• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Progresif Untuk Pemberantasan Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Progresif Untuk Pemberantasan Korupsi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Progresif Untuk Pemberantasan Korupsi

Oleh: Husni Mubarak* I Pendahuluan

Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit utama yang hinggap di dalam tubuh bangsa ini. Sebagian birokrat di pemerintahan, politisi, kepala daerah, hingga aparat penegak hukum pernah ada yang terlibat kasus tindak pidana korupsi. Korupsi di Indonesia hadir dalam berbagai sektor kehidupan: dari pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur dan lain-lain.

Menurut (alm) Prof. Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 2010: 89), korupsi di Indonesia pada tahun 1950-an masih dapat dimasukkan ke dalam kategori awal, sedangkan sekarang ini barangkali sudah berada pada tahap menuju yang terakhir. Melihat kenyataan tersebut, korupsi telah mengakar di Indonesia sejak zaman orde lama dulu hingga masa reformasi sekarang.

Saat ini, indeks persepsi korupsi Indonesia yang dirilis oleh Transparency International tahun 2011 menunjukkan Indonesia meraih skor 3.0. Dimana nilai 0 adalah negeri yang sangat korup dan nilai 10 adalah negeri yang bersih dari korupsi. Lalu, Indonesia menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur (Liputan 6 SCTV, 9 Desember 2011). Korupsi memang sudah merusak kehidupan bangsa Indonesia ini. Dampak yang dirasakan dari korupsi memang tidak dirasakan secara langsung, tetapi pelan-pelan bisa “membunuh” masyarakat dan bangsa ini. Dampak dari korupsi bisa terhadap akses layanan kesehatan dan pendidikan yang belum bisa dirasakan oleh orang miskin maupun ada kisah tentang jembatan yang roboh. Korupsi itu ibarat benalu yang selalu menghisap uang rakyat dan negara.

Korupsi di Indonesia tidak terjadi dengan sendirinya dan hanya dilakukan oleh individu-individu. Korupsi di Indonesia juga terjadi secara “berjamaah” oleh sekelompok orang. Lalu, korupsi juga bukan hanya menyangkut masalah penyelewengan uang negara saja, melainkan lebih kompleks lagi. Pelayanan publik yang berbelit-belit dan tidak maksimal hasilnya juga merupakan sebuah bentuk korupsi (Satjipto Rahardjo, 2010: 51). Budaya “suap-menyuap” di pengadilan juga merupakan perbuatan korupsi.

(2)

Setelah reformasi, upaya pemberantasan korupsi dimulai dengan membentuk lembaga-lembaga anti korupsi. Pertama, Indonesia pernah mempunyai lembaga yang bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang akhirnya dibatalkan status hukumnya oleh Mahkamah Agung melalu judicial review (Satjipto Rahardjo, 2010: 187). Hal ini jelas sangat disayangkan sekali. Niat dan upaya pemberantasan korupsi melalui lembaga tersebut gagal dilaksanakan. Selain TGPTPK, berdiri juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdiri hingga sekarang.

Lalu ada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor): pengadilan khusus untuk terdakwa kasus tipikor. Terjadi masalah dalam pengadilan ini: banyak terdakwa dibebaskan oleh hakim di Pengadilan Tipikor. Kasus terakhir adalah dibebaskannya terdakwa korupsi kasus jalan tol Semarang-Solo di Pengadilan Tipikor Semarang (Detiknews, 9 Januari 2012).

Sudah banyak terjadi masalah korupsi di Indonesia dan upaya penegakan hukum yang seharusnya diharapkan oleh masyarakat untuk memberantas penyakit ini ternyata juga lemah dalam penindakan. Terkadang masyarakat dibuat kecewa oleh aparat penegak hukum. Pengadilan sebagai tempat masyarakat berharap; tempat dimana keadilan dapat terwujud. Yang terjadi adalah, pengadilan berubah menjadi pasar yang memperdagangkan putusan pengadilan (Satjipto Rahardjo, 2010: 90). Padahal, tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk keadilan dan menciptakan ketertiban dan juga keseimbangan dalam masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 2010: 99).

Untuk itu, diperlukan model penegakan hukum yang progresif untuk memberantas korupsi yang sudah kronis ini. Dibutuhkan kesadaran kolektif antara aparat penegak hukum dan juga masyarakat untuk bahu-membahu memberantas korupsi. Paradigma hukum progresif sendiri itu adalah bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum (Satjipto Rahardjo, 2010: 61). Gagasan hukum progresif adalah untuk membebaskan dari cara berhukum yang selama ini terjadi. Dalam konteks pemberantasan korupsi, hukum progresif membantu kita untuk menegakkan keadilan secara penuh dan membebaskan bangsa Indonesia dari bahaya korupsi.

Selain hukum progresif, upaya pemberantasan korupsi juga harus masuk dalam ranah pendidikan. Korupsi sudah semestinya menjadi musuh bersama bagi bangsa ini. Sejak kecil, anak-anak Indonesia telah didik dan diberikan pemahaman bahwa korupsi adalah perbuatan yang sangat jahat, keji, dan sifatnya melanggar hak-hak orang lain. Pendidikan anti korupsi

(3)

harus dilakukan sejak dini dan semestinya mata kuliah anti korupsi diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia.

II Permasalahan

1. Di tahun 2011 terjadi permasalahan terhadap kinerja Pengadilan Tipikor daerah. Pengadilan Tipikor Daerah tersebut lahir atas dasar hukum. Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 46 Tahun 2009. Saat ini telah ada 33 Pengadilan Tipikor di tiap provinsi di Indonesia.

Hakim yang bertugas di pengadilan ini terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc yang diseleksi oleh Mahkamah Agung. Permasalahan terjadi: banyak hakim di Pengadilan Tipikor yang mempunya track record yang buruk.

Menurut laporan majalah Tempo (14-20 November 2011), seorang hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor Bandung yang bernama Ramlan Comel pernah menjadi terdakwa korupsi di Pekanbaru, Riau tahun 2005. Saat ini, ketika dia menjadi Hakim Tipikor di kota Bandung, dia membebaskan dua terdakwa kasus korupsi: Bupati Subang, Eep Hidayat dan Walikota Bekasi, Mochtar Mohamad. Selain di Bandung, bebasnya terdakwa juga terjadi di Pengadilan Tipikor daerah yang lain. Di Jakarta, hakim tipikor membebaskan Mieke Hanriett Bambang, Sekretarus Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah yang didakwa menyembunyikan dokumen aliran dana Yayasan Pendidikan BI senilai Rp 100 miliar. Di Bandung, tiga terdakwa yang menjabat sebagai kepala daerah tingkat kabupaten/kota divonis bebas. Di Surabaya, 21 terdakwa divonis bebas dan di Samarinda, terdapat 14 terdakwa yang bebas. Terakhir di Semarang, 1 orang terdakwa bebas (Detiknews, 9 Januari 2012).

2. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2004 adalah 2.0 dan di tahun 2010 meningkat menjadi 2.8 (Denny Indrayana, 2011: 200-201). Lalu di tahun 2011 IPK Indonesia menjadi 3.0 (Liputan 6 SCTV, 9 Desember 2011). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memang masih belum terbebas dari korupsi, tetapi ada upaya untuk pemberantasan korupsi. Kenaikan IPK Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2011

(4)

wajib kita berikan apresiasi terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum. Namun, kita jangan cepat puas. Kapan kita bisa mengejar IPK melebihi angka 8 atau bisa mengejar Singapura yang memiliki IPK 9.3 dari ukuran 10 untuk negeri yang terbebas dari korupsi? Oleh karena itu, mulai saat ini upaya pemberantasan korupsi harus benar-benar dilakukan secara kolektif oleh seluruh elemen bangsa Indonesia seperti yang dicita-citakan (alm) Prof. Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 2010: 131-135). III Pembahasan Masalah

1. Dalam menegakkan hukum, ada tiga unsur yang harus diperhatikan: kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum (Sudikno Mertokusumo, 2010: 207). Kepastian dalam pemberantasan korupsi telah diatur dalam Undang-Undang yang terkait dengan masalah tindak pidana korupsi. Selain kepastian hukum, hal yang harus diperhatikan adalah unsur keadilan dan kemanfaatan. Putusan hakim harus bersifat adil dan tercipta unsur kemanfataan agar masyarakat puas terhadap putusan hakim tersebut. Hukum adalah untuk manusia, jadi hukum harus memberikan manfaat untuk manusia banyak.

Seharusnya kita tidak mendengar lagi berita tentang bebasnya terdakwa tindak pidana korupsi apabila hakim yang memimpin jalannya persidangan itu benar-benar menjadi hakim yang progresif dan mengutamakan keadilan. Hakim diharapkan dapat menemukan hukum atas suatu peristiwa secara tepat. Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret (Sudikno Mertokusumo, 2010: 210). Dalam penemuan hukum, hakim boleh tunduk terhadap undang-undang dan juga bisa sedikit “melenceng” dari undang-undang semata yang biasanya digunakan metode interpretasi atau penafsiran hukum (Sudikno Mertokusumo, 2010: 217-219).

Sumber hukum selain undang-undang ada yang dinamakan sebagai yurisprudensi. Menurut (alm) Prof. Sudikno Mertokusumo, yurisprudensi adalah ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan pengadilan. Yurisprudensi merupakan produk yudikatif yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum (Sudikno Mertokusumo, 2010: 146).

(5)

Dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, putusan hakim harus berdasarkan undang-undang dan juga penafsiran atas undang-undang tersebut serta yurisprudensi. Diharapkan putusan hakim tersebut benar-benar berkualitas dan mempunyai efek jera bagi para koruptor. Semoga akan semakin banyak hakim yang berpikiran progresif untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Semoga tidak ada lagi hakim yang membebaskan terdakwa korupsi. Yurisprudensi yang dimiliki hakim harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Jika banyak hakim-hakim yang progresif dan mempunyai keberanian untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil, niscaya terjadi kemajuan hukum di Indonesia dan upaya pemberantasan korupsi tidak jalan ditempat. Lalu, bukan mustahil Indonesia akan terbebas dari korupsi suatu saat nanti. Menurut (alm) Prof. Satjipto Rahardjo, dalam sejarah kemajuan-kemajuan dalam hukum tidak dicapai melalui “menjalankan hukum yang biasa-biasa saja” melainkan melalui keberanian menempuh langkah rule breaking yang visioner (Satjipto Rahardjo, 2010: 169). Jadi, penegakan hukum yang progresif wajib dilakukan dan hal ini dimulai dari keberanian hakim dan juga aparat penegak hukum yang lain.

2. Ketika kita melihat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dipaparkan diatas, setidaknya Indonesia dalam kurun waktu sekitar 7 tahun telah mengalami peningkatan skor. Saat ini, skor IPK kita harus ditingkatkan kembali. Oleh karena itu, hal ini menjadi tugas bersama bagi bangsa Indonesia untuk bersama-bersama “membersihkan” negeri ini. Kita sebagai anak bangsa, jangan hanya mengutuk gelap, mari pula kita nyalakan cahaya. Semangat individual harus kita hapuskan sejenak dan membangun semangat baru yang lebih kolektif dan progresif. Dari masyarakat biasa hingga aparat penegak hukum saling bahu-membahu dalam rangka menciptakan Indonesia yang terbebas dari korupsi.

Mengutip pernyataan (alm) Prof. Satjipto Rahardjo: kultur kolektif secara progresif akan membebaskan kita dari praksis liberal dan berani menempuh cara lain demi menolong bangsa ini dari kehancuran karena praktik korupsi yang sudah meluas (Satjipto Rahardjo, 2010: 134).

(6)

Korupsi yang terjadi di Indonesia telah mengalami fase yang sangat akut atau kronis. Jika hal ini dibiarkan saja, kita tinggal menunggu kehancuran negeri ini saja. Tentu kita tidak ingin negeri ini hancur. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang progresif untuk “membersihkan” Indonesia dari bahaya korupsi.

Penegakan hukum yang benar, tegas, adil, dan progresif adalah alat utama untuk perang terhadap koruptor dan korupsi. Selain itu, dibutuhkan pula dukungan masyarakat agar program pemberantasan korupsi ini dapat berjalan dengan lancar dan berhasil. Membangun kesadaran kolektif adalah penting sekali.

Selain penindakan terhadap orang-orang yang terlibat kasus korupsi, penting pula menciptakan iklim pencegahan agar orang-orang tidak melakukan korupsi. Sistem-sistem yang masih korup di Indonesia dalam segala lini kehidupan juga harus dihapuskan; diganti dengan sistem yang menjunjung tinggi integritas, moralitas, dan kejujuran. Gagasan ini harus dipikirkan betul dan diterapkan. Pendidikan anti korupsi sejak dini juga harus dikembangkan. Sejak kecil, anak Indonesia telah diajarkan untuk hidup jujur.

Jika gagasan-gagasan tersebut dapat diwujudkan, maka suatu saat nanti akan ada “cahaya terang” di Indonesia. Negeri ini akan terbebas dari penyakit yang selama ini menjadi benalu: korupsi. Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Sekarang kita hanya bisa berharap, bertindak, dan juga berdoa untuk keselamatan bangsa dan negara ini. Indonesia sedang berada dalam proses untuk meraih “cahaya terang” tersebut. Tetap optimis untuk Indonesia yang lebih baik.

*Husni Mubarak adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) dan tulisan ini adalah tugas akhir dalam mata kuliah Bahasa Indonesia di FH Undip semester 1.

(7)

Daftar Pustaka

Denny, Indrayana. 2011. Indonesia Optimis. Jakarta: BIP.

Satjipto, Rahardjo. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Sudikno, Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

Artikel

“Pengadilan Korupsi”, Majalah Tempo, 14-20 November 2011. Internet

“Bahaya Laten Korupsi”, Liputan 6 SCTV, http://berita.liputan6.com/read/366697/bahaya-laten-korupsi, 9 Desember 2011,

“Pengadilan Tipikor Semarang Bebaskan Terdakwa Korupsi Kasus Jalan Tol”, Detiknews, http://www.detiknews.com/read/2012/01/09/193145/1810954/10/pengadilan-tipikor-semarang-bebaskan-terdakwa-korupsi-kasus-jalan-tol, 9 Januari 2012

Referensi

Dokumen terkait

Tentang pemenuhan hak politik, Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentunya wajib menjalankan dan melindungi hak-hak politik

04 Jumlah Tenaga Teknis di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang Mengikuti Bimbingan Teknis Yustisial 4.. 05 Jumlah Aparatur di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan pengalaman kerja terhadap variabel persepsi etis

Kereta api sebagai salah satu moda transportasi publik, merupakan sarana transportasi yang belakangan ini menjadi alternatif pemilihan moda yang sangat efektif dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perkuatan tanah pasir yang menggunakan geogrid dengan variasi panjang pondasi (L/B) dan variasi jarak antar

Keberadaan pusat-pusat ekonomi serta jarak dari pusat kota Yogyakarta yang tidak terlalu jauh menjadi penyebab wilayah ini berkembang dengan sangat cepat, selain

Interpretasi dari hasil geolistrik adalah lapisan Pasir pantai Basah dengan nilai resistivitas 1.06 - 6.61 Ωm, lapisan Pasir Pantai Kering dengan nilai resistivitas 16.5 - 41.2

rumah sakit, untuk mengurangi persentasi keterlambatan dan menurunnya kinerja karyawan.Hasil selanjutnya yang ditunjukkan dalam variabel kompetensi menunjukkan