• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menekuni kerja kritik sastra memerlukan pengetahuan luas. Tanpa pengetahuan luas, kritik yang disajikan dangkal. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa pengetahuan mengenai kesastraan itu sendiri, misalnya tentang sejarah ataupun teori sastra, atau pengetahuan di luar kesastraan, misalnya sosial budaya, politik dan ekonomi. Bagi Frye (2000: 3) kritik sastra bukan sesuatu yang sederhana dari bagian besar sebuah aktivitas kesastraan, melainkan sebagai bagian yang esensial. Posisinya yang sangat esensial itulah yang menjadikan kritik sastra layak untuk dikaji.

Kritik sastra pada hakikatnya bukan disiplin studi yang berdiri sendiri (Davi & Schleifer, tt: ix). Kritik sastra dapat bekerja bersama-sama dengan disiplin ilmu yang lain. Davi & Schleifer (tanpa tahun: 8) menunjukkan bahwa kritik sastra terkini telah bersinggungan dengan praktik kebudayaan, seperti bahasa, pengajaran, politik, psikologi, filsafat, ideologi dan sosiologi.

Persingungan antara disiplin ilmu kritik sastra dengan disiplin ilmu lain menimbulkan dua implikasi. Pertama, sebagaimana yang dikatakan Rokhman (2003: 4), memiliki keuntungan sebab dapat meminimalisasi keterkucilan kritik sastra dengan disiplin ilmu lain. Keuntungan lainnya yani menciptakan kesejajaran objek penelitian, memicu toleransi antar disiplin ilmu, memperkaya

(2)

pengetahuan kritikus dan meluasnya predikat kritikus yang tidak hanya disandang oleh seorang ahli atau akademisi sastra. Kedua, menimbulkan persoalan di dalam metode kerja kritik. Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam perdebatan kritik akademik dengan kritik para sastrawan.

Kritik Ganzheit yang menggabungkan antara disiplin ilmu kritik sastra dan disiplin ilmu psikologi, menuai banyak tanggapan dari sisi metode yang digunakan. Penggabungan itu sama dengan yang dilakukan Easthope melalui apa yang disebut sebagai praktik penandaan (signiftying practice). Easthope (tanpa tahun: 5) menyadari bahwa mengkombinasikan kajian teks sastra dengan budaya populer dalam praktik penandaan akan menimbulkan polemik. Salah satu polemik tersebut adalah persoalan mengkatagorikan antara teks sastra dengan teks di luar sastra.

Banyak persoalan lain di dalam kritik sastra Indonesia yang telah dikemukakan oleh para pakar, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Pradopo (2008)1 dan Semi (1985)2. Persoalan yang dikemukakan oleh kedua pakar tersebut hingga kini masih relevan untuk dicermati dan diperhatikan. Bahkan, tampak bahwa pemikiran mengenai persoalan kritik sastra yang dikemukakan oleh kedua pakar tersebut telah menjadi sebuah paradigma sebagaimana yang dikonsepkan

1 Persoalan kritik sastra Indonesia meliputi kurangnya tempat, kurangnya kritikus yang profesional, terdapat perbedaan pandangan antara kritikus dengan sastrawan, tidak sesuainya teori kritik dengan corak dan wujud kesastrawan Indonesia modern yang bersifat nasional dan regional, pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik (hlm. 96).

2 Perkembangan kritik sastra yang kurang memuaskan akibat dari kurangnya majalah sastra, kritik sastra sebagai kritik kewartawanan, kurangnya pendidikan sastra, anggapan yang tersebar mengenai sastra yang hanya permainan belaka, kurangnya kebiasaan membaca, kurangnya terjemahan sastra dunia, dan kurangnya kemampuan bahasa asing (hlm. 68).

(3)

oleh Faruk (2001: 7; 2012: 108), paradigma terbentuk apabila terjadi kesepakatan pada komunitas tertentu mengenai berbagai pemikiran yang dianggap normal.3

Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya persoalan-persoalan kritik sastra yang juga disepakati oleh para aktivis sastra, misalnya anggapan mengenai kredibilitas kritikus akademik yang masih di luar harapan (Muhammad, 2010:xii; Saidi, 2006: 32—34; Situmorang, 2009: 16), minimnya kritik sastra (Darma, 1992: 366; Mahayana, 2009: 13; Malna, 2000: 119; 125; Sarjono, 2001: 157), dan atau masih dinilainya kekakuan kritik sastra yang hidup di lingkungan akademis (Mahayana, 2005: 225—226; 2009: 13; Lilis A, 2009: 13). Selain itu, persoalan profesionalisme dan kemampuan kreatif seorang kritikus dalam menggugah pembacanya (Damono, 1983: 37—38; Darma, 2007: 110; Kleden, 2004: 19), masih selalu diperbincangkan.

Persoalan kritik sastra lainnya yang telah menjadi paradigmatik sifatnya ialah sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahayana (2007: xii) dan Salam (2008) yang melihat praktik kritik dalam sastra Indonesia masih terpolariasi pada analisis intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Padahal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Davi & Schleifer di atas, perkembangan kritik sastra saat ini telah mengarah pada kerja kritik yang lintas disiplin. Keadaan semacam itu dapat menyuguhkan sebuah konstruksi kewacanaan dalam kritik sastra.

Implikasinya, kritik sastra menjadi bagian dari formasi diskursif dalam pembentukan subjek dan realitas dan dengan demikian dapat pula terlibat dalam

3

Paradigma yang dimaksud dalam teks ini, diakui Faruk, belum seketat paradigma dalam konsep Khun (2001: 10; 2012: 111). Paradigma mengenai kritik sastra menurut Faruk (2009:1—13; 2012: 59—75), berupa kritik sastra humanis dan pembentukan subjek, kritik sastra strukturalis dan penaklukan subjek, kritik sastra dikursif atau pasca-struktural, kritik sastra pasca-marxis, kajian-kajian budaya, dan pendekatan kritis.

(4)

pembentukan subjek dan realitas dan dengan demikian dapat pula terlibat dalam kepentingan ekonomi politik tertentu (Faruk, 2009: 13). Terdapat relasi yang saling terkait antara kritik sastra sebagai sebuah disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. Hal senada disampaikan oleh Kleden (2004: 200) yang mengatakan bahwa kritik sastra adalah bagian dari kritik yang lebih luas: akademis, politis, kultural, ideologi, atau intelektual. Namun, wacana-wacana diskursif dalam kritik sastra Indonesia saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal. Masih kuat kecenderungan paradigma kritik sastra sebagaimana yang dikatakan Mahaya dan Salam di atas.

Paradigmatisasi kritik sastra juga dapat dilihat dari kemunculan H.B. Jassin dan A. Teeuw yang menurut Toda (1984: 25) merupakan dua nama besar yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah penelitian dan pengenalan sastra Indonesia modern. Berbagai tulisan kritiknya sering dijadikan acuan dalam penulisan kritik sastra. Dengan kata lain, apa yang ditulis oleh Jassin misalnya, telah dijadikan panutan atau pedoman dalam kesastraan Indonesia. Hal itu diungkapkan Faruk (2001: 11; 2012: 111) dengan menunjukkan bagaimana tulisan Jassin mengenai Chairil Anwar banyak ditiru dan dijadikan pedoman bagi pelajaran sastra di berbagai institusi pendidikan.

Layak kemudian untuk dicermati mengenai paradigma kritik sastra. Diperlukan landasan teoretis yang representatif dalam menentukan sebuah paradigma kritik sastra. Konsep paradigma sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas S. Khun dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) sangat

(5)

diperlukan dalam membantu dan menentukan landasan teoretis mengenai kritik sastra.

Penelitian ini akan mengkaji paradigma kritik sastra A. Teeuw. Teeuw sebagai seorang kritikus asing memiliki banyak pengaruh dalam khazanah sastra Indonesia. Terutama setelah Teeuw ikut membimbing langsung program doktoral sastra, kritik sastra diwujudkan dalam rangka penelitian sastra dengan memperkenalkan bermacam-macam metode (Rahmanto, 1990). Berbagai bukunya mengenai teori maupun kritik sastra banyak dijadikan acuan di dalam bahan pengajaran karya sastra. Penelitian ini penting diteliti sebab kajian atau penelitian paradigma kritik sastra jarang dilakukan. Padahal, penelitian semacam ini dapat menambah khazanah keilmuan sastra itu sendiri.

Pemilihan kritik sastra A. Teeuw sebagai objek material untuk diteliti berdasar pada dua hal. Pertama, pengaruhnya yang besar dalam khazanah sastra Indonesia, sebagaimana yang dikatakan Rahmanto di atas. Kedua, A. Teeuw merupakan kritikus asing yang belum banyak dikaji hasil kerja kritiknya secara lebih mendalam.

1.2 Masalah Penelitian

Masalah dalam penelitian ini melingkupi dua hal. Pertama, bagaimanakah paradigma kritik sastra A. Teeuw. Kedua, bagaimanakah terbentuknya pola-pola paradigma pada kritik sastra A. Teeuw.

(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis paradigma kritik sastra A. Teeuw. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah menunjukkan pola-pola paradigma yang terdapat dalam kritik sastra A. Teeuw.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis untuk mengakumulasi teori kritik sastra dan mendiskripsikan serta menganalisis paradigma kritik sastra A. Teeuw.

Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah untuk a) mendorong penelitian-penelitian yang serupa agar wacana penelitian-penelitian kritik sastra semakin mendapat perhatian sehingga b) menyemarakkan perkembangan ilmu sastra menjadi acuan dalam penelitian-penelitian berikutnya, khususnya dalam ilmu kritik sastra.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sebuah buku Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978) yang diedit oleh Lukman Ali menyajikan tentang polemik kritik sastra antara kelompok Ganzheit dan kelompok Rawamangun. Polemik yang dimunculkaan tidak terlepas dari persoalan metode dalam mengkritik karya sastra. Bagi kubu Ganzheit kritik sastra merupakan sebuah pembacaan totalitas, pertemuan antara manusia dengan karya seni. Membaca karya sastra seperti memahami manusia, tidak memahaminya setapak demi setapak, unsur demi unsur, dan bukan elemen-elemen yang datang

(7)

terlebih dahulu pada kita, melainkan totalitasnya (Budiman dan Mohamad, 1978: 4). Sementara itu, dalam pandangan aliran Rawamangun, kritik sastra memerlukan kaidah dalam pelaksaan teknisnya. Kaidah tersebut yang nantinya dapat menjelaskan data-data objektif sehingga kesan subjektifitas dalam menilai karya sastra dapat dihindari (Effendi, 1978: 24—23).

Apa yang disajikan dalam buku tersebut pada dasarnya berkutat pada wilayah orentasi sastra, menyangkut metode operasionalsiasi kritik sastra. Selain itu, usaha dalam menentukan objektifitas dalam mengkritik juga telah ditunjukkan. Bagi kelompok Ganzheit hal ini sangat jelas dikemukakan bahwa “yang penting bukanlah satu keputusan yang bisa disetujui bersama oleh semua orang, melainkan bagaimana ia mempertanggungjawabkan keputusan itu, satu keputusan yang baginya—mungkin tidak bagi orang lain—satu kebenaran yang diyakini (Budiman dan Mohamad, 1978: 6). Kritik sastra tetap mementingkan pertanggungjawaban yang tidak lain adalah upaya mengungkapkan gagasan atau argumentasi mengenai apa yang dibacanya.

Bagi kelompok Rawamangun, apa yang dikemukakan oleh kelompok Ganzheit merupakan pelaksaan kerja kritik yang sangat subjektif. Namun, jika dicermati kembali, aliran Rawamangun terjebak pada konsepnya sendiri. Apa yang dikatakan sebagai “persedian” yang dikemukakan oleh kelompok Rawamangun, menunjukkan bahwa kelompok ini berada pada ranah subjektif.4

4

Effendi (1978: 24), “Penanggap referat beranggapan, bahwa sikap penilai sebelum menghadapi sebuah cipta sastra adalah sikap yang “dinafasi” oleh suatu “persedian” atau “apersepsi material” tertentu yang tidak dibawa sejak penilaian dilahirkan, “persedian” yang tumbuh berkembang berkat rangsangan lingkungan dalam arti seluas-luasnya: perhubungan mesra terus-menerus dengan kehidupan cipta sastra, dengan hasil-hasil telaah sendiri atau orang lain, ilmu-ilmu yang

(8)

Subjektifitas yang dimaksud berupa penilaian yang sebenarnya tidak murni objektif. Pengetahuan seoang kritikus sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan, budaya dan intensitas dalam bergelut dengan dunia yang ditekuninya. “Persedian” sang kritikus yang satu dengan sang kritikus yang lain tidak sama. Hal inilah yang kemudian dapat memberikan cara pandang, maupun cara kerja kritik sastra yang berlainan.

Buku Kritik Sastra Indonesia Modern (2002) oleh Rachmad Djoko Pradopo merupakan buku sejarah kritik sastra Indonesia. Buku yang mulanya berawal dari disertasi ini menganalisis berbagai macam kritik sastra Indonesia secara lengkap (Yudiono, K.S., 2009: 27). Dalam buku ini, Pradopo (2002: 13), menguraikan teori mengenai dasar-dasar kritik sastra, jenis-jenis, dan metode-metode yang ada dalam kritik sastra, juga, diuraikan segala wujud kritik sastra Indonesia, dan mengenai teori-teori yang menjadi dasar kritik sastra Indonesia modern.

Ruang lingkup yang luas tersebut ditopang dengan penggunaan teori yang memadukan berbagai macam pendekatan, yakni struktural, bandingan, sosiologi sastra dan estetika resepsi. Namun, ruang lingkup yang luas menjadikan analisis yang dilakukan kerap tumpang tindih secara teoretis. Teori kritik sastra MH. Abrams tidak dioperasikan dengan teliti. Terkesan adanya penyederhanaan dalam pelaksanaan teori tersebut. Hal ini misalnya dapat terlihat pada analisis mengenai kritik sastra Armijin Pane. Dikatakan bahwa kritik Armijin Pane bercorak ekspresif (Pradopo, 2002: 110). Persoalan utamanya adalah adanya pemahaman terhadap „hamba sukma‟ sebagai suatu yang dianggap sebagai elemen ekspresif.

telah dicapai manusia, khususnya yang masih “dekat” dengan keperluannya sebagai penilai dan aneka-ragam lagi.”

(9)

Padahal, sebagaimana yang kemudian dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa ternyata hamba sukma tersebut tidak dapat terlepas dari gambaran (cermin) masyarakatnya, yang itu berarti terikat pada elemen mimetik. Hal serupa terjadi misalnya pada analisis kritik sastra Sanusi Pane.

Buku tersebut tidak menjelaskan bagaimana kedua elemen ini sebenarnya saling melengkapi, atau dapat pula saling bertumpang tindih. Tidak ada uraian yang mengungkapkan persoalan tersebut. Akibatnya, kecenderungan untuk menyederhanakan teori begitu tampak. Ketidakcermatan dalam penguasaan teori menjadi titik lemah dalam buku ini.

Kecermatan dalam operasionalisasi teori juga tampak dari pemaduan dua konsep teoretis yang sebenarnya berbeda. Uraian mengenai analisis dalam kritik sastra dengan konsep norma Roman Ingarden yang disifatkan sebagai struktural misalnya, membuktikan tiadanya batasan yang ketat antara strukturalisme sebagai sebuah relasi antar unsur, dengan fenomenologisme yang menekankan keutuhan. Makna dalam pengertian fenomenologis bukanlah kumpulan gagasan-gagasan, simbol-simbol, orientasi-orientasi yang terpecah dan secara genetik berhubungan, melainkan lebih merupakan totalitas (Faruk, 2010: 209). Namun, yang tejadi pada buku tersebut menekankan totalitas yang diidentikkan dengan hubungan atau relasi antar unsur. Apa yang kemudian disifatkan sebagai struktural, menjadi tidak tepat, sebab sebenarnya bersifat fenomenologis. Kemungkinan ini terjadi sebab teori sastra Rene Wellek dan Austine Warren yang telah mendarah-daging pada „tubuh‟ penulisnya (Faruk, 2002: 18).

(10)

Hal ini sebenarnya telah disadari oleh Pradopo (2002: 71) dengan membawa lebih jauh lagi analisis norma ke ranah sistem semiotik. Persoalannya kemudian, apa yang disifatkan sebagai struktural itu kembali lagi ke soal fenomenologis. Implikasi dari itu semuanya ialah analisis yang sekadar pada ranah pengkatagorian berdasar fakta yang berupa teks kritik sastra yang dijadikan objek mataerial penelitian tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian analisis yang dikemukakan berdasar pada apa yang tersaji dalam teks, secara tersurat, tanpa memperhatikan wacana-wacana lain yang ada di sekitarnya secara lebih kritis. Dikatagorikannya kritik Sutan Takdir Asisjahbana sebagai kritik pragmatik misalnya, hanya didasarkan pada data tekstual mengenai tulisan-tulisan STA yang menurut Pradopo (2002: 117) penuh semangat dan optimisme perjuangan.

Penelitian Pradopo tentang kritik sastra Indonesia, pada mulanya sudah dilakukan pada penelitian sebelumnya yang kemudian dibukukan dengan judul Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (2003).5 Buku tersebut berisikan teori kritik sastra dan analisis terhadap beberapa hasil kerja kritik seorang kritikus sastra. Di antara kritikus yang diteliti hasil kerjanya ialah 1) H.B. Jassin, 2) Amal Hamzah, 3) Ajib Rosidi, 4) J.U. Nasution, 5) Junus Amir Hamsah, 6) Boen S. Oemarjati, 7) M.S. Hutagalung. Sebagaimana buku yang terakhir ditulis, analisis yang digunakan dalam buku tersebut terbatas pada orientasi kritik M.H. Abrams yang tidak ditaati dengan baik.

Namun demikian, buku ini telah membangun konsep kritik sastra sebagaimana yang dikatakan Pradopo (2003:4) bahwa kekurangan kritik sastra Indonesia ialah

5 Cetakan buku pertama ini diterbitkan oleh Dwi Dharma dalam bentuk stensilan pada tahun 1967. Buku ini bermula dari hasil penelitian skripsi. Tahun 1994, buku ini diterbitkan melalui jalur penerbit formal (tidak stensilan). Di dalamnya memuat teori-teori mengenai kritik sastra.

(11)

ketika membicarakan karya sastra sendiri, sering sebatas pada tataran objektivasi atau yang dinamakan “impressionistik”. Hal ini mengakibatkan kritik hanya berupa kesan-kesan yang sifatnya masih pada tataran permukaan. Pradopo (2003:4), kritik sastra seharusnya membahas karya sastra, menganalisis karya sastra, sedang pembicaraan mengenai sastrawannya diletakkan pada nomor dua, yakni sebagai penerang dari segi-segi yang gelap dalam karyanya. Sayangnya, apa yang dikonsepkan itu, agar kritik harus proporsional, tidak teroperasikan dengan baik pada analisisnya.

Sebuah Tesis Fungsi Sosial Kritik Sastra Sunda Ajib Rosidi (2007) yang disusun oleh Teddi Muhtadin menyimpulkan tentang kritik sastra sunda Ajib Rosidi yang berfungsi dalam mendorong renaisans sunda. Renaisans sunda adalah kembali kejiwa aktif-kreatif leluhur sunda sebagai jalankeluar dari masalah susbstansi yang dihadapi masyarakat sunda yakni kemerdekaan dan kebekuan kebudayaan Sunda yang dipengaruhi oleh feodalisme Mataram serta dikukuhkan oleh kolonialisme Belanda dan Jepang. Hal inilah yang merupakan substansi, "ideologi" atau leading principle kritik sastra Sunda AR (Muhtadin, 2007: 71). Medernisasi Eropa lebih mengarah kepada bentuk, sedangkan kritik sastra Sunda AR lebih mementingkan isi atau substansi.

Tesis ini berangkat dari konsep fungsi kritik sastra Terry Eagleton dalam The Fungcition of Criticism: from The Spectator to Post-Structuralism. Konsep tersebut kemudian dipadukan dengan teori Raymond Williams tentang budaya residu, bangkit dan dominan. Selain itu, digunakan pula pendekatan "diskursive practice" yang dirumuskan oleh Muhammad A.S. Hikam dari karya-karya Michel

(12)

Foucault yang menganggap bahwa bahasa, di dalam dirinya, merupakan representasi dari diployment (penjelasan) berbagai macam kekuatan; oleh karena itu, bahasa merupakan salah satu space (ranah) tempat terjadinya konflik berbagai kepentingan dan counter-hegemoni (hegemoni tanding).

Dari sisi ketersebaran wacana dalam kritik sastra, argumentasi yang muncul melalui pendekatan teori yang digunakan sangat relevan. Tesis ini telah menunjukkan praktik diskursif lain dalam kritik sastra secara lebih kritis. Namun, kelemahannya ialah tidak ketatnya pada peguasaan orientasi kritik sastra sebagai sesuatu yang teknis-metodelogis. Akibatnya, analisis yang tercipta terfokus pada satu sisi saja, yakni sisi argumentasinya yang telah memasukkan wacana-wacana lain dalam kritik sastra.

Buku Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (2009) oleh Yudiono K.S. berisikan mengenai teori kritik sastra serta analisis buku-buku kritik sastra. Terdapat sepuluh buku yang dijadikan objek penelitian.6 Namun, analisis yang muncul tidak mencerminkan ketaatan terhadap teori kritik sastra. Hal tidak terlepas dari tujuan buku ini yang “misinya adalah merangsang dan menggugah semangat mahasiswa untuk menulis kritik sastra yang kelak akan terbaca masyarakat luas” (Yudiono, K.S., 2009: 134). Misi itulah yang menegaskan bahwa sejumlah buku kritik sastra yang ditawarkan dalam buku tersebut bukan objek penelitian,

6 Kesepuluh buku kritik tersebut adalah 1) Kritik Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I (H.B. Jassin, 1954), 2) Tanggapan Dunia Asrul Sani (M.S. Hutagalung, 1967), 3) Chairil Anwar

Sebuah Pertemuan (Arief Budiman, 1976), 4) Tergantung Pada Kata (A. Teeuw, 1980), 5) Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardoyo, 1980), 6) Dari Mochtar Lubis hingga Mangunwijaya (Th. Sri Rahayu Prihatmi, 1989), 7) Melawan Kucuran Keringat (Suripan Sadi

Hutomo, 1992), 8) Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya (Yudiono K.S., 2003), 9) Taufiq Ismail:

Karya dan Dunianya (Sumito. A. Sayuti, 2005), dan 10) Tamsil Zaman Citra (Arif Bagusd

(13)

melainkan contoh-contoh kritik sastra Indonesia dari masa ke masa (Yudiono, K.S., 2009: 132; 134). Pembicaraan mengenai buku kritik sastra yang terdapat dalam buku tersebut hanya berkisar pada kesan-kesan belaka, atau menyerupai resensi yang sekadar mengulas isi buku, tanpa mengkaitkannya dengan teori kritik sastra.

Sebelum menerbitkan Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, Yudiono K.S., menerbitkan buku Telaah Kritik Sastra Indonesia (1990). Buku tersebut bermula dari sebuah tesis yang membahas tentang buku-buku kritik sastra Indonesia.7 Berbeda dengan buku yang ditulis terakhir, Telaah Kritik Sastra Indonesia masih memperlihatkan penggunaan teori kritik sastra. Teori yang digunakan adalah teori kritik sastra MH. Abrams.

Namun, operasionalisasi dari teori kritik Abrams terlalu disederhanakan. Buku-buku yang dijadikan objek penelitian seolah-olah dipaksakan masuk ke dalam katagori orientasi kritik, yakni objektif, ekspresif, dan mimetik. Sementara paradigma pragmatik tidak ditemukan buku kritik yang masuk ke dalam paradigma tersebut. Alasan pengkatagorian itu sendiri berdasar pada “kecenderungan yang menonjol untuk memanfaatkan pendekatan tertentu” (Yudiono K.S., 1990: 66). Hal ini menunjukkan bahwa analisis yang digunakan sekadar pada tataran teknis-metodelogis (orientasi). Padahal persoalan dalam kritik sastra Indonesia, terlebih yang telah berbentuk buku, bukan sekadar soal orientasi belaka.

7 Buku yang dijadikan sampel sebanyak 21 buah. Pemilihan buku tersebut berdasar pada 1) belum dibahas oleh Rachmad Djoko Pradopo yang pernah melakukan penelitian kritik sastra Indonesia tahun 1966—1967 dan, 2) buku tersebut dianggap mewakili keseluruhan bahan penelitian (Yudiono, K.S., 1990: 17).

(14)

Buku Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta 1966—1980 (2009) oleh Tirto Suwondo dkk. Buku tersebut merupakan hasil penelitian mengenai kritik sastra Indonesia yang berada di Jogjakarta pada rentang waktu 1966 sampai dengan 1980. Sampel yang digunakan merupakan media massa yang terbit di Yogyakarta. Di antaranya adalah Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini). Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Penelitian tersebut mengunakan teori dari Jauss dan Isser dengan prinsip dasarnya horizon harapan (horizon of expectation) dan tempat terbuka (blank, apenness) yang dipadukan dengan Ronald Tanaka, Said dan Abrams. Hasil penelitian hanya berupa diskripsi dan pemetaan nama-nama kritikus. Selain itu, (Suwondo dkk, 2009: 110), menyimpulkan pula bahwa kritik sastra Indonesia di Yogyakarya selama rentang waktu 1966 sampai dengan 1980 bersifat impresionestik. Hal itu disebabkan oleh media massa yang berkembang pesat dan digunakan sebagai sarana yang efektif oleh para kritikus saat itu.

1.6 Landasan Teori 1.6.1 Kritik Sastra

Memahami definisi kritik sastra, akan lebih baik jika dilakukan dengan mengetahui landasan etimologisnya. Selain itu, kritik sastra harus dipahami sebagai ilmu pengetahuan sebab telah menjadi disiplin ilmu sendiri dalam isntitusi pendidikan sastra. Melalui pemahaman terhadap kritik sastra sebagai ilmu pengetahuan, dapat mengantarkan ke dalam konsep paradigma sebagaimana yang dikonsepkan oleh Khun.

(15)

1.6.1.1 Etimologi

Kritik sastra tidak dapat dapat dipahami pengertiannya tanpa menelusuri jejak etimologisnya. Pengertian kritik (sastra) berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang artinya „hakim‟ (Habib, 2005: 9; Pradotokusumo, 2002: 39; Semi,1985: 7). Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik yang digunakan saat ini.

Kata krites sendiri berasal dari kata krinein yang berarti menghakimi, membanding, atau menimbang (Pradotokusumo, 2002: 39; Semi,1985: 7). Kata kritikos digunakan oleh kaum Pergamon yang dipimpin oleh Crates. Kata tersebut digunakan untuk membedakannya dengan kaum gramatikos, yakni kaum yang ahli dalam bidang gramatikal bahasa. Kaum gramatikos dipimpin oleh Aristarchos di sebuah wilayah yang bernama Alexandria. Abad ke-2 M istilah kritikos dan grammatikos memiliki arti sama. Hal ini menjadikan kata kritikos sendiri leyap tidak dipergunakan lagi pada zaman itu.

Istilah criticus dalam sastra Latin memiliki arti lebih tinggi dari kata gramaticus. Hal itu dikarenakan isilah criticus memiliki juga arti „penafsiran naskah‟ dan „penafsiran kata-kata‟. Pengertian criticus atau kritikos sebagai literary criticism dalam khasanah kesastraan Inggris dipelopori oleh Quintilian dan Aristoteles (Yudiono KS, 2009: 29). Istilah tersebut pada abad pertengahan Eropa hanya muncul pada bidang kedokteran. Pengertiannya pun mengalami perubahan, yakni untuk menyatakan suatu penyakit yang kritis atau sangat membahayakan bagi penderitanya. Pada zaman Renaissance, pengertian dari istilah tersebut kemudian kembali ke awal. Seorang bernama Poliziano di tahun

(16)

1492 mengunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakannya dengan filsuf. Sementara itu, istilah criticus dan gramaticus digunakan untuk menunjuk orang yang tekun dan mendalami bidang sastra lama. Kemudian istilah ars critica digunakan untuk mempergunakan Alkitab oleh pujangga Erasmus.

Kalangan Humanisme kemudian mempersempit pengertian istilah tersebut yang sebatas pada penyuntingan dan pembetulan teks-teks kuno. Kemudian di akhir tahun 1600, pengertian kritik terbatas pada cakupan pembetulan dan edisi, pernyataan pengarang, sensor dan penghakiman serta sintaksis. Perkembangan selanjutnya, istilah kritik digunakan untuk orang yang melakukan kerja kritik dan juga kegiatan kiritik itu sendiri. Sementara itu, pada abad 19, di Perancis dan Amerika mulai dikenal dua pengertian secara luas. Istilah critique digunakan untuk menunjuk atau membicarakan tentang seorang pengarang tertentu, sementara istilah criticism menunjuk kepada teori-teorinya. Di Jerman terdapat istilah kritish yang berasal dari Perancis, dan Literaturwissenscht yang berarti teori sastra (Yudiono KS, 2009: 30).

1.6.1.2 Definisi dan Orientasi

Kritik sastra merupakan studi tentang definisi, klasifikasi, analisis, interpretasi, dan evalusasi karya sastra (Abrams, 1999: 49). Interpretasi yang dikemukakan Abrams (1999: 127) dibagi menjadi dua, yakni interpretasi dalam arti sempit dan interpretasi dalam arti luas. Pengertian arti sempit berarti memperjelas atau menjernihkan arti bahasa secara analisis, parafrase, dan

(17)

komentar. Sementara dalam arti luas, interpretasi berarti memperjelas karya sastra dalam segala bentuknya, seperti genre, unsur-unsur struktur, tema dan efeknya.

Abrams (1999: 50) membagi kritik sastra menjadi dua, yakni kritik teoretis dan kritik aplikatif. Kritik teoretis bertujuan mengeksplisitkan teori sastra, prinsip-prinsip umum, kumpulan bentuk, perbedaan, dan katagori, sebagai dasar yang dapat diaplikasikan pada karya sastra untuk mengidentifikasi dan menganalisis berdasar kriteria sastra (Abrams, 1999: 50). Kritik teoretis lebih banyak menyajikan berbagai macam teori-teori kritik.

Dikemukakan oleh Abrams (1999: 50), para intelektual dalam bidang kritik teoretis di antarnya adalah Longinus di Yunani; Horace di Roma; Boileau dan Sainte-Beuve di Perancis; Baugmgarten dan Goethe di Jerman; Samuel Johnson, Coleridge, dan Matthew Arnold di Inggris; serta Poe dan Emerson di Amerika. Buku-buku kritik teoretis di abad XX, yang disebutkan Abrams (1999: 50) di antaranya adalah I.A. Richard, Principles of Literary Criticism (1924); Kenneth Burke, The Philosophy of Literary Form (1941, rev. 1957); Eric Auebach, Mimesis (1946); R.S. Crane, ed., Citic and Criticism (1952); dan Northrop Frye, Anatomy of Criticism (1957).

Kritik aplikasi memfokuskan diri pada diskusi seputar karya sastra dan pengarangnya, mengaplikasikan teori kritik, prinsip-prinsip teori dalam menganalisis, menginterpretasikan dan mengevaluasi karya sastra dan pengarangnya (Abrams, 1999: 50). Beberapa pakar dan bentuk kritik aplikasi ini, dicontohkan oleh Abrams (1999: 50) adalah tulisan Dryden dalam Restoration; Dr. Johnson‟s Lives of the English Poet (1779—81); Mattheew Arnold‟s Essays in

(18)

Criticism (1868); I.A. Richard Practical Criticism (1930); T.S. Elio‟t Selected Essay (1932); dan beberapa kritik oleh Virginia Wolf; F.R. Leavis; dan Lionel Trilling.

Kritik aplikasi masih dikatagorikan lagi menjadi dua bentuk, yakni kritik impresionistik dan kritik yudisial (Abrams, 1999: 51—52). Kritik impresionistik merupakan kritik yang mengarah pada impresi atau kesan-kesan kritikus terhadap karya sastra maupun pengarangnya. Kritik yudisial merupakan kritik yang menganalisis dan menerangkan efek karya ssstra menurut subjek, organisasi, tekhnik, serta gaya berdasarkan pertimbangan standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra.

Abrams (1979:6) menguraikan empat unsur dalam kritik sastra. Pertama, karya sastra (work), sebagai produk dari seorang pengarang. Kedua, pengarang (arts), itu sendiri yang menghasilkan karya sastra. Ketiga, alam (universe) yang memberikan ide dan bahan untuk membuat karya sastra oleh seorang pengarang, dan keempat adalah pembaca (audience). Unsur keempat ini yang memberikan makna, penafsiran dan respon terhadap karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang dari ide-ide yang berasal dari alam, ditujukan kepada elemen keempat ini, yakni pembaca. Keempat elemen tersebut jika dibagankan akan tampak seperti di bawah ini.

(19)

Bagan 1

Orientasi Kritik Sastra M.H. Abrams

Keempat unsur tersebut saling berkaitan. Orientasi kritik sastra menurut Abrams didasarkan pada hubungan antar unsur tersebut. Kritik sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan alam dinamakan kritik mimetik; kritik sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan pembaca dinamakan kritik pragmatik; kritik sastra yang menghubungkan antara karya sastra dengan pengarang dinamakan kritik ekspresif; dan kritik sastra yang mengkaji tentang karya sastra itu sendiri dinamakan kritik objektif (Abrams, 1999: 51—52). Abrams (1979) menyebut keempat orientasi tersebut sebagai teori, yakni teori mimetik, teori pragmatik, teori ekspresif dan teori objektif.

1.6.1.3 Kritik Sastra sebagai Ilmu

Kritik sastra dalam penelitian ini, ditempatkan ke dalam kerangka ilmu (science), bukan pengetahuan (knowledge). Penekan ini untuk menghindari kemunculan perbedan konsep antara ilmu dan pengetahuan. Meskipun, dalam

ALAM (UNIVERSE) KARYA SASTRA (WORK) PEMBACA (AUDIENCE) PENGARANG (ARTS)

(20)

beberapa hal keduanya disamakan, atau digabungkan menjadi satu frase, „ilmu pengetahuan‟, namun, keduanya tetap memiliki perbedaan yang mendasar.

Diperlukannya penjelasan mengenai kritik sastra sebagai ilmu, bertujuan untuk mengantarkan dalam memahami, menelaah dan menggunakan pengertian paradigma Thomas S. Khun. Bermula dari hal itu, dapat ditemukan kemudian bagaimana paradigma-paradigma yang terdapat dalam kritik sastra.

Pemahaman mengenai paradigma harus ditujukan kepada khazanah ilmu sebagaimana yang dikatakan Khun (2008:1), bahwa sebagai sebuah khazanah, revolusi ilmu bukan sekadar sebagai anekdot atau kronologi sejarah. Khun lebih memilih menggunakan diksi ilmu (science) daripada diksi pengetahuan (knowledge) pada judul bukunya, The Structure of Scientific Revolution. Hal ini mengidentifikasikan bahwa konsep paradigma lebih ditekankan kepada sebuah kazanah ilmu.

Penting dikemukakan mengenai ilmu dan pengetahuan untuk menjelaskan pengertian atau konsepnya. Dikatakan Suriasumantri (2007:294), pengetahuan (knowledge) merupakan terminologi generik sementara ilmu (science) merupakan anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut. Sebagai anggota dari kelompok, ilmu ditandai oleh tiga terminologi, yakni ontologis, epistemologis dan aksiologis. Ontologis terdiri atas dua kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, dan logos yang berarti ilmu. Terminologi ontologis dengan demikian berkaitan dengan ilmu tentang sesuatu, tentang “ada” (Adib, 2011: 69; Suriasumantri, 2009: 5).

(21)

Epistemologi, terdiri atas dua kata, yakni episteme yang berarti pengetahun dan logos yang memiliki arti ilmu. Terminologi epistemologis merupakan teori pengetahun, yakni membahas cara memperoleh pengetahuan (Adib, 2011: 69; Suriasumantri, 2009: 9). Sementara terminologi aksiologis berkaitan dengan nilai-nilai, manfaat atau kegunaan ilmu.

Kritik sastra, memiliki ketiga kategori tersebut. Terminologi ontologis berupa persoalan kritik sastra yang menyangkut pada analisis, penilaian dan penghakiman karya sastra. Sementara terminologi epistemologi dalam kritik sastra, yakni terdapatnya berbagai teori, metode dan pendekatan dalam kritik sastra. Penekanan antara teori, pendekatan dan metode dalam kritik sastra, sering menjadi tumpang tindih. Teori sosiologi sastra misalnya, juga disebut sebagai pendekatan sosiologi sastra. Begitu juga dengan teori hermeutika, juga kerap dilekatkan sebagai metode hermeutika.

Teori kritik sastra, dapat disebut dengan teori sastra, sebab, di dalam kritik sastra juga terdapat teori sastra yang dioperasionalkan. Teori kritik sastra itu yang dinamakan sebagai kritik teoretis (theoretical criticism) dalam istilah Abrams. Dalam kritik sastra, terdapat berbagai macam teori, misalnya teori strukturalisme, strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dan teori-teori post-struktural dan post-modern.

Metode dalam kritik sastra dalam dikatagorikan ke dalam metode intuitif, metode hermeutika, metode kualitatif, metode analisis isi, metode formal, metode dialektika, dan metode deskriptif analitis, sebagaimana yang dicontohkan Ratna (2006). Metode sendiri berasal dari bahasa Latin, yakni methodos yang memiliki

(22)

akar kata meta dan hodos. Meta memiliki arti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sementara hodos, memiliki arti jalan, arah, cara. Dengan demikian, arti secara luas, metode memiliki arti sebagai strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2006: 34). Sementara pendekatan, berbeda dengan teori dan metode. Ratna (2006: 41) menjelaskan bahwa pendekatan memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi daripada teori dan metode. Dalam sebuah pendekatan, dimungkinkan mengunakan sejumlah teori dan metode. Pendekatan dalam kritik sastra, menurut Ratna (2006: ) dapat dibedakan menjadi menjadi pendekatan sosiologi sastra, pendekatan psikologi sastra dan pendekatan antropologi sastra.

Terminologi aksiologis dalam kritik sastra, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, kritik sastra memiliki banyak manfaat. Baik yang berupa manfaat untuk perkembangan keilmuan (kritik) sastra sendiri, maupun untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai karya sastra yang dikritik. Dikatakan Pradopo (2002: 35—38; 2003: 14), kritik sastra memiliki kegunakan a) untuk keilmuan sastra, b) untuk perkembangan kesastraan dan c) untuk kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Kritik sastra sebagai ilmu, jika dibagankan akan tersaji seperti Bagan 2

(23)

Bagan 2

Landasan Pengetahuan Ilmu Kritik Sastra

1.6.2 Paradigma Thomas S.Khun

Paradigma yang dikemukakan Thomas S. Khun (2008: 170), menunjukkan sejenis unsur dalam konstalasi (kepercayaan, nilai, teknik, yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat tertentu), pemecahan teka-teki yang konkret, yang jika digunakan model atau contoh, dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang normal yang masih tertinggal. Konsep tersebut ditegaskan lagi dengan menganologkan paradigma dengan „matriks disipliner‟. „Disipliner‟ karena ia mengacu kepada dimilikinya disiplin tertentu oleh para pemraktek bersama-sama, dan „matriks‟ karena ia terdiri atas

Ilmu Kritik Sastra

Epistemologis Aksiologis Ontologis

Bagaimana Mengapa/Untuk Apa Apa Metode Manfaat Teori 1. Intuitif 2. Hemeutika 3. Kualitatif 4. Analisis isi 5. Formal 6. Dialektika 7. Deskriptif analisis 1. keilmuan sastra, 2. perkembangan kesastraan dan 3. kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra 1. Strukturalisme 2. Strukturalisme dinamik 3. Strukturalisme genetik 4. Posmo

(24)

beberapa jenis unsur yang tertata yang masing-masing memerlukan spesifikasi lebih lanjut (Khun, 2008: 177). Jenis unsur yang tertata dan membentuk keseluruhan serta berfungsi bersama itu yang kemudian dikonsepkan sebagai paradigma.

Terdapat empat unsur yang dikemukakan oleh Khun mengenai paradigma (2008). Pertama, „generalisasi simbolis‟, yakni ungkapan yang digunakan tanpa keraguan atau penolakan oleh anggota kelompok yang dapat ditungkan ke dalam bentuk yang logis. Kedua, model. Khun membagi model menjadi dua, yakni model heruistik dan model ontologis. Model heuristik merupakan model yang membantu dalam penemuan atau dalam belajar, sementara model ontologis merupakan model yang berdasarkan eksistensi. Model digunakan untuk membantu menjelaskaan dan memecahkan teka-teki. Begitu sebaliknya, daftar teka-teki yang belum dipecahkan dapat mengacu kepada model yang telah ada.

Ketiga, nilai-nilai. Nilai-nilai sebagai unsur paradigma merupakan ukuran dalam mempertimbangkan keakuratan, margin kesalahan, teori, kesedehanaan, konsistensi, kelogisan. Setiap ilmuan atau kelompok ilmuan, kadang tidak pernah sama dalam menentukan standar nilai yang diacu. Namun demikian, nilai bersama dapat menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkan dengan cara yang sama. Keempat, eksemplar, yakni sederet masalah yang dipelajari bersama beserta pemecahannya. Banyaknya eksemplar yang kemudian bermunculan, dapat mempengaruhi generasi simbolik. Khun menempatkan eksemplar sebagai unsur dalam matrik disipliner yang memerlukan banyak perhatian.

(25)

Mempelajari sederet masalah beserta pemecahannya (eksemplar), memerlukan keterampilan dalam memahami teori dan kaidah dalam memecahkan masalah. Hal yang perlu ditekankan adalah tidak semua teori dapat menjelaskan tentang fakta. Sementara kaidah, merupakan „titik pandang yang mapan‟ atau dengan „prakonsepsi‟ sebagai sebuah pembatasan, baik sifat pemecahan-pemecahan yang dapat diterima maupun langkah-langkah untuk memperolehnya (Khun, 2008: 38).

Teori hanya dapat menjelaskan dari sebagian kecil fakta yang diperoleh. Tidak ada teori yang pernah mendapat tempat terbuka bagi semua kemungkinan tes yang relevan, mereka bukan menanyakan apakah suatu teori telah diverifikasi, melainkan menanyakan probalitasnya dilihat dari kenyataan yang benar-benar ada (Khun, 2008: 142). Tidak ada jawaban yang lebih tepat bagi pertanyaan apakah atau sejauh mana teori individual cocok dengan fakta (Khun, 2008: 144). Penekanannya hanya pada kesesuaian antara salah satu teori dengan fakta yang ada.

Khun mencontohkan pada kasus teori Priestlye dan Lavoisier setelah satu dasawarsa, ternyata teori Lavoiser lebih sesuai dengan fakta yang dikemukakan. Namun demikian, ketidaksesuaiaan antara teori dan fakta tersebut meneguhkan karakteristik sains yang normal. Khun (2008: 143), menjelaskan bahwa ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan kesesuaian data-teori yang ada yang, kapan pun menetapkan banyak teka-teki yang menjadi karakteristik sains yang normal. Dikatakan Khun (2008: 10), „sains yang normal‟ berarti riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau dua lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian

(26)

yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi praktik selanjutnya.

Dipaparkan Khun (2008: 96), teori dapat berkembang menjadi teori baru ketika, pertama, terdiri atas gejala-gejala yang telah diterangkan dengan jelas oleh paradigma yang ada, dan gejala itu jarang menyajikan motif atau titik tolak bagi penyusunan teori. Kedua, terdiri atas gejala-gejala yang sifatnya ditunjukkan oleh paradigma-paradigma yang ada, tetapi yang rinciannya hanya dapat dipahami melalui artikulasi teori selanjutnya. Ketiga, anomali-anomali yang diakui yang karena karakteristiknya menandakan kerumitannya dalam menolak pengasimilasian kepada paradigma-paradigma yang ada. Selain itu, supaya diterima sebagai sebuah paradigma, sebuah teori harus tampak lebih baik daripada saingannya, tetapi tidak perlu, dan memang tidak pernah, menerangkan semua fakta yang dapat dihadapkan kepadanya (Khun, 2008: 17). Tidak semua teori adalah paradigma (Khun, 2008: 60). Semntara teori, dapat menjadi paradigma ketika telah memenuhi keempat unsur paradigma.

Standar verifikasi sebagai cara mengartikulasikan teori tidak jauh beda dengan maksud falsifikasi Karl Popper, yakni teks yang, karena hasilnya negatif, mementingkan penolakan teori yang mapan. Penolakan itu terjadi jika berulang kali terjadi kegagalan-kegagalan atau ketidaksesuaian antara pengharapan terhadap teori dengan fakta yang ada. Kegagalan berulang pada akhirnya dapat mempengaruhi penolakan teori sampai kapan pun, selamanya.

Paradigma, dalam pandangan Khun, terbentuk ketika „sains yang normal‟ diterima secara konsensus oleh masyarakat ilmiah. Penerimaan itu disebabkan

(27)

oleh penemuan atau penciptaan baru yang belum pernah ada, serta bersifat cukup terbuka untuk dikritisi kembali keberadaanya. Baik penemuan (discovery) dan penciptaan (invention), atau antara teori dan fakta, dalam pandangan Khun, bersifat artifisial. Penemuan-penemuan bukanlah peristiwa-peristiwa yang terasing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur (Khun, 2008: 52).

Implikasi dari episode (riset) ini, pada awalnya, tidak menyebabkan munculnya keseragaman, namun sebaliknya, memunculkan variasi-variasi, pembacaan atau artikulasi hasil pengamatan yang berbeda. Hal inilah yang kemudian memuculkan paradigma baru. Menurut Khun (2008: 16), setiap tahap-tahap awal perkembangan sains mana pun, orang yang berbeda yang menghadapi deretan gejala yang sama, tetapi tidak selalu gejala tertentu yang sama, melukiskan dan menafsirkan gejala itu dengan cara-cara yang berbeda. Pada tahap akhir, perbedaan pengamatan dapat hilang atau pun lenyap selamanya ketika aliran paradigma hanya menekankan suatu bagian khusus dari kumpulan informasi yang terlalu besar dan belum lengkap (Khun, 2008: 16).

Perbedaan dalam melukiskan dan menafsirkan gejala, bagi Khun (2008:115) terjadi akibat persoalan „persepsi‟ dan „melihat‟. „Persepsi‟ dipengaruhi oleh latar belakang seorang ilmuan (ras, budaya, profesi). Karakteristik persepsi dalam sebuah eksperimen riset, bagi Khun (2008: 111), dapat menjadi sentral dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Persepsi tersebut yang kemudian mempengaruhi ilmuan dalam melihat objek risetnya. Apa yang dilihat orang bergantung pada apa yang dipandangnya dan juga pada apa yang diajarkan

(28)

kepadanya untuk terlihat oleh pengalaman konsep visual terdahulu (Khun, 208: 111).

Persepsi dipengaruhi oleh rangsangan dan sensasi yang didapat oleh seorang ilmuan, baik sebagai individu maupun kelompok, ketika melihat objek risetnya. Rangsangan yang berbeda dapat menciptakan sensasi yang sama, dan rangsangan yang sama kadang menciptakan sensasi yang berbeda. Keduanya dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Menurut Khun, (2008: 188), dunia kita ini dihuni pertama-pertama bukan oleh rangsangan, melainkan oleh objek-objek sensasi kita, dan mereka (para ilmuan) tidak perlu sama, antara individu dengan individu, atau kelompok dengan kelompok. Persepsi yang terbentuk dari rangsangan dan sensasi, dikemukakan Khun sebagai titik pandang yang tidak dapat dibandingkan. Persoalan persepsi yang mempengaruhi pengamatan seorang ilmuan terhadap objek risetnya, berpengaruh kepada interpretasi data. Namun sebaliknya, apa yang terjadi selama revolusi sains tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi reinterpretasi data-data individual yang abadi (Khun, 2008: 119). Perbedaan „melihat‟ memengaruhi interpretasi data. Hal tersebut misalnya terjadi pada kasus Aristoteles dan Galelio mengenai pendulum. Keduanya melihat dan mengamati objek yang sama, namun berbeda dalam menginterpretasikan. Di mana pendulum dan jatuh yang tertahan bukanlah persepsi yang berbeda, melainkan interpretasi yang berbeda tentang data-data yang tidak diragukan yang disajikan oleh pengamatan terhadap batu yang berayun (Khun, 2008: 122). Persoalan tersebut, menurut Khun, tidak lagi terletak pada persepsi, melainkan interpretasi.

(29)

Keseluruhan dari rangangan, sensasi, persepsi dan interpretasi, merupakan unsur paradigma yang menjadi kesatuan dalam generalisasi simbolis.

Paradigma baru dapat pula muncul ketika paradigma lama tidak dapat memecahkan teka-teki yang masih mengendap, atau munculnya kesadaran akan anomali. Khun (2008: 53) menjelaskan anomali sebagai pengakuan alam, dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan—yang didorong—oleh paradigma yang menguasai sains normal. Pada tahap inilah krisis sains terjadi yang kemudian melahirkan revolusi sains. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain (Khun, 2008: 77).

1.6.3 Orientasi Kritik M.H Abrams sebagai Paradigma

Paradigma dalam kritik sastra dapat ditelusuri dengan mengklasifikasikan unsur-unsur yang membangunnya. Dengan cara demikian, dapat diketahui bahwa sebuah paradigma dapat memungkinkan menjadi beberapa paradigma, atau sebaliknya, beberapa paradigma, dapat diklasifikasikan ke dalam satu paradigma. Kemungkinan-kemungkinan tersebut berdasarkan pada argumentasi dalam menentukan unsur-unsur paradigma.

Orientasi kritik sastra Abrams, yang dikatagorikan ke dalam kritik mimesis, kritik ekspresif, kritik objektif dan kritik prakmatis, menurut Kaiser (2004: 12) termasuk ke dalam paradigma romantik. Dikotomi menjadi salah satu unsur penting dalam paradigma romantisme. Kaiser (2004: 12) mengatakan bahwa

(30)

sejarah krtitik romantisme berada pada dikotomi antara satu bentuk dengan bentuk yang lain: institusi atau kesadaran, politik atau subjektifitas. Sementara itu, bagi Abrams, kritik romantik dapat membedakan antara sifat kesastraan dengan wacana diskriptif (1979:56). Persoalan ini tidak terlepas dari bagaimana sebuah tiruan (imitasi) kemudian dijadikan sebagai bahan untuk berekspresi. Imitasi tidak dapat disertakan begitu saja sebagai karya seni tanpa melibatkan imajinasi. Kritik mimetik misalnya, yang memfokuskan pada kritik yang melibatkan peniruan, tidak serta merta menihilkan elemen ekspresi pengarang.

Orientasi kritik Abrams hadir sebagai sebuah metode yang berakar dari orientasi teori estetika romantik. Bagi Abrams (1979: 100), orientasi teori estetika romantik bukan sekadar ide atau premis, namun sebuah arah kebiasaan umum, yang dapat ditemui pada karya sastra yang mengungkapkan sesuatu tentang alam, dan tidak begitu saja diterima sebagai kritik yang khusus mengenai keadaan yang digambarkan. Dalam orientasi estetika romantik, akan selalu melibatkan banyak perkiraan perbedaan filsafat, pengucapan, motif berdialektika, dan penghakiman kritik.

Teori romantik sebagai sebuah implikasi analog dengan alternatif dalam sebuah interaksi kesastraan, bersama-sama berpengaruh di luar dan di dalam kesastraran, pikiran dan objek, keinginan dan perasaan terhadap persepsi (Abrams, 1979: 51). Pengaruh tersebut dapat dimaksudkan sebagai nilai-nilai dan menjadikannya sebagai sebuah paradigma, yakni paradigma kritik romantik. Ukuran di dalam kritik dalam paradigma romantik ditentukan oleh artikulasi

(31)

berinteraksi dalam kesastraan. Sejauh mana pengaruh di luar dan di dalam sastra beroperasi dan menunjukkan dikotominya.

Eksemplar paradigma romantik MH. Abrams dapat ditelusuri dalam The Mirror and the Lamp yang mengartikulasikan masalah kritik beserta pemecahannya melalui pemodelan teori-teori estetika. Orientasi yang bersumber karya sastra (work), sebagai produk dari seorang pengarang; pengarang (arts), yang menghasilkan karya sastra; alam (universe) yang memberikan ide dan bahan untuk membuat karya sastra oleh seorang pengarang; dan pembaca (audience), merupakan model dari teori estetika. Setiap karya seni selalu hadir dari keempat unsur tersebut. Pemecahan masalah yang dimaksud dapat dilihat dari analisisnya mengenai kesastraan Wordsworth dan Shelley. Dapat dilihat bagaimana keduanya, baik Shelley maupun Wordsworth, bentuk kesastraannya tidak sekadar mimetik, namun menyerupai penciptaan produk kesastraan dalam respon emosi terhadap sensibilitas objek (Abrams, 1979: 129). Apa yang terjadi pada keduanya merupakan kombinasi dari Platonisme dan psikologi empiris, antara mimetik dan ekspresif.

Orentasi kritik sastra Abrams dengan memperhatikan unsur paradigma di atas, yang kemudian dapat disebut sebagai paradigma kritik romantik, dapat pula dirumuskan kembali melalui konsep paradigma paradigma Thomas S. Khun yang telah diuraikan sebelumnya. Perumusan tersebut dapat berimplikasi kepada kemunculan paradigma baru. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Khun bahwa paradigma dapat lahir ketika muncul konsensus dan memenuhi keempat unsur paradigma, yakni generalisasi simbolis, model, nilai-nilai, dan eksemplar.

(32)

Kemunculan paradigma dapat bermula dari teori. Penyebutan Abrams mengenai keempat orientasi kritik sebagai teori, memberikan kemungkinan besar terhadap terjadinya paradigma. Di sisi lain, teori yang dikemukakan itu berdasar pada data-data yang relevan. Khun juga menunjukan bagaimana sebuah teori kemudian menjadi paradigma, yakni seperti pada teori relativitas Einstein.

Memandang orientasi atau teori kritik M.H. Abrams, seperti yang telah dikemukakan di atas, harus memenuhi syarat sebagai sebuah paradigma. Orientasi kritik mimetik misalnya, memiliki generalisasi simbolis, model, nilai-nilai dan eksemplar yang ternyata berbeda dengan orientasi ekspresif, objektif dan pragmatis. Perbedaan itu yang kemudian meletakkan orientasi mimetik sebagai paradigma.

Pengakuan bahwa segala ciptaan manusia adalah tiruan alam, merupakan generalisasi simbolis. Sementara teori penciptaan karya seni oleh Aristoteles merupakan modelnya. Ukuran nilai dalam paradigma mimetik dapat ditelusuri dari seberapa jauh ciptaan meniru kenyataan yang ada, dan eksemplar dapat ditelusuri dari terdapatnya beberapa kritik sastra yang menekankan kepada kemiripan karya sastra dengan alam. Mengenai paradigma kritik sastra M.H Abrams ini, akan diuraikan lebih lengkap pada Bab II penelitian ini.

1.7 Metode Penelitian

Objek formal penelitian ini adalah paradigma kritik sastra, sementara objek materialnya adalah buku kritik sastra A. Teeuw, yakni buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya ananta Toer dan buku Tergantung Pada

(33)

Kata. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif-analisis, yakni mendiskripsikan data-data untuk kemudian dianalisis. Data-data yang digunakan berupa beberapa kutipan tulisan kritik Teeuw dari objek material penelitian ini.

Pengolahan data dilakukan dengan dua langkah. Pertama, dilakukan pembacaan kritis terhadap objek material. Kedua, dilakukan deskripsi dan analisis data yang didapat dari pembacaan kritis. Analisis yang dilakukan berdasarkan teori paradigma kritik sastra. Diskripsi dan analisis dilakukan melalui dua tahap sebagaimana masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini. Pertama, analisis dilakukan berdasar setiap bab atau bahasan pada objek material. Hal itu dilakukan untuk menjawab masalah pertama penelitian ini, yakni mengetahui paradigma-paradigma kritik sastra Teeuw. Kedua, analisis dilakukan secara keseluruhan objek material, tidak lagi dilihat per bab. Langkah tersebut bertujuan menjawab pertanyaan masalah penelitian yang kedua, yakni untuk menemukan pola-pola paradigma dalam kritik sastra A. Teeuw.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I Pendahuluan, memaparkan mengenai latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teoretis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Paradigma-Paradigma Kritik Sastra, memaparkan dan mendiskripsikan unsur-unsur pada masing-masing paradigma. Setiap paradigma, dijelaskan unsur-unsur yang membentuknya. Teori kritik sastra M.H. Abrams dipaparkan dalam bab ini sebagai sebuah paradigma. Pemaparan tersebut

(34)

berlandaskan pada unsur paradigma sebagaimana yang dikonsepkan oleh Thomas S. Khun.

Bab III Paradigma Kritik Sastra A. Teeuw, memaparkan analisis terhadap kritik sastra A. Teeuw berdasarkan teori paradigma yang telah dikemukakan pada BAB II. Bab IV Pola Paradigma Kritik Sastra A. Teeuw, memaparkan mengenai persoalan kombinasi dan dominasi paradigma kritik yang terdapat dalam kritik sastra A. Teeuw. Pada bab ini akan dilihat bagaimana pola-pola yang terdapat pada kritik A Teeuw pada buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya ananta Toer dan buku Tergantung Pada Kata.Kemudian Bab V Penutup, berisi simpulan dan implikasi penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Arti pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai,

Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran,

Grafik 4.2 Grafik Pengaruh Pemberian Larutan Kulit Bawang Merah Terhadap Panjang Akar Stek Batang Tanaman Sirih Merah Umur 50 hst. Dari hasil analisis variansi

Tahlilan Di Desa Sindang Barang Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Terbilang : Tiga puluh satu jiita sembilan ratus sembilan puluh ribu

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan

[r]

Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik