memuja Narayana yang meliputi diri kita semua.” Hiranyaksipu menjadi marah. Hiranyakasipu hanya mengasihi putranya kalau sang putra patuh kepadanya. Para guru Prahlada menyampaikan bahwa mereka telah memberi pelajaran kepada Prahlada, tetapi dia tidak patuh dan hanya mengikuti pikirannya sendiri, sehingga mereka kewalahan. Hiranyakasipu melakukan tindakan kekerasan dengan memukulkan gagang lembingnya berkali-kali kepada Prahlada, tetapi dia tidak terluka. Seorang guru Prahlada kemudian berkata akan mencoba mengajar Prahlada sekali lagi dan segera membawanya keluar dari istana.

Prahlada ditanya teman seperguruannya darimana dia memahami tentang Narayana, sedangkan mereka mempunyai guru yang sama. Prahlada menyampaikan bahwa ibunya yang sedang hamil tinggal di rumah Resi Narada yang setiap hari mendendangkan lagu-lagu kirtan pemujaan kepada Narayana. Sejak lahir dirinya sudah memahami tentang Narayana dan baru setelah ayahnya selesai bertapa, dia kembali tinggal di istana. Para gurunya melaporkan pembicaraan anak-anak tersebut kepada Hiranyaksipu yang kemudian menjadikan dia sangat marah, “Panggil Prahlada sekarang, aku akan membunuhnya bila dia masih saja berlindung di kaki Narayana yang tidak pernah nampak oleh penglihatan kita semua!”

Prahlada mendatangi ayahnya dan menangkupkan kedua telapak tangannya dan kemudian mengambil debu dari kakinya. Hiranyakasipu tidak tersentuh oleh tindakan Prahlada dan berteriak, “Kamu anak bodoh, kamu adalah putra raja yang berkuasa atas tiga dunia, apapun yang kamu minta kepadaku pasti kukabulkan, akan tetapi kau tidak berlindung padaku, tetapi berlindung pada Narayana yang tidak nampak batang hidungnya. Sekarang kamu menjadi ancaman bagi bangsa asura. Batas kesabaranku telah habis, kamu akan kukirim ke Yama. Prahlada berkata dengan tenang, “Ayahanda pasti menganggap aku adalah seorang putra yang tidak baik. tetapi sebenarnya aku akan menyelamatkan ayahanda. Narayana adalah Hyang Maha Kuat, jauh lebih agung dibanding Brahma. Dunia diciptakan, dipelihara dan didaur-ulang olehnya. Narayana bukan musuhmu, adalah pikiranmu sendiri yang menjadi musuhmu. Ayahanda menuruti, tunduk dan bahkan menjadi budak dari pikiran ayahanda sendiri.

(7)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017 120

Buktinya ayahanda masih takut bahwa aku menjadi pengganggu dan ancaman kekuasaan ayahanda. Ada rasa takut dalam diri ayahanda, sedang dalam diriku tidak ada rasa takut, karena aku tidak berlindung pada pikiranku, aku berlindung pada Dia yang menciptakan pikiranku, yang selalu membimbingku lewat rasa nuraniku.”

Hiranyakasipu memuncak kemarahannya dan berteriak, “Bila Narayana itu ada tunjukkan dia dimana!” Dan pada saat Prahlada menjawab bahwa Narayana ada di mana-mana Hiranyakasipu berteriak apakah Narayana juga berada di dalam tiang yang kokoh yang menyangga ruangan itu dan dia langsung memukul tiang tersebut hingga roboh. Dan, dari dalam tiang muncul wujud yang mengerikan, bukan manusia dan bukan binatang, bukan makhluk ciptaan Brahma. Setengah manusia dan setengah binatang, kepalanya berbentuk seekor singa yang mengerikan dengan tubuh manusia sangat besar dan perkasa, Narasimha Avatara. Hiranyakasipu menyerang Narasimha tetapi dengan amat mudah dia dikalahkan dan diangkat olehnya dan dipangku di tengah pintu. Sekelebat Hiranyakasipu teringat permintaan dia kepada Brahma sewaktu bertapa. Kini dia sadar bahwa pikirannya belum sempurna, pikiran hanya terbatas pada apa yang didapat dari pengetahuan dan kekuatan imajinasinya belaka, dia tak dapat mengimajinasikan Narasimha. Hiranyakasipu juga melihat bahwa dia tidak di dalam rumah dan tidak di luar rumah, dia melihat langit dan nampak bahwa hari tidak siang dan tidak malam, matahari mulai tenggelam dan dia baru berpikir bahwa ini adalah saat kematiannya. Narayana dalam wujud Narasimha kemudian membunuh Hiranyakasipu.

Wujud mengerikan dari Avatara Narasimha menakutkan para dewa dan para asura, bahkan bumi bergolak dan samudera dan gunung-gunung menggigil. Para dewa kemudian menemui Laksmi agar datang menenangkan Narayana, akan tetapi dia tidak berani melakukannya. Brahma kemudian meminta Prahlada untuk menenangkan-Nya, dia mengataakan bahwa Narayana mewujud untuk melindungi bhakta terkasihnya. Prahlada bersujud dan menangis di kaki Narasimha dan mencuci kaki Narasimha dengan air matanya dan dia merasakan ada tangan lembut yang mengelus punggungnya. Tiba-tiba Prahlada dapat menyaksikan wajah Narayana yang sesungguhnya. Ada rasa keharuan dan takjub dan ia semakin tidak dapat membendung air matanya, “Duh Gusti, hamba adalah asura yang paling berbahagia karena telah mendapatkan anugerah untuk melihat Gusti. Hamba berterima kasih atas pertolongan Gusti dan juga memohonkan ampun kejahatan ayah hamba, karena ketidaktahuannya tentang keagungan Gusti. Narayana menjawab, “Semoga demikian. Sebab kamu telah dilahirkan dalam keluarga Hiranya, ayahmu dan dua puluh satu bentuk yang berasal dari nenek moyangnya telah dibersihkan. Ia telah mencapai tempat pitri, leluhurmu. Adakan

(8)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017

121 upacara untuknya. Dan ketahuilah semua keturunanmu akan

mengasihi diri-Ku.”

2.2 Nilai Pembentuk Karakter Mulia pada Cerita Druva dan Prahlada

Kedua cerita di atas mengajarkan nilai-nilai yang luar biasa yang ditunjukkan oleh seorang anak kecil. Keberanian, kebulatan tekat, ketabahan serta keteguhan hati, kemantapan pikiran, dedikasi dan bhakti yang kokoh mengantarkan mereka pada pencapaian yang luar biasa. Bahkan Dewa Wisnu berkenan hadir memberikan karunia kepada mereka.

Dalam cerita Dhruva, nilai-nilai ksatria sangat kental, dimana Dhruva menunjukkan sifat ksatria yang luar biasa. Sebagaimana Sri Krishna dalam Bhagavad Gita melukiskan sifat-sifat seorang ksatria, yakni;

śauryaṁ tejo dhṛtir dākṣyaṁ yuddhe cāpy apalāyanam dānam iśvara-bhāvaś ca kṣātraṁ karma svabhāva-jam

Bhagavad Gita XVIII.43 Artinya:

“Kepahlawanan, kewibawaan, ketabahan hati, pandai memanfaatkan keadaan, keberanian di medan perang, kedermawanan dan kepemimpinan adalah sifat-sifat pekerjaan yang wajar bagi para kṣatriya. “ (Prabupada, 2006 : 820).

Kepahlawanan, kewibawaan, ketabahan hati, pandai memanfaatkan keadaan, keberanian di medan perang, kedermawanan dan kepemimpinan merupakan kualifikasi bagi para pemimpin dan kaum kṣatriya yang bertugas melindungi dan mengatur negara. Kualifikasi ini ditegaskan kembali dalam Bhagavata Purana. Bhagavata Purana bab VIII. 26 menceritakan saat dimana Dhruva meninggalkan rumahnya karena ketidak-adilan yang diterimanya.

aho tejaḥ kṣatriyāṇāṁ māna-bhaṅgam amṛṣyatām bālopy ayaṁ hṛda dhatte yat samātur asad-vacaḥ

Artinya:

“Betapa menakjudkan para kṣatriya yang perkasa. Mereka tidak bisa menoleransi bahkan pelanggaran kecil sekalipun terhadap harga diri mereka. Bayangkan ! Anak ini hanyalah seorang anak kecil, namun terbukti bahwa ia tidak bisa menoleransi kata-kata kasar ibu tirinya. “

Secara alami darah kṣatriya Dhruva sangat aktif. Prabupada (2009:400) menyatakan kualifikasi kṣatriya dijelaskan dalam Bhagavad Gita. Dua kualifikasi penting bahwa kṣatriya memiliki harga diri dan tidak lari dari medan perang. Dalam sloka

(9)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017 122

berikutnya Rsi Agung Nārada menasehatkan agar Dhruva kembali ke rumah dan bermain-main sebagaimana layaknya seorang anak kecil dan tidak perlu tersinggung dengan ucapan ibu tiri yang telah merendahkannya. Sang Rsi ingin memberi kesan dan menguji bahwa ia hanyalah seorang anak kecil dan tidak perlu terpengaruh dengan kata-kata penghinaan atau penghormatan.

Bukan hanya itu, Rsi Nārada menegaskan bahwa pertapaan merupakan hal yang sangat sulit dan mustahil dilakukan oleh seorang anak kecil. Akan tetapi segala nasehat Rsi Nārada yang sesungguhnya bermaksud menguji tekad Dhruva tidak berhasil mengurungkan niatnya. Dhruva sudah berketetapan hati untuk melakukan pertapaan keras guna memuaskan Personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Inilah kualifikasi lain dari seorang kṣatriya yakni teguh, kokoh pada pendirian.

Sementara cerita Prahlada menyiratkan nilai akan keteguhan hati, bhakti yang begitu kuat dan tidak tergoyahkan terhadap Tuhan, Dewa Wisnu. Kedua cerita populer tersebut mengajarkan pencapaian sesuatu dilakukan secara langsung, tanpa bantuan orang lain melainkan melalui keteguhan dan kekuatan diri. Kedua cerita tersebut mestinya menjadi cerita utama yang harus diajarkan kepada anak-anak Hindu demi membangun karakter yang baik. Cerita-cerita yang berkembang selama ini, dongeng yang penuh dengan kelicikan guna mencapai tujuan atau menyelamatkan diri dari bahaya, penuh tipu-tipu bahkan terhadap saudara atau teman, alih-alih ingin mengajarkan sifat kebalikannya yang benar dan santun, yang ditiru dan melekat justru sifat buruk yang ditampilkan oleh sejumlah tokoh dongeng. Olehnya, cerita-cerita pilihan purana mestinya menjadi bahan pembelajaran utama jika ingin membangun karakter unggul anak-anak Hindu.

III. Kesimpulan

Pembentukan SDM dimulai sejak usia dini. Semakin dini anak mengenal nilai-nilai baik maka semakin kuat fondasi karakternya dimasa yang akan datang. Kemampuan anak untuk menyerap berbagai informasi disekitarnya sangat luar biasa. Upaya untuk membantu perkembangan pribadi dan potensi anak usia dini dalam menanamkan pendidikan karakter, dapat melalui sebuah media lisan yakni dengan media bercerita. penyadaran nilai moral anak sangat tepat jika dilakukan melalui cerita atau dongeng sebab cerita atau dongeng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai dan estetika kepada anak.

Susastra Hindu telah menyiapkan metode belajar mulai dari anak usia dini hingga mereka para Jnani, orang yang berpengetahuan rohani. Olehnya, dalam berbagai Kitab Purana ditemukan banyak cerita yang menggambarkan berbagai hal seperti keyakinan, bhakti, kekuatan, tabah hati, keberanian dan berbagai nilai hidup lainnya. Cerita Maharaja Dhruva dan

(10)

SEMADI 2 | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 29 MEI 2017

123 Prahlada adalah cerita yang sangat populer yang diambil dari

Kitab Bhagavata. Kedua cerita ini dengan tokoh utama anak-anak sehingga dianggap sangat cocok sebagai media pembelajaran unggul. Kedua cerita populer tersebut mengajarkan pencapaian sesuatu dilakukan secara langsung, tanpa bantuan orang lain melainkan melalui keteguhan dan kekuatan diri. Kedua cerita tersebut mestinya menjadi cerita utama yang harus diajarkan kepada anak-anak Hindu demi membangun karakter yang baik. Daftar Pustaka

Adhi, M., K. (2014). Model Pendidikan Karakter Berbasis Mendongeng. Jurnal Santiaji Pendidikan. Vol.4 (1). hal 1-12 Essa, Eva L. 2003. Introduction to Early Childhood Education.

Canada: Thomson Learning, Inc

Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Memilih, Menyusun, dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana

Mustakim, Muh. Nur. 2005. Peranan Cerita dalam Pembentukan Perkembangan Anak TK. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Prabhupada, Sri Srimad A.C Bhaktivedanta Swami. 2006.

Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Hanuman Sakti:

Bhaktivedanta Book Trust International.

Prabhupada, Sri Srimad A.C Bhaktivedanta Swami. 2009. KRSNA Personalitas Tuhan Yang Maha Esa.ISCKON. Hanuman Sakti Prabhupada, Sri Srimad A.C Bhaktivedanta Swami. 1982. Sri

Isopanisad. Jakarta: PT. Pustaka Bhakti.

Sujiono, Yuliani Nurani. 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indek

Sudarsana, I. K. (2014, October). Peningkatan Peran Pendidikan Agama Hindu dalam Membangun Remaja Humanis dan Pluralis. In Seminar Nasional (No. ISBN : 978-602-71567-0-8, pp. 26-32). Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar. Sulistyorini,2009. Evaluasi Pendidikan Dalam Meningkatkan Mutu

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Anak  Usia  Dini  (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan hulu  dalam  pengembangan  sumber  daya manusia. Periode emas dalam tumbuh kembang

Anak-Anak Sedang Melakukan Hompimpa Sebelum Bermain Permainan Tradisional Engklek Perubahan sikap ataupun karakter pada anak dapat dilihat setelah melaksanakan permainan

Diantara nilai-nilai pendidikan karakter yang muncul pada empat episode film Nussa yang juga dapat ditanamkan pada anak usia adalah religius, kerja keras, mandiri,

Nilai cinta tanah air sangat perlu ditanamkan sejak dini dengan melihat karakteristik bangsa yang multikultural sehingga diperlukan pendidikan yang mampu menstimulasi agar

Penanaman karakter pada anak usia dini merupakan salah satu proses penting yang harus diberikan pada anak melalui pembelajaran, salah satu cara yang dainggap tepat untuk

Nilai cinta tanah air sangat perlu ditanamkan sejak dini dengan melihat karakteristik bangsa yang multikultural sehingga diperlukan pendidikan yang mampu menstimulasi agar

Pendidikan karakter dan moral sangat penting diberikan kepada anak sebagai generasi bangsa karakter adalah “kualitas atau kekuatan mental, moral, akhlak atau budi pekerti

Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter positif anak akan dapat terlihat, seperti yang digambarkan oleh Jan Wallander, “Kemampuan sosial dan